a bad purpose|| 32

Letta menatap penampilannya di depan cermin. Gaun sederhana sepanjang lutut dengan akses terbuka dibagian bahu memperlihatkan bagaimana ia terlihat anggun malam ini. Hiasan make up natutal yang menghiasi wajahnya membuat Letta begitu cantik, sangking cantiknya dia sendiri sampai tidak mengenali dirinya. Letta merasa pangling sampai-sampai ia menyapukan tangannya sendiri pada permukaan wajahnya, wajah sehalus sutra yang mendapatkan sentuhan make dari perias yang Fano bawa ke rumah ini, membuat Letta tak ubahnya bermetamorfosis menjadi gadis metropolitan yang kehidupan hampir setara dengan kehidupan orang-orang kaya seperti Fano. Namun berubah menjadi kasta rendahan saat baju dan segala perentelan make up dan perhiasan yang menempel didirinya dilepas. Penampilannya mungkin sudah seanggun ini, ia sudah tidak perlu minder lagi ketika Fano membawanya ke pesta pria itu. Tapi tetap saja rasa tidak percaya diri membuat Letta ragu untuk datang bersama Fano ke pesta ulang tahunnya.

Letta kembali di buat ragu, selain itu perasaannya menjadi tidak enak. Ia tidak tahu rasa tidak enak yang ia rasakan ini berasal dari mana? Hanya saja hatinya sedang gelisah bukan main. Gelisah karena keraguannya untuk datang ke pesta itu semakin menguatkan pikirannnya untuk jangan datang.

Ketika ia sibuk berpikir, dan menatap kosong ke depan, Letta merasakan sebuah tangan memeluknya dari belakang di susul oleh suara bisikan seseorang. "Kamu cantik." Suara pria yang sudah dihafalnya betul di telinganya mengalirkan keraguan yang sempat membayangi kepala Letta sejenak teralihkan. Letta mengubah raut wajahnya, lalu mengangkat kepala untuk menatap cermin di depannya. Di mana ia melihat pria yang berdiri di belakangnya tengah memeluk dirinya dengan begitu erat. Perasaannya pada Fano semakin terjun bebas saja saat matanya menangkap penampilan Fano. Pria yang tengah menatapnya itu begitu tampan dengan setelan tuxedo-nya.

"Kenapa kamu terlihat sedang memikirkan sesuatu?" Fano bertanya, tatapannya begitu dalam menatap perempuan yang penampilannya berbeda malam ini. Cantik dan Fano merasa tidak bisa memalingkan tatapannya.

Letta diam menatap Fano. Sibuk mengagumi pria itu, sehingga ia tidak sadar jika Fano bertanya. Fano justru menatap dirinya dengan tatapan yang sulit diartikan. Tidak sadar juga kalau gadis lugu ini sedang kembali berdebar karena penampilannya.

"Apa ada yang sedang kamu pikirkan?" Fano kembali bertanya, kali ini ia melepaskan pelukannya dan memutar tubuh Letta untuk berhadapan dengannya. "Aku perhatikan kamu seperti menyimpan beban di dalam kepalamu?" Fano menyelipkan rambut Letta ke belakang telinga gadis itu.

Fano mungkin bukan seorang yang mau peduli tentang apa yang orang lain pikirkan sebelumnya, tapi pada Letta ia merasa harus tahu segala hal mengenai gadis ini, termasuk segala hal yang Letta pikirkan. Dia menyapukan tangannya pada rambut Letta yang dicurly rapih oleh penata rias yang dibawanya. "Jangan menyimpan segalanya seorang diri, kamu tahu kalau kamu bisa mengatakannya padaku!" katanya terdengar lembut dan perhatian di telinga Letta. Kelembutan dan perhatian yang akhir-akhir ini membuat Letta bingung sendiri mencerna perasaan pria itu kepadanya.

Letta menggeleng. "Aku .. aku rasa aku tidak harus datang." Letta memberanikan diri mengatakan apa yang menjadi beban pikirannya sejak tadi. Berharap Fano mau mengerti keengannya untuk datang ke pesta ulang tahun pria itu.

Tapi alih-alih mengerti Fano justru mengerutkan keningnya, mulai menatap dirinya tak suka. "Kamu bahkan sudah rapih, tapi kamu masih sempat-sempatnya menolak datang." Fano menatapnya tajam, membuat nyali Letta menciut dan ia menundukan kepalanya.

Fano menghela napasnya dalam-dalam berusaha mengontrol gejolak emosi di dalam dirinya. "Aku tidak tahu apa yang kamu takutkan? entah apa yang saat ini kamu pikirkan?" dia mengubah tatapan tajamnya menjadi melembut. Sadar betul kalau tatapannya membuat gadis yang membuatnya nyaman itu takut dengannya. "Aku akan menjagamu, kamu tidak perlu mengkhawarirkan apapun yang belum tentu akan terjadi." Dia mengambil tangan Letta, menggenggam dan meremasnya. Fano mencoba membuang pikiran buruk Letta dengan memberikan rasa nyaman lewat remasan tangannya.

Tapi bagi Letta yang dilakukan Fano malah semakin membuat perasaan takutnya bertambah berkali-kali lipat. Pria itu tidak mengerti kalau apa yang di rasakan olehnya itu tidak sesimple yang dia katakan kepadanya. Ia tidak mengerti apa yang tengah dirasakan olehnya saat ini. "Tapi aku .. aku merasa ---"

"Stttt." Fano menempelkan jari telunjungnya pada bibir Letta. "Kamu hanya perlu percaya padaku, tidak ada yang perlu ditakuti." Fano memotong kalimat Letta sebelum gadis itu menuntaskan kalimatnya.

Menurunkan telunjuknya dari bibir Letta, Fano memilih menarik Letta untuk lebih dekat dengannya. "Tidak ada yang perlu kamu takutkan selama masih ada aku di sampingmu." Posisi jarak mereka yang hanya dibatasi oleh jarak satu jengkal membuat Fano menyadari kalau betapa luar biasa cantiknya gadis di depannya ini.

Fano tersenyum, tatapannya berubah menyeringai. "Kalau tidak ingat jika pesta itu penting untukku, aku juga mungkin lebih memilih tidak datang." Dia melarikan tangannya di sepanjang leher Letta, mengusap bagian itu dengan gerakan sensual. Yang memunculkan desiran halus pada tubuh Letta bangkit seketika. Mendadak permasalahan dan perasaan tidak enaknya menguap entah ke mana? tergantikan oleh rasa ingin mendapatkan sentuhan lebih dari pria ini.

Fano mendekatkan wajahnya pada Letta, ingin mengecup bibir tipis dengan polesan lipstik dari merk ternama itu.

"Fano ayo cepat berangkat keburu malam."

Namun bibirnya yang baru akan menempel pada bibir Letta kembali ia jauhkan saat melihat Nara menerobos masuk ke dalam kamarnya. Melihat Nara wajah Fano berubah dingin. "Kamu bisa menunggu di bawah tanpa harus masuk ke dalam kamarku, Nara."

***

Langit melirik arloji di pergelangan tangannya, saat jam sudah menunjukan pukul 08.10 malam dia mencoba merapihkan kemejanya yang sedikit berantakan, lalu menyemprotkan sedikit pewangi ke tubuhnya, rambutnya yang sedikit basah sudah tertata rapih dengan jel, dia sudah rapih, penampilan anak yang terbiasa berseragam SMA itu kini telah terganti oleh penampilan bak anak kuliahan, terlihat keren dan sempurna. Tidak akan ada yang tahu kalau Langit siswa SMA, karena penampilannya yang berbeda dari seragam sekolah yang biasa dipakainya. Langit mengambil ponsel miliknya yang tergeletak di tempat tidur, saat melihat ponsel miliknya berdering. Dia sudah akan keluar kamar ketika matanya menangkap layar hijau berkedip pada ponselnya yang terus saja berdering. Ingin mengabaikan tapi tidak mungkin, jadi ia memilih menekan tombol hijau pada ponselnya sambil keluar dari dalam kamarnya.

"Iya, Ma." Ia menyahut panggilan di sebrang sana yang kebetulan mamanya sendiri yang tengah menelponnya.

"...."

"Aku baru akan ke sana." Dia memberitahukan, Langit sudah dapat menduga kalau mamanya akan bertanya hal ini.

"...."

"Enggak akan, Mama tenang saja. Dalam waktu kurang dari setengah jam aku pasti sudah di sana." Dia menuruni tangga, matanya melirik ke penjuru ruang tamu yang ia lihat, terlihat begitu sepi, seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan di rumahnya selain dirinya. Ia sudah tahu penyebab sepinya rumah ini, keluarganya sedang menghadiri acara penting, memang hanya ada dirinya di rumah sejak sore tadi. Langit tidak ikut keluarganya berangkat bersama ke acara penting yang dihadiri oleh keluarganya itu sebab ia harus berangkat ke sekolah dan baru akan menyusul ketika malam tiba.

"...."

"Mama tenang saja. Aku bukan anak kecil lagi yang harus Mama khawatirkan." Langit terkekeh, saat mendengar omelan mamanya di sebrang sana.

"..."

"Baiklah! Aku matikan dulu ya, Ma, aku sudah mau jalan." Saat sudah di garasi rumahnya Langit menutup telponnya dan pria yang malam ini penampilannya sedikit berbeda itu mulai mengeluarkan kunci motor miliknya yang ia masukkan ke dalam saku jeasnya.

Mendekati motor kawasaki hitamnya, Langit mulai menghidupkan mesin motornya dan pria itu memanaskan sejenak motor kesayangannya yang memang jarang dipakainya. Setelah beberapa saat Langit mematikan mesin motornya, ia mendorong motornya keluar dari gerbang rumahnya, sebelumnya ia menutup gerbang rumahnya terlebih dahulu, sebab satpam rumahnya tidak sedang berjaga, semua penghuni rumah memang tidak ada, selain pemilik rumah, pelayan dan satpam rumahnya pun diajak ikut ke acara penting itu. Sehingga Langit harus mandiri menutup gerbang rumahnya sendiri.

Langit menatap langit malam yang semakin menggelap, saat keinginannya untuk cepat-cepat sampai di tempat acara dia lekas menaiki motornya, ingin menyalakan mesin motornya saat tiba-tiba saja dari belakangnya seorang mendekati dirinya, Langit tidak menyadarinya dan dalam sekejap ketika mulut dan hidungnya ditutup sapu tangan oleh orang itu, dia berontak.

"Emphhh ... mmmphhh." Langit menggerakan kepalanya, hendak melepaskan bekapan sapu tangan dengan bius itu namun orang itu malah membekapnya semakin erat. Perlahan kekuatan Langit melemah dan dalam sekejab mata kegelapan mulai mengambil alihnya.

***

Letta merasa segan, canggung dan juga tidak nyaman, sejak berada di tempat ini dia sudah ingin pulang saat Fano membawanya ke pesta ulang tahunnya. Dia bukan tidak senang dengan pesta ini, karena ini pesta ulang tahun Fano hari bahagianya pria itu dibertambah usianya, tapi Letta hanya merasa jika sejak tadi ia tidak pernah bisa menghilangkan rasa tidak nyamannya. Apalagi disaat sebagian orang menatap kepadanya, Letta tidak bisa lebih risih lagi oleh tatapan mereka. Tatapan sinis dan meremehkan yang dilemparkan oleh sebagian gadis-gadis muda itu seakan menunjukan jika ia tidak pantas berada di tempat ini dan berdiri di samping Fano.

"Kenapa?" bisikan itu menyadarkan Letta, sejak mendapatkan tatapan tak menyenangkan Letta lebih banyak menunduk dan tak berani menatap sekitarnya.

Letta menggeleng, "Tidak."

Fano mengeratkan rengkuhan pada pinggang Letta, tersenyum pada tamu yang melemparkan senyum sapa kepadanya. Ia mensejajarkan bibirnya pada telinga Letta. "Aku rasa kamu merasa tidak senang? apa kamu tidak nyaman di pestaku?" tanya Fano.

Letta menggeleng lagi, ia tidak ingin membuat Fano salah sangka. Tapi Fano tetap memahami itu. "Aku janji kita tidak akan lama di sini." Janjinya, dan Fano memang tidak memiliki keinginan untuk berlama-lama di pestanya ini.

Letta mengangkat wajahnya, menatap Fano. "Tapi ini pestamu." Meski begitu Letta merasa senang jika pria itu memang tidak berniat berlama-lama dipestanya sendiri. Terdengar egois karena Letta hanya memikirkan perasaannya sendiri.

Fano mengedikan bahunya. Merasa tidak peduli. "Ada hal yang lebih penting dari pada sekedar pesta." Wajahnya menampilkan seringaian.

Letta mengerutkan kedua alisnya, tak mengerti. "Apa?" mulutnya tidak bisa diajak kompromi, untuk tidak mengajukan penasaran.

Fano tidak menjawab rasa penasaran Letta. "Kamu akan tahu setelah ini." Ia justru memberikan kalimat yang semakin membuat Letta penasaran.

Melihat wajah polos dan tidak mengerti Letta, Fano merasa gemas. Dia memang berbeda dari perempuan-perempuan di sekelilingnya yang terkesan murahan dan berpengalaman dalam segala hal berbau dewasa dan Fano merasa tidak ingin melepaskan gadis ini untuk siapapun. "Kamu tahu kalau aku menyu---"

"Bang, dipanggil Papa tuh." Kalimat Fano terhenti saat seorang gadis muda sudah tahu-tahu berdiri di depannya. Fano tidak melihat gadis itu berjalan ke arahnya karena ia terlalu pokus pada Letta.

Menatap gadis itu sinis Fano tampak apatis. "Bang ish, yasudah nanti juga Papa yang datang ke sini sendiri." Gadis itu cemberut, lalu berubah cerah saat ia melihat Letta.

"Hai Kaka, Pacarnya Bang Fano ya?" dia mendekat pada Letta, mengulurkan tangannya pada Letta hendak bersalaman. Tapi Fano menarik Letta dan menjauhkannya.

"Pergi!" Fano berkata dingin, tapi si gadis muda itu keras kepala dan tidak mempedulikan usiran Fano.

"Aku adiknya Bang Fano, Kaka pacarnya, kan?!" gadis itu tersenyum, lesung pipit yang serupa dengan yang Letta miliki membuat gadis itu terlihat manis.

Letta menatap Fano dan gadis itu bergantian, dia bingung, haruskah dia membalas keramahan gadis itu? "Aku ..." dia baru memilih ingin menyapa, tapi belum sepenuhnya kalimat sapaan itu meluncur dari bibirnya, Fano lebih dulu menatapnya tajam. Dia jadi tak melanjutkannya dan memilih diam.

"Pergi dan jangan mencoba bersikap sok akrab denganku." Fano berkata tajam, tapi tak membuat gadis muda itu takut dan menurut, dia masih tersenyum berbinar menatap Letta. Letta diam saja, karena bingung dengan keadaan yang tidak ia mengerti.

Gadis itu tidak beranjak pergi, dia mendekati Letta, dan tersenyum sebelum mesejajarkan bibirnya di dekat Letta. "Abang memang seperti itu, tapi aku harap kita bisa berteman." Lalu menjauhkan diri kembali, sebelum beralih menatap Fano lagi, dan memasang wajah cemberut.

"Masih aja jutek sama aku, kalau Abang nggak nemuin Papa aku akan tetap di sini, menjadi pengganggu." Dia melipat tangannya, tak sedikit pun terpengaruh oleh wajah dingin abangnya.

Meski saudara kandung, terlahir sedarah, dan berbeda ibu, dia tetap menyayangi pria dingin itu sebagai abangnya. Tak peduli kalau Fano tidak pernah menganggapnya adik, dia tetap menganggap Fano abangnya.

Fano merasa malas, ia benci melihat gadis itu di dekatnya, entah karena hal apa? dia memang tidak pernah menyukai gadis itu sebagai adik kandungnya. Tanpa mengidahkan gadis itu, Fano beralih menatap Letta. "Aku ingin menemui Papaku dulu, kamu tunggu di sini!" Letta mengangguk, meski merasa enggan di tinggalkan, dia tak boleh menahan pria itu untuk menemui papanya. "Aku tidak akan lama, kamu jangan ke mana-mana sebelum aku datang." Tambahnya sambal melepaskan rengkuhannya pada pinggang Letta. Sebelum beranjak meninggalkan Letta, ia menyempatkan diri menatap Letta begitu intens dan dalam. Seolah tatapan ini akan menjadi tatapan terakhirnya pada Letta.

Letta menatap punggung pria itu yang menjauh dikerumunan tamu, perasaan tidak nyaman itu semakin membuat pikiran Letta terasa berat. Kenapa melihat pria itu berlalu ia seakan merasakan sekat yang kian terlihat dalam bayangannya? seakan-akan pria itu akan menjauh darinya.




🌿🌿🌿

To be continued..
Sabtu, 25 Mei 2019
Di tulis oleh @ErickaOktavia

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top