a BAD purpose||1
Ditulis oleh: @ErickaOktavia
@ScarlettaStory
☘☘☘☘
Letta duduk di pojok kantin, sendirian tanpa siapapun di sampingnya. Tidak ada teman ataupun sahabat yang akan kalian lihat, dia bukan tipe introvert ataupun senang dengan kesendirian. Tapi memiliki teman dan diajak berteman adalah hal yang sangat mustahil bagi Letta. Hidupnya yang monoton, membuat Letta tidak memiliki teman atau mungkin memang tidak ada yang ingin berteman dengannya.
"Lihat tuh si miskin sendirian terus di pojokan!"
Letta mengangkat kepala, menoleh pada tiga orang siswi yang sedang berbisik-bisik sembari menatap ke arahnya. Mereka adalah Clara dan kedua temannya---siswi paling populer di sekolah ini. Bukan hal yang aneh lagi mereka seperti itu, sudah hampir terbiasa dengan hal itu. Jadi Letta membiarkannya saja. Tapi diabaikan seperti itu, mereka bukannya akan langsung diam, malah semakin menjadi.
"Kampungan, cupu. Najis banget gue temenan sama dia." Sarkasme teman satu kelasnya yang sudah pasti dialamatkan kepadanya. Letta tidak tahu kenapa mereka begitu membenci dirinya. Bukankah dia tidak pernah melakukan kesalahan apapun pada mereka? Yang ada justru mereka yang selalu membuat masalah dengan Letta. Dibully dan dicaci maki habis-habisan sudah menjadi makanan Letta sehari-hari. Tapi meskipun begitu dia tidak pernah membenci temannya, kalau merasa gerah dan lelah mungkin Letta pernah. Maklum ia juga hanya seorang siswi biasa yang terkadang ingin memaki mereka balik namun tidak berani. Ingin mengatakan kalau tidak seharusnya mereka seperti itu terhadap dirinya, di sini Letta ingin belajar, bukan mencari musuh. Tapi mereka justru memusuhinya tanpa sebab.
Lette memilih bungkam tidak menanggapi, mengabaikan perkataan mereka dan kembali menundukan kepalanya dengan wajah serius dan pandangan sesekali menyipit tajam. Di depannya, tergeletak koran terbitan hari ini, yang dibeli Letta tadi pagi. Sengaja dibelinya untuk mencari-cari lowongan kerja paru waktu yang bisa didapatkannya bagi seorang pelajar seperti dirinya. Dia sedang membutuhkan pekerjaan untuk membantu perekonomian keluarganya. Kerja apa saja Letta mau. Menjadi penjaga toko, bantu-bantu di warteg atau menjual koran. Asal masih bisa mendapatkan uang dijalur yang baik, pasti akan ia jalanin dengan sepenuh hati.
"Norak koran aja dipantengin terus."
Tetap pada korannya, Letta membolak-balikan korannya tanpa mau memikirkan perkataan cewek itu. Dia diam, dan hanya sibuk dengan dirinya sendiri, menulikan pendengarnya seolah sunyi dan tidak melihat cewek-cewek itu di sana.
Byurrrr...
Letta tidak sadar saat cewek yang membicarakannya tadi bangkit dari kursinya dan menyiram dirinya dengan segelas es teh manis punya Letta sendiri yang diambilnya untuk menyiram dirinya.
"Aku salah apa?" Letta membasuh wajahnya yang basah, mendongakan kepalanya ia menatap Clara. Seragam putih dan koran miliknya ikutan karena siram itu.
Melihat Letta kebasahan Clara bersama temannya, melihat ketidakberdayaan Letta adalah kebahagiaan untuk mereka.
"Hahahhh parah lo!" sautan siswa lelaki terdengar mengejek. Dia bahkan tidak berniat menolong Letta, malah ikutan tertawa setelahnya. Lalu disusul lagi dengan gelakan tawa dari yang lain. Seluruh isi kantin sudah mentertawakan Letta. Mentertawakan Letta yang basah karena siraman teh manis. Pasti sangat lengket dan tidak enak sekali, pikir mereka. Itu justru yang mereka senangi. Rasanya begitu bahagia melihat cewek yang selalu mereka bully terlihat lemah.
Letta hanya bisa menunduk pasrah sembari meremas roknya. Mau melawan dan membalas, tapi merasa tidak bisa mengeluarkan kalimat sepatah katapun. Beginilah dia selalu menjadi yang terlemah di sekolahannya.
"Elo tuh kampungan, nggak pantes sekolah di sini, ngerti nggak lo!!" ujar Clara dengan nada jemawa.
Letta tidak berani mengangkat kepalanya sekedar menatap cewek yang katanya paling beken di sekolah ini. Cewek berambut panjang itu memang termasuk siswi populer, dia cantik tapi suka membully.
"Mending lo pindah, nggak guna banget lo di sini." Cewek berambut sebahu, teman Clara menimpali. "Kampungan banget sumpah. Cupu sok pendiam padahal punya maksud tertentu." Dia menambahkan, menuduhnya yang tidak-tidak.
"Lihat aja tuh gayanya, biar dianggap baik sama guru kali." Cibirnya yang lain.
"Sok kalem, biar disenangi Guru kan lo, cih." Sinis Clara,bersaut-sautan dengan temannya mengejek Letta.
Dimata mereka Letta begitu hina. Hanya karena ia bukan apa-apa di sekolah ini. Tahta dan derajat membuat mereka bisa bersikap semaunya. Mengangap Letta seperti hama, sampah dan kuman yang harus dibasmi.
"Heh cupu. Lo denger gue nggak!!" Clara semakin menjadi membully Letta, dia menendang meja, membuat Letta menjengkit dan mengangkat kepalanya. Saat itu Clara menarik rambutnya. Seluruh isi kantin menjadi heboh. Sibuk menonton pembullyan itu dan tidak ada satupun yang berani membantu Letta.
"Lepas sakit ... " rintih Letta saat merasakan perih di rambutnya.
"Lo dengar baik-baik omongan gue. Nggak usah so kalem lo, nggak usah sok cantik di depan Ka Langit. Dia nggak akan ngelirik cewek miskin kayak lo." Sarkasme Clara, menghina Letta sampai titik terendahnya. Seolah Letta tidak pantas jika disandingkan dengan Letta.
"Sekali lagi gue lihat lo natap Kak Langit di depan mata gue, abis lo!" Clara mengancam, menuding wajah Letta dengan jari telunjuknya. "Dasar gatel nggak sadar diri." Mereka menghina dan tergelak tanpa henti.
Letta menunduk sedih, tidak perlu diingatkanpun ia sudah sadar. Memang benar, Langit memang tidak akan melirik gadis seperti dirinya. Disadarkan seperti itu membuat Letta semakin minder saja. Dia memang suka menatap Langit diam-diam dari kejauhan ketika sang kakak kelas sedang bermain basket. Diam-diam erasa kagum pada kapten basket itu, atau malah ia menyukainya.
Cowok tampan yang Letta kenal begitu populer di sekolah ini. Tidak hanya sebagai kapten namun sebagai ketua osis juga. Bagi gadis remaja seperti dirinya, mengagumi dan menyukai laki-laki adalah hal yang wajar. Tapi jika keadaannya seperti ini, apakah itu masih disebut kewajaran? Dia jadi tidak berani menyukai Langit. Langit itu orang kaya tidak sebanding dengan ia yang miskin. Benar kata Clara.
Letta bangkit dari duduknya, kepalanya ia tundukan, memilih bersikap apatis mungkin lebih baik dari pada harus mendengarkan kata-kata menyakitkan dari teman sekelasnya. Tidak ia pedulikan seragamnya yang basah, karena dia ingin cepat-cepat kembali ke kelasnya.
"Ke mana lo cupu?" belum Letta berjalan Clara yang belum puas kembali memakinya. Letta mencoba tidak mengidahkan, dia tetap berjalan melewati Clara dan teman-temannya, namun Clara malah melangkah ke arah Letta dan tanpa diduga perempuan itu menjegal kaki Letta.
Letta terkesiap. "Arhhhh ... " ia memejamkan matanya, sudah hampir terjerahap, namun takjuga menyentuh lantai saat tahu-tahu dia merasakan seseorang menahan tubuhnya.
Letta mengerjapkan matanya, mengumpulkan sisa-sisa rasa terkejut sebelum memberanikan diri untuk mendongakan kepalanya. Saat matanya bersitatap dengan si penolong, mata Letta membulat sempurna, degup jantungnya menggila.
"K ... Kak Langit?" kegugupan melanda diri Letta, dia mengerjap berkali-kali, sekedar memastikan kalau yang dilihatnya tidaklah salah.
"Kamu nggak papa?" Langit bertanya diiringi senyumannya, menyadarkan Letta kalau dia memang tidak salah lihat. Yah, itu memang Langit. Laki-laki yang baru saja diperdebatkan oleh Clara.
Letta menggelang, pital suaranya tidak sanggup mengeluarkan kalimat karena terlalu gugup. Lalu tanpa diduga Langit dengan santai melepaskan jaket yang dipakainya. Letta tidak tahu untuk apa? Tapi ketika ia melihat Langit memakaikan jaket itu ketubuhnya barulah Letta paham kalau lelaki itu berusaha menutupi seragam putihnya yang basah.
"Nggak usah, Ka!" Letta ingin melepaskan jaket Langit dari tubuhnya. Dia tidak ingin Clara dan teman-temannya semakin membullynya. Tidak ingin dianggap sebagai cewek gatel dan murahan karena menerima bantuan Langit.
Tapi Langit justru malah menahan dirinya untuk tidak melepaskan jaketnya. "Udah nggak papa pakai aja," katanya, mencegah Letta yang akan melepaskan jaketnya. "Baju kamu kan basah," lanjutnya, membuat Clara and the geng mendengus sinis. Mereka semakin menatap penuh kebencian pada Letta.
Letta spechless, diperlakukan seperti ini oleh orang yang disukainya, membuat Letta gugup bukan main.
Atensi Langit jatuh pada Clara dan teman-temanya. "Kalian pada nggak punya hati ya, nindas teman kalian sendiri." Introgasi Langit. "Lihat dia!" Langit menunjuk Letta.
"Apa yang udah dia lakukan sampai kalian segitu tega sama dia. Ngebully dia habis-habisan." Langit geram, tatapannya menatap tajam mereka satu persatu.
Tidak ada satupun yang berani menjawab. Mereka hanya diam saja sembari memperhatikan sikap sok pahlawan Langit pada Letta.
"Kenapa diam, HAH?" Langit membentak. "Nggak bisa jawab, ya."
Brakkk ...
Si kapten basket dan ketua osis itu menggebrak meja kantin. Para siswa dan siswi yang berada di sana terperanjat. Terkejut dengan kemarahan si kakak kelas. "Kalau aku masih lihat kalian nindas dia lagi. Aku nggak akan tinggal diam." Langit memperingati. "Aku yang akan maju paling depan buat ngelawan kalian," katanya lagi membela Letta.
Letta hanya diam saja, tidak berani bersuara apalagi mengangkat kepalanya. Gadis itu menunduk sembari meremas kedua tangannya, berlindung di balik tubuh tegap Langit.
"Kak Langit!" Clara mendekati Langit. Dia merasa jengah dan tidak terima kalau kakak kelas yang disenanginya membela Letta.
"Ngapain sih Ka Langit pake belain si cupu ini?" Clara terang-terangan menunjukan ketidaksenangannya. "Dia nggak pantes Kakak bela." Clara merajuk. Berharap Langit terpengaruh dan akan ikut membenci Letta. Kesombongan membuat Clara dengki.
"Dia cuma cewek miskin, cupu dan nggak pantes ada di sekolah --- "
"DIEM!" Langit memotong ucapan Clara yang tidak masuk akal. Membuat Clara bersungut-sungut atas bentakan Langit. "Apa menurutmu sikapmu ke dia itu pantas?" Langit menekan kalimatnya, mencoba menyadarkan Clara.
Tapi Clara masih saja tidak merasa salah. Dia tetap merasa benar. "Aku cuma mengatakan yang sebenarnya Ka. Kakak harusnya sadar, kalau si cupu itu nggak sebanding sama kita," ujarnya dengan nada penuh arogansi. "Dia nggak pantas Kakak bela, dia nggak pantas sekolah dan berteman sama kita. Kenyataannya begitu kan!"
"Cukup Clara!" Langit lagi-lagi membentak. "Kamu merasa paling kaya tapi sikap kam nggak lebih rendah dari mereka yang kamu anggap rendah," sentak Langit, membuka buku-buku jari Clara mengepal.
"Aku justru lebih baik berteman sama dia yang kamu anggap rendahan tapi masih punya hati daripada sama kamu yang ngerasa tinggi tapi nggak punya hati," ucap telak Langit membungkam mulut Clara sebelum ia menarik tangan Letta untuk ikut bersamanya.
"Ayo!" Langit membawa Letta menjauhi kantin, meninggalkan Clara yang sudah berapi-api.
"Awas lo ya cupu."
🌿🌿🌿
To be continue ...
Kamis, 19 juli 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top