a bad purpose||28
Sesuai perintah Fano yang melarangnya untuk tidak berangkat sekolah, Letta menetap di rumah, ia menuruti perintah Fano dengan mudah. Tidak mencoba menolak karena ia juga masih merasa takut jika harus bertemu dengan Clara cs. Dan sekarang sudah siang saat Letta baru saja keluar dari kamar mandi dan membersihkan diri. Kira-kira pukul 11 siang, Letta bangun kesiangan, dia tidak tahu kalau percakapan terakhirnya dengan pria itu--tidak maksudnya Fano yang berbicara dan ia lebih banyak diam. Karena perkatan Fano, mampu membuat hatinya berbunga-bunga, rasa hangat bercampur nyaman Letta rasakan yang berfaktor dari perasaannya yang memang mencintai pria itu. Secara batinnya Letta mulai berani mengakui itu, dia memang mencintai Fano, perkaraan pria itu sungguh berpengaruh dahsyat untuk hatinya hingga dalam tidurnya Letta merasa itu bagaikan mimpi indah yang tidak ingin segera diakhirinya, membuat ia tidur nyenyak dalam dekapan hangat Fano dan bangun kesiangan.
Saat membuka mata Letta sudah tidak menemukan Fano di kamarnya. Di bawah juga sepertinya tidak ada tanda-tanda keberadaannya. Apa dia pergi ke kampusnya? sepertinya iya, karena jika Fano ada di rumah, dia pasti akan berada di kamarnya, mengingat pria itu lebih sering di kamar Letta dari pada di ruang tamu, menonton tv. Atau di kamarnya sendirian. Pastilah bersama Letta akan lebih terasa menyenangkan bagi pria itu.
Letta menghirup napas sedalam-dalamnya, hari ini ia dapat melakukan apapun dengan bebas. Bernapas pun ia dapat melakukannya dengan mudah, karena ia tidak harus merasa gugup oleh keberadaan Fano, setidaknya untuk beberapa jam ke depan, ia tidak harus menjadi patung di hadapan pria itu.
Letta membuka lemari pakaiannya, mengambil pakaian santai. Semua pakaian terlihat baru. Untuk ukuran baju santai saja bahkan terlihat modis. Letta merasa aneh dengan kehidupannya ini. Karena ia merasa seperti seorang simpanan. Memang bukan simpanan om-om tua berduit yang gatal dan berkepala botak atau perut buncit. Tapi pria ini berbeda, lelaki tampan dengan balutan tubuh bak olahragawan. Otot-otot kekar, perut enam pack, dan tinggi yang pas untuk ukuran anak kuliahan. Anak kuliahan dengan jenjang S2, apakah dia harus bersyukur, Tuhan mengubah hidupnya dengan membuatnya masuk ke kehidupan Fano.
Pria itu sempurna. Tidak hanya fisiknya yang sempurna, dalam segi materi pun Fano amazing. Rumah yang tidak terlihat seperti mansion karena ukurannya yang luas melebihi rumah mewah pada umumnya. Letta menyebutnya mungkin rumah, karena ia tidak tahu-menahu soal mansion. Rumah yang hampir keseluruhan dindingnya bercat putih, rumah besar dengan pintu gerbang menjulang tinggi dan rumput hijau sebagai penghias di sepanjang halaman, rumput yang bersih tanpa kotoran sedikit pun, bukti kalau rumput itu rajin dibersihkan oleh tukang kebun. Letta baru menyadari betapa Fano sangat kaya.
Lima mobil mewah yang kemarin Letta lihat saat ia melewati garasi dan hendak masuk ke dalam rumah. Itu pun belum termasuk mobil yang Fano pakai. Selama ini Letta tidak pernah terang-terangan memperhatikan tentang betapa sempurnanya kehidupan pria itu. Pantas saja Fano terlihat angkuh dan sombong dipertemuan pertama mereka, rupanya kehidupan pria itu se'perfeck ini.
Dan sekarang apakah ia harus bersyukur dengan semua ini? karena dulu ketika ia kecil, ia pernah bermimpi kalau suatu saat nanti ia akan bertemu dengan pangeran berkuda putihnya, yang akan membawanya pada kehidupan yang lebih baik, bukan berarti Letta tidak bersyukur, mimpi anak kecil adalah suatu yang tabu, yang tidak memiliki arti apapun selain sebagai khayalan semata. Dan sekarang mimpi itu rasanya seakan nyata, meski dengan jalan buruk Letta tidak tahu kalau ia bisa tinggal di rumah yang bahkan seperti istana ini, bukankah sekarang hidupnya sudah seperti seorang princess, rasanya seperti mimpi. Tapi satu hal yang masih Letta tidak mengerti, kenapa di rumah sebesar ini Fano hanya tinggal bersama pelayan, satpam dan tukang kebun? memangnya ke mana orang tuanya? Letta penasaran dengan kehidupan Fano dan keluarganya.
Letta menggeleng, apakah itu tidak terlalu berlebih? ia bukan siapa-siapa Fano apa ia pantas tahu lebih banyak soal kehidupan Fano. Tidak, rasanya Letta tidak pantas. Membuang jauh-jauh pikirannya Letta bergegas memakai pakaiannya dan merapihkan penampilannya. Menyisir rambutnya dan memakai minyak telon untuk menghangatkan tubuhnya. Dia memang lebih senang memakai minyak telon dari pada minyak wangi, katanya aroma bayi lebih menenangkan. Setelah ini Letta merasa bingung ingin melakukan apa? kembali tidur bukan pilihan yang bagus, mungkin turun ke bawah untuk mencari makan, mengingat ia belum mengisi lambungnya sejak pagi, saat sudah akan keluar kamar, pintu kamarnya tiba-tiba di ketuk dari luar.
"Non, ada yang ingin bertemu dengan Non di bawah!" suara teriakan salah seorang pelayan Fano terdengar dari depan pintu kamarnya.
Letta bergegas membuka pintu, "Ada apa, Bu?" usia pelayan Fano seusia dengan ibunya, Letta memanggilnya Ibu, merasa sungkan dan tidak pantas jika ia memanggilnya Bibi, dia bukan pemilik rumah ini, jadi ia tidak harus memanggil pelayan Fano dengan sebutan Bibi, selain ia tidak ingin menganggap pelayan ini adalah pelayannya.
"Di bawah ada orang, katanya dia ingin bertemu dengan, Non!"
"Siapa, Bu?!" Letta merasa heran, dia penasaran siapa yang ingin bertemu dengannya. Selama ini, Letta tidak punya sanak saudara yang dekat dengannya, keluarga dari pihak Ayah terlalu cuek dengannya sedangkan dari Ibu, Letta tidak pernah mengenalnya. Ibu tidak pernah bercerita mengenai keluarganya, ia jadi tidak tahu.
Pelayan itu menggeleng, "Bibi juga nggak tahu, dia mengaku mengenal, Non?' ujarnya memberitahukan, "Kalau gitu Bibi ke bawah dulu ya, Non." Pamit Bibi.
Letta mengangguk, saat si pelayan paruh baya itu sudah ke bawah, Letta sambil berpikir tentang siapa tamu yang ingin menemuinya ikut berjalan di belakang pelayan itu, ia menatap ke bawah. Tapi tidak menemukan tamu itu? mungkin dia di luar, karena si pelayan ini tak membiarkan siapapun masuk ke rumah ini dengan sembarang, begitu pikirnya. Saat sudah di bawah, Letta yang penasaran dengan tamunya langsung ke depan, ia ingin tahu siapa tamunya itu.
Ketika sudah di luar ia melihat seorang membelakanginya, Letta tebak dari bentuk tubuh belakangnya kalau itu adalah seorang bapak-bapak. Letta mendekat, saat sudah berdiri di belakang si tamu, Letta merasakan perasaan tidak enak, kepalanya langsung berputar pada satu sosok yang sudah tidak ingin di ingatnya. Sosok kejam yang telah dengan tega menjual dirinya karena sebuah hutang. Tapi jika benar itu dia---
Sosok itu pun berbalik, mata Letta membesar. Sementara orang itu langsung menerbitkan senyumannya, tanpa beban apapun seakan tak memiliki dosa ia tersenyum begitu ringannya.
"Wow, anak Ayah! bagaimana kabarmu, Sayang!" ia hendak memeluk Letta, tapi Letta melangkah mundur, wajahnya masih terlihat syok, dan pertanyaan besar bersarang di kepalanya. Mau apa ayahnya ke sini lagi? bukankah pertemuan terakhir mereka sudah begitu jelas bagaimana kejam Ayah kepadanya, anaknya sendiri.
Ayah tersenyum, tatapannya menscan penampilan Letta dari atas ke bawah. "Ayah tebak kalau putri Ayah ini sudah hidup senang dan bahagia. Bukan begitu, putriku?!" dia menyindir, dari perkataannya Letta tahu jika ada sesuatu yang sedang ayahnya inginkan darinya.
Letta benci melihat ayahnya. Karena ayah 'lah sumber utama segala penderitaannya. Lelaki pendosa itu bahkan tidak pantas disebut ayah. Adakah Ayah yang menjual putrinya sendiri? dan adakah Ayah yang membunuh istrinya sendiri? miskin ternyata tak membuat pria itu bercermin, mereka sudah hidup kekurangan, tapi lelaki itu masih saja suka judi dan mabuk-mabukan.
"Mau apa Ayah ke sini?" tanya Letta, menahan diri untuk tidak memaki Ayah.
Letta pikir lelaki ini tetap ayahnya, kalau tidak ada dia, ia tidak akan ada di dunia ini, maka ia berusaha menahan kebenciannya pada Ayah. Dia masih punya sedikit kewarasan untuk tidak membenci pria yang telah membawanya ke dunia ini, dan menjadi anak durhaka. Ia tidak ingin menyaingi malin kundang, cukup malin kundang saja yang dikutuk menjadi batu oleh ibunya, ia jangan.
Ayah tersenyum, mendengar pertanyaan itu. "Tanpa Ayah mengatakannya, kamu pasti tahu apa yang Ayah inginkan?!" kekeh si tua bangka, serasa tidak memiliki dosa.
Letta menggeleng, "Katakan saja apa yang Ayah inginkan?!" Letta sebenarnya tahu apa yang Ayah mau, ia hanya malas saja membahasnya lebih dahulu.
Ayah menelisik penampilan Letta sekali lagi, "Ayah mau minta uang, Ayah tahu kamu pasti sudah hidup enak di sini, pria itu pasti menjamin hidupmu!" pintanya seenak jidatnya. Jika ada manusia yang urat malunya telah putus, mungkin dia orang pertama itu.
Wajah Letta berubah kesal. "Tapi Letta enggak punya uang, percuma aja Ayah minta sama aku," ujarnya, memang benarkan ia tidak punya uang, tapi Ayah tidak percaya. Dia tetap kekeh dengan permintaannya. Mengingat ia sedang butuh uang untuk makan dan tambahan judi nanti malam.
Ayah mencengkram tangan Letta. "Kamu nggak mungkin nggak punya uang. Jika pakaianmu saja sebagus ini, uangmu pasti banyak, ayo bagi Ayah uang, jangan pelit sama Ayah sendiri!"
Letta menggeleng, "Tapi Letta beneran nggak punya uang, Ayah!" Letta meringis ketika cengkraman Ayah semakin erat pada tangannya.
"Apa pria itu tidak memberikanmu uang." Ayah geram, Letta diam saja. Apa yang Ayah katakan sungguh tidak masuk akal. Kenapa Fano harus memberikannya uang, jika dikasih hidup enak dan serba ada saja ia masih merasa tidak enak. Memangnya siapa Fano untuknya. Ia bukan istri pria itu sehingga Fano harus memberikan uang kepadanya.
Namun keterdiaman Letta dianggap lain oleh Ayah. Ayah menduga jika Letta berbohong, "Atau kamu yang berbohong?!" Ayah memindah cengkramannya pada dagu Letta. Begitu kencang, sampai Letta meringis merasakan perih pada dagunya karena cengkraman kasar Ayah.
Mata Letta berkaca-kaca, ia mengeleng, "Lepas Ayah, Letta nggak bohong, Letta memang tidak punya uang." Ia mencoba melepaskan diri dari Ayah, tapi Ayah memojokannya ke dinding.
"Jangan pelit kamu sama Ayah sendiri, kamu lupa karena siapa kamu bisa hidup enak seperti ini!" Ayah mengingatkan. Letta tentu saja tidak akan pernah lupa akan hal itu. Karena Ayah. Semua memang karena Ayah. Karena Ayah 'lah yang telah menjual dirinya pada Fano. Ayah 'lah yang telah dengan kejam membuat dirinya menderita, karena secara tidak langsung Ayah yang telah membuat Letta menjadi budak napsu Fano di rumah besar ini. Dan sekarang haruskah Letta berterima kasih atas segala penderitaan dan kekejaman yang telah Ayah berikan kepadanya? atau membalasnya dengan kekejaman yang serupa? dengan pria kejam yang sayangnya adalah ayah kandungnya ini dengan melemparnya ke penjara atas tuduhan penjualan anak dan pembunuhan ibunya.
"Jadi berikan Ayah uang atau kamu akan---"
"Akan apa?"
Belum Ayah menyelesaikan kalimatnya, perkataannya dipotong oleh suara seorang yang membuat Ayah membatu, Letta pun ikut terdiam. Ayah memutar tubuh untuk melihat asal suara, Letta pun menatap lurus, pada pria yang entah sejak kapan sudah berjalan di depannya. Wajahnya terlihat datar, menatap kepadanya sebelum menatap Ayah.
"Atau apa, coba ulangi?!" Fano menekan kalimatnya, mengulang pertanyaan yang sama. Ayah terdiam, menatap Fano dengan wajah takut. Sikap sombong dan kejamnya beberapa saat lalu pias begitu saja saat melihat pria di depannya, mulutnya seketika bungkam.
Fano menatapnya tajam. "Anda melupakan perjanjian yang telah anda buat? buat apa anda ke sini menemui putri anda lagi?" nada bicaranya terdengar dingin.
Ayah bungkam saat Fano mencoba mengingatkan perjanjian terakhir mereka. Dia diam seribu bahasa akan tetapi rahang dan tangan pria paruh baya itu mengeras. Kekesalan ia rasakan kala Fano datang di saat yang tidak tepat.
"Berengsek!"
🌿🌿🌿
To be continued..
Ditulis oleh ErickaOktavia
Kamis, 11 april 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top