47

Annyeong yorobuuun, aku akhirnya update lagi, nih. Hehe

Pada nungguin nggak?

.

.

.

Kalo iya, happy reading🌹

.

.

.

"Loh, mau kemana kamu, Danish?"

"Mau ke rumah cewek incaranku, Pa."

"Cewek incaran mana lagi? Bukannya kamu sama Iren, ya?" tanya Hendry dengan ekspresi terkejut mengetahui putra sulungnya itu punya incaran wanita lagi.

Tian yang ikut sarapan bersama papa dan mamanya itu kemudian tertawa kecil lalu mengunyah roti yang ada di dalam mulutnya dengan cepat. "Mana tahan sih Pa kak Danish punya satu cewek?"

"Diem kamu," ucap Danis cepat.

"Kamu sarapan dulu, Danish. Dan ... ini masih terlalu pagi buat ngapelin anak orang." Mama Danish ikut angkat bicara. "Ayo, sini."

"Nanti aja, Ma. Aku buru-buru." Danis segera memakai topinya lalu pamit pada kedua orang tuanya.

"Dasar anak itu," gumam Hendry.

Tingkah laku anaknya itu ternyata belum juga berubah. Tapi karena kebiasaan, orang-orang yang ada di rumah jadi tidak mempermasalahkannya lagi. Asal, Danish tidak membuat keributan atau masalah yang bisa mencoreng nama baik keluarganya.

"Mirip banget sama kamu, Mas. Semoga dia bisa mendapat wanita sabar kayak aku," celetuk Arin yang langsung dihadiahi dengan cekikikan oleh Tian.

***

Sesampainya di depan rumah kecil milik Aika, Danish memarkirkan motornya. Dia lalu memperhatikan rumah itu yang entah mengapa terlihat tidak ada aktifitas yang berarti.

"Apa Aika lagi nggak ada di rumah, ya?" gumam Danish pada dirinya sendiri. Maka, untuk memastikannya, Danish memberanikan diri untuk masuk ke pekarangan rumah Aika seraya memperhatikan sekelilingnya. "Pada ke mana, sih?"

Saat tengah serius mencari keberadaan Aika, tiba-tiba ada suara ayam yang berasal dari belakang Danish. Danish yang kaget lantas menoleh dan menemukan Aika yang sedang berlari mencoba mengejar ayam itu. Dan karena ayam itu terbang ke arahnya, Danish refleks menunduk karena takut kena cakar oleh ayam itu.

"Huhft. Kebetulan sekali. Kamu bantuin aku tangkap ayam itu. Cepat," ujar Aika lalu melanjutkan proses menangkap ayamnya.

Danish yang bingung harus bagaimana tentu saja langsung mengejar Aika. "Kamu nyuruh aku bantuin kamu nangkep ayam?"

"Ya. Kenapa? Kamu nggak berani?"

Mendengar kata berani disebut-sebut, ego Danish tentu tersentil. Meski belum pernah sekalipun di dalam hidupnya menangkap ayam, Danish tetap mencoba mengejar ayam itu. Sesekali dia bahkan merutuki ayam yang hampir saja ditangkap tetapi kembali berhasil lepas dari jangkauannya.

"Sial. Ayolah ayam. Jangan bikin pamorku jatuh di hadapan Aika. C'mon, c'mon. Nanti aku kasi cokelat," ucap Danish seraya merentangkan kedua tangannya di hadapan ayam yang bingung mau lari kemana lagi karena sudah dikepung oleh Aika dan juga Danish.

Aika yang tadinya serius langsung tertawa kecil mendengar ucapan Danish. "Mana ada ayam dikasi cokelat," ujar Aika mendekati ayam itu secara perlahan.

"Ya kan namanya juga usaha, Ai." Mendengar Danish memanggilnya dengan sebutan Ai, Aika melirik sebentar lalu dengan segera menghilangkan senyuman yang tadi menghias bibirnya. "Kenapa tiba-tiba murung kayak gitu? Kamu iri sama ayamnya karena bakal kukasi cokelat?"

"Jangan mengada-ada. Aku punya banyak cokelat di dalam rumah."

"Oh, iya. Benar. Tetapi aku punya cokelat yang paling mahal. Kalo kamu mau, tinggal bilang. Apapun akan aku lakukan buatmu."

Menyadari Danish sedang melancarkan rayuan buayanya, Aika kembali fokus pada ayam yang terlihat akan terbang itu. "Daripada kamu bahas cokelat, mending kamu fokus menangkap ayamnya. Awas saja kalau sampai lepas."

"Jangan gitu, dong. A-aku takut sama ayam, nih."

"TANGKAAAAP."

"Ah, bagaimana cara menangkapnya?"

"TANGKAP. CEPAAAT."

"AIIISHHH. SIAL. KENAPA KAMU MALAH KE ARAHKU AYAM BANGS*T."

***

Danish menyandarkan punggungnya pada dinding rumah Aika. Napasnya tersengal karena kelelahan mengejar ayam yang entah diberi makan apa sehingga bisa berlari dan terbang dengan cepat.

"Aku sepertinya harus rajin ngegym lagi," gumam Danish pada dirinya sendiri.

"Yeay. Udah dapet, nih." Aika mengangkat ayam itu ke udara seolah apa yang baru saja didapatkan adalah trofi paling berharga sedunia. Danish yang melihatnya hanya bisa mengelap keringat di kening seraya tersenyum canggung.

"Sebenarnya kamu ini gadis macam apa, Aika? Menangkap ayam saja bisa sesenang itu," gumam Danish lagi.

Seraya menikmati waktu istirahatnya sambil menatap Aika yang terlihat sangat bahagia mendapatkan ayam yang diincar, tiba-tiba mata sipit namun tajam milik Aika itu melirik ke arahnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Danish terang saja kaget melihatnya dan buru-buru memperbaiki posisi berdirinya.

"Kamu, dilarang mengumpat di sini," ucap Aika cepat.

"Loh, siapa yang mengumpat?"

"Ya kamu. Masa ayam saja diumpatin. Sangat tidak sopan."

Danish menatap Aika sewot. "Sejak kapan kita harus sopan sama ayam?"

"Bukan sama ayamnya Daniiiiiish. Kamu tahu kan di sini ada tiga bocah? Mereka tidak boleh mendengar umpatan seperti itu."

"Ah, iya. Paham, paham." Danish tersenyum canggung, dia lalu menggaruk belakang kepalanya salah tingkah karena ditatap tajam oleh Aika. "Lagian, kenapa menyusahkan diri sendiri sih menangkap ayam segala? Kan bisa beli? Kamu bilang sama aku juga aku beliin masing-masing seporsi untuk kalian. Tidak perlu lah lari-lari kayak begini."

Kening Aika berkerut dalam mendengar ucapan Danish. "Kamu pasti tuan muda manja."

"Apa?"

"Kamu bisa mendengar ucapanku."

"Aku tidak manja, ya. Aku ... cuma memilih jalan termudah."

"Ya, ya. Terserah kamu."

"Lagian zaman sekarang mana ada gadis yang bela-belain mengejar ayam untuk dimakan?"

"Silakan pulang. Terima kasih sudah membantu," ucap Aika setelah berada di pintu rumahnya.

Danish yang mendengar dirinya diusir tentu saja tidak terima. "Siapa bilang aku akan pulang? Kamu harus bayar aku pake masakan kamu itu."

***

Selagi menunggu masakan Aika matang, Danish mencoba melihat-lihat isi rumah Aika yang ternyata sangat sederhana itu. Tentu saja dia melakukan hal itu setelah mendapat izin dari yang punya rumah. Bisa-bisa dia ditendang keluar kalau sampai macam-macam di dalam rumah tanpa seizin Aika.

"Kak Danish, ayo diminum dulu tehnya," ujar Arumi seraya meletakkan secangkir teh di atas meja ruang tamu. Jangmi yang berada di dalam gendongannya sedikit merengek minta diturunkan. Setelah kedua kaki mungilnya menapaki lantai, dia berlari ke arah Danish dan memperhatikan celana jeans yang digunakan Danish.

"Terima kasih," balas Danish kepada Arumi. Dia lalu menatap Jangmi yang mulai berani menyentuh robekan celana di lututnya.

"Lobek," ucap Jangmi menunjuk celana Danish.

"Ah, robek?" Jangmi mengangguk serius. Mata sipitnya menatap ke arah Danish, dan itu sangat menggemaskan menurut Danish. "Ini tidak robek."

Danish mengangkat tubuh kecil anak berusia dua tahun itu dan menggendongnya.

"Saya permisi, Kak. Mau ke dapur dulu. Jangmi...."

"Jangmi sama aku saja."

Arumi kemudian meninggalkan keduanya dan kembali ke dapur untuk membantu Aika.

***

Sekitar lima belas menit kemudian, Arumi kembali menemui Danish yang terlihat bermain bersama Jangmi di pekarangan rumah. Tawa riang Jangmi sukses membuat Arumi terkesima. Pasalnya, selama mengalami demam, dia benar-benar rewel dan hanya bisa menangis. Dia tidak menyangka jika bersama Danish, Jangmi akan sebahagia itu.

"Kak Danish, ayo makan dulu," panggil Arumi.

"Oh, iya."

Kembali menggendong Jangmi, Danish masuk ke dalam rumah bersama Arumi yang berjalan di depannya. Saat melihat meja makan yang sudah terisi dengan ayam goreng dan juga telur dadar gulung, perut Danish langsung minta diisi dengan segera. Memang, makanan itu terlihat sudah sangat biasa dan tidak semewah makanan yang ada di rumahnya, tetapi ... entah mengapa kali ini terasa berbeda. Mencium wanginya pun sudah membuat saliva Danish hampir menetes.

"Ayo, makan. Atau ... kamu nggak makan ayam?" tanya Aika saat melihat Danish hanya menatap masakannya tanpa berniat untuk menyentuh.

"Hah? Tentu saja aku makan ayam."

"Berani makan tapi nggak berani nangkep?"

"Itu hal yang berbeda. Dan ... please jangan bahas itu lagi," pinta Danish. Setelah menyerahkan Jangmi pada Arumi, Danish duduk berseberangan dengan Aika. Sementara Arumi duduk berhadapan dengan Delion. Menyadari kehadiran Delion di ruang makan itu, Danish kembali angkat bicara. "Kamu kemana saja, Yon? Kenapa tidak bantu Aika menangkap Ayam?"

"Oh, saya lagi sibuk di dapur, Kak."

"Hah? Ngapain?"

"Ya nyiapin bahan untuk dimasak."

"Bukannya itu tugas ... perempuan?"

"Di rumah ini, kesetaraan gender berlaku," timpal Aika cepat.

Danish tentu saja berdecak kagum. Di saat banyak wanita dan lelaki yang enggan mengerjakan pekerjaan yang katanya untuk lawan jenis, di rumah kecil ini peraturan yang entah siapa yang buat itu justru tidak berlaku. Semua boleh dilakukan untuk saling membantu.

Dan ... aku tidak menyesal bertemu dengan kamu ... Aika.

***

Jiaaakh! Diminta bantuin nangkep ayam malah nggak mau, giliran disuruh makan, perutnya langsung demo minta diisi😂😅🤣

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top