# 16 Because We Are Only Nineteen

Seperti yang sudah diperkirakan Kim Ha Na. Kim Min Ji mendapat ganjaran dari perbuatannya dan melakukan ujian ulang. Guru berbaik hati karena Min Ji tidak mengelak, dengan tidak menuliskan kesalahannya pada laporan kelakuan baik. Bisa dibilang semua berakhir dengan damai.

Meskipun begitu tetap saja ada orang-orang yang senang merisak orang lain. Orang-orang yang menyudutkan Kim Ha Na, walau sudah mengetahui kebenaran yang ada. Ada gosip lain yang timbul tentang hubungannya dengan wali kelas, yang menyebabkan Min Ji terpaksa mengaku menyontek. Dia memilih tidak memusingkannya.

Waktu berlalu dengan cepat hingga tibalah waktu foto kelulusan. Semua murid kelas tiga berkumpul di stadium lapangan basket. Banyak dari mereka yang memakai kostum karakter, mereka ingin terlihat berbeda di foto terakhir mereka di SMA sebagai kenangan akan hari itu saat melihat album tahunan.

Kim Ha Na adalah salah satu dari mereka yang memakai kostum. Ia memakai seragam Hogwarts dengan syal berwarna merah dengan stripe kuning melingkari lehernya, sebagai tanda pengenal asrama Gryffindor. Tak lupa mengkeriting rambutnya agar terlihat seperti karakter yang ia inginkan. Hari ini dia memilih karakter Hermione sebagai dirinya.

Gadis berambut oranye berjalan mendekat. Ia memakai jubah merah, dengan riasan mata dan pipi berwarna ungu, dan tambahan telinga runcing palsu, dia terlihat seperti suatu karakter peri di film Lord of The Rings. Dia menggandeng lengan Kim Ha Na.

"Ayo ke sana, Ki Hyun bawa kamera supaya kita bisa foto sepuasnya," ajak Bo Ram.

Kim Ha Na memandang sekelompok orang-orang berkostum tak jauh darinya. Salah satu orang di sana, gadis berambut pendek dengan riasan kucing di wajahnya melambai padanya dan mengajaknya ke sana.

"Ayo!" Bo Ram menarik lengannya.

Kim Ha Na mengamati teman-temannya yang sedang berdebat soal sesuatu. Mereka memakai kostum dengan ciri khas masing-masing. Do Ha Na dan Nam Si Woo sebagai pasangan kucing, Ha Min sebagai Conan, Ki Hyun sebagai pasangan peri dengan Bo Ram, dan Joo Ha sebagai Harry Potter.

"Hai." Tanpa sadar Ha Min sudah didekatnya. Ha Min memperhatikannya sebentar lalu menebak, "Hermione, kan?"

"Iya." Gantian Kim Ha memperhatikan Ha Min. "Conan Edogawa?"

Ha Min menarik dasi kupu-kupu merahnya, wajahnya cemberut.

"Benar. Aku ingin memakai kostum yang lain." Lalu mendesah dan mendelik pada Joo Ha yang sedang menaikkan kacamatanya, ia memakai kostum Harry Potter.

"Kamu dan Joo Ha janjian berpasangan?" tanya Ha Min lagi.

"Tidak. Joo Ha yang menyiapkannya untukku. Aku tidak mempersiapkan kostum apa-apa."

"Sayang sekali. Harusnya aku juga menyiapkan kostum."

Ha Min lagi-lagi menyentuh dasi kupu-kupunya dengan wajah masam. Dia terpaksa memakai kostum yang disediakan Bo Ram karena tidak membawa apa-apa. Padahal dia memang sudah siap tampil dengan seragam saja.

"Setelah ini kamu mau kemana?" tanya Ha Min.

"Bo Ram mengusulkan kita ke foto studio. Kamu sudah tahu, kan?"

Mereka belum pernah berfoto secara formal. Jadi Bo Ram mengusulkan untuk pergi ke foto studio sebagai kenang-kenangan terakhir bersama di SMA. Kalau mengingat mereka akan meninggalkan SMA, entah kenapa jiwa melankolis Kim Ha Na bangkit.

"Iya, dia sudah memberitahuku." Ha Min bertanya lagi. "Setelah itu?"

Kim Ha Na tampak berpikir lama, lalu berkata dengan ragu. "Harusnya langsung pulang sih."

Ha Min tersenyum, dia mendapat jawaban yang ia inginkan. "Setelah itu kamu mau pergi denganku?"

"Berdua saja?"

"Kamu keberatan?" Ha Min menaikkan kedua alisnya.

Kim Ha Na ingin melebarkan senyuman selebar-lebarnya tapi dia tidak ingin terlihat sebagai orang paling bahagia di hari terakhir kelulusan mereka. Jadi dia mengatur wajahnya agar tetap tenang dan menjawab, "Tidak."

Usia 19 tahun. Usia ketika kita diperhadapkan dengan banyak ujian yang membuat kita sibuk. Meskipun begitu banyak hal yang lainnya yang mengisi pikiran kita. Misalnya, cinta dan pertemanan.

"Hei, kalian! Ayo kemari! Sebentar lagi foto!" Bo Ram memanggil mereka, lalu berpose di depan kamera SLR milik Ki Hyun yang dipasang pada tripod. Do Ha, Si Woo, dan Joo Ha sedang mendiskusikan pose yang akan mereka ambil. Ki Hyun berada di belakang tripod sedang mengatur timer kamera.

Kim Ha mendengus geli, matanya menerawang. Pasti suatu saat dia akan merindukan hari ini.

"Ayo," ajak Ha Min, lalu menarik tangan Kim Ha.

Kim Ha memandang tangan besar dan hangat yang sedang menggenggamnya. Matanya naik menatap si pemiliknya. Kacamata bulat tebal ala Conan bertengger di hidungnya, dia terlihat manis dan cocok mengenakannya. Namun, detak jantungnya dan hatinya berkata lain, cowok itu terlihat gentlemen dan cakep saat ini.

Dia merasa kecewa saat Ha Min melepas genggamannya begitu tiba di gumulan temannya. Coba saja bisa lebih lama.

Ki Hyun yang berada di belakang kamera mengangkat tangan. "Ayo semuanya bersiap!"

Cowok itu cepat berlari dan masuk di tengah-tengah Ha Min dan dirinya. Kim Ha harus bergeser bersama Do Ha dan Bo Ram.

Do Ha membingkai wajahnya dengan telapak tangan layaknya bunga yang mekar, dia sedang bingung menentukan pose. "Posemu kayak apa?" tanyanya.

"Begini." Dia memegang gagang kacamatnya, lalu berpose mengepal telapak tangan dan menekukkan pergelangan tangan, seperti pose kucing. "Untukmu begini."

"Meong?" Dia menirukan pose Kim Ha, masih dengan wajah bingung.

Kim Ha tertawa dibuatnya.

Usia 19 tahun. Sering kali hidup tidak berjalan seperti yang kamu mau. Banyak masalah yang mungkin kamu hadapi tapi dengan adanya teman-teman di sekelilingmu. Kamu tahu semua akan baik-baik saja.

"Satu, dua, tiga, pose!"

****

"Min Ji-ya. Kamu baru dari ruang guru?"

Min Ji mengangguk. "Iya. Bagaimana di lapangan tadi? Seru?"

"Benar-benar seru." Temannya mengacungkan jempol, lalu mendesah. "Sayang sekali kamu pergi duluan tadi. Kami masih foto-foto setelah itu."

"Mau bagaimana lagi. Di sana ada Kim Ha Na." Min Ji mengangkat bahu lalu tersenyum pasrah. Setelah selesai berfoto kelulusan dia langsung menyingkir setelah melihat Kim Ha Na. Dia sedang tidak ingin masa-masa terakhir SMA harus diakhiri dengan melihat Kim Ha Na senang. Padahal dia menderita.

"Yang sabar saja, ya."

"Dia masih saja menganggap dirinya benar. Aku tidak menyangka dia berhubungan seperti itu dengan guru." Min Ji melipat tangannya di dada. "Dia bahkan mengikutiku masuk jurusan dan kuliah di kampus yang aku mau. Wahh... lihat dia-"

Perkataannya terpotong melihat pantulan cermin di depan mereka. Mereka dapat melihat bayangan Kim Ha Na di belakang mereka, sedang menutup pintu bilik toilet.

Kim Ha Na meletakkan tas kartun berisi kostum Hogwarts-nya di samping wastafel dan mencuci tangan. Dia menarik tissue pada kotaknya dan mengelap tangannya yang basah.

"Hai, Min Ji," sapanya.

"Hai," jawab Min Ji gugup.

"Sudah lama kita tidak bertemu."

Min Ji hanya mengangguk, tak ingin mengakui diri menghindarinya.

Kim Ha memperhatikannya dari atas sampai bawah. "Kamu masih tidak berubah." Ia memegang bahu Min Ji dan berbisik, "Berhentilah berbohong. Cepat atau lambat orang-orang akan tahu kebohonganmu. Baunya cepat tercium."

Min Ji meliriknya dengan pucat. Dia malah menyugging senyum dan menepuk bahu Min Ji. Kemudian keluar dari toilet dengan puas.

Di usia 19 tahun juga, kamu akan diperhadapkan dengan keputusan-keputusan penting yang dapat memperngaruhi hidupmu. Tapi kamu harus ingat. Semua keputusan itu tidak ada yang salah.

"Arghhhhh!!"

Kim Ha tertawa, puas mendengar teriakan penuh amarah itu dari toilet.

Kecuali, keputusan yang merusak hidup orang lain. Dampaknya kamu bisa rasakan sekarang atau nanti.

****

Suara jangkrik yang beradu menjadi pengisi kesunyian malam itu. Kim Ha Na menggoyangkan badannya dan terayun di atas ayunan, kakinya masih menapak di tanah. Tangannya mengetik balasan dengan cepat sebelum memasukkan ponselnya lagi di saku jaket dan memandang jalan di depannya yang dihiasi berkas-berkas cahaya oranye dari lampu jalan.

Dia mengembangkan senyum begitu melihat sosok yang berjalan dengan sebelah tangan dimasukkan di saku, di bawah penerangan lampu jalan yang remang. Dia tidak berhenti menatapnya sampai sosok itu duduk di ayunan sampingnya, lalu merogoh kantung plastik yang dibawanya.

Sebotol kopi terulur padanya. Kim Ha Na berterima kasih.

"Sudah lama sekali kita tidak datang ke sini," katanya, penuh nostalgia. "Kita sering datang di sini habis pulang kelas khusus, iya kan?"

"Iya, dan kamu selalu memaksaku untuk menemanimu di sini karena belum ingin pulang." Ha Min memutar penutup botolnya, ia menarik senyum. "Pernah satu kali, hampir saja kamu harus menginap di sini karena hampir ketinggalan bus. Itu pertama kalinya aku melihat sisi tangguhmu, kamu berlari seperti dikejar anjing." Lalu Ha Min tertawa.

"Jangan mengungkit itu lagi. Aku hampir melupakannya," perintah Kim Ha, ia memasang ekspresi kecut.

Ha Min mengangguk-angguk, matanya menyipit karena tersenyum terlalu lebar. Kim Ha Na memperhatikan Ha Min yang sedang menempelkan bibirnya pada botol kopi yang ia pegang dan meminumnya.

"Sejak kapan kamu minum kopi? Kukira kamu hanya minum susu."

Ia ingat dulu di tas cowok itu selalu tersedia kotak susu. Katanya, dia mau menambah tinggi tapi itu mustahil karena badannya sudah menjulang tinggi. Kecuali kalau dia mau memperbaiki tiang listrik tanpa menggunakan tangga, tapi pakai kaki sendiri.

Ha Min melihat botol es kopinya sebentar lalu menatap Kim Ha balik. "Geunyang (hanya ingin). Sekarang aku lebih suka kopi."

Kim Ha mendengus geli. "Kamu terdengar seperti Si Woo."

"Iya." Ha Min mengakui. Lalu memiringkan kepala. "Sampai sekarang aku tidak tahu bagaimana Si Woo bisa pacaran dengan Do Ha Na. Aku bahkan tidak pernah mendengarnya mengucapkan satu kalimat dengan benar. Dia selalu menyingkatnya."

Si Woo memang orangnya hemat bicara. Do Ha juga lebih ke tipe cuek. Jadi kabar mereka berdua pacaran menjadi topik terhangat waktu kelas dua. Mungkin semuanya ragu tentang kebenaran berita itu karena keduanya tidak terlihat begitu dekat.

"Tapi mereka berdua pacaran sampai sekarang," bela Kim Ha. Tanpa sadar menyelip rasa iri dari perkataannya. Kedua temannya sudah pacaran dan hanya dia yang tersisa. Dia malah menaruh harap pada laki-laki yang tidak menyukainya.

"Joo Ha sudah menembakmu kan?"

Mata Kim Ha melebar. Dari sekian banyak orang, tidak ada yang pernah tahu soal itu. Dia tidak pernah menceritakannya. Dan sekarang dia mendengarnya dari orang yang disukainya.

"Darimana kamu tahu?" tanya Kim Ha.

"Seseorang memberitahuku." Kini Ha Min memegang tali ayunan, kepalanya keluar dari tali ayunan, mendekatkan jaraknya dengan Kim Ha. "Kalian pacaran?"

"Tidak. Kami hanya berteman."

Walau hubungan mereka tidak seakrab dulu tapi mereka tidak saling menjauhi. Sepertinya itu sudah lebih dari cukup. Dia tidak mau memberatkan Joo Ha dengan meminta lebih.

"Anak itu, walau dia menyebalkan tapi seleranya bagus juga," celetuk Ha Min, cengiran terulas di wajahnya. "Dia menyukai orang yang kusukai."

Kim Ha dapat merasakan detak jantungnya berdegup kencang, seakan sebentar lagi akan meledak. Dia melihat cowok itu menoleh, memberikan senyuman yang selalu dikaguminya.

"Aku menyukaimu."

Kalimat yang paling ingin ia dengar keluar dari mulut cowok itu. Kim Ha hampir merasa dia sedang di alam mimpi. Tapi tidak, dia sedang berada dalam kenyataan.

"Kamu menyukaiku?" tanyanya, lebih ingin memastikan pendengarannya.

"Kamu tidak tahu? Padahal itu sangat kelihatan." Ha Min mengerutkan kening berusaha meyakinkan.

"Aku juga menyukaimu," jawab Kim Ha, mirip berbisik.

Ha Min bangkit berdiri, dia memegang tali ayunan milik Kim Ha dan berdiri di depan gadis itu. Dia membungkuk agar bisa menyamakan tatapan mereka.

"Apa?" tanyanya sambil mendekat.

Kim Ha menggigit bibirnya. Wajahnya sudah merah seperti tomat. Dia memandang Ha Min yang berjarak cukup dekat dengan wajahnya.

"Aku menyukaimu." Suaranya lebih kecil dari sebelumnya, tapi Ha Min dapat mendengarnya dengan jelas.

Ha Min melebarkan senyum. Pipinya memerah, semerah pipi Kim Ha Na saat itu. Dia ikut tersenyum. Detak jantungnya masih begitu cepat. Kim Ha tahu dia selalu merasakannya ketika berada di dekat cowok itu. Dan hari ini dia tahu dia tidak sendirian.

Di umur sembilan belas tahunku. Cinta yang lama ingin kupendam muncul kembali. Dan aku tidak pernah menyesal sudah menggalinya lagi.

Umur sembilan belas tahun. Di tahun terakhir SMA. Adalah hari-hari yang kulewati denganmu.

- The End -

- All Cast -

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top