# 8 The Confession

Mana yang lebih sulit, menjawab soal dengan banyak pilihan jawaban meski kita tidak pernah mempelajarinya, atau menjawab soal dengan dua pilihan jawaban yang terlihat benar?

Keduanya memang sulit, tapi menurut Kim Ha berhadapan dengan persentase jawaban benar 50:50 lebih menyengsarakan. Kamu akan lebih menyesal bila memilih jawaban yang salah.

Sama seperti itu, sekarang dia sedang diperhadapkan dengan dua pilihan.

Pilihan 1 : Ha Min menyukainya.

Pembelaan : Sering kali dia bersikap manis, seperti mengajaknya "kencan" (ep 3), atau kemarin dia menanyakan "Kamu menganggap Joo Ha sebagai apa?" (lihat episode 7). Bukannya itu bukti kalau dia cemburu?

Pilihan 2 : Ha Min tidak menyukainya.

Pembelaan : Dia selalu bersikap manis pada semua orang, contohnya mengantar cewek ke terminal bus saat larut malam (lihat ep 1)

Lagi-lagi Kim Ha menghela napas panjang lalu mengurut pelipisnya. Sejak kemarin kepalanya berputar pada dua jawaban itu. Kenapa juga dia tidak berhenti memikirkannya?

"Panas sekali."

Gerutuan Bo Ram menyadarkan Kim Ha dari lamunan. Gadis dengan rambut kuncir kuda itu, menghempaskan tubuhnya duduk di samping Kim Ha sambil mengibas-ngibaskan lingkar leher baju olahraganya.

"Kamu kenapa? Kecapekan habis lari?" tanya Bo Ram seraya mengambil kipas plastik yang ia letakkan di atas tangga.

"Iya. Minumku bahkan sudah hampir habis." Dia mengangkat botol air minumnya yang tinggal seperempat.

Pada pelajaran olahraga hari ini mereka disuruh lomba lari keliling lapangan basket. Wanita sebanyak tiga kali dan laki-laki sebanyak empat kali putaran. Gara-gara itu, selesai mengitari lapangan, para wanita langsung terduduk lemas di tangga depan lapangan basket. Ajaibnya para cowok-cowok masih punya tenaga untuk bermain bola basket selesai lari keliling lapangan.

Kim Ha memandang sekumpulan laki-laki yang sedang bermain bola basket lalu mendecak tak percaya. Tadi dia saja sudah hampir mati, dan para cowok-cowok itu sedang bermain bola basket dengan penuh semangat. Mereka robot atau apa sih sebenarnya.

"Chagiyaa!" Bo Ram memanggil pacarnya yang sedang men-dribble bola, tangan lainnya menghalangi musuh yang berjaga di belakangnya. "Kamu pasti bisa menang! Fighting, chagi!" soraknya.

Tiba-tiba Kim Ha teringat sesuatu.

"Bo Ram-a," panggil Kim Ha.

Bo Ram menjawabnya dengan dehaman. 

"Aku punya pertanyaan, tapi ini menyangkut kamu dan Ki Hyun."

"Soal apa? Aku bisa menjawab semua pertanyaan menyangkut kami berdua," katanya lebay.

"Bagaimana kamu tahu Ki Hyun menyukaimu?" Kim Ha memperbaiki perkatannya. "Selain saat dia mengutarakan perasaan, kamu pernah menebak 'mungkin cowok ini menyukaimu'. Kamu pernah berpikir begitu?"

Bo Ram menyentuh-nyentuh dagunya dengan jari telunjuk, dia sedang berpikir. "Mungkin waktu dia membayarkan uang warnetku waktu aku tak punya uang? Tapi itu bukan hal yang manis sih, itu biasa dilakukan pada teman..." Bo Ram berhenti bicara ketika menyadari sesuatu. "Kenapa tiba-tiba menanyakannya? Ada orang yang mengaku padamu?"

"Belum. Dia belum mengatakannya." Kim Ha meremas botol di tangannya dengan gugup. "Kuharap dia mengatakannya," gumamnya.

Bo Ram menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya membelalak terkejut.

"Ini hanya perkiraanku saja," koreksinya untuk menenangkan Bo Ram. Tapi sudah terlambat, Bo Ram sudah terlanjur percaya.

Dia melepaskan mulutnya, matanya berbinar-binar. "Siapa dia? Orang yang kukenal?"

Kim Ha menggeleng terlalu kuat. "Tidak. Dia orang yang tidak kamu kenal." 

Perkataannya masih tidak membuat Bo Ram percaya. Bo Ram menyipitkan mata dengan curiga.

"Aku mengenalnya, kan?" tanyanya, mengangkat sebelah alis sambil tersenyum curiga.

Kim Ha baru saja ingin menyangkal saat namanya tiba-tiba dipanggil seseorang.

"Hana-ya."

Dia menoleh dan melihat Joo Ha sudah berdiri di depannya. Peluh membasahi dahinya, jaket olahraga ia ikat di pinggangnya menyisakan kaos putih di badannya.

"Bisa minta air?" pintanya seraya menjulurkan tangannya.

Kim Ha memberikan botol air di tangannya dan Joo Ha langsung meneguk air itu sampai habis. Dia menyerahkan botol air Kim Ha yang sudah tandas. "Terima kasih."

Kim Ha mengangguk sambil menerima botol itu. Joo Ha mengelap sisa air di bibirnya, matanya menatap Kim Ha lekat-lekat.

"Selesai pulang sekolah, kamu ngapain?"

Kim Ha berpikir sejenak, lalu menjawab, "Tidak ada. Kenapa?"

"Kamu mau menemaniku pergi?"

****

Joo Ha menembak zombie yang berada pada layar, pelurunya mengenai kepalanya dan meledakannya hingga isi-isi otaknya keluar bersamaan dengan cipratan darah. Dia membidik zombie lainnya dan kembali meledakkannya.

Kim Ha bertepuk tangan ketika Joo Ha selesai sampai stage akhir dan mendapat nilai tertinggi pada mesin itu. Joo Ha membungkuk dengan sebelah tangan memegang perut.

"Kamu sudah latihan di sini tiap hari? Kenapa kamu jago sekali?"

"Mungkin ini bakat alami," katanya sombong sambil membingkai wajahnya dengan jari telunjuk dan ibu jari. "Kamu mau main apa?"

Kim Ha memandang sekeliling tempat hiburan, mengamati mesin-mesin yang berderet secara tidak beraturan. Dia menunjuk mesin game arcade. "Yang itu."

Joo Ha melihat mesin game arcade yang ditunjuk. Game arcade dengan teman pertarungan.

"Kamu yakin bisa menang dariku?"

Tempat ini dekat dengan tempat tinggal Joo Ha jadi pada waktu senggang dia sering ke sini. Dia sudah memainkan hampir semua game di sini dan percaya diri dengan kemampuannya.

"Aku ingin mencobanya," jawab Kim Ha yakin.

Berbanding terbalik, Kim Ha tidak pernah memainkan game di tempat ini ataupun game semacam itu di tempat lain. Dia pemula.

"Oke. Tapi aku tidak akan mengalah hanya karena kamu pemula," katanya memperingatkan.

Dan seperti itulah mereka berdua bertanding di Street Fighter. Awal-awal Kim Ha mencoba mengeluarkan tendangan dan jurus-jurusnya, lalu menyerang Joo Ha bertubi-tubi. Joo Ha bisa mengimbanginya.

Tangan mereka berdua bergerak dengan lihai menggerakan karakter dalam game. Kim Ha sampai tidak memperhatikan sudah berapa lama mereka main.

Karakternya terus kekurangan darah ketika Joo Ha menyerang balik dengan gencar.

"Aargghhh!" teriak Kim Ha ketika game selesai. Seperti yang sudah diduga, Joo Ha memenangkan permainan.

Joo Ha tersenyum bangga. "Maaf, aku memenangkan pertandingan."

"Permintaan maaf tidak diterima." Kim Ha meliriknya dengan sebal seraya mengambil tasnya yang ditaruh di bawah kursi dan memeluknya.

"Tapi kamu cukup baik. Kamu yakin baru pertama kali main?"

Kim Ha mengangguk pelan. "Sejauh yang aku tahu sih begitu."

"Kalau kamu terus berlatih, bisa-bisa kamu bisa melampauiku. Kukira otakmu hanya untuk belajar, kamu juga pandai main game." Joo Ha mengacak rambut Kim Ha.

Kim Ha membenarkan rambutnya yang diacak, dia menyelipkan helaian rambut di belakang telinga. "Hanya game-game tertentu."

"Bagaimana kalau kita taruhan, supaya lebih seru!" usul Joo Ha. "Kamu pilih!"

Kim Ha sejenak berpikir, lalu berkata, "Aku pernah main game ini beberapa kali dan kurasa aku mahir melakukannya."

"Game apa?"

Kim Ha menunjuk permainan menangkap boneka yang terkurung pada mesin.

"Taruhan membayar makan malam."

****

Ki Hyun celingak-celinguk lalu masuk ke kamar Ahyun diam-diam. Matanya jelajatan mengelilingi kamar yang didominasi warna merah itu lalu berhenti pada meja belajar adiknya yang bersih.

Dia menyeret jarinya pada deretan buku pelajaran yang disandarkan pada rak kecil yang menempel pada meja. Kemudian membuka laci meja dan mengangkat ponsel dengan cover karakter yang didominasi warna hitam dan pink itu.

Cepat-cepat dia membuka kunci dan menggeser layar ponsel. Ponselnya meminta kata sandi. Tidak mungkin sekarang dia meminta kata sandi pada adiknya, kalau ketahuan entah jadi apa dia.

"Oh iya, ada itu!"

Ki Hyun mengarahkan ponsel ke wajahnya dan berpose senyum.

Kuncinya terbuka. Pada saat itu perasaan hina dan senang bercampur. Dia tidak mau mengakui wajahnya mirip adiknya.

'Ting!'

Bunyi pesan masuk terdengar diikuti dengan pop up pada bagian atas layar.

Ha Min oppa : kamu dimana? sebentar lagi aku akan sampai di café.

Dia menutup mulutnya tidak percaya, lalu mengumpat. "Dasar brengsek, gak ada otak, sekarang dia mendekati adikku?"

"Hei!!!!"

Suara teriakan disertai hentakan kaki terdengar dari belakangnya. Ki Hyun menoleh dan melihat adiknya berjalan mendekat dengan wajah merah padam.

Ki Hyun menunjukkan ponselnya pada Ah Hyun. "Jelaskan apa ini! Kamu sedang dekat dengannya? Kamu sudah gila?"

Ah Hyun merampas ponselnya. "Jangan menyentuh barangku sembarangan, dasar pencuri!"

"Apa? Kamu mengataiku pencuri? Kamu benar-benar mengucapkannya?" bentak Ki Hyun.

"Iya, kamu pencuri dan penguntit! Kamu yang terburuk dari yang terburuk!"

"Oke, terserah kamu mengataiku apa, tapi jelaskan apa hubunganmu dengan Min!"

Ah Hyun mengerutkan dahi dan menatap Ki Hyun dari bawah ke atas. "Kamu siapa sampai aku harus memberitahumu?" Dia mendorong Ki Hyun keluar dengan paksa walau agak sulit karena cowok itu mencoba bertahan dengan kakinya. "Keluar dari kamarku. Aku tidak mau melihatmu lagi!"

Ah Hyun akhirnya berhasil menendang kakaknya keluar dan mengunci pintu kamar.

Ki Hyun mengetok-ngetok pintu. "Hei! Aku kakakmu aku berhak tahu soal ini!"

"Pergi dari kamarku!" teriak Ah Hyun dari dalam kamar.

Ki Hyun memberengut. Ia mengangkat tangannya untuk memukul, membayangkan gadis itu adalah pintu kemudian menghela napas panjang sambil menurunkan tangannya.

Sepertinya firasatnya betul. Kedua orang itu ada sesuatu, tapi dia tidak tahu apa.

Dia mengangkat jari telunjuknya ketika mendapat ide. Ia mengambil ponselnya dan mengetikkan sesuatu.

****

Kim Ha mengamati kawasan pertokoan yang sibuk, tangannya memeluk boneka kelinci putih berbulu lebat yang memakai baju terusan polkadot. Senyuman puas terukir di wajahnya. Ia lalu menoleh ke belakang, mengamati cowok berseragam yang baru saja keluar dari restoran tteokbokki.

"Kamu yakin mau ditraktir ini saja? Padahal kita bisa makan di restoran Italy yang baru buka dekat sini," usul Joo Ha sambil mengangkat kantung berisi boneka.

"Aku lebih ingin makan tteokbokki sekarang. Lagi pula buang-buang waktu saja ke sana. Kita pasti harus lama mengantri karena pasti lagi ramai pengunjung."

Joo Ha akhirnya mengalah. Langit sudah gelap sekarang. Tidak aman bagi Kim Ha pulang terlalu malam. Sayangnya, Joo Ha masih belum ingin pulang.

"Oh iya, Min Ji mengajakku ke perpustakaan besok untuk belajar. Kamu mau ikut?"

"Kim Min Ji?" ulang Joo Ha memastikan.

"Hm-m," jawab Kim Ha. "Sejujurnya aku merasa aneh. Kita tidak dekat tapi dia malah mengajakku ke perpustakaan bukan mengajak temannya." Kim Ha mendongak untuk bertatapan dengan Joo Ha. "Kamu tidak merasa aneh?"

"Sedikit. Kurasa dia ingin dekat denganmu karena tahu kamu juara satu." Joo Ha meniru suara Min Ji yang sedikit cempreng. "Aku akan mengalahkanmu ketika kamu lengah, Ha Na!" Dia kembali ke suara semula. "Seperti itu?"

Kim Ha tertawa. "Dia tidak terdengar secempreng itu. Kamu benar-benar keterlaluan," katanya lalu lanjut tertawa.

"Aku tidak keterlaluan Ha Na. Ini suaraku sebenarnya!" tirunya lagi masih dengan suara tikus terjepitnya.

"Bukan, itu lebih terdengar seperti suara Joo Ha," ejeknya lalu menjulurkan lidahnya jahil.

"Aku tidak tahu suaraku seindah itu." Joo Ha memejamkan mata sambil menyentuh dadanya penuh penghayatan. Kim Ha lagi-lagi dibuat tertawa.

Mereka terlalu asyik untuk mengobrol sampai-sampai tidak terasa sudah sampai di terminal bus. Rumah Joo Ha dekat di tengah kota jadi dia hanya menemani Kim Ha di sini.

Hari itu terminal bus kosong penumpang jadi mereka mendapat tempat duduk di kursi terminal. Joo Ha menyerahkan kantung berisi boneka. Kim Ha memandang kepala boneka yang menyembul keluar dari sana. Lagi-lagi dia mengingat kemenangan telaknya dalam tiga kali permainan dia mendapat tiga boneka dan Joo Ha tidak mendapat apapun.

"Kamu boleh memilikinya." Kim Ha memberikan boneka kelinci hitam dengan mata belang putih bentuk hati itu. Joo Ha enggan menerimanya jadi Kim Ha meletakkan boneka itu di pangkuan cowok itu. "Anggap saja ini kenangan untuk hari ini. Tidak usah malu karena aku mendapatkannya untukmu."

"Perkataanmu benar-benar membuatku terluka, Nona."

"Syukurlah kalau begitu, berarti maksudku tersampaikan," balas Kim Ha bercanda.

Dia menyentuh ujung hidung boneka itu. "Dia mirip denganmu." Dia menunjuk Joo Ha. "Kalian berdua sama-sama memiliki rambut hitam. Kurasa kamu harus memanggilnya dongsaeng."

"Jadi dia harus memanggilmu noona?" Joo Ha mengikuti alur Kim Ha.

"Bisa jadi."

"Jadi kamu akan memanggilku oppa?"

"Tida-" Kim Ha mengangkat wajahnya dan bertatapan dengan Joo Ha. Mata mereka sejajar, membuat dia dapat melihat warna mata Joo Ha yang hitam pekat. Mereka terlalu dekat, jadi dia menggeser untuk memberi jarak antara mereka.

"Kenapa aku harus memanggilmu opp-" Perkataannya lagi-lagi terhenti ketika merasakan sentuhan lembut di pipinya. Seperti sentuhan kulit namun lebih lembut dan kenyal. Joo Ha mengecup pipinya.

Kim Ha lantas bangkit berdiri karena terkejut, lalu menatap cowok itu dengan heran. Tangannya memegang bekas kecupan di pipinya yang masih menghangat.

"Aku menyukaimu."

Belum cukup kejutan tadi, Joo Ha mengatakan kalimat yang lebih mengejutkan. Kim Ha mematung. Kejadian ini seperti tidak nyata. Dia tahu kalau dia tidak sedang bermimpi saat melihat Joo Ha masih duduk di hadapannya, menatapnya dengan hangat, dengan telinga memerah mungkin akibat malu.

"Mungkin ini sulit dipercaya karena kita berdua baru dekat beberapa bulan, tapi aku yakin dengan perasaanku," katanya meyakinkan.

Kim Ha tidak bisa berkata-kata. Otaknya masih memproses semua ini.

"Joo Ha, ya," panggil Kim Ha ketika dia berhasil menenangkan diri.

Pada saat itu, bus dengan nomor 101 singgah di terminal itu.

"Aku hanya ingin mengatakannya saja padamu. Jangan terlalu terbebani, oke?" Dia menunjuk bus dengan dagunya. "Sana masuk ke bus nanti kamu tertinggal."

Kim Ha mengangguk dengan ragu, lalu masuk ke dalam bus. Dia memilih tempat duduk dekat jendela, lalu melambaikan tangan pada cowok itu lewat kaca jendela. Bus kemudian melaju pergi dari sana. Sosok Joo Ha yang sedang berdiri di terminal masih terlihat lewat kaca mobil belakang, kemudian menghilang begitu bus berbelok di perempatan.

Dia menghela napas panjang. Matanya turun pada boneka dipelukannya, kemudian menarik sudut bibir mengingat sepanjang hari ia habisi dengan cowok itu. Sungguh seperti mimpi. Melewati sepanjang hari dengan cowok secakep Joo Ha dan diakhiri dengan pernyataan cinta. Kalau saja dia tidak menaruh hati pada orang lain, dia mungkin akan menerimanya.

"Itu boneka dikasih sama pacarnya ya, unnie?" celetuk seseorang.

Kim Ha mendongak pada sumber suara dan terkejut melihat sosok wanita berambut panjang hitam dengan poni yang menutupi dahi sedang berdiri di samping barisan kursinya, tangannya memegang pegangan besi. Dia masih ingat wajah manis gadis itu di terminal tempo hari bersama Ha Min.

Gadis itu duduk di sampingnya lalu membelai puncak kepala bonekanya.

"Lucunya... kamu benar-benar wanita beruntung. Punya pacar yang perhatian seperti itu."

Kim Ha berusaha bersikap tenang, dia menjawab. "Dia bukan pacarku."

Dia dapat merasakan aura ramah dari wanita itu berubah menjadi lebih gelap. Dia melihat senyuman sinis di wajah gadis itu.

"Kalau begitu kenapa kamu menggodanya seperti itu?" Dia menurunkan pandangan melihat papan nama di seragam Kim Ha. "Kim Ha unnie."

Dia bersedekap, tatapannya seperti sedang menilai Kim Ha. "Tidak cukup dengan Ha Min oppa, unnie juga ingin menggoda pria lain? Unnie benar-benar keterlaluan."

"Aku tidak menggoda mereka."

"Kelihatan seperti itu di mataku," jawabnya menantang. "Unnie mendekati mereka berdua dan kencan, tapi tidak menyukai mereka berdua. Bukannya itu berarti menggoda?"

Kim Ha mendengus tak percaya. Dia balik menatap dengan berani. "Maaf, tapi aku tidak butuh pendapatmu. Aku juga tidak mengenalmu jadi lebih baik simpan pendapatmu untuk dirimu sendiri."

"Oke. Aku memang tidak sopan mengatakan ini pada unnie. Tapi sikap unnie benar-benar membuatku kesal. Kalau unnie menyukai salah satu dari mereka katakan saja jangan menggantung keduanya seperti ini!"

Bus berhenti di terminal berikutnya. Beberapa orang dari terminal masuk ke dalam bus.

Gadis itu memberikan tatapan permusuhan sebelum turun dari bus. Dia masih melihat Kim Ha dengan tatapan kesal dari kaca jendela sampai bus pergi dari terminal itu.

Kim Ha melalui perjalanan ke rumahnya hari itu dengan perasaan tak nyaman. Ia tahu pasti perasaan tak nyaman itu bukan karena rasa bersalah telah membentak gadis tadi.

Perasaan tidak nyaman ini dirasakannya karena tahu kalau perkataan gadis itu benar.

****

"Kamu memanggilku ke rumahmu untuk melipat baju?"

Ki Hyun mengerling padanya sebelum kembali fokus melipat baju bersih. Pacarnya menggeleng tidak percaya. Dia sudah cantik-cantik datang ke rumah Ki Hyun mengharap malam yang romantis, tapi yang ia dapat malah jadi pembantu.

"Aku mau kencan di luar!" Dia mengibas kaos yang belum terlipat di depan wajah pacarnya.

"Aku akan mengajakmu kencan kalau sudah terima uang jajan. Lima hari lagi, oke?"

Bo Ram mendesah panjang lalu mengangguk dengan berat hati. Lima hari lagi dia harus bertahan di rumah. Kim Ha Na saja yang single diajak kencan sama Joo Ha. Hidupnya betul-betul miris.

Dia menepuk kaki Ki Hyun heboh. "Kamu sadar nggak ada sesuatu antara kedua orang itu?"

Ki Hyun mengernyitkan dahi. "Siapa?"

"Orang yang mungkin kamu pikirkan, yang terlihat dekat akhir-akhir ini."

Ki Hyun menelan ludah, kini berbisik, "Kamu juga sadar kalau mereka dekat?"

Bo Ram mengangguk. "Aku bahkan yakin mereka sudah pacaran."

"Apa? Mereka tidak mungkin pacaran." Ki Hyun tidak bisa membayangkan kalau Ha Min pacaran dengan adiknya. Itu benar-benar yang terburuk dari yang terburuk.

"Kenapa kamu berkata begitu? Mereka terlihat cocok di mataku."

'Brak!'

Suara pintu yang dibanting keras terdengar diikuti dengan suara hentakan kaki dari si pemilik. Gadis beransel merah muncul dari lorong pintu rumah.

"Sudah kubilang jangan membanting pintu! Nanti kita diprotes sama tetangga apartemen lagi," omel Ki Hyun pada gadis beransel merah yang lewat di ruang tamu.

Gadis itu berjalan dengan wajah tertunduk. Dia tidak menghiraukan Ki Hyun dan berjalan menuju kamarnya.

"Hei, kakakmu sedang bicara!" seru Ki Hyun ketika gadis itu mengabaikannya.

"Iya, aku tahu kamu sedang bicara, terus kenapa?" balas gadis itu dengan suara keras.

Dia menoleh. Terlihat matanya basah oleh air mata. Garis samar ada di pipinya yang turun sampai ke dagu, bekas air mata mungkin.

"Kamu menangis? Kamu kelihatan seperti habis ditolak," kata Ki Hyun kemudian terkekeh. Bo Ram memukul perutnya agar cowok itu berhenti. Ki Hyun meringis.

"Iya, aku memang habis ditolak. Kamu senang?"

Ah Hyun menangkupkan wajahnya pada tangan dan kembali tersedu. Dia masuk ke kamarnya, lalu membanting pintu kamar.

"Kalau orang lain melihatnya dia akan mengira orang tuanya meninggal. Benar-benar anak zaman sekarang," renungnya sambil mendecak tak percaya. Lalu kembali melipat baju.

"Dia adikmu?" tanya Bo Ram, akhirnya menyuarakan pertanyaan yang sejak tadi ada di pikirannya. "Dia pernah bertengkar denganku waktu di kantin." Bo Ram melirik pintu kamar Ah Hyun dengan khawatir. Walau dia pernah benci padanya tapi melihatnya sesedih itu tentu membuat iba.

"Kamu tidak menghiburnya?"

Bo Ram dapat mendengar suara tangisan dengan jelas. Perasaannya jadi tidak enak.

"Nanti dia bakal tertidur kalau sudah capek menangis. Dia akan baik-baik saja," kata Ki Hyun tak peduli. 

****

Ryu Joo Ha - Kim Ha Na - Ha Min

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top