# 11 I Know Nothing...
Suara penyanyi I Wonder mengalun lembut menyanyikan lagu we are the night di seluruh penjuru café. Café minimalis yang menonjolkan bahan kayu sebagai warna utamanya seperti menjadi pelengkap dari lagu menenangkan itu. Paling tidak bisa menghilangkan kepenatan bagi siswa-siswi dan mahasiswa yang menikmati sore mereka di sana. Entah sekedar dijadikan tempat mengobrol atau untuk mengerjakan tugas dan belajar.
Ha Min sendiri adalah tipe orang nomor dua. Dia sedang belajar soal-soal yang diberikan dari guru lesnya. Gaya belajar dari guru lesnya sepertinya lebih cocok untuknya ketimbang guru sekolah. Guru di sekolah lebih menekannya untuk mengerti semua hal, sedang guru lesnya menjelaskan detail dan tips dan trik yang cocok dan mudah dipahami untuk mengerjakan soal.
"Kenapa kamu ke sini?"
Ah Hyun yang sedari tadi diabaikan olehnya berhenti manyun dan melipat tangan di atas meja. Dia menunggu Ha Min mengangkat kepala dan menatapnya tapi itu tidak terjadi. Akhirnya dia menyangga pipinya dengan kedua tangan di atas meja dan kembali cemberut.
"Padahal aku menyempatkan waktu luangku kemari, tapi kamu hanya belajar."
Kata-kata itu sukses membuat Ha Min tersenyum geli, namun enggan mendongak. Tangannya tidak berhenti menulis di buku.
"Kenapa juga kamu mau kemari? Kamu tahu aku sedang sibuk."
"Kamu selalu sibuk! Kemarin juga meninggalkanku begitu saja. Apa belajar begitu menyenangkan?"
Ha Min akhirnya mengangkat kepala dan melihat gadis itu. Gadis di depannya memang berusia tujuh belas tahun tapi di matanya gadis itu tidak lebih dari anak SD yang selalu minta diperhatikan.
"Tidak. Belajar tidak menyenangkan, tapi aku harus melakukannya."
Ah Hyun mengerjap-ngerjap, berusaha terlihat imut. "Aku baru ditolak," katanya, lalu memasang muka memelas, ingin dikasihani.
"Terus? Apa hubungannya denganku?"
Ah Hyun mendecak sebal sambil memutar bola matanya. Dia menurunkan tangannya.
"Memang benar tidak ada orang yang mengerti diri kita kecuali kita sendiri," omelnya lagi, penuh curahan hati.
"Kakakmu mungkin mengerti."
Kata-kata itu membuat Ah Hyun bergidik ngeri. Dia menunjukkan wajah jijik lalu menggeleng setelah membayangkan sesuatu di kepalanya. Bayangan yang pasti paling tidak ingin ia alami.
"Aku tidak akan pernah menceritakan ini padanya. Dia akan menertawaiku kalau tahu aku ditolak sama orang yang bahkan tidak mengenalku! Dan lagi, itu temannya." Ah Hyun menutup mukanya dengan satu tangan dan berkata dengan frustasi. "Mau ditaruh dimana mukaku nanti kalau dia tahu."
"Kalau kamu bersikap seperti itu, aku jadi tambah ingin memberitahunya." Lalu tertawa licik.
Ah Hyun membuka tangannya, ia memberengut. "Dasar pengkhianat."
"Terima kasih."
Ah Hyun mendeliknya sebal lalu menyambar cola nya. Dia masih mengintip Ha Min dengan sebal dari balik gelasnya.
Ha Min kembali dengan pelajarannya dan Ah Hyun mulai membuka buku tugasnya. Mereka melalui beberapa saat dengan kepentingan masing-masing.
Tiba-tiba, seseorang mencengkram kerah baju Ha Min, hingga membuat cowok itu terangkat dari duduknya. Matanya melebar melihat orang yang tidak dikiranya.
"Kamu menolak adikku dan sekarang mengajaknya kencan di café? Kamu sudah gila? Sudah mau mati?" sembur Ki Hyun kesal. Matanya menyala-nyala seakan ingin menelan Ha Min.
"Ki Hyun-a, ini tidak seperti yang terlihat," katanya berusaha menenangkan.
"Apanya yang tidak seperti yang terlihat! Kamu sudah kepergok!"
"Oppa! Apa yang kamu lakukan!" Ah Hyun memukul tangan kakaknya hingga cengkramannya terlepas, kakaknya mengaduh kesakitan sambil mengusap tangannya yang memerah.
"Apa yang kamu lakukan?" bentaknya kesal.
"Yang harusnya bertanya itu aku, apa yang sedang kakak lakukan?"
Ah Hyun menunjuk arah sebelah kanannya dengan mata, Ki Hyun mengikuti dan melihat di sekeliling café. Semua orang sedang melihat mereka dengan penasaran. Tanpa ia sadari dia sudah membiarkan dirinya menjadi tontonan orang-orang ini.
Ki Hyun menggeser kursi di samping Ah Hyun dalam diam dan duduk di sana. Dia menutup mukanya dengan tangan, mengarahkan kepalanya pada jendela luar, sembari sesekali mengintipi orang-orang yang masih mengamatinya. Dia sangat malu.
"Beginilah, kamu dan temperamenmu." Ah Hyun mendecak panjang.
Ki Hyun mengedutkan hidungnya, ia menatapnya seolah ingin melubangi adiknya. Padahal dia repot-repot kemari setelah tidak sengaja melihat mereka dari jendela café ini.
"Aku masih belum memaafkanmu, Min." Dia mendelik sebal pada Ha Min.
Ha Min menghela napas melihat dua bersaudara di depannya. Seharusnya dari sebelum-sebelumnya dia meluruskan satu hal.
Setelahnya, dia menceritakan semuanya-tentu tanpa ijin dari Ah Hyun (Ah Hyun sudah berkali-kali menghentikannya bicara tapi dia tetap melanjutkan). Seperti itulah, Ki Hyun jadi tahu soal hubungan Ha Min dan Ah Hyun, namun dia masih tidak ingin mengungkap siapa yang disukai Ah Hyun.
"Jadi begitu?" Dia melirik adiknya yang sudah tidak berdaya di sampingnya.
Semua yang ia rahasiakan sudah bocor pada kakaknya karena Ha Min. (Lihat saja nanti dia akan balas dendam soal Kim Ha!).
"Kamu harusnya tahu malu. Apa? Suka sama orang yang tidak dikenal karena dia tampan? Umur berapa kamu? SD?"
"Memang apa salahnya suka sama orang karena dia tampan?" Ah Hyun membela diri. Lalu bergumam kemudian, "walau aku sudah tidak menyukainya lagi."
Perkataan Ah Hyun membuat kedua cowok itu kompak menyipit, lalu memutar bola mata sambil mendengus. Siapa yang kemarin menangis habis-habisan karena-orang yang sudah tidak disukai lagi-? Benar-benar lucu.
"Jadi kalian tidak ada hubungan apa-apa?"
Ha Min dan Ah Hyun saling melempar tatapan lalu kompak menggelengkan kepala dengan ekspresi horror.
"Berhentilah berpikir yang aneh-aneh dan gunakan otakmu untuk belajar saja." Ah Hyun mengambil gelas berisi cola, dia menutup mukanya dengan sebelah tangan. "Ah.., benar-benar memalukan menyambar sembarang orang di keramaian begini."
"Maaf, aku terbawa emosi," katanya.
"Min," panggil Ki Hyun. Tas yang tadi du punggungnya sudah dipangkunya. "Maaf sudah berpikiran buruk padamu. Kita tetap teman, kan?"
"Tidak," jawab Ha Min pendek.
"Temanku, temanku," panggil Ki Hyun sok manja. Ha Min malah mual.
Dia mengeluarkan buku dari dalam tas. "Bisa ajarkan aku Bahasa Inggris?"
Tidak kakak, tidak adik. Selalu saja menganggunya belajar. Kapan dia bisa belajar dengan tenang?
****
"Kamu sedang belajar apa?"
Bo Ram menggeser buku di meja Kim Ha sedikit untuk mengintip dan terperangah. Buku di tangannya tak sengaja ia lipat sampai melengkung dan menutupi mulutnya.
"Kamu sudah belajar matematika? Aku masih tertinggal di bahasa inggris." Ia memberengut.
"Bukannya begitu, aku hanya kurang percaya diri di matematika jadi harus lebih melatihnya."
"Aku tidak percaya diri di keduanya." Bo Ram menggumamkan pikirannya dan setelahnya cemberut mendengar omongannya sendiri.
Bel pelajaran pertama akhirnya berbunyi. Siswa-siswi yang berada di luar segera masuk ke dalam kelas dan duduk di tempat masing-masing. Mereka masih memegang buku berusaha menumpahkan isi buku ke otak mereka dalam waktu yang singkat.
Ketegangan mereka memuncak ketika wali kelas masuk. Ia membawa amplop cokelat tebal di tangannya lalu meletakkannya di meja guru. Dan pada saat itu terdengar suara helaan napas yang kompak dikeluarkan para murid.
"Ujian akan segera dimulai. Letakkan buku kalian di bawah meja atau masukkan ke dalam tas."
Wali kelas membuka amplop cokelat yang sedari tadi menjadi pusat perhatian para murid. Lembaran kertas yang ditumpuk rapi ia keluarkan dari sana dan membagikan pada siswa-siswi di bangku depan untuk dioper ke bangku belakang.
Ujian dimulai.
Kim Ha mengetuk-ngetukkan ujung pensilnya, lalu memegang kepalanya, memaksa diri untuk mengingat apa yang pernah ia pelajari. Ia mengerling pada jam digital yang berada di meja guru dan bertambah gelisah setelahnya.
Sisa lima menit dan dia belum mengerjakan sepuluh soal.
Kukira aku tahu semuanya.
Ternyata tidak.
Tanpa sengaja matanya menangkap sesuatu yang asing terjadi di depannya. Dari pandangannya ia dapat melihat Kim Min Ji yang duduk tak jauh darinya sedang mengintip sesuatu pada tangannya. Sedetik kemudian, dia menutup tangannya dan menulis sesuatu pada kertas jawabannya, berlagak seperti tidak melakukan sesuatu yang mencurigakan.
Ketika kita mengira sudah mengetahui semuanya.
Itu berarti ada banyak hal yang telah kita lewatkan.
****
Side Story
"Kepalaku pusing."
Ki Hyun memegang kepalanya yang terasa hampir pecah. Harus ia akui belajar bukan tipenya.
"Masih banyak yang perlu kamu pelajari. Kamu belum bisa berhenti sekarang," kata Ha Min masih tidak berhenti menatap bukunya.
Ki Hyun meliriknya sebal bercampur iri. Kenapa juga dia harus belajar dengan si fanatik belajar. Belajar dengan Kim Ha, Joo Ha, dan Bo Ram bahkan lebih menyenangkan dari belajar dengannya. Belajar bersamanya serasa seperti belajar dengan pengajar ujian masuk pegawai negara sipil. Sama sekali tidak menyenangkan dan tidak ada waktu istirahat.
"Tidak bisa begini. Aku harus pulang. Kepalaku sudah sakit." Ki Hyun memasukkan bukunya.
Ha Min mengecek jam tangannya. "Café ini juga sudah mau tutup."
Ki Hyun ingin bersorak namun ia lakukan dalam hati. Ia menggendong tas punggungnya. Semangatnya sepertinya sudah pulih sepenuhnya.
"Kalian mau beli cake? Tadi aku lihat cake nya kayaknya menarik."
Ha Min mengangguk. Ia mengambil buku menu yang berada di sana. Ia mempelajari isi menu dan memutuskan.
"Aku green tea cake. Kamu?" Dia bertanya pada Ah Hyun.
Ah Hyun menggeleng. "Aku tidak. Kalian putuskan selama aku pergi ke toilet. Oke?"
Ha Min dan Ki Hyun berdiskusi soal kue yang mereka pesan, dan Ah Hyun pergi menuju toilet. Selesai buang air kecil, ia mencuci tangan di wastafel. Pengunjung café sepertinya sudah pada pulang karena sejak tadi tidak ada orang yang datang ke toilet.
"Selama ini aku melihatmu sebagai seorang kakak, tapi sebagai seorang cowok, menurutku kamu cukup manis."
(Episode 9)
Ah Hyun membiarkan tangannya basah oleh air wastafel yang menghujaninya. Sepintas kalimat yang menohoknya.
"Seorang kakak apanya. Dia bahkan bukan kakak asliku."
Ia menekan tuas wastafel yang menengadah dan mengambil tissue untuk mengelap tangannya yang basah.
****
Pretty Boy Ha Min ❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top