a bad purpose||24
Shesil beranjak dari kursinya, lalu mensejajarkan dirinya pada Nara. "Lo nggak takut satu fakultas sama gue, yah lo tahu kan kalau gue dekat sama Fano!" bisik Shesil meledek Nara, mengingat perempuan di sampingnya ini yang pernah berseteru dengannya saat di rumah Fano karena memperebutkan Fano, membuat Shesil menyimpulkan kalau-kalau perempuan di depannya ini justru menyukai Fano juga.
Sebagian orang sudah melirik kehadiran Nara sebagai anak baru, sebagian juga ada yang berbisik tentang Shesil, yang sedang berbicara dengan Nara, lalu berpikir kalau Shesil mungkin mengenal Nara. Tapi tatapan mereka justru tidak Nara hiraukan. Dia lebih peduli pada perempuan yang satu ini, Shesil.
Saat mendengar nada percaya diri dari kalimat Shesil senyum sinis Nara terukir. "Lo bukan ancaman serius buat gue, jadi buat apa gue takut!" Nara menyibak rambutnya dengan gaya angkuh. "Seharusnya lo yang takut sama gue, karena gue adalah ancaman terberat lo buat dekat sama Fano!" Nara menyerang Shesil balik dengan kalimatnya.
Shesil berdecak, dia mengeram. Sial, ada benarnya juga kalimat perempuan ini. Kalau dia berada di universitas ini tidak menutup kemungkinan kalau setiap ia ingin mendekati Fano, perempuan ini pasti akan mengganggunya.
Melirik Shesil yang terdiam dengan muka menahan kesal, Nara tersenyum pongah. "Lo takut, heh!" katanya mencolek bahu Shesil dengan sengaja. Yang langsung ditepis oleh Shesil, dan perempuan itu langsung mengusap bahunya, membersihkan colekan yang terasa menjijikan dibahunya. Lalu balas tersenyum.
"Gue nggak pernah takut, tuh!" sama seperti Nara, Shesil justru seorang yang lebih tidak tahu malu lagi, dia pantang menyerah dan akan melakukan apapun untuk mendapatkan Fano. Tak peduli ada saingan sebesar apa di depannya, semua akan dia lawan. Dia sudah mengorbankan pacarnya untuk bisa dekat dengan Fano, rela diputuskan karena pernah ketahuan jalan dengan Fano, dan Shesil tidak ingin semuanya menjadi si-sia. Melepaskan batu kali dan berharap mendapatkan batu berlian. Shesil orang berada, Fano juga orang yang justru lebih ada lagi diatasnya. Jadi kalau dia bisa mendapatkan Fano, hidupnya akan lebih bersinar dari yang ia bayangkan. Maka jika hanya perempuan di depannya yang akan dia hadapin nantinya. Shesil siap mengibarkan benda perang itu.
Nara mengepalkan tangannya. Menahan diri untuk tidak menarik rambut curly di depannya. Bisa jelek namanya jika dihari pertama masuk saja dia sudah bertindak anarkis. Jadi alih-alih melakukan itu dia justru tertawa. "Wow, ternyata lawan gue seimbang!" Nara terkekeh bangga, "Kalau begitu bersiap-siaplah menerima kekalahan lo, jalang!" dia berbisik, lalu mendorong bahu Shesil untuk menyingkir. Dan dia lekas mengambil duduk di space kosong tadi. Duduk dengan santai bagaikan mahasiswa baik hati yang sedang menunggu dosen masuk. Bersiap belajar dengan tertib dan mendengarkan teori dari dosen. Padahal sebenarnya Nara tidak benar-benar serius dalam urusan kuliah.
Shesil berdecak melihatnya. Ia berdecih. Lalu kembali mengambil duduk di tempatnya semula. Sementara kekesalan menemani hari-harinya sepanjang ia di dalam kelas saat Nara selalu saja menatap sinis dirinya. Bagaimana pun juga Nara adalah masalah dalam hidupnya saat ini. Orang yang akan mengganggu dirinya yang ingin mendapatkan Fano, tapi Shesil bukan gadis yang begitu saja takut oleh rintangan apapun. Ia tak akan mau kalah oleh perempuan itu, ia akan maju untuk melawan Nara.
****
Fano melempar tas miliknya ke atas meja, moodnya begitu buruk, sehingga untuk membalas sapaan teman-teman wanita satu kelasnya saja dia merasa malas. Jika biasanya dia akan tersenyum tipis pada mereka, kali ini wajah Fano justru terlihat datar dan dingin. Tidak terlihat bersahabat, mungkin jika sekali senggol saja, pria itu akan langsung marah.
Mengingat kejadian tadi, Fano tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana gadis itu di sekolahnya, mereka pasti saling berdekatan, menghabiskan jam istirahat bersama ke kantin atau ke perpustakaan sekolah. Memikirkan kemungkinan itu, rasa tidak suka membuatnya tidak bisa selow. Sehingga panas AC dari ruangan kelasnya saja, tidak bisa mendinginkan suasana hatinya yang sedang panas.
Fano kesal dan cemburu. Rasanya seperti tidak rela saja miliknya didekati oleh pria itu. Bocah bau kencur yang tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan dirinya.
"Woy, Fan, kenapa lagi tuh muka?" Dimas yang baru datang menegurnya, tidak menyadari kapan Dimas masuk ke dalam kelas. Fano begitu banyak memikirkan tentang Letta sampai tidak pokus pada sekitarnya.
Fano melirik Dimas, dan pria itu mengeluarkan buku dari dalam tasnya. "Jam berapa pelajar pertama masuk?" ia tidak menjawab keingintahuan Dimas akan dirinya. Fano malah bertanya, mengalihkan. Bisa ditertawakan habis-habisan dia kalau alasan dari wajahnya yang tertekuk adalah karena seorang wanita.
Dimas menarik kursi kosong milik temannya yang lain, lalu duduk di dekat Fano. "Emangnya lo nggak tahu, Pak Iganatius kan nggak masuk!" Fano memicingkan matanya, lalu menggeleng.
"Dia ada urusan, biasa lah, jadi kita bisa santai hari ini, beruntung banget kan, gue juga belum ngerjain tugas yang dia kasih," Dimas kesenangan, merasa heboh sendiri setelahnya. Yah kebiasaan mahasiswa memang begini. Kalau mendengar dosen tidak masuk kelas rasanya tuh kayak mendapatkan undian 500 juta, senang bukan main.
Fano merasa lega, dia juga sebenarnya sedang malas masuk kelas. Maklum pikirannya sedang tidak bisa dicekoki dengan teori. Jadi berhubung karena dosennya tidak masuk dan kebetulan hari ini dia hanya ada satu mata kuliah. Fano memilih memasukkan kembali bukunya lalu segera beranjak dari kursi yang didudukinya. Kembali mencantelkan task e bahunya ia kemudian menatap Dimas sesaat.
"Gue mau cabut, lo mau ikut gue, nggak?" Fano menawarkan, sambil lalu berjalan lebih dulu.
Dimas tentu saja langsung mengiyakan ajakan Fano. "Ikutlah!" ia pun melalukan hal yang sama, mengambil tasnya dan beranjak dari kursinya, menyusul Fano setelahnya.
Di luar mereka sudah akan turun ke bawah saat melihat Fajar di depan kelasnya, entah Fano akan ke kantin atau ke ruang Pres-Bem, berhubung Fano memang menjabat sebagai ketua Pres-Bem, dia sudah seharusnya kan lebih banyak menghabiskan waktunya di sana, untuk organisasi kampusnya. Tapi pria itu sepertinya selalu terlihat santai dan biasa saja. Tidak, maksudnya si awalnya pria itu rajin dan selalu mengutamakan kegiatan kampusnya, tapi entah sejak beberapa saat yang lalu dia jadi lebih sering mengabaikannya. Jadi malas-malasan, lebih sering mangkir dan menyerahkan segalannya pada si wakil Pres-Bem.
"Ke mana kalian?" Fajar bertanya, pria itu juga masih dengan tas bawaannya.
"Cabut." Dimas merogoh saku celannya, mengeluarkan bungkus rokok di dalamnya. "Lo mau ikut kita, nggak?" lalu menawarkan rokok itu pada Fano yang langsung Fano tolak dengan gelengan kepalanya. Ia sedang malas menghisap rokok itu, kalau bisa saat ini ia hanya ingin menghisap sesuatu yang lain, yang lebih terasa nikmat dilidahnya. Seperti---Dia menghembuskan napasnya kesal, disaat moodnya sedang buruk seperti ini dia masih saja membayangkan itu, gila. Meski ukurannya tidak besar, dan hanya pas digenggamannya, tapi itu terasa pas jika dia yang menyentuhnya. Lagi-lagi hasrat menguasainya. Sialan.
"Lo nggak ada kelas, Jar?" Dimas bertanya sesaat kemudian setelah sudah menyalakan rokoknya dan menghisapnya. Mereka lalu melangkah menuruni anak tangga.
"Ada si, tapi gua malas dosennya killer!" sudah bukan hal yang aneh bagi Fano dan Dimas mendengar jawaban santai Fajar mengenai dosennya. Temannya yang satu itu memang terlalu malas untuk urusan kuliah. Perkara dosen yang killer mungkin hanya dijadikan alibinya saja untuk dapat mangkir dari kelasnya.
"Mending lo nggak usah kuliah, Jar, buang-buang uang aja lo!" Dimas yang berjalan di depannya, menoleh pada Fajar dan pria itu nyeletuk santai.
Fajar tertawa, "Maunya gue si kayak gitu. Tapi kan kalian tahu gimana orang tua gue," Fajar menarik bungkusan rokok milik Dimas, lalu mengambil satu batang rokok dan mengembaliknya kembali pada Dimas. "Mereka cuma mau anaknya pantas untuk dijadikan pengganti mereka kelak,"
Fano diam-diam menyetujui perkataan Fajar, itulah peraturan yang juga dibuat oleh papanya kepadanya. Dia harus menjadi seorang yang pantas untuk dijadikan pewaris, menggantikan papanya.
"Mau nongkrong di mana kita, Fan?" saat sudah di bawah, Fajar bertanya.
Dia merasa bosan dan malas, "Kantin atau ruang Pres-Bem?" Fajar harap si tidak di dua tempat yang ia sebut itu. Ia malas saja jika masih nongkrong di area kampus.
Fano menatap kedua temannya, "Enggak dua-duanya," Fajar merasa senang dan lega. "Gue mau pulang, dan kalian nggak boleh ikutin gue!" Fajar langsung melongo, terlebih lagi Dimas, mata pria itu sudah hampir keluar dari tempatnya.
Seriously?
Jika mereka tidak boleh mengikuti Fano ke rumahnya, lalu tadi kenapa Fano mengajak dirinya untuk cabut? Sialan.
"Ohya, buat lo, Mas, lo urus deh keanggotaan Pres-Bem, lo kan wakil gue. Gue lagi nggak bisa, banyak urusan," Dimas tidak bisa lebih dibuat melongo lagi oleh perkataan Fano. Sial, kenapa jadi dia?
Fano sudah berlalu begitu saja setelah mengatakan itu, Dimas yang baru sadar dari raut melongonya dan sudah tidak melihat keberadaan Fano di depannya, menoleh ke depan dan melihat punggung Fano yang mulai menjauh.
"Woy, Fan, kemprett lo, sialan." Dimas berteriak, Fajar menggelengkan kepalanya. Sementara Fano yang mendengar teriakan Dimas hanya mengacungkan jari tengahnya, mengejek temannya tanpa repot-repot membalikan badanya. Dan setelahnya dia berjalan lurus tanpa menoleh ke belakang lagi.
****
Letta merapihkan buku dan tasnya ketika jam pelajaran terakhir ditutup oleh Bu Rosalita, guru matematikanya. Dia menghembuskan napasnya saat melirik jam dinding di kelasnya. Sudah saatnya dia pulang ke rumah dan bertemu pria itu lagi. Pria yang mempengaruhi pikirannya. Sejauh ini Letta sudah mulai terbiasa dengan tinggal di rumah itu. Biasa tinggal bersama Fano, juga terbiasa dengan segala apa yang Fano lakukan kepadanya. Dari tatapan datarnya, tatapan meremehkan dan sinisnya. Menjadi hal yang entah disadarinya, mulai disukainya. Tapi juga merasa sesak setelahnya, saat pikirannya kembali harus disadarkan tentang bagaimana dia dimata Fano. Hanya alat pemuas dan barang simpanan yang mungkin saja akan dibuang sewaktu-waktu jika Fano sudah bosan dengan dirinya, perasaan sesak itu menikamnya kuat.
Juga tentang bagaimana Fano bukan hanya bermain dengannya, tetapi juga dengan wanita lain. Membuat Letta berkali lipat merasakan perih tak kesat mata itu itu menikam jantungnya, menimbulkan luka yang tak ia tahu itu apa? Sebenarnya ada berapa banyak perempuan di hidup pria itu.
Dua,
Tiga,
Lima,
Atau bahkan lebih?
Letta tidak tahu bagaimana Fano di luar sana jika bersama perempuan-perempuan lainnya. Seliar bersama dirinya atau lebih parah dari itu.
Tapi ketika melihat malam itu, saat di mana seorang perempuan yang tidak ia ketahui siapa sedang melakukan sesuatu pada milik Fano, membuat dirinya menyimpulkan kalau mungkin saja Fano memang bukan hanya melakukan itu dengan dirinya. Tapi juga melakukan hal yang sama dengan perempuan lainnya di luar sana.
Membayangkan Fano memeluk, mencium dan melakukan segala hal intim dengan panas dan liar bersama perempuan lain membuat rasa sakit tak kesat mata itu meremukan jantung dan paru-parunya. Sesak membuat Letta kesulitan mengontrol kerja jantungnya, ia kesulitan bernapas. Namun ia tepis sesegera mungkin. Bagaimana juga dia harus tahu batasan.
Letta beranjak keluar kelas begitu saja, hanya menyalami gurunya dan setelahnya gadis itu keluar dari kelasnya tanpa pamit atau mengucapkan obrolan basa basi dan kalimat singkat apapun kepada teman-temannya. Untuk apa, ia hanya sendiri, tidak ada satu pun dari mereka yang bahkan menganggap dirinya teman.
Letta berjalan sendirian, di koridor sekolah. Banyak siswa-siswi yang bersenda gurau, tertawa dan bercanda. Sementara dia hanya menjadi seorang yang terasingkan. Begini saja Letta kadang-kadang suka iri melihat teman-temannya, memangnya apa yang salah dari dirinya sampai mereka tidak mau bertemen dengannya? kalau begini dia menganggap sekolah tidak ada bedanya dengan di rumah Fano, sama-sama tidak memiliki kehidupan.
Ponsel Letta yang berada di saku seragamnya bergetar di tengah-tengah langkahnya menuju parkiran. Dia menghentikan langkahnya untuk mengambil ponsel--pemberian Fano. Menggeser tombol kunci, Letta mendapati satu pesan watshapp dari pria itu.
"Aku tunggu di depan, jangan lama?"
Pesan singkat yang dibacanya membuat Letta menghela napasnya sembari memejamkan matanya, beberapa hari ini dia merasa aneh setiap kali berdekatan dengan pria itu. Merasa nyaman juga sakit setelahnya, sakit karena mengingat bagaimana sikap Fano. Mati-matian dia ingin mengurangi berdekatan dengan Fano, akan tetapi pria itu sendiri malah yang selalu mendekatinya. Mengantar dirinya ke sekolah, sampai ia merasa tidak nyaman, dan sekarang menjemputnya juga. Apa Fano tidak tahu bagaimana jantungnya berdebar ketika dirinya berdekatan dengan pria itu?
Letta memasukan ponselnya kembali. Tahu kalau Fano tidak senang dibuat menunggu, Letta melangkah cepat sampai tidak melihat jalan, melangkah setengah berlari dia tampak tidak pokus pada jalannya karena pikirannya hanya harus segera cepat ke depan pintu gerbang sekolahannya. Tapi karena itulah justru sumber masalah datang kepadanya.
Bukk..
Letta tidak sengaja malah menabrak Clara cs. Membuat Clara cs menatap kesal kepadanya. "Punya mata nggak lo, udik!" suara angkuh Clara menggelegar, gadis sombong itu sudah menyedekapkan tangannya di depan dada, menatap Letta seperti biasa, pandangan jijik dan merendahkan. Kedua temannya ikutan menatap Letta penuh dengan kesinisan.
Letta memilin rok seragam sekolahnya, wajahnya menunduk takut. "Ma.. maaf, aku nggak lihat jalan." Tergagap Letta berkata.
Clara mendengus sebal, ingin menjambak rambut Letta, tapi tidak jadi saat mata Clara menangkap sesuatu yang lebih jeli pada sosok gadis yang sering ia sebut udik ini.
Tentang?cPenampilannya yang terlihat berbeda. Dari seragam, tas sampai sepatu yang dikenakannya. Dia tahu kalau apa yang Letta kenakan bukanlah barang dengan harga yang murah.
Clara tersenyum sinis menatap semua barang baru yang Letta kenakan, "Guys, sejak kapan si udik ini menggunakan barang-barang mahal?" kedua temannya mengangkat bahunya, dan tersenyum meremehkan. Clara pun tidak jauh berbeda.
"Biar gue tebak? Om-om mana yang mau menjadikan perempuan udik kayak lo simpanannya sampai lo bisa berubah total kayak gini!" katanya dengan nada sarkasme.
Letta meremas kedua tangannya saat Clara mengatakan kalimat pedas itu. Dia merasa gugup, sedikit banyaknya perkataan Clara mempengaruhi dirinya. Simpanan. Dia memang simpanan kan? tapi bukan simpanan om-om. Ucapan Clara membuat Letta takut. Dia takut jika Clara tahu kalau dia sekarang memang seorang simpanan, simpanan Fano..
Letta tidak berkutik, diam di tempatnya. Membuat Clara semakin ingin membullynya. "Gue nanya, ya dijawab, udik!" dia sudah meremas kedua bahu Letta sampai Letta meringis dibuatnya.
Letta menggeleng, kedua teman Clara makin menatap sinis, "Ak ...aku nggak ngerti apa yang kamu bicarakan, Clara!" dia mengendalikan dirinya, meski ketakutan belum juga surut di dalam dirinya karena kecurigaan Clara.
"Nggak usah berpura-pura polos lagi deh lo, ya!" Clara melirik kedua temannya. Kedua temannya yang paham langsung berdiri di samping kiri dan kanan Letta memegang bahu Letta. "Tarik dia guys, bawa ke toilet!" lalu mereka membawa Letta.
Letta ketakutan, dia berontak. "Lepas, lepaskan aku, Clara! Kamu mau apa?"
🌿🌿🌿
To be continued..
Ditulis oleh ErickaOktavia
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top