a bad purpose|| 16

Nara baru bangun ketika ia mencari Fano di ruang makan dan melihat sahabatnya sedang makan bersama dengan gadis itu. Ini sudah jam makan malam, dan ia telat bangun karena merasa lelah akibat perjalan jauhnya.

Melihat gadis itu duduk di samping Fano, sahabatnya terlihat begitu akrab dengan gadis itu meskipun mereka saling diam satu sama lain dan tidak berbicara. Tapi melihat dari gerak gerik keduanya, Nara jelas tidak buta, jika diantara keduanya mungkin saja sudah tumbuh benih-benih cinta diantara mereka. Menerka itu, Nara jadi semakin kesal.

Nara mendekat pada Fano. "Kenapa kamu tidak membangunkanku?" tanyanya setengah merajuk sambil menjatuhkan diri di samping Fano lalu mengambil piring dan menyendok nasi beserta lauk ke dalam piringnya.

Fano menatap Nara saat suara perempuan itu mengintrupsi lamunannya tentang Letta. "Kamu terlalu nyenyak, aku jadi tidak tega jika harus membangunkanmu!" bohong besar, Fano bahkan melupakan kehadiran sahabatnya di rumahnya ini, karena ia terlalu sibuk menghabiskan waktunya bersama Letta. Ia baru ingat kalau ada Nara, bahkan ia ingatnya saja saat Nara sudah ada di sampingnya. Selebihnya Fano yakin, dia pasti tidak sama sekali ingat kalau siang tadi Nara memang datang ke rumahnya.

Nara diam, ia melirik Fano. Merasa bukan itu alasan yang Fano buat sebenarnya. Nara tahu jika kehadirannya mungkin saja dilupakan oleh sahabatnya sendiri. Sial, meyakini itu. Nara jadi semakin tidak suka saja pada gadis kampung itu.

"Kamu bahkan tidak pernah peduli kalau akan mengganggu tidurku, sejak dulu saat aku tidur kamu bahkan selalu menggangguku!" dia mengatakan itu seolah ingin memberitahu Letta tentang bagaimana ia dan Fano begitu dekat dan akrab. Bahkan hingga saat ini, ia ingin gadis yang baru saja masuk ke dalam kehidupan Fano sadar posisi dan tidak mengganggu persahabatnya dengan Fano. Tidak atau mungkin saja Nara ingin Letta sadar diri kalau tidak ada perempuan yang bisa lebih dekat dengan Fano selain dirinya.

"Bukan begitu maksudku! Kupikir kamu kelelahan karena perjalanan jauhmu, makanya aku tidak ingin mengganggumu!" Fano lagi-lagi beralasan.

Nara mengangguk, lebih baik mengalah. "Baiklah, aku mengerti dengan kepedulianmu. Tapi Fan, hemm.. ngomong-ngomong aku merindukanmu, bisakah kita menghabiskan waktu berdua!" Nara meminta seolah di ruang makan itu tidak ada Letta. Ia tidak menganggap keberadaan Letta sama sekali.

Letta hanya diam saja. Sambil menikmati makannya yang mendadak seperti batu karena ia tahu-tahu susah menelan makanannya. Berada di sini, di antara kedua orang asing itu. Letta merasa canggung. Apalagi melihat tatapan tak suka perempuan itu, ia semakin merasa tidak pantas berada di antara mereka. Sebagai penyimak dan pendengar yang tidak seharusnya berada di dekat dua orang angkuh itu. Ya Letta memang merasa mereka adalah dua orang yang sama-sama angkuh.

Fano menghentikan suapan lalu menatap Nara. "Kali ini kamu akan mengajakku ke mana, Nara!" Fano tahu keinginan Nara. Ia harus menurutinya. Karena sejak dulu ia memang selalu menghabiskan waktu bersama Nara. Tentunya sebelum perempuan itu pindah ke Luar Negri.

Nara tersenyum senang, "Bagaimana kalau besok kita nonton, belanja dan makan!" Nara menjabarkan keinginannya. Tidak perlu yang muluk-muluk dulu, seperti meminta Fano mengajaknya jalan-jalan ke suatu tempat, ia masih lelah dan belum bisa berjalan jauh untuk hal itu. Maka mengajak Fano nonton adalah destinasi pilihan yang tepat.

Fano tampak berpikir sejenak. Meneruskan suapan terakhirnya, mengunyah dan menelannya. Lalu mengambil air putih untuk kemudian meminumnya. Nara menunggu keputusan Fano.

"Baiklah, kedengarannya tidak begitu buruk!" Nara tersenyum senang. Besok ia akan membawa Fano keluar rumah dan jauh-jauh dari gadis kampung itu. Ide bagusnya ia memiliki kesempatan untuk berdua saja dengan Fano tanpa gadis kampung itu harus berada di antara mereka. Saat Nara sedang merasa senang dengan rencananya yang ingin menghabiskan waktu bersama Fano, Fano justru sibuk melirik Letta yang tampak diam saja. Melalui pupil matanya ia menatap Letta dengan seutas senyuman tipisnya. Tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya, sepertinya hanya ia yang tahu. Dan dalam hati, Fano menjadi tidak sabar menunggu hari esok.

****

Letta berdiam diri di dalam kamarnya, merasa suntuk dan bosan dengan segala rutinitasnya yang itu-itu saja. Sejak tinggal di rumah ini, kerjaannya hanya makan, tidur, sekolah, dan makan tidur lagi lalu sekolah lagi. Begitu saja setiap harinya. Ia seperti majikan, yang tidak boleh melakukan apapun di rumah ini. Ingin membantu pekerjaan Bibi saja, ia pernah dilarang oleh pria angkuh itu.

Letta ingat ketika ia ingin membantu Bibi mencuci piring. Saat itu Letta kasihan karena pekerjaan Bibi menumpuk. Ia yang tidak bisa diam saja melakukan tugasnya. Tapi belum selesai ia membantu pria itu sudah tahu-tahu berada di belakangnya dan mengejutkan dirinya. Menatap dirinya sinis, tatapan yang Letta tidak sukai. Karena setelah tatapan sinisnya itu Letta melihat tatapan sinis itu berubah merendahkannya.

"Apa yang kamu lakukan?"

Walaupun kalimat Fano terdengar lembut, tapi Letta selalu dapat merasakan penekanan disetiap ucapan pria itu. Itu yang membuat dirinya takut dan tidak berani menatap Fano ketika ia berhadapan dengan pria itu.

"Aku ...aku sedang mencuci pi---ring." Letta memilin tangannya yang masih dipenuhi oleh busa sabun pencuci piring. Wajahnya ia tundukan. Tak berani menatap Fano.

Fano mengangkat dagu Letta, "Aku belum buta untuk tahu apa yang sedang kamu lakukan?" pandangannya terkunci pada tatapan hazel Letta. Membuat Letta semakin merasa gugup.

"Kamu ingin bertingkah seperti seorang pelayan di sini!" dan tatapan merendahkan itu kian menusuk seluruh harga dirinya. Dulu tidak pernah sekalipun ada orang yang berbicara seperti ini kepadanya, meski ia bekerja sebagai pelayan resto, mini market bahkan sampai ia membantu ibunya yang mencuci pakaian tetangganya sekalipun. Tidak pernah ada yang secara blak blakan mengatai dirinya. Atau memang mereka terlalu pintar menjaga perasaannya, tidak seperti pria ini yang tidak punya saringan di mulutnya. Fano, pria angkuh ini berhasil membuat Letta merasa rendah di matanya.

Letta hanya diam saja saat Fano mengatakan itu. Jauh di dalam hatinya meski Letta ingin sekali membalas kalimat pria itu. Tapi Letta menahan mulutnya untuk tidak membuat segalanya menjadi rumit. Sudah tahu kan bagaimana pria itu jika dibuat marah.

Fano mendekatkan wajahnya pada Letta. "Kamu memang pelayanku, tapi tugasmu di sini bukan sebagai pelayan yang harus mengurusi rumahku, kamu tahu aku tidak butuh kamu melakukan itu."

Letta diam saja, membiarkan pria itu berbicara sebebas-bebasnya. Fano memiliki kuasa penuh atas apa yang ingin diucapkannya. "Kamu hanya perlu melayaniku di atas tempat tidurku, bukan di dapurku!" kalimat terang-terangan Fano yang mengandung unsur vulgar di dalamnya membuat wajah Letta memanas. Bukan karena ia merasa malu pada kalimat pria itu, tapi karena ucapan Fano mengingatkan akan siapa dirinya saat ini, ia yang begitu kotor dan hina.

"Jadi mulai sekarang berhenti mengerjakan sesuatu yang tidak kusukai, karena aku tidak ingin tidur dengan seorang pelayan!" ungkapnya saat itu, sebelum menarik wajah Letta dan menciumnya kasar.

"Memikirkan sesuatu, eh?"

Lamunan Letta buyar ketika lamat-lamat telinganya menangkap suara pria yang baru saja dipikirkannya. Ia mengerjapkan matanya, mengangkat kepalanya yang sejak tadi menatap lantai di bawahnya. Dan menemukan Fano sudah berdiri di depannya dengan tangan yang membawa... membawa sebuah dress mini yang Letta tidak tahu untuk apa?

Letta menggeleng, ia beranjak dari tempat tidur. "Ti--dak!" lagi-lagi ia gugup, sepertinya kehadiran pria ini membawa pengaruh lebih pada ketakutannya.

Fano menatapnya datar dan mendekat, Letta kian gugup. Ia mundur. "Ka ... kamu mau apa?" tanyanya dengan ekspresi takut, membuat Fano diam-diam merasa puas oleh ketakutan Letta, pikirnya buat apa juga takut dengannya kalau apa yang gadis itu takutkan sudah ia ambil. Semakin ia mengenal Letta, maka semakin ia tahu kalau Letta memang gadis polos. Bahkan disaat dia sudah tidak perawan lagi.

Fano tidak menjawab, ia terus mendekat. Membuat Letta kembali terduduk di atas tempat tidur. "Kamu--" kalimat Letta terpotong saat Fano membuat dirinya berbaring di atas tempat tidur, dengan posisi pria itu yang sudah berada di atasnya.

Saat Letta ingin mengeluarkan kalimatnya, Fano sudah memangut bibirnya. Menciumnya dalam dan intens. Begitu tergesa dan terburu-buru, seakan dikejar oleh waktu. Letta tidak menolak, sudah tahu jika ia menolak hanya akan membuat Fano marah. Jadi ia membiarkannya saja sampai Fano sendiri berhenti menciumnya.

Bahkan saat tangan pria itu mulai nakal merambat ke mana-mana, Letta tetap pasrah. "Ouh, Shit!" Fano mengerang, melepaskan ciumannya saat sadar jika ini bukan saat yang tepat untuk melakukan itu.

Fano beranjak dari tubuh Letta, percaya atau tidak ia sudah menegang hebat karena perbuatannya sendiri. "Aku membawakanmu ini!" Fano baru ingat tujuannya ke kamar Letta untuk apa, dia mengambil dress yang dibawanya tadi, yang ia letakan di samping tempat tidur Letta sebelum ia lepas kendali.

Letta merapihkan sejenak penampilannya yang berantakan karena ulah Fano lalu melirik dress itu, dan mengambilnya dari tangan Fano. "Un--untuk apa dress ini?" Letta bertanya dengan ekspresi bingung di wajahnya.

"Kamu harus memakai itu?" Fano beranjak dari tempat tidur. "Aku mau ngajak kamu keluar!"

Letta melirik ragu pada dress yang ia ambil dari Fano. "Ta..tapi, baju ini terlalu pendek untukku!" Letta mencoba menolak, dan pria itu langsung menatap tajam dirinya.

"Aku tahu, tapi itulah yang kuinginkan! sekarang cepat kamu kenakan dress itu, aku akan menunggumu di sini!" Fano menyuruh, sementara ia menyuruh Letta, Fano kembali menghempaskan dirinya di atas tempat tidur Letta.

Letta lagi-lagi terpaksa harus menerimanya. Ia melangkah ragu ke dalam kamar mandi sambil membawa dress itu. Meski ia enggan, ia memang harus tetap memakainya. Dan tidak perlu waktu lama, lima menit setelahnya Letta keluar dari dalam kamar mandi. Sebenarnya waktu untuk memakai dress itu hanya lima detik, tapi ia memerlukan waktu lebih lama untuk keluar dari dalam sana. Melihat di depan cermin wastaffle bagaimana penampilannya, ia merasa tidak percaya diri setelahnya.

Saat sudah keluar dari kamar mandi, ia kembali melihat Fano yang masih di dalam kamarnya. Pria itu sudah duduk di atas tempat tidur, menyadari Letta yang sudah keluar dari kamar mandi Fano melirik gadis itu. Ia beranjak. Letta pun ragu mendekat. Seutas senyuman puas terbit di bibir pria itu. "Pilihanku memang tidak pernah salah!" dalam hati Letta merutuki senyuman dan kalimat Fano.

Bagaimana bisa ini bukanlah pilihan yang salah? Jika menurut Letta penampilannya saat ini sudah seperti penampilan wanita malam. Terbuka dan vulgar. Dress hitam dengan potongan rendah yang tidak sampai menutupi pahanya dengan bagian dada menyembul bermodelkan kemben, membuat Letta merasa malu dengan penampilannya.

Ia merapatkan pahanya dan menarik turun panjang dress-nya, meski sia-sia karena dress itu tak juga menutupi paha putih mulusnya. "Aku... bisakah aku tidak harus memakainya?"

Fano tidak mendegarkan, ia memangkas jaraknya dengan Letta, "Kamu sudah tahu jawabanku seperti apa?" lalu meregangkan paha Letta. "Ikuti saja dan jangan membantah." Katanya sebelum menyusupkan tangannya dilipatan paha teratas Letta. Bermain-main di sana sebentar sebelum kemudian kembali menampilkan senyuman puasnya.



🌿🌿🌿

To be continued...
Senin, 11 maret 2019
Ditulis oleh ErickaOktavia

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top