a bad purpose|| 12

Letta berjalan di koridor sekolahnya. Pagi ini sekolahnya belum begitu ramai oleh siswa-siswi yang berdatangan. Entah karena mereka yang terlalu santai berangkat ke sekolah atau karena Letta yang datang terlalu kepagian.

"Ka Langit." Gumam Letta saat di depan sana ia melihat kakak kelasnya yang sedang berjalan mendekatinya. Melihat Langit, Letta jadi panik. Tiba-tiba saja larangan Fano berputar di kepala Letta. Tentang dirinya yang tidak boleh dekat-dekat dengan Langit, dan dengan lelaki mana pun. Jika Fano sampai mengetahuinya,, Letta takut Fano akan semakin kejam kepadanya.

Karena merasa takut Letta akhirnya mengabaikan Langit dengan berpura-pura tidak melihat pria itu, Letta mencari jalan berlawan arah, ke mana saja asal Letta tidak searah di mana Langit melangkah ke arahnya. Letta jadi tidak langsung ke kelasnya tapi ia mengambil langkah ke perpustakaan.

"Letta."

Bahkan panggilan Langit pun diabaikan Letta, Letta bersikap seakan-akan tidak mendengarkan panggilan pria itu, Letta terus berjalan tanpa menoleh ke belakang.

"Maafkan aku, Ka Langit!"

Letta merasa tidak enak, tapi sebagai perempuan yang lemah dan tidak memiliki apa-apa setelah kepergian ibu dia bisa apa selain mengikuti perintah Fano. Dia tidak ingin membuat masalah yang hanya akan membuat dirinya semakin kesulitan nantinya. Apalagi jika ia harus membawa-bawa Langit, pria yang disukaianya, Letta tidak akan tega kalau pria sebaik Langit berada dalam masalah.

Namun setelah ia bisa lepas dari Langit, ia justru mendapatkan masalah baru. Ketika ia tanpa sengaja menabrak Clara yang sedang berjalan dengan teman-temannya hingga tanpa sengaja ia membuat kotor sepatu putih Clara.

"Heh nggak punya mata lo, udik!" Clara mendorongnya, dan menatap muak kepada Letta. Letta menunduk, selalu tidak berani jika berhadapan dengan gadis sok berkuasa di hadapannya.

"Ma...maaf, Cla, aku nggak sengaja!" Letta meminta maaf, dan memang dasar gadis itu saja yang senang membuat masalah dengan Letta, dia tidak menerima permintaan maaf apapun.

Clara mendorong bahu Letta, "Lo pikir maaf lo bisa membersihkan sepatu gue yang kotor?" ujarnya sinis pada Letta.

Letta menunduk meremas kedua tangannya. Apalagi yang diinginkan Clara, gadis ini selalu saja membuat dirinya seperti di neraka. Berada di sekolah yang seharusnya menjadi tempat ternyamannya menuntut ilmu malah membuat dirinya selalu merasa was-was. Letta mungkin hanya orang susah dan tidak seperti kebanyakan orang-orang kaya yang bersekolah di tempat ini. Tapi tidak bolehkah ia merasakan masa-masa SMA dengan damai? Berteman, bersenda-gurau, merasakan cinta monyetnya, setidaknya sampai ia lulus dari sekolah ini saja. Apa Clara tidak bisa bersikap baik kepadanya sedikit saja.

"Bersihin sepatu gue!" Perintah bernada keji itu menyadarkan Letta yang sedang memikirkan nasib buruknya. Clara memerintahnya seolah Letta adalah tukang semir sepatu. Kedua gadis yang selalu mengikuti ke mana pun Clara pergi tertawa senang dengan kekejaman Clara.

Letta diam, tidak melakukan apa yang diperintahkan Clara. Ia hanya semakin menunduk, remasan tangannya menjadi bukti kalau Letta sedang merasa takut. Ketakutan Letta dan keterdiaman Letta justu memicu Clara semakin merasa kesal pada si udik ini.

"Tunggu apa lagi, cepetan bersihin, woy!" Dia menekan bahu Letta untuk lekas berjongkok. Letta sudah pasrah saja dipelakukan seperti ini. Sudahlah bukankah ia memang pantas diperlakukan seperti ini.

"Iy...iya,"

"Tidak perlu!"

Letta terperanjat saat tiba-tiba saja ada sebuah lengan yang menghalangi niatnya untuk menyentuh ujung sepatu Clara. Letta menoleh dan melihat seorang yang sedang dihindarinya sudah tahu-tahu berdiri di sampingnya. Pria itu melemparkan senyuman tulusnya kepada Letta, tapi Letta tidak, dia justru merasa lemas. Pasalnya kehadiran Langit malah akan membuat dirinya semakin dalam masalah.

Raut wajah Clara berubah saat melihat kedatangan Langit, yang lagi-lagi tidak tepat pada waktunya. Sialan, pria yang disenanginya itu pasti akan membela si udik ini lagi. Clara jadi semakin membenci Letta saja kalau begini. Kenapa si dia selalu mendapatkan perhatian Langit?

"Jangan ikut campur, Ka. Kakak diam aja, dia sudah mengotori sepatuku, Kakak lihat ini!" Dia menunjuk sepatunya, mengadu pada Langit berharap Langit mau membelanya dan menganggap yang dilakukannya sudah benar.

Langit tidak merespon kalimat Clara, dia lebih memilih mempokuskan segala perhatiannya kepada Letta. "Kamu tidak perlu melakukan hal itu hanya karena kamu tidak sengaja!" Langit tahu kejadian yang sebenarnya. Rupanya tadi pria itu memang mengikuti Letta dan melihat Letta yang menabrak Clara.

Melihat Letta yang berjalan sambil menunduk, Langit tahu kalau Letta tidak melihat Clara berjalan di depannya. "Kalau pun kamu sengaja, kamu cukup meminta maaf dan tidak perlu mengikuti perintah Clara," tambahnya, mengingat Letta untuk tidak selalu mengalah.

Berapa kali Langit menasehati kalau sudah saatnya Letta keluar dari zona nyamannya untuk masuk ke zona yang lebih berbahaya. Seperti melawan Clara dan tidak apa-apa selalu mengalah. Langit jadi gemas dengan Letta. Sementara gadis yang membuatnya gemas malah diam saja, seakan mulutnya sudah disetel untuk terkunci rapat. Dia tak sama sekali bersuara.

"Udah deh Ka Langit, jangan mulai lagi. Kakak tuh jangan jadi bego untuk selalu membela si udik ini, memangnya apa untungnya kakak ngebela dia?" ujarnya merajuk.

Langit menoleh pada Clara, pandangan muak ia berikan pada perempuan itu. "Seharusnya kalimat itu ditujukan untuk dirimu sendiri!" Langit menggertakan giginya. Tidak habis pikir dengan watak perempuan yang satu ini. Ada ya perempuan seperti Clara.

"Kamu selalu bertindak bodoh dengan menindas orang yang lebih lemah darimu, menganggap kamu lebih kuat dan lebih segala-galanya. Ingat Clara sikap bodohmu yang seperti inilah yang justru akan membuatmu dijaukan oleh teman-temanmu sendiri nantinya." Cetus Langit terdengar jengah.

Clara tutup kuping, dia mendengus sebal dengan nasehat Langit. Ceramah lagi ceramah lagi, celanya dalam hati, lalu mengalah dan tak berani melawan Langit. "Cabut guys!" Perempuan itu lebih memilih berlalu, dari pada dibuat malu oleh ucapan Langit, untuk saat ini Clara memilih mengalah, lain kali jangan harap ia mau mengalah lagi.

Seperginya Clara, Langit memindai tatapannya pada Letta. Menatap gadis itu begitu dalam dan intens.

Letta malu dan menunduk karena tatapan Langit, dia tak berani membalas tatapan itu. Percaya atau tidak Letta sedang merasa gugup di bawah tatapan kakak kelasnya.

"Boleh aku bertanya?" Langit melipat kedua tangannya seraya tidak memutuskan pandangannya dari Letta.

Letta hanya memberikan anggukan sebagai jawaban.

"Aku merasa sepertinya kamu sedang mencoba menghindariku?" katanya membuat Letta membisu dengan kalimat yang memang benar adanya. Apa yang harus Letta katakan pada pria ini. Kenapa ia mendadak canggung begini. Ya ampun ini semua karena ketakutannya pada Fano. Kalau saja ia tidak pernah bertemu dengan Fano, mungkin saja Langit tidak akan pernah merasa kalau ia sedang dihindari.

***

"Pulang ngampus nanti lo mau ke mana, Fan? kita jalan yuk!"

Fano merasa risih pada wanita di sampingnya, sejak Fano masuk kantin sampai hampir selesai menghabiskan soto dan jus melonnya wanita itu masih saja dekat-dekat dan menempel padanya. Sudah seperti nyamuk saja.

"Fano sibuk, mending lo jalan sama gue aja, gimana, Dit?" Pria di depan Fano menaik turunkan alisnya. Menggoda wanita yang sudah kayak lalat untuk Fano itu, nempel terus.

"Ish apaan si lo, Mas. Gue maunya sama Fano bukan sama lo!" Dia makin menempel pada Fano, belum mau menyerah sama sekali.

Sementar Dimas, teman Fano hanya menggelengkan kepalanya melihat itu. "Mending Fano-nya mau jalan sama lo." Sambil mencomot cemilan kacang goreng di depannya Dimas mencemooh. Tahu betul bagaimana Fano selalu menolah ajakan perempuan menor di depannya. Bagaimana tidak menor pakai lipstik saja semerah itu. Kadang Dimas merasa iuhh, bagaimana dengan Fano sendiri. Dia juga pasti begitu. Lihat saja tingkahnya yang semakin iuhh. Dia dengan tidak menghiraukan ejekan Dimas, malah tetap gigih memepet pada Fano. Sepertinya wanita itu percaya akan teori, 'Usaha tidak akan mengkhianati hasil' yah usaha saja terus, syukur-syukur usahanya membuahkan hasil. Pikir Dimas.

"Aku bisa loh bikin kamu puas hari ini kalau kamu mau jalan sama aku." Agak berbisik, karena tidak mau Dimas mendengar perkataannya, Dita perempuan yang sering menempel pada Fano dengan gigihnya masih menggoda Fano. Seperti tahu bagaimana kehidupan Fano yang liar tanpa Batasan di luar sana. Dita sangat tahu bagaimana cara memikat laki-laki. Fano mulai merespon, dia menatap perempuan di sampingnya dengan air muka seolah tertarik. Dita sampai kegeeran duluan, dia tersenyum sensual.

Namun senyumnya kembali lenyap ketika Fano melepaskan tangan Dita yang menempel pada bahunya, lalu pria itu tersenyum. "Sorry, Dit, gue nggak bisa," ujarnya, tidak merasa tidak enak karena menolak ajakan Dita. Fano memang bukan orang yang suka berbasa-basi dengan perempuan nakal di samping.

Sial, meskipun ingin sekali Fano menerima ajakan Dita, tapi Fano bukan tipe laki-laki yang mudah menunjukan taringnya saat diberikan suguan seperti itu apalagi di depan teman-temannya. Yah meskipun dia menginginkan kepuasan, namun bukan Dita lah yang dapat membuatnya puas, melainkan....Oh, shitt, kenapa Fano jadi memikirkan gadis itu.

Bayangan percintaannya semalam dengan Letta berputar begitu saja di kepala Fano. Dan itu membuat dirinya bergairah secara tiba-tiba. Shit, shit, tubuhnya bereaksi, ia menegang. Dia butuh perempuan itu saat ini juga. Tidak Dita dan tidak juga perempuan lainnya. Karena saat pertama kali melepaskan keperjakaannya dengan Letta, sepertinya tubuhnya hanya akan puas dengan tubuh Letta.

Fano tiba-tiba saja bangkit dari duduknya. "Kalau lo mau lo jalan saja sama Dimas. Dia nggak keberatan, kan." Dia menawarkan dan tersenyum sekali lagi. Membuat Dimas di depannya, menatap Dita, dan menaik-turunkan alisnya.

Dita kesal. "Fano mau ke mana?" dia berteriak, namun tidak diidahkan oleh Fano. Pria itu justu sudah melangkah meninggalkan kantin dan menghilang begitu saja, meninggalkan Dita bersama Dimas dengan kekesalannya.

*****

Drttt..

Drttt..

Letta sedang memasukan buku-bukunya ke dalam tas saat mendapati ponselnya bergetar. Ponsel pemberian Fano. Dia membuka pesan itu dan membacanya.

"Aku tunggu di depan sekolahmu, cepat keluar dan jangan membuatku menunggu lama."

Letta menaikan alisnya pertanda bingung. 'Di depan sekolahnya?' sebuah tanda tanya hinggap di kepala Letta, Fabo ada di depan sekolahnya? Untuk apa? Dan mau apa dia? Letta jadi gelisah, apa Fano mau memata-matai dirinya supaya dia tidak dekat-dekat dengan Langit. Tapi kalau seperti itu bukankah itu terlalu berlebihan?

"Tapi aku masih sekolah."

Letta membalas pesan Fano. Berharap pria itu segera pergi dan tidak lagi menyuruhnya untuk menemuinya. Namun yang diharapkannya justru tak didapatkannya. Karena setelah membaca pesan balasan dari Fano lagi, Letta jadi lemas seketika.

"Tanpa bantahan!"

Cukup dua kata balasan dari Fano sudah membuat Letta harus mengikuti segala titah pria arrogant itu. Letta merapihkan tasnya, tanpa membalas pesan dari Fano dan hanya membacanya,dia mulai beranjak dari kursinya untuk menemui pria itu. Dalam hati ia berharap semoga saja Fano tidak lagi membuat hidupnya kesulitan.




🌿🌿🌿

To be continued ...
Kemis, 13 desember 2018
Ditulis oleh ErickaOktavia ScarlettaStory

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top