# 5 Everybody Has A Dream

Setiap orang punya mimpi, dan hanya sebagian yang hidup dalam mimpi mereka.

****

Seseorang mengetok pintu kamar Ha Min saat dia sedang belajar. Seseorang yang mengetuk tadi masuk ke dalam kamarnya. Dia membawa nampan berisi sepiring potongan apel. Dia meletakkannya di sisi meja belajar yang kosong. Dia mengamati anak semata wayangnya yang sedang menulis sesuatu pada bukunya.

"Hasil ujianmu yang sebelumnya kurang baik."

Kata-katanya membuat tangan Ha Min berhenti menulis, walau begitu pandangannya masih tetap terarah pada buku. "Aku akan mengerjakan ujian berikutnya dengan baik."

Ibunya tersenyum miring. "Peringkat 20? Huh, yang benar saja. Kakakmu bahkan bisa mendapat nilai lebih baik jika pindah jurusan sepertimu."

Peringkat ujian tengah semester sudah keluar. Laporan nilai siswa juga sudah disebarkan kepada orang tua siswa. Tanpa melihatnya, dia sudah tahu peringkatnya akan turun. Dia kewalahan saat mengerjakan ujian. Dia tidak bisa mengatur waktunya dan akhirnya mengisi asal sebagian jawaban yang belum dikerjakan pada menit-menit terakhir.

Memang mustahil bagi jurusan Liberal Arts pindah ke jurusan Sains.

Ibunya bersedekap. "Kalau saja kamu mengikuti nasihat kakakmu untuk masuk jurusan sains sejak awal pasti semuanya tidak akan jadi begini."

Ha Min terdiam. Tangannya bergerak kembali menulis.

Ibunya lalu mendesah keras-keras. "Aigoo.., coba saja kamu sedikit seperti Min Joon." Ibunya menggelengkan kepala.

Tangan Ha Min kembali berhenti, dia mencengkeram erat pulpennya.

"Belajarlah rajin. Usahakan nilaimu tidak turun lagi."

Ibunya keluar dari kamar.

****

Bu guru Ji Hye membenarkan letak kacamatanya, lalu memegang ujung buku bersampul biru. Dia mengangkat kepala ketika telah selesai merangkum apa yang dibacanya tadi di otaknya.

"Nilai-nilaimu bagus dan meningkat sejak kelas satu. Kamu jadi ketua kelas tahun ini, itu jadi poin lebih untukmu. Dan kampus yang kamu inginkan..."

"So Yeon university," timpal Kim Ha. Dia mengelap tangannya yang basah oleh keringat dingin pada roknya, lalu memegang lutut dengan gugup.

"Ya, So Yeon university." Bu Ji Hye menutup buku ber-hard cover logo 'SY' besar, singkatan dari So Yeon, untuk SMA So Yeon. Lalu menatap salah satu murid unggulan sekolah ini, Kim Ha Na. Kedua tangannya saling memegang di atas meja, mengaitkan jari-jari panjangnya, lalu dia berkata, "Untuk nilai-nilaimu Ibu yakin kamu bisa masuk dengan mulus. Kamu sudah memilih jurusan yang ingin kamu masuki?"

"Belum." Kim Ha mengatakannya dengan nada bersalah.

"Benarkah? Kamu, punya sesuatu yang membuatmu tertarik, atau hobi?"

Kim Ha masih terdiam. Dia melumat bibir bawahnya dengan gugup.

"Itu tidak boleh terjadi. Kamu harus punya jurusan yang ingin kamu tuju sekarang supaya Ibu bisa membantumu masuk ke sana." Bu Ji Hye menurunkan tangannya, kini menundukkan kepala mencoba mensejajarkan matanya dengan milik Kim Ha. "Terutama untuk mendapatkan beasiswa."

"Maaf, bu."

Dia sudah berada di tingkat akhir dari SMA dan sudah seharusnya dia memikirkan apa yang akan dia lakukan setelah SMA. Awalnya dia berpikir mungkin dengan menunggu sambil belajar dia pasti akan menemukan cita-citanya. Tapi kehidupan ini adalah realita, bukan film. Cita-cita itu tidak datang dengan sendirinya.

"Ibu tidak bisa memberikan nasihat banyak kalau seperti ini. Tapi menurut Ibu kamu perlu mengunjungi kampus ini, siapa tahu dengan begitu kamu bisa mendapat pencerahan."

Kim Ha mengangguk, lalu bangkit berdiri. "Makasih, Bu."

Dia keluar dari ruang konsultasi dan memanggil orang berikutnya. Seseorang setelahnya masuk ke dalam ruangan. Dia menghampiri Joo Ha yang bersandar di tembok depan pintu ruang konsultasi, sedang menunggu namanya dipanggil.

"Bagaimana dengan konsultasinya? Berjalan lancar?" tanya Joo Ha.

"Tidak, aku belum menemukan jurusan yang kuinginkan," katanya cemberut.

Mungkin dia harus mencoba mengunjungi kampus seperti yang dikatakan Ibu, mungkin saja dia mendapatkan ilham akan apa yang ingin dia lakukan. Mungkin dia bisa mengajak Bo Ram atau Do Ha datang bersama...oh iya, Bo Ram dan Do Ha ada janji hari Sabtu nanti, mereka mengatakannya via chat saat Kim Ha menanyakan rencana malam minggu mereka.

Kalau Ha Min?

"Kalau begitu kenapa kamu berpura-pura peduli? Kamu mengasihaniku?"

(cuplikan Eps 4)

Siapapun selain Ha Min. Hubungan mereka sedang kurang baik sejak pertengkaran seminggu lalu. Siapa yang tidak punya jadwal Hari Sabtu dan bersedia menemaninya, ya...

"Joo Ha!" panggil Kim Ha dengan suara riang. "Hari Sabtu nanti kamu ada waktu?"

****

Booth-booth yang di cat warna warni berjejer di sepanjang jalan menuju gedung perkuliahan. Banner bertebaran di depan booth, balon-balon warna-warni yang dililit di tiang booth, dan stand makanan dan minuman yang terselip di antara booth ekstrakulikuler. Melihat semuanya ini Kim Ha merasa seperti berada di dunia lain.

Kim Ha menerima flyer yang dibagikan seorang mahasiswa, dengan paduan cetakan tulisan warna-warni yang membuat kesan norak. Kim Ha sedang membaca flyer dari mahasiswa klub music-ditebaknya dari flyer yang ia berikan-yang penuh dengan kalimat persuasif itu, ketika Joo Ha berkata, "Menyenangkan, ya?"

Kim Ha mengangguk. "Dari mana kamu tahu hari ini akan ada eskul fair?"

Sebelumnya, Kim Ha mengajak Joo Ha untuk mengunjungi universitas So Yeon pada hari Sabtu. Dia tidak mengharap banyak. Mungkin dia bisa menyelinap masuk dan melihat-lihat ruang kuliah, pikirnya. Tapi Joo Ha menyarankan untuk pergi pada Hari Minggu siang dan ternyata eskul fair baru saja diadakan pada hari ini.

"Dari temanku yang kuliah di sini," jawab Joo Ha. Mereka berjalan agak berdempetan karena padatnya mahasiswa yang sedang mengikuti eskul fair.

"Kamu punya teman mahasiswa?"

Joo Ha mengangguk. "Dia di tahun kedua, jurusan administrasi bisnis. Kurasa aku bisa mengenalkannya padamu kalau kamu memilih jurusan itu."

Kim Ha mengangguk-angguk. Matanya sibuk memandang sekitar. Universitas ini punya klub beragam. Mulai dari klub debat, klub olahraga, klub pencinta alam, klub musik, klub sulap, dan masih banyak lagi. Andai saja dia sekarang sudah jadi mahasiswa dan berjalan-jalan seperti sekarang ini untuk memilih eskul yang ingin dimasuki, pasti terasa lebih menyenangkan.

"Kamu cantik hari ini," komentar Joo Ha tiba-tiba.

Hari ini dia mengenakan terusan dengan motif bergaris biru yang dipadukan cardigan biru berwarna langit. Dia juga menggunakan make up tipis hari ini dan memoles bibirnya menjadi warna merah-oranye.

"Kamu juga cantik," puji Kim Ha, membuat cowok berkaus panjang hitam itu tersenyum.

"Kenapa? Kamu keberatan dibilang cantik?"

"Tidak, aku suka," kata Joo Ha masih mengembangkan senyuman.

Dari kejauhan dia bisa melihat banyak orang mengumpul, dekat tangga menuju gedung universitas dan memusat pada suatu band.

Kim Ha menarik tangan Joo Ha. "Ayo ke sana."

Mereka duduk di tangga yang berada di depan band yang sedang tampil. Mereka mengikuti kerumunan itu, bertepuk tangan mengiringi musik yang mengalun. Menikmati suara penyanyi yang terasa menyegarkan juga menenangkan.

"Suaranya bagus, ya?" Kim Ha berbisik pada Joo Ha.

"Benar." Joo Ha menyetujui.

Mereka kembali menikmati alunan music. Kini band itu menyanyikan lagu berikutnya yang kental dengan aliran music indie.

"Kamu lebih suka music pop atau indie?" Joo Ha bertanya.

"Indie" Mereka menjawab bersamaan. Lalu tertawa setelahnya.

"Kamu lebih suka musim panas atau musim dingin?" Joo Ha menghitung dengan jari. "Satu, dua, tiga."

"Musim dingin." Lagi-lagi mereka menjawab bersamaan lalu tertawa.

"Kamu, kenapa suka musim dingin?" tanya Kim Ha setelah selesai tertawa.

"Karena banyak makanan enak, lebih banyak liburan, dan salju?" Kim Ha mengangguk menyetujui. "Kamu? Kenapa tidak suka musim panas?"

"Aku tidak suka berkeringat," jawab Kim Ha pendek. Cowok itu menyengir.

Sebelumnya dia pikir, ide jalan berdua ini bukan ide yang baik. Bisa jadi tidak semenyenangkan rame-rame atau malah tidak ada yang dibicarakan sepanjang jalan. Tapi ternyata cukup menyenangkan. Dia jadi bisa mengetahui sisi lain dari Joo Ha.

"Joo Ha," panggil Kim Ha. "Kamu bilang kamu ingin belajar desain industri?"

"Hm." Joo Ha menjawab.

"Kenapa kamu memutuskan untuk mengambil itu?"

Manik mata Joo Ha bergerak ke kanan atas, dia sedang berpikir. Dia menatapku ketika menemukan jawaban. "Karena aku suka menggambar. Kenapa?"

"Semua orang sudah menemukan apa yang mereka sukai dan ingin jadi apa, sedangkan aku tidak punya keahlian khusus atau sesuatu yang kusukai," ujarnya dengan nada sedih.

"Kalau sekarang? Menyenangkan?"

Kim Ha mengangguk. "Sekarang menyenangkan."

Mereka kembali menikmati musik yang mengalun. Sesekali ikut bertepuk tangan. Tiba-tiba dia merasakan seseorang menyentuh bahunya.

Seorang wanita yang ia tebak sebagai mahasiswa sana, memperkenalkan diri. "Hai, kami dari klub broadcasting universitas So Yeon. Bisa minta waktunya sebentar untuk wawancara?"

Kim Ha melirik Joo Ha. Joo Ha mengangguk. Awalnya dia ragu namun akhirnya bangkit berdiri dan mengikuti kakak wanita yang tadi memanggilnya. Kakak wanita itu menjelaskan kalau mereka ingin menuliskan berita tentang eskul fair dan mereka membutuhkan interview dengan mahasiswa yang datang sebagai bahan berita mereka.

Sang pemuda yang berdiri memegang kamera menyorot mereka. Kim Ha berdiri di samping kakak perempuan yang bersiap mewawancarainya.

Sang kameramen memberi aba-aba. "1, 2, 3. Mulai."

"Selamat siang, saya Park Ji Ho dari SYBC. Sekarang saya ingin mewawancarai salah satu mahasiswa yang mengikuti eskul fair ini. Bisa perkenalkan dirimu?" Dia menyodorkan mic pada Kim Ha.

"Nama saya Kim Ha Na."

"Anda berasal dari jurusan dan angkatan tahun berapa?"

"Jurusan, mass communication, angkatan tahun 2019," bohongnya.

"Mass communication?" ulang Park Ji Ho.

"Iya."

"Dan di sebelahnya?" Dia menyodorkan mic kepada Joo Ha.

"Nama saya Ryu Joo Ha. Jurusan desain industri. 2019."

"Wah..., kalian berdua mahasiswa baru rupanya," sambutnya dengan nada ramah. "Kalian sudah mengunjungi klub apa?"

"Kami sudah mengunjungi klub sulap, klub musik, dan tadi kami menonton street busking," jawab Kim Ha lancar.

"Jadi kamu tertarik masuk klub apa?"

Kim Ha sejenak berpikir. "Aku belum memutuskan."

Park Ji Ho mengangguk mengerti. "Apa momen yang paling kamu ingat dari eskul fair ini?"

Kim Ha terhenyak. Tidak ada klub yang membuatnya tertarik, kecuali...

"Sekarang. Wawancara ini," jawabnya yakin.

"Sekian wawancara langsung dari eskul fair. Nama saya Park Ji Ho, dan sampai jumpa." Park Ji Ho mengakhiri wawancara ini masih dengan intonasi yang jelas dan lugas dalam berbicara.

Mereka saling membungkuk lalu pergi dari sana.

Kita selalu berpikir sesuatu yang spesial akan datang pada waktu yang tepat.

Kim Ha duduk di tangga, sedang menunggu Joo Ha kembali dari toilet.

Kita menunggu waktu itu untuk membuat setiap keputusan penting.

Dia memperhatikan Park Ji Ho dan si kameramen sedang duduk di bangku tak jauh darinya. Mereka sedang mengecek hasil rekaman

Kenyataannya, tidak ada waktu yang tepat.

Kim Ha bangkit dari duduk dan melangkah.

Waktu itu akan datang ketika kamu mulai bertindak.

"Permisi."

Park Ji Ho dan sang cameramen serentak mengangkat kepala mereka dari kamera.

"Apa unnie dan oppa sedang sibuk?"

****

Do Ha mendesah, uap putih mengepul keluar dari mulutnya, dan menghilang. Lampu jalan yang menerangi taman malam itu berkedip-kedip. Mobil yang lalu lalang sudah tidak terlihat lagi. Namun, sepertinya pemilik berwajah dingin yang sedang duduk sendirian di kursi taman itu tidak takut. Hatinya lebih kalut dibanding takut berada di tengah kesunyian malam hari itu.

Dia mengangkat tabung gambar yang berada di pangkuannya, memutar tutupnya, dan mengeluarkan gulungan gambar. Sebuah gambar bunga terdapat di sana. Pikirannya kembali melayang pada peristiwa kemarin.

"Gambar seperti ini," Mentor seni menunjuk satu kertas gambar dari antara belasan gambar, menggunakan tongkat kayu panjang. "Ini lebih mirip gambar kartun. Tidak ada dimensi di sini. Apa ini sudah selesai?"

Do Ha mengangguk. "Ya."

"Bagaimana caramu mengatakan ini sudah selesai? Ini belum selesai." Dia memberitahu dengan nada penuh tekanan. "Kamu tidak sedang mempersiapkan diri untuk kuliah universitas kalau seperti ini."

"Jadi?"

Sang mentor mengerjapkan mata, wajahnya mengatakan dia sebentar lagi mengeluarkan omelan pedas. "Ada peraturan tetap yang berlaku. Kampus mencarimu untuk apa yang dilihat dari dirimu. Kenapa kamu mengabaikan hal itu?" Sang mentor kini menegakkan tongkatnya. "Kalau kamu ingin mengabaikan hal itu menggambarlah sebagai hobi."

Lagi-lagi, ia mendesah. Kepalanya menengadah ke atas, memandang langit malam yang ditaburi bintang.

Ketika kamu mulai bertindak dan mendapati kegagalan di hadapanmu.

Apa yang akan kamu lakukan?

Dia mengambil ponselnya lalu mengetikkan sesuatu. Dia mengirim pesan pada pacarnya, Nam Si Woo.

Do Ha : Lagi apa?

Si Woo: Latihan basket, lusa ada pertandingan basket lagi. Kenapa?

Do Ha mengetikkan 'kamu bisa dat' kemudian menghapusnya lagi, 'kamu sibuk sekali' lalu kembali menghapusnya. Akhirnya dia memutuskan untuk mengetik 'tidak apa-apa. Semoga berhasil'.

Si Woo baru saja kembali dari rehat, dia tidak bisa menganggunya. Si Woo sudah punya beban sebagai pemain basket, dia tidak mungkin merengek memintanya datang ke sini menenangkannya. Bukankah itu namanya egois?

'Ting'

Ponsel di tangannya berdenting. Dia membuka kunci layar dan melihat pop up yang muncul.

Kim Ha Na (Group Chat) : Kalian dimana?

****

Hi guyss, chapter kali ini alur ceritanya agak mirip di web drama terutama pada bagian Kim Ha-Joo Ha pas di eskul fair. Saya menyadari kalau ini bagian penting untuk pengembangan karakter mereka. Mohon maaf kalau ada yang merasa kurang nyaman membaca chapter ini 🙇‍♂️🙇‍♂️

See you on Wednesday!👋

>Next Episode: # 6 The Reason Why We Can't Give Up

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top