a Bad Purpose ||3
Letta berjalan sambil mengatur napasnya menahan sembelit ngilu di perutnya akibat bahagia karena mendapat pekerjaan, sambil berjalan menyusuri gang kecil menuju rumahnya. Sekitar dua puluh meter lagi manuju halaman rumah, Letta menghentikan langkahnya ketika telinganya menangkap suara pengumuman yang berasal dari pengeras suara di masjid sekitar wilayah rumahnya berbunyi. Letta menahan napasnya ketika kalimat "Inalillahi" merambat di udara dan masuk ke lorong telinganya.
"Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatu... Innalillahi wa'inalillahi rojiun... Innalillahi wa'inalillahi rojiun... Telah berpulang ke Rahmatullah Ibu Illyana, Gang Satria no 33. Sekali lagi Inalilallahi wa'inalillahi rojiun... Telah berpulang ke Rahmatullah Ibu Illyana Gang Satria no 33."
Letta menoleh ke sekelilingnya ketika menyadari nama yang disebutkan dalam pengumuman singkat Pak RT adalah nama Ibunya. Jantung Letta seakan terhenti, denyut nadi Letta pun seakan terputus dari tempatnya, paru-parunya juga seakan berhenti mengalir. Tubuh Letta seakan kaku tanpa tulang. Rasa takut tiba-tiba saja Letta rasakan. 'Ibu' dia melirih, merasa takut kalau yang di dengarnya adalah Ibunya. Letta tidak ingin percaya begitu saja kalau suara yang didengar dari pengeras suara itu nama ibunya, tapi perasaan takut yang Letta rasakan semakin menguat, sehingga Letta meyakini kalau itu memang Ibunya.
Dengan tubuh bergetar dan perasaan takut bercampur kesedihan, Letta berlari ke arah rumahnya. "Ibu.....ibu." sepanjang langkah kakinya menuju rumah, itulah yang selalu Letta sebut.
"Ibu...Ibu...Ibu...."
Letta memekik keras. Kakinya tidak mampu menahan laju larinya saat sudah sampai di depan rumahnya. Dan melihat orang-orang berkumpul dengan pakaian pelayat serta bendera kuning yang terpasang di depan rumahnya. Saat itu dunia Letta seakan runtuh, langit seakan menghitam berubah mendung, sambaran petir seakan mematikan seluruh organ tubuh Letta.
"Ibu........." Letta berteriak histeris.
Dan saat itu tubuh Letta seakan ringan--semua mendadak gelap. Hanya suara orang-orang yang mengucapkan kalimat 'Astagfirullah' lah yang terakhir kali Letta dengar. Sebelum semuanya tidak ada yang dapat Letta lihat dan rasakan lagi. Bahkan tatapan sendu ibu, pelukan terakhir ibu yang menghangatkan malam-malamnya taksama sekali dapat Letta rasakan lagi selain hanya duka yang mulai menggrogoti jiwa Letta.
"Ibu kenapa Ibu ninggalin Letta secepat ini."
***
Letta merasakan tepukan pada pipinya semakin keras. Aroma dari minyak kayu putih, mengisi rongga hidungnya hingga pusing di kepalanya sedikit berkurang.
"Nak Letta... Bangun, Nak!"
Letta perlahan membuka kelopak matanya, saat suara dari salah seorang tetangganya mencoba membangunnya, disusul oleh suara daru napas lega daei beberapa orang terdengar, saat itu pula Letta tersadar dan mulai menatap sekitarnya dengan rasa bingung. Matanya memicing mengingat apa yang terjadi hingga suara bacaan yasin yang terdengar membuat Letta kembali mengingat ibunya.
"Ibu! Ibu kenapa, Mbak. Ibu Letta kenapa?" Tanyanya pada tetangganya, air matanya kembali mengalir dari kelopak matanya.
"Yang sabar, Nak. Kamu kuat." Letta menahan napasnya saat wanita yang sepantaran dengan ibunya mengatakan kalimat itu. Letta mengerti maksud ucapan itu. Tapi Letta tidak menanggapi perkataan ibu itu.
Letta malah menoleh bingung dan berdiri linglung. "Ibu." Dia kembali melirih, sambil menahan sesak di dalam dadanya, Letta dengan cepat berlari ke asal suara yasin yang terdengar sedang dibacakan. "Ibu...Ibu..." Letta memanggil-manggil ibunya, lalu berdiri lemas dengan tangisannya yang semakin deras, saat sudah berdiri di depan tubuh kaku ibu.
"I .. ibu...." tubuhnya lemas,ia bersimpuh di samping tubuh Ibu yang sudah mulai mendingin.
Membuka penutup kain pada wajah ibu, tangan Letta bergetar. "Ibu...." lidah Letta keluh, untuk memanggil ibu saja suaranya terdengar serak. "Apa yang terjadi, Bu? Ke ... kenapa Ibu ninggalin Letta?" Dia bertanya, lengkap dengan tangisannya. Berharap ibu membuka matanya dan menjawab pertanyaannya. Tapi ibu sama sekali tidak meresponnya.
Tetangganya yang lain merasa iba. Bahkan ibu ustadzah yang membantu memandikan jasad ibunya merasa kasihan dan prihatin melihat kesedihan Letta. Dengan rasa iba dan kasihan pada Letta, ibu ustadzah mendekat pada Letta, membawa Letta kepelukannya. "Ibu Letta sudah bahagia di sana. Mungkin Letta sayang dengan Ibu, tapi Tuhan lebih sayang Ibu Letta. Letta harus kuat, Nak, kamu harus ikhlas, jangan buat kepergian Ibu semakin berat dengan kesedihan Letta." Ibu ustadzah menenangkan Letta sekaligus memberi nasehatnya.
"Kenapa harus Ibu? Kenapa harus Ibu yang meninggalkan Letta begitu cepat?" Letta menangis terisak.
"Semua sudah kehendaknya, Nak. Letta harus sabar, ini ujian yang harus Nak Letta terima dengan ikhlas."
Tapi apa Letta bisa ikhlas. Ibu, satu-satunya yang Letta punya. Satu-satunya keluarga yang ia sayangi. Bersama ayah, Letta justru tidak pernah merasa aman. Selalu merasa ketakutan dan selalu dikasari.
Tidak pernah merasa terlindungi. Dan sekarang disaat satu-satunya keluarga yang ia miliki meninggalkan dirinya, Letta harus dengan siapa.
"Tapi Bu, ini semua pasti gara-gara Ayah. Ibu harus tahu kalau Ayah-" Letta ingin berkata namun ibu ustadzah memotong kalimatnya.
"Ibu tahu, Nak Letta, setiap dosa sekecil apapun pasti ada balasannya. Sekarang ikhlaskan, Ibu yakin kalau kamu dan almarhumah Ibumu adalah perempuan yang kuat. Ayo, jangan menangis lagi, Nak, ikhlas dan biarkan ibu pergi dengan tenang."
Letta menutup matanya membuat beberapa bulir air mata kembali merembes. Wajah ibu dan saat-saat di mana mereka bersama terbayang di pelupuk matanya. Tangisnya mungkin akan berhenti esok atau lusa hari, tapi rasa sakit di dalam hatinya yang mulai timbul karena rasa bencinya pada ayahnya tidak akan ia lupakan.
Letta mengangguk meskipun tidak dapat menghilangkan tangisnya begitu saja. Kepulangannya membawa kabar bahagia atas pekerjaan yang didapatkannya malah tertahan dengan kabar kepergian ibu. Letta sadar jika semua yang dimulai selalu menemukan akhir. Memang sudah begitu takdirnya. Bibit yang tumbuh menjadi pohon, suatu saat, entah dalam waktu lama atau dekat akan kembali menjadi tanah. Begitulah Tuhan menciptakan. Tidak ada yang abadi. Bahkan untuk hal-hal yang orang-orang sebut abadi.
****
Pagi harinya setelah acara pemakaman selesai kini Letta menghabiskan sisa harinya di ruang tamu dengan di temani ibu ustadzah. Tadi pagi Letta absen sekolah karena harus mengurusi acara pemakaman ibu ditambah tubuhnya tiba-tiba terserang demam kecil, mungkin efek dari semalaman menangis. Dan sekarang Letta sedang duduk di ruang tamu sambil mengobrol dengan ibu ustadzah meskipun sesekali menunda pembicaraan karena banyak pelayat yang datang.
"Sebenarnya apa yang terjadi pada Ibu Letta, Bu? Kenapa Ibu bisa meninggal. Letta pikir Ibu sama sekali nggak ada sakit, paginya juga Ibu masih baik-baik aja." Letta menatap ibu ustadzah di hadapannya dengan tatapan sendu, sekitar matanya sudah menghitam dan kantung matanya agak membengkak.
Ibu ustadzah mengusap bahu Letta, "Nak, kematian itu sudah menjadi rahasia Tuhan. Hari ini Ibu Letta, lusa ataupun besok bisa jadi kita."
"Tapi kenapa harus secepat ini? Terus Ayah ke mana, Bu? Kenapa sejak kemaren Ayah nggak pulang?" Letta kembali berurai air mata. Ibu ustadzah mengambil air minum dan memberikan kepada Letta. Letta menerima dan meminum satu teguk agar tangisnya dapat tertahan.
"Itu yang mau Ibu sampaikan ke kamu, Nak," ujar ibu ustadzah.
Letta menatap ibu ustadzah, menuntut penjelasan.
"Paginya Ibumu datang ke rumah Ibu. Ibumu menitipkan beberapa uang simpanan hasil penjualan emasnya, yang katanya ia simpan untuk keperluan sekolahmu,' ujar ibu ustadzah mulai bercerita.
Letta menggeser duduknya mendekat kepada ibu ustadzah, "Terus kenapa lagi, Bu?" tuntut Letta tidak sabaran.
"Ibu kamu bilang, ingin menitipkan ini untuk keperluanmu karena ibumu merasa tidak akan bisa menjaganya lebih lama lagi, karena Ayah kamu yang selalu ingin mengambilnya!" Jelasnya, membuat Letta mengingat kekasaran ayah pada ibu saat kemarin ia baru pulang sekolah.
"Ibu....." Letta kembali dirundung kesedihan, mengingat kalau sebelum meninggalpun ibunya masih saja memikirkan dirinya.
"Kalau Nak Letta mau, Nak Letta bisa tinggal bersama Ibu untuk sementara waktu, sampai Nak Letta bisa melupakan kesedihan Nak Letta." Ibu ustadzah memberikan perhatiannya pada Letta, merasa tahu kalau Letta pasti akan selalu teringat oleh ibu kalau ia tinggal di rumah ini.
Letta yang mendengar ibu ustadzah mengatakan itu langsung saja menatap ibu ustadzah dengan mata sayu. Kembali teringat pada pekerjaan yang didapatinya. Menjadi pelayan dan mendapat shift malam di tempat seperti itu. Pemikiran setiap orang itu berbeda dan Letta tidak ingin mencemari nama baik ibu ustadzah dengan kabar buruk akan dirinya yang selalu pulang malam, bila dia tinggal bersama ibu ustadzah.
"Terimakasih, Bu. Tapi rumah ini rumah paling nyaman yang akan selalu Letta tempati," Letta menolak tawaran itu. "Karena hanya di rumah ini Letta bisa selalu dekat dengan Ibu Letta." Letta menambahkan seraya pandangannya menatap ke arah atas dekat ambang pintu menuju dapur di mana atapnya bolong dan sudah dipastikan apabila hujan, air akan masuk begitu saja dan menggenang di lantai yang hanya beraspalkan semen--bukan keramik.
"Ibu temani ya? Sampai 40 hari ke depan bagaimana? Kalau Nak Letta tidak mau menginap di rumah Ibu."
Letta tersenyum dan menggeleng, "Nggak papa, Bu. Letta bisa hidup mandiri apalagi Letta masih punya Ayah," jawabnya yakin, "Letta sekarang cuma minta tolong sama Ibu, tolong ceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada Ibu Letta. Letta yakin kalau Ibu tahu sesuatu!"
Letta menahan napasnya ketika tatapan mata ibu ustadzah perlahan digenangi oleh air mata. Sepertinya memang perempuan dengan syar'i berwarna abu-abu itu mengetahui sesuatu?
Melenguh pelan dan mengusap kepala Letta lembut, ibu ustadzah melanjutkan pembicaraannya. "Setelah Ibu kamu pulang dari rumah Ibu. Ibu pikir-pikir lagi kalau uang titipan yang Ibumu titipkan ke Ibu tidak sebaiknya langsung diberikan saja ke kamu. Karena Ibu ngerasa nggak enak memegangnya jadi sorenya saat Ibu mau ke rumah kamu untuk membicarakan ini kembali." Ibu ustadzah menghentikan ceritanya sejenak, saat ingatannya kembali memuatar pada sore kemarin.
"Apa ini ada hubungannya sama Ayah?" Letta menebak, tepat sasaran.
Ibu ustadzah mengangguk. "Waktu Ibu di depan teras rumah kamu, Ibu mendengar suara teriakan Ibumu yang minta tolong. Saat Ibu membuka pintu rumahmu, perut Ibumu sudah dalam keadaan bersimbah darah di sofa. Sebelumnya Ibu sempat melihat Ayah kamu keluar rumah terburu-buru. Ibu tidak tahu apa yang terjadi melihat luka tusukan pada perut Ibu kamu. Ibu hanya berpikir kalau itu disebabkan oleh Ayahmu."
Letta menutup mulutnya mendengar cerita ibu ustadzah. Kenapa ayahnya sekejam itu? Tangisan Letta kembali terdengar. "Kenapa Ayah sejahat itu, Bu?"
Ibu ustadzah mengusap kepala Letta. "Ibu mengerti perasaanmu, Nak, tapi semua sudah kehendaknya. Ikhlaskan dan biar semua yang dilakukan Ayahmu kelak akan mendapatkan balasan darinya."
Tapi sampai kapan Letta harus menunggu--melihat Tuhan membalas kejahatan ayahnya pada ibunya. Letta sudah begitu benci pada sosok yang tidak pantas disebut ayah itu.
Sekarang apa yang akan Letta lakukan. Ia bahkan menbenci dirinya yang terlahir dari campuran darah orang sekejam ayahnya. Jika boleh meminta pada Tuhan, ingin sekali Letta melihat karma cepat-cepat datang pada ayahnya.
Mungkin Letta durhaka karena berharap hal seperti itu, tapi siapa yang tidak sakit hati jika memiliki ayah sekejam dia.
Letta bahkan sudah menyimpan kebencian untuk ayahnya. Entah akan bagaimana hidupnya setelah ini, Letta berharap tanpa ibu semuanya akan baik-baik saja.
🌿🌿🌿
To be countinue . .
D
itulis oleh Ketupat_ap ErickaOktavia
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top