a bad purpose||25

"Clara lepaskan aku, kalian mau apa?" Mereka tidak mengidahkan perkataan Letta, kedua teman Clara terus mendorongnya dan membawanya ke arah toilet. Sementara si pembuat onar berjalan di depan bak ratu.

Keadaan sekolah yang masih banyak siswa siswa berlalu lalang di koridor, tak ada satu pun yang memiliki etikat baik untuk menolong Letta dari tarikan Clara cs. Mereka cuek, dan abai begitu saja. Seakan-akan bullyan itu menjadi hal yang biasa, dan tidak begitu menjadi masalah yang serius untuk membuat nama sekolah mereka jelek.

Anak-anak remaja, jiwa-jiwa labil, yang merasa kalau kekayaan orang tua adalah hal yang dapat dipamerkan dan dibanggakan oleh teman-temannya. Merasa pantas dan punya hak untuk melakukan apapun, termasuk berlaku sesuka hatinya pada apa yang tidak ia senangi.

Clara, salah seorang siswi, seorang anak pengusaha yang menjadi donatur rutin di sekolahnya, salah satunya. Dia merasa apa yang sudah diberikan oleh orang tuanya untuk sekolah ini, membuat gadis itu merasa memiliki kuasa penuh atas sekolah ini, seakan dia anak pemilik sekolahan. Merasa keren sendiri, merasa cantik sendiri, sehingga jika ada satu siswi saja yang menyainginya dan mengambil perhatian dari lelaki yang disukainya, ia tidak akan berpikir dua kali untuk membuat hidup orang itu seperti di neraka. Halnya Letta, teman satu sekolahnya, yang tidak pernah sudi ia mengenalnya. Siapa yang mau mengenal orang miskin seperti itu, Clara bahkan tidak pernah mau repot-repot memikirkan kalau di sekolahnya ia memiliki teman seperti Letta, yang sekolah dengan hasil beasiswa. Tak seperti dirinya yang bersekolah mengeluarkan biaya. Bagi Clara, seorang yang sekolah dengan hasil beasiswa itu sama saja sekolah gratis. Sekolah gratis dengan bantuan beasiswa apa bagusnya. Hanya membuatnya terlihat seperti orang susah, tapi gadis ini memang orang susah kan.

Mereka sudah di depan pintu toilet. Letta masih dipegangi oleh teman-teman Clara, sementara Clara sudah menatap dirinya dengan tangan terlipat di dada.

"Lo tahu, udik!" Clara menscan tubuh Letta dari bawah ke atas, lalu mendelik jijik padanya, "Apa yang lo pakai saat ini! Sepatu, tas, sampai seragam mahal yang melekat pada tubuh lo, itu nggak pantas kalau lo yang memakainya!" ia menatapnya sinis. Kentara sekali kalau dia merasa iri dan tak ingin tersaingi sedikit pun. Bahkan dari segi barang sekalipun. Tak ada yang boleh lebih bagus dari dirinya.

Letta diam, ia menundukkan kepalanya, sama sekali tidak berani membalas ucapan gadis tukang bully itu, Letta merasa takut dengan apa yang akan Clara lakukan kepadanya. Tapi tidak lebih takut dari memikirkan kemarahan Fano. Saat ini dia sedang ditunggu oleh Fano, tahu Fano tidak suka menunggu lama, Letta takut mendapatkan masalah lain dari pada masalahnya dengan Clara.

Letta mencoba berontak, "Lepaskan aku, Clara, aku harus segera pulang, kumohon!" Letta memohon, dia sedang gelisah karena memikirkan Fano. Dan Clara, perempuan ini malah tidak mengambil pusing ketakutannya.

Clara menendang pintu toilet. "Bawa masuk guys," kedua temannya mendorong Letta masuk ke dalam dan menekannya ke dinding.

"Santai aja dong muka udik lo itu! gue nggak akan ngapa-ngapain lo ko," Clara tertawa kesenangan saat melihat wajah ketakutan Letta. Menganggap kalau Letta takut dengan dirinya padahal tidak sama sekali. Dia jelas takut dengan Fano.

"Gue cuma mau nyadarin lo seberapa tidak pantasnya lo memakai ini semua," Clara melirik sinis tubuh dengan seragam mahal itu, lalu tatapannya berpindah pada kedua temannya. Memberi isyarat melalui bola matanya, agar temannya mengambil sesuatu yang dapat dijadikan bahan bully-an mereka

Temannya yang mengerti isyarat mata Clara langsung melepaskan Letta dan keduanya bergegas entah mengambil apa Letta tidak tahu.

Letta panik, dia menggeleng, perasaannya tidak enak. "Ka ... kamu, kamu mau apa, Clara?!" Clara tersenyum sinis, dia tidak mengatakan apapun. Dan menyeringai saat kedua temanya sudah membawa apa yang disuruhnya. Ember berisi air.

Byurrr...

Dalam sekejab ember berisi air itu dituangkannya di atas kepala Letta, oleh kedua teman Clara. Tubuh Letta basah kuyub, dan gadis itu mengigil kedingingan.

"Aku salah apa? kenapa kalian menyiramku?" Letta membasuh wajahnya yang basah karena siraman air itu, sementara tubuhnya sudah bergetar, mengigil kedinginan. Dan matanya berkaca-kaca, dia sudah akan menangis. Sementara Clara, tidak ada setitik pun rasa iba yang perempuan itu rasakan pada Letta

Dia malah tergelak melihat ketidakberdayaan Letta, kedua temannya pun ikut-ikutan tergelak, mentertawakan Letta. Mereka benar-benar siswi yang tidak berperasaan. Hati mereka tertutupi oleh kesombongan dan kekuasaan, sehingga hati mereka sekeras batu.

Hahahha...

Hahaha...

"Gue udah bilang kan kalau orang miskin kayak lo itu, nggak pantas memakai barang-barang mahal. Jadi ya ngeliat lo kayak itik dekil yang basah kuyub seperti ini, menurut gue itu lebih pantas untuk diri lo yang sebenarnya!" kemudian Clara mendorong Letta, hingga gadis itu terjatuh.

Letta menangis terisak, seragamnya kotor dan basah. Ia menangisi kelemahannya, lebih dari itu ia menangisi nasibnya yang selalu tidak bisa melawan. Ia benci, Letta benci dirinya yang terlihat lemah. Kenapa ia selemah ini? tidak pernah bisa melawan setiap perlakuan buruk mereka kepadanya.

Clara,

Pria itu,

Ditambah lagi Nara,

Lalu siapa lagi nanti?

Apakah tidak ada satu pun yang merasa iba kepadanya? Dia sendiri tidak memiliki siapa pun, tidak memiliki tempat bersandar dan tempat berlindung. Bukankah seharusnya dia mati saja menyusul ibunya, jika hidup pun tak ada yang menerima dirinya dengan baik.

"Ibu."

Letta merindukan Ibu. Apa kabar Ibu di sana? Apa Ibu tahu seberapa dia menderitanya di sini? Apa Ibu tahu jika ia tidak pernah diperlakukan baik oleh orang-orang di sekitarnya?

"Letta harus apa, Ibu? Letta merasa sendiri tanpa Ibu. Letta---"

"Lo tahu kenapa gue benci banget sama eo?" Clara mencengkram dagunya, membuat Letta mendongak. "Karena lo terlahir miskin dan nggak sepadan sama gua, karena lo perempuan miskin yang nggak pantas nginjekin kaki lo di sekolah ini," dia melepaskan dagu Letta kasar, hingga wajah Letta terlempar ke samping.

Lalu Clara kembali menegakan tubuhnya. Letta menunduk dan tangisnya semakin pecah. Dia hanya diam saja, dan pasrah menerima perlakuan buruk Clara. Clara tersenyum sinis, menatap jijik Letta. Lalu seolah belum cukup puas membuat Letta basah kuyub. Clara melirik pada telapak tangan Letta yang menempal pada lantai kamar mandi. Dan ia tanpa pikir panjang langsung---

Krekk..

Menginjak tangan Letta dan menekannya.

"Arghhhh!! sakit Clara, lepaskan aku, sakit!" Letta merintih, ia kesakitan. Memohon agar Clara melepaskan tangannya yang diinjak oleh perempuan itu sambil mencoba menarik tangannya, tapi tak bisa, karena Clara menekan kakinya.

"Sak .. sakit, hiks, lepas, Clara, lepaskan aku!" dia memohon tapi Clara lagi-lagi tergelak melihat Letta kesakitan, lemah dan tak berdaya. Rasanya bagaikan mendapatkan hiburan di tengah siang hari bolong.

****

Shesil sedang memainkan ponselnya, sambil memakan bakso pesanannya. Kantin begitu ramai, teman-temannya tidak ada yang mau diajak makan bakso, maka dia yang sedang ngiler-ngilernya dengan menu itu, memilih berpencar dengan temannya dan makan sendiri. Lagi pula makan tanpa teman, tidak jadi masalah. Ia menyuapkan bakso itu ke dalam mulut. Mengunyahnya sambil matanya begitu pokus pada layar ponselnya. Membuka galeri sampai seluruh sosmed yang wajib dibukanya. Yang paling utama Shesil buka adalah instagram, kemudian melalui halaman pencarian ia mengetikan nama @ZefanoArdolf91, untuk mengkepokan akun instagram milik Fano. Melihat-lihat foto upload-an Fano yang sekiranya dapat menyegarkan pikirannnya. Ia lalu menScroolnya dari atas ke bawah.

Berbagai macam foto setengah telanjang, yang memperlihatkan perut kotak-kotak pria itu. Foto yang diunggah oleh Fano selalu membuat Shesil tidak mampu menahan khayalan liarnya akan tubuh sispack itu. Berkhayal terlalu tinggi kalau sewaktu-waktu tubuh berotot itu menempel pada tubuhnya, memeluk dirinya di atas tempat tidur dan mereka saling mencari pelepasan bersama. Ah, membayangkannya saja sudah membuatnya belingsatan tidak jelas. Ingin segera merasakan bagian dari pria itu memenuhi dirinya, memuaskan dirinya dan memberikan ia pelepasan yang tak akan pernah Shesil lupakan sepanjang hidupnya. Sejak pertama kali pria itu meminta dirinya untuk menemaninya--hanya sekedar menemani tidak dalam hal yang Shesil inginkan, Shesil sudah menyukai Fano dari pertama kali dia melihat Fano. Tubuh Fano yang berisi dan berotot sangat pas untuk didekapnya, juga lengannya yang berototnya membuat Shesil ingin menyandarkan kepalanya pada lengan berotot itu. Pasti akan terasa nyaman.

Hmm, Shesil senyum-senyum sendiri membayangkan hal itu, matanya menerawang jauh. Memikirkan pikiran liarnya yang mungkin saja suatu saat nanti dia akan dapat mewujudkan semua keinginannya itu. Pikirnya begitu yakin. Sampai tidak menyadari Nara telah berjalan ke arahnya.

Brakkk...

Ketika Nara melempar tas miliknya di atas meja kantin, Shesil terperanjat. Ia menegakan kepalanya dan mengangkat kepala setelahnya. "Lo," saat melihat Nara wajahnya berubah kesal. "Mau ngapain lo ke sini? masih banyak meja lain, kan!"

Tapi Nara mengacuhkannya, dia mengambil duduk begitu saja di depan Shesil. "Gue rasa nggak ada gunanya deh kita saling serang, karena percuma aja kita saling serang kalau sebenarnya yang jadi ancaman diantara kita itu bukan lo atau pun gue, tapi si gadis miskin itu!!"

Sepanjang di kelas tadi Nara sudah memikirkan ini semua. Mencoba mencari bantuan untuk mengusir perempuan kampung itu dari kehidupan Fano. Dia pikir si bukan karena ia tidak sanggup mengatasi gadis itu sendiri, tapi jika dia memiliki bantuan, itu akan mempermudah rencananya untuk mendapatkan Fano.

Shesil memicingkan matanya, tidak mengerti dengan kalimat Nara, "Maksud lo siapa? gue nggak ngerti!" sinis Shesil.

"Siapa lagi kalau bukan gadis yang mergokin lo sama Fano semalam?" Nara menjelaskan sambil menahan raut jijik di wajahnya.

Wajah Shesil berubah memerah karena ucapan Nara, jadi malam itu dia bukan hanya dipergoki oleh gadis yang tidak dikenalinya itu, tapi dengan perempuan ini juga. Whatt, jadi gadis itu? Gadis yang memergoki dirinya malam itu--maksud Nara adalah ancaman buat mereka. Maksudnya gadis itu juga dekat dengan Fano.

"Lo yakin sama ucapan lo barusan?" Shesil mengangkat gelas berisi jus al-pukat pesanannya. Lalu menyerup minumannya. Dan ia menatap Nara dengan wajah tak percaya. "Gadis kayak gitu lo anggap ancaman buat kita emang Fano mau sama perempuan kayak gitu?" Shesil ingat bagaimana biasanya gadis itu, tidak modis dan tidak sekeren dirinya dan---mau tidak mau Shesil harus mengakui, tidak juga semodis perempuan culas di depannya, Nara.

Nara mengangguk, senyuman sinis terbit disudut bibirnya. Bukan jenis senyuman yang ia tuju untuk gadis kampung itu, tapi untuk perempuan di depannya, dia akan memanfaatkan perempuan jalang ini untuk mendapatkan yang dia mau.

Tapi Shesil masih belum percaya, "Gue tahu bagaimana selera Fano, jadi nggak mungkin gadis kayak gitu bisa ngambil hatinya Fano?!" Shesil tersenyum, dia meremehkan semua hal yang Nara sampaikan kepadanya.

Namun, Nara tidak gentar. Ia tetap pada usahanya meyakinkan perempuan ini. "Mungkin nggak, Fano mau repot-repot nganter gadis kampungan itu kalau Fano tidak menyukai gadis itu?!"

"Fano nganterin dia?" Shesil tidak percaya, selama ini yang dia tahu Fano tidak pernah mau repot-repot mengantar perempuan pulang atau ke mana pun. Tapi ini---

"Yups, tadi pagi gue sendiri bahkan ikut nganterin dia!" katanya memberitahu, wajahnya terlihat kesal saat dia ingat sikap Fano tadi pagi. "Jadi gimana? lo mau ikut gue nyingkirin perempuan itu, atau lo mau nyerang gue dan ngebiarin musuh kita yang sebenarnya bertindak jauh merebut perhatian Fano."

Shesil terdiam sesaat, ia memikirkan sesuatu. Baik buruk dan untung ruginya bekerja sama dengan Nara. Lalu setelahnya menoleh pada Nara kembali dan dia mengangguk. "Baiklah, gue bantu lo asal lo nggak ganggu hak gue untuk ngedapetin Fano," ujarnya, memastikan keuntungannya sendiri dan tidak mau rugi sedikitpun.

Nara menanggapinya hanya dengan senyuman. Yang Shesil anggap sebagai persetujuan. Tapi di dalam hatinya siapa yang tahu jika ia mengatur siasat lain. "Setelahnya gue malah akan menyingkirkan lo, bitch!"

****

Fano melirik jam dipergelangan tangannya, lalu matanya melirik ke depan. Sudah hampir 20 menit berlalu, ke mana gadis itu? Kenapa dia belum muncul-muncul juga? Apa jarak kelas ke depan gerbang sekolah sejauh bermil-mil meter sampai ia dibuat menunggu seperti ini. Fano merasa kesal, pikiran buruk kalau gadis itu mungkin saja sedang dengan kaka kelasnya bersarang di kepalanya. Membuat rahang Fano mengeras. Sial.

Fano mengeram, dia sudah akan keluar mobil untuk menyusul Letta, tapi pandangannya langsung menangkap gadis itu keluar dari gerbang sekolahnya, berjalan pelan dengan kepala menunduk dan tangan yang memeluk tubuhnya, seperti seorang yang sedang kedinginan.

Fano memicingkan matanya, kenapa pakaian gadis itu basah. Apa yang sebenarnya terjadi?

Pintu mobilnya pun terbuka beberapa saat, Letta masuk ke dalam dan duduk di sampingnya, "Maaf, ak...aku---"

"Ada apa? Apa yang terjadi, kenapa pakaianmu basah?!" Fano bertanya memotong cepat kalimat Letta.

Lidah Letta terasa kelu, ia diam, tidak tahu harus mengatakan apa?

Fano menatapnya dalam, memiringkan posisi duduknya, tatapan setajam elangnya menatap Letta intens, mencari keanehan yang tersembunyi dari diri gadis itu.

Letta meremas tangannya, ditatap seperti itu membuatnya gelisah dan gugup secara bersamaan. Tapi ia tahu Fano masih menunggu jawaban darinya. "Aku ... aku terpeleset di kamar mandi?" Letta mengarang bebas, kegugupan masih ia rasakan, ia takut Fano tahu jika dirinya berbohong.

Tapi memang gelagat Letta yang mudah ditebak kalau gadis itu sedang berbohong, Fano dapat menangkap itu.

Lagi pula mana ada yang terpeleset sampai basah kuyub sepertu itu? Sepertinya ada sesuatu yang aneh di sini. Pikir Fano.

Fano langsung diam dan tidak bertanya lagi. Tapi pandangannya masih menatap Letta lekat. Menatapnya dalam dan pria itu mencondongkan tubuhnya ke depan, sejejar dengan telinga Letta. Kemudian mulai berbisik di sana. "Lepas pakaianmu!"




🌿🌿🌿

Ditulis oleh ErickaOktavia
Selasa, 2 april 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top