# 3 (Accidentaly) Having A Date With My Crush
I Hear them whisper, you won't believe it.
They think we're lovers kept under covers
I just ignore it, but they keep saying
We laugh just a little too loud
We stand a little too close
We stare a little too long
Maybe they're seeing something we don't darlin'
-Something to Talk About by Bonnie Raitt-
****
Kim Ha menggigil ketika keluar dari bus. Angin dingin berhembus, membuat Kim Ha kembali merapatkan mantel yang menutupinya. Sebentar lagi musim semi tiba, tapi udara bulan Maret masih juga belum menghangat.
Ia berjalan dengan tangan dijejalkan ke saku mantel, menyusuri kawasan pertokoan. Langkahnya berhenti di depan sebuah toko buku yang berada di ujung jalan. Ia mendorong pintu berbahan kaca tebal itu dan perlahan merasakan rasa hangat menjalar di tubuhnya.
Seperti yang diharapkan, tak banyak orang di sana. Hanya beberapa siswa berseragam yang sedang memusat di bagian buku persiapan ujian masuk kuliah. Kim Ha langsung bergerak ke bagian alat tulis. Kemarin dia kelupaan membeli isi pensil mekanik dan tak menyadari buku catatannya sudah hampir penuh.
Saat sedang memilih buku, ponsel Kim Ha yang ada di saku mantel tiba-tiba bergetar. Dia mengecek si pengirimnya. Ternyata dari grup chat.
Bo Ram : Siapa yang jadi ikut besok?
Ki Hyun : 🙋♂️🙋♂️🙋♂️🙋♂️🙋♂️
Joo Ha : 🙋♂️
Ki Hyun : 💁♂️🙋♂️💁♂️🙋♂️🙋♂️
Bo Ram : Berhentilah atau aku akan menyita ponselmu sekarang, Ki Hyun.
Ki Hyun : 😭😭😭
Do Ha : Aku ikut. Siwoo juga bisa tapi agak telat karena pertandingan besok.
Bo Ram : Jadi kamu tidak menemani pacarmu, Do Ha? 😏
Ha Min : Maaf tapi aku ada urusan hari itu. Kalau selesai cepat, aku bisa nyusul.
Do Ha mengetikkan sesuatu....
Melihat nama Ha Min di layar ponselnya, ingatan akan kejadian kemarin berputar di kepalanya. Ia yakin cowok yang bertengkar dengan Min kemarin adalah kakaknya, sedang wanita paruh baya itu adalah ibunya. Tapi dia masih tidak mengerti kenapa Ha Min bersikap seperti itu. Dia tidak pernah melihat Ha Min semurka itu. Ha Min bukan tipe anak pencari masalah dan selalu baik pada semua orang. Sebenarnya apa yang sedang dialami laki-laki itu?
Kim Ha menggeleng, memilih tak ingin lagi memikirkan soal itu. Dia mengetik 'ikuttt' sebagai balasan dan memberi emo wanita mengangkat tangan. Dering ponsel terdengar dari rak seberang. Dia mengetik pertanyaan mengenai apa yang harus mereka bawa dan kapan jam kumpulnya pada group chat. Dering ponsel yang beruntun kembali terdengar.
Kebetulan yang aneh.
"Hana-ya?"
Kim Ha menoleh ke arah sumber suara tersebut dan menahan napas. Sebenarnya tanpa harus menoleh pun, Kim Ha tahu siapa pemilik suara berat namun bernada lembut itu. Ha Min. Lelaki bertubuh tinggi itu berjalan mendekati Kim Ha dengan langkah ringan.
"Kupikir bunyi ponsel siapa yang ribut tadi, ternyata milikmu," katanya sambil tersenyum kecil. Matanya berpendar mencari sesuatu. "Kamu datang bersama siapa?"
"Aku sendirian." Hamin kini menatapnya dengan sebelah alis terangkat. Kim Ha mengangkat buku dan isi pensil mekanik. "Cuma ingin membeli ini lalu pergi ke perpustakaan." Ha Min mengangguk. "Kamu?" tanya Kim Ha.
"Aku?" Ha Min tidak langsung menjawab, ia malah menyungging senyuman manis. "Aku menunggumu."
Wajahnya terasa memanas. Dia berusaha untuk tetap bersikap tenang meski jantungnya berdebar dua kali lebih cepat. Dia sudah berkali-kali mendengar Ha Min mengatakan kalimat semacam itu tapi kenapa terasa berbeda?
Kim Ha menjawab dengan nada yang dibuat sesantai mungkin. "Berhentilah bersikap begitu. Nanti orang lain salah paham."
Ha Min terkekeh. Dia mengambil sebuah pensil mekanik berwarna hitam yang berada di pajangan. "Aku sedang mencari ini," katanya.
Dia mengamati Kim Ha sebentar, baru menyadari Kim Ha masih mengenakan seragam dibalik mantelnya. "Kamu baru pulang sekolah?"
Kim Ha mengangguk. "Tadi aku menemani Bo Ram untuk membeli liptint lalu langsung kemari."
Ha Min mengangguk-angguk. "Setelah ini kamu langsung ke perpustakaan?"
"Harusnya sih iya. Aku tidak punya rencana apa-apa. Kenapa?" tanya Kim Ha.
Hari ini sama seperti hari yang lain. Aktivitas yang sama dan rutin. Tak ada perubahan yang cukup berarti.
Namun kuharap hari ini akan berbeda. Aku ingin hari ini tidak berjalan seperti biasa.
Ha Min tersenyum kecil. Senyuman penuh arti.
"Kamu mau nonton?"
****
Terdengar suara tembakan. Lelaki paruh baya yang bersembunyi di bawah meja keluar dari persembunyiannya, ponselnya masih menempel di telinga. Ia bertanya pada si penelepon, "What the hell was that?"
Suara ketukan keras terdengar dari pintu "This is police!" teriaknya dengan logat India, lalu mengetuknya lagi keras.
Kim Ha berhenti memperhatikan layar bioskop yang sedang menampilkan suatu adegan dari film 'Hotel Mumbai'. Dia tidak bisa fokus. Seseorang disebelahnya lebih menarik perhatian.
Tanpa sadar Kim Ha mengamati lelaki di sebelahnya dengan teliti.
Sebelumnya dia tidak sadar tapi sekarang dia menyadari banyak perubahan pada lelaki itu. Rambutnya yang sebelumnya berpotongan pendek sudah mulai panjang, poninya sudah menutupi alisnya yang tebal. Wajahnya juga tampak lebih tirus. Belajar memang baik, mengejar ketinggalan juga harus, tapi seharusnya dia lebih memperhatikan dirinya sendiri.
Tatapannya naik ke atas, mengamati bulu matanya yang panjang. 'Irinya, kuharap aku memiliki bulu mata seperti itu', pikirnya. Tatapannya menjadi turun dari hidungnya yang mancung ke bibir...
"Kalau kamu terus menatapku seperti itu, aku jadi tidak bisa fokus."
Kim Ha segera memalingkan pandangannya. Ia merutuki dirinya dalam hati lalu mengintip reaksi cowok itu. Ha Min sedang menertawainya. Dia meringis. Kenapa dia harus memperhatikannya sejelas itu. Kalau saja ada lubang di sini dia pasti segera melompat dalam lubang itu dan menutupnya rapat-rapat. Dia benar-benar ingin segera menghilang sekarang.
"Aku sedang melamun, bukan menatapmu," jelasnya, berusaha terdengar meyakinkan. Semoga dia cukup meyakinkan.
"Iya, itu terlihat sangat jelas," ejeknya, lalu kembali tertawa.
Kalau saja ruangan bioskop tidak gelap, pasti sekarang wajah Kim Ha sudah kelihatan semerah tomat. Ia memajukan mulutnya dengan cemberut lalu merapat di sisi lain dari kursi. Ia mengusahakan diri berpikir jernih dan mengingat-ingat bagaimana dirinya dulu. Dia tidak ingat bagaimana mereka sebelumnya.
Ia mengintip ke arah Ha Min dan mematung ketika mendapati wajah Ha Min tinggal beberapa senti dari wajahnya. Dia menahan napas.
"Kenapa? Kamu melamun lagi?" bisiknya, masih bergeming. Senyuman kembali tersungging di bibirnya.
Kim Ha menggigit bibir dan memundurkan badannya, sampai bersandar ke sandaran kursi. "Tidak. Aku cuma...," matanya mencari-cari di bawah. Dia mengambil gelas minuman yang ditaruh di dudukan minuman di tangan kursi. "Aku ingin mengambil ini," ucapnya, lalu menyeruput cola.
Dia menatap gelas minuman itu.
"Tapi itu milikku," katanya.
Kim Ha hampir menyemprotkan cola dari mulutnya, ia menelannya paksa. Ia terbatuk-batuk. Setelah merasa reaksi soda dalam tenggorokannya hilang, dia menjawab dengan nada setenang mungkin. "Aku tahu." Dia berdeham. "Tapi aku haus." Dia memiringkan kepalanya. "Kenapa? Kamu tidak mau berbagi denganku?"
Ha Min menggeleng, senyuman masih menghiasi wajahnya. "Tidak, kamu bisa meminumnya."
Ha Min kembali menatap layar, kembali fokus dengan tontonannya. Kim Ha sendiri di tempat duduknya sedang menyeruput cola lalu menggigit ujung sedotan dengan gelisah. Kembali menyesali sikap anehnya. Semoga dia tidak mengacaukan hari ini.
****
Kabar baik hari ini. Dia tidak mengacau.
Selesai menonton, Ha Min mengajaknya ke restoran cepat saji yang berada dekat sana. Dia menikmati makan malam mereka. Walau masih merasa canggung karena kejadian di bioskop tadi, tapi Ha Min sepertinya tidak memedulikannya. Makan malam mereka diisi dengan cerita masa lalu dan kabar masing-masing, juga tawa dan canda. Mereka seperti kembali ke masa setahun lalu, ketika hubungan mereka akrab. Sekarang, dapat dikatakan hubungan mereka kembali akrab.
Hari sudah malam ketika mereka keluar dari restoran. Sudah waktunya untuk pulang tapi entah kenapa dia merasa belum ingin. Dia masih belum ingin mengakhiri malam ini. Ha Min sepertinya berpikiran sama karena dia belum mengatakan apapun setelah mereka keluar restoran.
Mereka sedang berjalan dalam keheningan di trotoar jalan, saling bersisian. Udara malam terasa dingin, meskipun begitu masih banyak orang yang berkeliaran di jalanan ini untuk menghabiskan malam minggu mereka. Ha Min menjadi yang pertama memecah keheningan.
"Apa yang kamu lakukan setelah ini? Pergi ke perpustakaan?"
Kim Ha berpikir sejenak. "Tidak, mungkin aku akan langsung pulang. Kamu?"
"Sama," jawab Ha Min.
Keheningan kembali menyelimuti mereka. Kim Ha bahkan dapat mendengar jelas langkah kaki mereka. Ha Min tiba-tiba menghentikan langkah. Kim Ha yang berada di depan menoleh dan menatapnya dengan tatapan bertanya.
"Kamu mau main baseball?" tanya Ha Min.
****
Ha Min memukul bola baseball dengan tongkat pemukul. Bola itu melambung tinggi, mengenai dinding kanan depan layar dan terjatuh.Seolah bola itu masuk ke dalam layar. Pada layar ditampilkan bola itu melambung tinggi ke atas stadium dan menghilang di langit. Tulisan 'Home Run' tertera di layar.
Ha Min mengepalkan tangannya dan bersorak gembira. Dia memutar badannya ke arah kaca tembus pandang di sampingnya, dia tersenyum lalu mengangkat jari membentuk huruf 'V'. Kim Ha yang berada di balik kaca bertepuk tangan.
Mereka sedang berada di tempat indoor baseball. Berbeda dengan baseball cage biasanya, di tempat ini menggunakan screen baseball. Ini seperti batting cage tapi mesin pelempar bolanya berada pada layar yang raksasa yang secara digital merealisasikan seolah-olah pemain game benar-benar bermain baseball di sebuah stadium baseball professional.
Ha Min keluar dari pintu kaca yang gelap, mukanya berseri-seri.
"Aku tidak tahu kamu hebat dalam permainan ini." Kim Ha menyerahkan minuman pada Ha Min.
"Aku sering ke sini. Kata orang, olahraga dapat membuat pikiranmu lebih jernih, kurasa itu berlaku untukku." Ha Min membuka penutup botol air minum lalu meminumnya.
"Begitukah? Aku kurang baik dalam olahraga," ucap Kim Ha dengan nada sedih. Salah satu kelemahan Kim Ha adalah olahraga. Dia tidak begitu baik dalam olahrga tak seperti Do Ha dan Bo Ram yang lebih atletis.
Ha Min memberikan tongkat pemukul pada Kim Ha. Gadis itu bergeming, menatap Ha Min ragu. Ha Min mendengus lalu menyerahkan pemukul baseball itu lagi, kini mengenggamkan tangannya memegang pemukul itu.
"Aku tidak bisa," tolaknya.
"Tidak." Ia memegang pundak Kim Ha, memutar badannya, lalu mendorong punggung gadis itu mengarah ke pintu ball park. "Kamu bisa melakukannya."
Awalnya Kim Ha ingin menolak tapi kakinya sudah memasuki arena permainan. Ha Min memposisikan gadis itu di dalam kotak putih dan menyuruhnya berdiri menghadap home plate.
"Kalau kamu sudah siap injak pedal kuning itu." Ia menunjuk pedal kuning yang berada di sebelah kiri atas kotak. Kemudian ia menunjuk ke arah lubang yang berada di tengah layar. "Bola akan keluar dari sana. Kamu sudah siap?"
Kim Ha mengangguk ragu, dalam hati masih mempertanyakan diri.
"Santai saja, ini cuma permainan." Ia menepuk pundak Kim Ha lalu berjalan keluar melewati pintu kaca. Ia mengepalkan tangan untuk menyemangati Kim Ha, mulutnya bergerak mengucap kata 'hwaiting'.
Kim Ha menghela napas panjang, usaha untuk mengusir kegugupan. Ia menekuk lutut, melangkahkan kaki kanannya ke depan, dan mengangkat tongkat pemukul sampai setinggi dada. Tak lupa ia menginjak pedal berwarna kuning itu dan si pitcher dalam layar bersiap untuk melempar.
Bola keluar dari lubang di tengah layar, melesat dengan cepat ke arah Kim Ha. Tanpa sadar dia menutup mata dan mengayunkan pemukul ke sembarang arah. Bolanya melesat lebih dulu dan jatuh ke tanah.
Strike! Begitu tulisan di layar saat ia membuka mata. Di mendengus lalu melakukan usaha yang kedua dengan pola yang sama.
Foul! Saat bola terpental ke lantai. Dia meringis.
"Masih tersisa satu kesempatan!" teriak Ha Min, mencoba menghibur.
Kim Ha mengetukkan tongkat pemukul di home plate, mengangkatnya lagi dan menatap ke arah lubang pada layar dengan wajah serius. Ayolah, ayolah, dia bisa melakukannya!
Sang pitcher mengangkat bola lalu melempar dengan kuat. Bola melesat dengan cepat, berguling-guling di udara tanpa bisa ditahan. Begitu berada di depannya, Kim Ha memukul bola itu. Suara besi dan bola beradu terdengar keras. Bola itu kembali berguling di udara ke arah berlawanan dengan cepat dan mengenai sebelah kanan atas layar. Sang pemukul dalam layar berlari. Di saat yang bersamaan, penangkap bola di tiap base masing-masing mengejar bola. Bola berpindah dari satu pemain ke pemain lainnya dan berhenti pada pemain kedua. Sang pemukul mengakhirinya dengan dramatis, melompat ke arah base kedua dan kemudian tulisan 'Safe' muncul di layar.
Kim Ha dapat mendengar suara sorakan dari layar. Dia berteriak kegirangan lalu mengalihkan pandangan ke arah Ha Min yang berada di luar. Laki-laki itu mengacungkan jempolnya lalu memberinya senyuman bangga.
Kim Ha keluar dari ruangan. "Bagaimana aku tadi?" tanyanya, minta dipuji.
"Kamu melakukannya dengan baik." Ha Min mengelus puncak kepala gadis itu. "Sebagai pemula." Dia menertawai wajah Kim Ha yang berubah masam mendengar perkataannya.
"Makasih pujiannya, batter professional," katanya dengan sinis. Kim Ha memberikan tongkat pemukul pada Ha Min. "Lain kali aku bisa melakukan lebih baik."
"Bagaimana kalau kita taruhan?" usul Ha Min. "Siapa yang menang akan membayar permainan ini." Kim Ha baru saja ingin protes. "Tentu harus ada peraturan yang adil. Karena aku sudah lama bermain ini, aku akan menang kalau dalam tiga kali pukulan ada dua home run dan kamu, ada dua safe. Bagaimana?"
Kim Ha sejenak berpikir. Ia menaikkan sebelah alisnya lalu mengambil tongkat pemukul di tangan Ha Min. "Aku terima. Tentu aku harus menunjukkan keberuntungan seorang pemula pada si professional kita."
"Deal."
****
Kim Ha menatap selembar cetakan foto polaroid dengan perasaan senang. Di lembar foto itu ditampilkan sosok dirinya dan Ha Min yang sedang mengangkat jari membentuk huruf 'V', keduanya tampak tersenyum manis. Di bagian putih dari lembar polaroid itu tertulis menggunakan tinta hitam. Ha Min dan Kim Ha. 27 Maret 2019.
"Hasil fotonya bagus juga." Suara itu terdengar begitu dekat. Dia tak menyadari Ha Min sedang berada di belakangnya. Ha Min sedang mengintip foto itu dari balik bahunya.
"Hm-m. Apa mereka sering membagikan foto ke pelanggan seperti ini?"
"Tidak. Kudengar ini hari ulang tahun tempat itu jadi mungkin itu semacam event untuk para pelanggan," tebak Ha Min.
Kim Ha mengangguk-angguk. Sewaktu mereka sedang membayar di kasir di indoor baseball itu, seorang wanita dan pemuda meminta untuk memotret mereka. Itu sebagai bentuk special service mereka untuk hari ini katanya. Dia membuka mulutnya ketika teringat sesuatu. Tangannya merogoh kantung mantelnya dan mengeluarkan beberapa lembar ribuan won.
"Tidak usah." Ha Min menolak saat Kim Ha memberikannya uang. Ia menaruh uang itu kembali ke mantel Kim Ha. "Aku bisa marah kalau kamu begini terus."
"Tapi tadi kita seri, harusnya aku membayar sebagian. Di restoran dan bioskop juga kamu yang membayar." Kim Ha keberatan. Tadi dia berhasil mendapatkan dua kali bola safe, dan Ha Min mendapatkan dua kali home run. Seperti syarat mereka.
"Tidak. Kita sudah impas." Ha Min mengerling ke arahnya. "Aku sudah mengambil waktu belajarmu. Kurasa itu sudah cukup."
Kim Ha mengangguk lalu berkata dengan nada sombong, "Kurasa itu lebih dari cukup."
Mereka bertatapan lalu menertawai situasi ini. Sepertinya mereka sudah menghabiskan jatah tawa mereka selama seharian.
Mata Kim Ha menyipit menatap Ha Min, dahinya berkerut, dan ia memajukan bibir. "Tapi tak seharusnya kamu mengantarku ke halte. Rumahmu dekat dari sini," ocehnya dengan nada tidak suka. "Aku bisa pulang sendiri, ini juga belum terlalu malam."
Tidak terlalu malam tapi hampir jam bus terakhir. Sepertinya dia sudah tidak pintar berbohong.
"Aku harus mengantarmu pulang." Matanya memandang ke depan.
"Kenapa harus begitu?"
"Kamu sudah membuatku menikmati hari ini." Dia menghela napas panjang sebelum berkata, "Akhir-akhir ini banyak hal yang membuatku pusing, jadi kurasa aku perlu satu hari untuk mengalihkan pikiranku." Pandangannya kini beralih pada Kim Ha. "Terima kasih sudah mau menemaniku."
Hal yang membuatnya pusing salah satunya pasti soal keluarganya. Pertengkaran seperti kemarin bukan hal lumrah yang terjadi pada suatu keluarga.
"Kamu sudah menemukan kuliah jurusan apa?"
"Belum." Dia menghela napas, "Kurasa semua orang sudah menemukan mimpinya, kecuali aku."
Bo Ram memilih menjadi professional gamer. Do Ha dan Joo Ha mengikuti akademi seni demi masuk sekolah seni. Ki hyun memilih jurusan filosofi. Sementara semua orang sedang mencari jalan untuk mencapai keinginannya, hanya dia yang sedang mencari cita-citanya. Selama ini dia terus mengusahakan untuk mendapat nilai baik demi kuliah di tempat yang baik. Namun pada akhirnya, semua itu tidaklah penting. Dia merasa tertinggal.
"Min," panggil Kim Ha. "Sudah lama aku ingin bertanya ini. Kenapa kamu memilih pindah dari jurusan sains pada tahun ketiga kita?" Sampai sekarang itu masih menjadi pertanyaan baginya. Mempelajari jurusan baru di tahun terakhir mereka sangat beresiko, apalagi untuk murid berperingkat tinggi seperti Ha Min.
"Entahlah." Ha Min terdiam sejenak, ia sedang berpikir. "Karena aku menyukainya?" Dia mengucapkannya dengan nada ditarik dan ragu. Pandangannya beralih pada Kim Ha yang terhenyak, ia mengucapkan kembali kalimat itu dengan lebih pasti. "Karena aku menyukainya. Aku sudah lama memikirkan untuk pindah jurusan tapi baru menemukan keberanian itu sekarang."
Ha Min mendesah ketika mengingat sesuatu, lalu berkata dengan nada sedih. "Tapi sepertinya aku mulai menyesali keputusanku."
Kim Ha mengerutkan dahi, "Kenapa kamu berpikir begitu?"
Ha Min terdiam memandang Kim Ha. Dia sedang menimbang apakah sekarang waktu yang tepat untuk berbagi beban dengan gadis itu. Setelah berpikir matang, dia akhirnya memilih memendam masalahnya lebih dulu. Dia sedang tak ingin mengubah suasana yang hangat ini menjadi kelam.
"Kurasa kamu cocok jadi guru," celetuk Ha Min tiba-tiba. "Tapi setelah dipikir lagi, seorang guru tidak boleh berbohong. Itu bisa jadi contoh yang tidak baik untuk anak murid."
Kim Ha memukul lengan Ha Min, namun kekuatannya cukup lemah. Ha Min malah menertawainya.
"Atau mungkin penyiar? Pembawa berita?"
Dahi Kim Ha berkerut. Ia berdeham lalu menirukan suara pembaca berita. "Halo permisa selamat berjumpa bersama kami di Newsroom. Berita hari ini kami awali dari kasus suap yang terjadi di Seoul. Simak beritanya setelah pariwara berikut ini." Kim Ha menatap Ha Min, lalu bertanya dengan senyum cerah, "Gimana?"
"Bagus sih, tapi pembaca berita harus mengungkapkan fakta, dia tidak boleh berbohong," goda Ha Min lagi.
Kim Ha memasang wajah cemberut. "Kalau kamu terus mengangguku aku lebih baik pulang sendirian."
Dia melangkah mendahului Ha Min tapi berhenti ketika pergelangan tangannya ditahan. Dia menoleh dan melihat Ha Min yang sedang memegang pergelangan tangannya. "Aku cuma bercanda. Bercanda. Ayo kita pulang bersama."
Kim Ha mendengus, lalu mengangguk. Ha Min melepas pergelangan tangannya. Kini mereka kembali jalan bersisian.
"Kamu tidak usah terlalu memusingkan itu semua," gumam Ha Min tiba-tiba.
"Kamu Kim Ha, apapun yang kamu lakukan pasti berhasil. Kamu tinggal menunggu saat dimana kamu tahu apa yang ingin kamu lakukan. Ritme setiap orang berbeda-beda. Jadi tidak usah terburu-buru."
Kim Ha terhenyak.
Sekarang aku tahu mengapa semua terasa berbeda. Bukan karena kita berubah. Perasaanku telah berubah. Semua terasa spesial.
Aku tidak lagi memandangmu sebatas teman, tapi seorang laki-laki yang kuinginkan. Dan perasaan ini semakin bertumbuh.
"Kenapa kamu berhenti? Apa aku lagi-lagi mengatakan hal yang salah?" Ha Min berjalan mendekat dan mengamati wajah Kim Ha dengan khawatir.
"Terima kasih sudah mengatakan hal tadi." Kim Ha menyugingkan senyuman lalu berjalan dengan langkah ringan mendahului Ha Min.
Dia dapat merasakan udara malam ini menghangat. Sebentar lagi musim semi akan tiba.
****
Ini foto polaroid mereka 💕
>Next: #4 Truth or Dare
Cuplikan Episode Depan:
Dia mengamati Kim Ha sebentar. Ekspresinya tidak terbaca. Ha Min mendengus, dia memalingkan kepalanya sebentar lalu menatap Kim Ha.
"Kamu menyukaiku?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top