a bad purpose||31

Follow ig @storyerickaoktavia

🌿🌿🌿

Nara memarkirkan mobilnya di depan gerbang sekolahan yang pernah ia datangi ketika ia mengantar gadis miskin itu bersama Fano. Sejujurnya Nara malas datang ke sini, jika bukan karena hal lain. Berhubung ia ingin mencari tahu sesuatu tentang gadis miskin itu, Nara mau tidak mau harus ke tempat ini.

"Lo ngajak gue ke sini? nggak salah?" Shesil melirik Nara tak habis pikir, melihat Nara memarkirkan mobilnya di depan gerbang sekolah SMA, Shesil bingung sendiri. Mulai bertanya-tanya, untuk apa Nara repot-repot mengajak dirinya bolos jika hanya ingin membawanya ke sini? apa perempuan itu kurang kerjaan.

Nara tidak mengidahkan pertanyaan Shesil, ia malah sibuk tersenyum, jenis senyuman penuh misterius. Ada sesuatu yang sedang perempuan itu rencanakan. Shesil tahu itu, ketika melihat Nara menggelengkan kepalanya, Shesil semakin kalua ada sesuatu yang sedang dia rencanakan.

"Gue nggak akan ngajak lo ke sini kalau ini nggak ada hubungannya sama si miskin itu." Cetus Nara sinis.

Shesil tidak mengerti apa yang sedang Nara rencanakan, melihat Nara melirik ke depan gerbang, dengan sorot mata menyipit tajam seperti mencari-cari sesuatu. Membuat Shesil menebak kalau perempuan itu sedang mencari gadis yang katanya menjadi penghalang bagi mereka itu. Jam pulang sekolah banyak siswa-siswi yang berjalan di depan sana sehingga Shesil maupun Nara kesulitan menemukan gadis itu.

"Jadi dia sekolah di sini?" tanya Shesil, mulai tertarik dengan apa yang akan Nara rencanakan.

Nara menganggukan, tanpa menatap lawan bicaranya. Seringai licik mulai terbit di wajahnya ketika matanya menangkap sosok gadis miskin yang dicarinya baru saja keluar dari sekolahnya dan saat ini tengah berjalan berdua dengan seorang laki-laki yang begitu familiar di matanya. Mata Nara menyipit tajam, ia seperti pernah melihat pria di samping gadis miskin itu. Namun, ia sedikit lupa. Hingga saat satu wajah terlintas di kepalanya, bersama memori tentang siapa pria itu ikut memenuhi ingatannya, Nara mulai mengingatnya.

"Langit." Gumamnya, tak percaya. Bagaimana bisa Langit satu sekolah dengan gadis miskin itu? pepatah yang bilang jika dunia tidak selebar daun kelor ternyata benar adanya. Nara tersenyum penuh kemenangan, smelihat kalau kebetulan yang ia dapatkan ini membuat dewa fortuna kembali berpihak kepadanya, Tuhan memang begitu baik kepadanya. Membuka jalan kemudahan baginya. Melihat gadis itu bersama Langit, satu rencana mulai tersusun rapih di kepala Nara. "Gue nggak nyangka kalau lo satu sekolah sama gadis miskin itu, Langit!" gumamnya lagi, yang didengar oleh Shesil.

"Lo ngomong sesuatu?" Shesil bertanya, Nara tidak menanggapi, memilih sibuk menatap Letta yang sedang berbicara dengan Langit di depan sana, entah membicarakan apa?

"Tapi bukankah ini keberuntungan buat aku, kamu baru saja memberi jalan untukku, Langit!" lagi Nara berbicara sendiri, mengabaikan rasa penasaran Shesil akan apa yang Nara katakan.

"Gue harap lo nggak lagi membuat rencana tanpa gue!" Shesil memperingati dengan nada tak suka, membuat Nara memutar bola matanya dan mendengus. Kemudian Shesil pun mulai mengikuti arah pandang Nara, ia menatap ke depan. Melihat gadis yang pernah sekali dilihatnya di depan pintu kamar Fano, Shesil menoleh pada Nara.

"Itu dia, kan?" Shesil masih mengingat jelas wajah gadis yang mengganggu aktifitasnya bersama Fano malam itu. Sial, kalau bukan karena gadis itu Shesil mungkin sudah berhasil merasakan keperkasaan Fano di atas ranjang pria itu. Sayangnya karena gadis itu ia jadi tidak mendapatkan apa-apa. Shesil jadi tidak suka pada gadis itu, mendadak ia menyukai aksi kerja samanya dengan Nara.

"Sepertinya gue udah tahu apa yang harus kita lakukan nanti!" tanpa menjawab pertanyaan tidak penting Shesil, Nara kembali melajukan mobilnya meninggalkan pelataran sekolah Letta. Sekarang ia tahu harus melakukan apa untuk menjauhkan gadis miskin itu dari kehidupan Fano. Tanpa harus mengotori tangannya sendiri, Nara pasti bisa membuang parasit itu jauh-jauh dari hidup Fano, tunggu saja nanti, semua akan berjalan seperti yang ia inginkan. Dan sampai saatnya tiba, Fano dan gadis itu akan benar-benar berpisah untuk selama-lamanya.

***

"Kamu mau pulang?"

Letta tidak tahu kalau Langit akan mengikutinya sampai ke depan gerbang seperti ini, ia tidak bisa bersikap seperti pada umumnya terhadap Langit, di mana ketika ia masih menyukai pria itu. Keadaannya sekarang sudah berbeda dari sebelumnya. Bukan hanya takut Fano tahu jika ia didekati Langit, tapi juga karena perasaannya pada Langit sudah tidak seperti yang ia rasakan sebelumnya, rasa ketertarikan dan sukanya entah menguap ke mana? Yang ada hanya perasaan tidak nyaman. Tapi meski pun begitu Letta harus tetap menghormati Langit sebagai kaka kelasnya. Sehingga mau tidak mau ia akhirnya memilih menanggapi pertanyaan Langit.

Letta mengangguk, "Iya Ka," dia menjawab seadanya, berharap Langit segera pergi, tapi yang terjadi malah pria itu ikutan berjalan di sampingnya, membuat Letta semakin tidak nyaman.

"Aku antar kamu pulang, ya?" Langit menawarkan, setelah keduanya berhenti di depan teman-temannya yang hilir mudik berlarian ke tepi jalan.

Jujur saja, Langit ingin sekali mengetahui di mana Letta tinggal. Selama ini Langit diam-diam tertarik ingin mengetahui segala hal tentang Letta termasuk tempat tinggal adik kelasnya itu. Namun sampai detik ini ia masih belum mengetahui di mana Letta tinggal. Letta terlalu sulit untuk ia dekati karena pribadinya yang tertutup membuat Langit merasa bingung harus dengan cara apa ia bisa mendekati adik kelasnya ini kalau setiap didekati Letta selalu menghindari dirinya dan menjauhinya.

"Enggak usah, Ka, aku bisa pulang sendiri!" Letta menolak halus, berharap dengan penolakannya Langit mau mengerti. "Lagi pula aku nggak mau ngerepotin Ka Langit!" katanya lagi, memberikan alasan, semoga saja Langit tidak memaksanya.

Langit tersenyum, ia mengukir senyuman yang menampilkan lesung pipitnya. "Apa dengan pulang bersama dapat disebut merepotkan?" dia mengangkat tangannya dan mengacak rambut Letta, gemas. Dan untuk yang kedua kalinya kembali tersenyum. "Lagi pula kapan lagi aku bisa mengantarmu pulang, jarang-jarang, kan."

Letta tahu kalau Langit pria yang baik. Jika saja persoalannya tidak sesimple sekedar diantar pulang oleh pria di sampingnya, ia sudah akan menerima ajakan Langit jika tidak memikirkan bagaimana Fano akan kembali bersikap kasar jika ia ketahuan bersama lelaki lain. Bukankah Letta sudah pernah diperingati kalau ia tidak boleh dekat dengan pria mana pun.

"Aku .. aku. Ma .. maaf, Ka, aku nggak bisa. Aku harus pulang, maaf!" Letta menundukan kepalanya dan beranjak dari hadapan Langit. Letta tahu ia salah bersikap seperti ini pada pria sebaik Langit, tapi ia tak punya pilihan lain selain mencoba menjaga jarak dengan Langit.

Saat melihat Letta menjauhinya, Langit tak tinggal diam, dia mengejar Letta, buatnya sikap Letta sangat terlihat aneh. "Kenapa aku merasa kalau akhir-akhir ini kamu menghindariku!" dia berjalan satu langkah di belakang Letta.

Mendengar pernyataan itu Letta menghentikan langkahnya yang sudah bersiap mendekati mobil jemputannya.

Melihat itu Langit mengambil kesempatan untuk kembali berdiri di depan Letta. "Perasaanku saja atau memang kamu sedang menghindariku, Tta" Langit mengajukan pertanyaan yang sama untuk yang kedua kalinya.

Letta terdiam, bibirnya terkatup rapat. Kedua bola mata coklatnya mengerjap pelan. Bingung harus bagaimana menjawab pertanyaan yang memang benar adanya. Awalnya Letta memang menjauhi Langit karena perintah Fano, akan tetapi saat ini entah mengapa Letta memang ingin menjauh dari Langit dengan suka rela. Itu ia lakukan karena ia tidak ingin jika sampai Fano mengetahui kedekatannya dengan Langit dan membuat pria itu salah paham.

"Tta." Langit menyentuh bahu adik kelas yang telah mencuri hatinya. "Jawab pertanyaan aku, Letta. Kenapa kamu mencoba menjauhiku?" tanya Langit saat melihat Letta hanya diam saja.

Lidah Letta kaku, ia dirundung rasa gelisah ketika Langit menyadari jika dirinya menghindari pria itu. "Aku ..." kebingungan melandanya, ingin mengucapkan apa ia tidak tahu? pasalnya alasan dibalik sikapnya ini adalah karena Fano. Letta tak mungkin mengatakan yang sebenarnya pada Langit. Tentang bagaimana kehidupannya selama ini, Langit tidak sedekat itu dengannya sampai dia harus mengatakan semuanya. Akhirnya Letta kembali menutup mulutnya dan diam dengan tangan yang saling memilin seragam sekolahnya.

Langit menatap Letta dengan rasa penasarannya. Melihat gadis ini terdiam Langit paham kalau Letta tidak bisa menjelaskan apapun kepadanya. "Aku mengerti," Langit memberikan keputusan. "Jika kamu tidak bisa mengatakannya aku tidak akan memaksanya." Langit memberikan senyuman terbaiknya pada Letta, tidak perlu memaksa Letta mengatakan semuanya, Langit cukup tahu kalau memang ada sesuatu yang sedang disimpan oleh gadis ini.

"Tapi yang perlu kamu tahu adalah kapan pun kamu butuh aku maka aku akan selalu ada buat kamu, Tta." Sekali lagi ia mengacak surai rambut Letta, perbuatannya itu mengundang rasa tak enak di hati Letta, terlebih lagi ucapan tulus Langit membuat Letta semakin dirundung perasaan bersalah.

"Aku pulang dulu, maaf karena tadi sempat memaksamu pulang bersamaku," katanya, kemudian Langit beranjak dari hadapan Letta tanpa menunggu jawaban gadis itu. Meninggalkan Letta yang menatap punggung berlalu Langit sambil tetap dalam kebisuannya

****

Letta baru saja membuka pintu kamar ketika sebuah tangan menarik tangannya dan membuatnya menubruk dada bidang di hadapannya. Bersamaan dengan itu disusul oleh sebuah tangan yang melilit erat tubuhnya. Kemudian ketika lengan yang memeluk tubuhnya itu mulai menempelkan wajahnya pada lehernya, napas hangat yang terhembus itu Letta rasakan di seputar lehernya, membuat Letta kembali berdesir.

"Kamu .. kamu tidak kuliah?" Letta mencoba menutupi kegugupan dan kegelisahan yang kerap kali melanda dirinya saat berdekatan dengan pria yang sedang menyentuh rahangnya.

Yang ditanya sibuk dengan aktifitasnya, kembali menjangkau apa saja yang bisa dijangkau, sebelum memilih menjauh sejenak untuk menatap netra hazel meneduhkan di dalam rengkuhannya. "Kurasa aku lebih betah di rumah dari pada harus ke kampus!" katanya, kembali menempelkan bibirnya di leher Letta dan memberikan beberapa tanda hickey di sana. Letta tidak protes, sejauh ini sentuhan Fano membuat dirinya terbiasa. Meskipun ia masih lebih banyak diam, tapi diam-diam ia tidak dapat memungkiri kalau ia memang mulai menyukai segala sesuatu yang Fano lakukan pada tubuhnya.

Ketika Fano menurunkan sentuhannya ke seputaran belahan titik sensitifnya, Letta tanpa sadar mencondongkan diri ke depan, memberi akses pada Fano untuk melakukan tugasnya dengan baik. "Kamu selalu membuatmu tidak bisa berhenti melakukan ini," katanya di sela-sela aktifitasnya membangkitkan sensitivitas Letta.

Letta meremas bahu Fano, saat pria itu mulai membuka dua kancing seragam teratasnya dan membuat bagian pribadi miliknya yang masih dalam pelindung itu menjadi tontonan gratis Fano.

"Aku ... aku rasa kamu tidak boleh keseringan bolos kuliah." Letta tidak tahu kenapa ia mengatakan itu? tapi saat melihat Fano akhir-akhir ini lebih sering berada di rumah dari pada di kampus, membuat sisi peduli Letta muncul.

Mendengar kalimat bernada nasehat itu, Fano menghentikan sentuhannya, kali ini ia memusatkan pandangannya pada gadis yang membuatnya candu itu. "Apa kamu baru saja menasehatiku?" tatapannya begitu dalam dan menusuk.

Letta menggeleng. "Tidak." Ia membuang pandangannya tak berani menatap Fano. "Aku hanya ..." lidah Letta mendadak kelu, apa dia harus mengatakan ini? dia mendadak ragu.

"Katakan!" Fano tidak sabaran, ia ingin mendengar kalimat yang tidak terselesaikan itu dari mulut Letta, merasa penasaran dan ingin tahu segala hal yang gadis ini pikirkan tentangnya. "Kamu hanya perlu mengatakannya!" dia menarik Letta ke tempat tidur, mendudukan Letta di tepi ranjang, sebelum membuka kaosnya dan melemparnya. Bertelanjang dada di hadapan gadis ini adalah kebiasaannya. Senang saja ketika melihat wajah bersemu Letta saat ia tak memakai pakaian.

Letta kembali dirundung perasaan gugup. Haruskah dia mengatakannya? ia masih saja ragu.

"Cepat katakan!" Fano mengambil posisi berjongkok di depan Letta, tatapan tajamnya menyiratkan kalau ia masih menanti kalimat Letta.

"Aku..." melihat tatapan tajam itu, Letta dengan gugup membuka mulut. "Aku ... aku hanya memikirkan masa depanmu." Letta tidak bisa menahan bentuk kepeduliannya terhadap Fano, akhir-akhir ini ia memang diam-diam selalu memikirkannya.

Mendengar sebentuk kalimat kepedulian yang keluar daru mulut Letta, sudut bibir Fano terangkat setengah, diam-diam tanpa Letta sadari pria itu tersenyum.

Merasakan keterdiaman Fano, Letta memberanikan diri untuk menatap Fano. Mengetahui Letta menatapnya, Fano cepat-cepat menormalkan raut wajahnya. Kemudian ia mulai mengusung senyuman berupa kekehan. "Kuliah atau tidak kuliah masa depan seseorang tidak ditentukan dengan bagaimana dia sekarang. Kamu pernah mendengar pepatah itu."

Letta mengangguk saat Fano bertanya. "Jadi kamu tidak perlu khawatir, masa depan kita akan tetap baik-baik saja, kuliah atau tidaknya aku," ujarnya terlalu ambigu untuk di dengar oleh Letta.

Letta tidak mengerti. "Maksudmu?" dia menatap Fano, meminta kepastian dari ucapan pria itu.

Tapi Fano tidak ingin membahasnya. "Tidak! Lupakan saja." Kemudian ia mulai menatap Letta dengan wajah sayu. "Aku menginginkanmu saat ini juga dan kamu harus siap untuk itu."






🌿🌿🌿

To be Continued...
Ditulis oleh ErickaOktavia ScarlettaStory

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top