TUJUH-8A

Tujuh

Skors tiga hari yang didapatkan oleh Aqilla tidak membuatnya merasa bersalah, alih-alih menyesal, Aqilla justru semakin kesal pada Aurel dan ingin membalas apa yang diterimanya saat ini.

Aqilla merasa tidak adil karena hanya dia yang diskors sedangkan Aurel tidak, kata petugas keamanan yang memantau CCTV, Aqilla yang memulai pertengkaran, makanya hanya Aqilla yang diskors sedangkan Aurel hanya diberi peringatan.

Pintu kamar Aqilla diketuk, meskipun malas, pemilik kamar itu tetap berdiri dan berjalan mendekati pintu.

"Qil? Gue pikir lo sakit, udah jam segini tapi belum keluar dari kamar. Kita ada jadwal lab pagi ini, kalau telat nggak boleh masuk. Ingat, kan?"

Aqilla tersenyum tipis pada Aadvika.

"Gue diskors tiga hari, lo lupa?" tanya Aqilla.

Aadvika terpaku kemudian menunduk sekilas. "Sorry, Qil, gue lupa."

Aqilla mengangguk saja, tidak merasa kesal dengan tindakan Aadvika. Aqilla mengganggap itu adalah sebagai bentuk kepedulian Aadvika padanya.

"Iya, nggak apa-apa. Santai aja, lo langsung ke lab aja, nanti telat lho," kata Aqilla. "Alat-alat untuk praktikum udah lo bawa semua, kan? Jangan sampai ada yang ketinggalan."

Aadvika mengangkat kotak kecil yang terbuat dari plastik ke hadapan Aqilla. "Semuanya ada di sini, gue udah cek juga tadi, semua barang aman tanpa lecet sedikit pun."

Aadvika memang penuh persiapan dan Aqilla mengakui hal itu. Tangan kiri memegang kotak berisi peralatan untuk praktikum, sedangkan tangan kanan memegang modul untuk persiapan pre-test.

"Yaudah, sana berangkat. Jangan sampai telat."

Aadvika mengangguk lalu melambaikan tangannya. "Bye, Qilla."

Aqilla membalas lambaian tangan Aadvika, terus menatap teman sekelasnya itu sampai Aadvika menghilang di tikungan.

"Lo nggak ada kelas?" Pertanyaan itu membuat Aqilla menghentikan tangannya yang tadi sedang menutup pintu.

"Oh iya gue lupa." Aurel menutup mulutnya dengan tangan kanan, matanya membulat seolah dia sangat terkejut. "Lo kan diskors," lanjut Aurel dengan nada menyebalkan.

Aqilla mengepalkan kedua tangannya, ucapan Aurel benar-benar memancing emosinya. Jika yang mengatakannya adalah orang lain, maka Aqilla masih bisa menganggapnya sebagai candaan, berbeda jika orang itu adalah Aurel.

"Jangan kurang ajar," desis Aqilla.

Aurel membulatkan matanya lalu kedua tangannya menempel pada kedua pipinya. "Astaga, gue takut banget. Jangan galak-galak dong, Qil." Aurel tersenyum senang melihat Aqilla yang emosi, lagipula siapa suruh cewek itu mencari masalah dengannya.

Senyum Aurel lenyap lalu berganti dengan tatapan datar. "Makanya jangan cari masalah sama gue, nggak usah sok jadi pahlawan deh dengan belain Aadvika kayak kemarin."

"Gue bukan mau jadi pahlawan untuk Aadvika, gue ngelawan lo karena gue nggak suka sama lo. Siapapun lawan lo, gue akan selalu berpihak sama orang itu. Gue akan jadi musuh lo untuk selamanya."

Kepalan tangan Aqilla yang belum terurai membuat Aurel bingung, memangnya apa alasan Aqilla sehingga dia begitu membenci Aurel seperti ini? Seingat Aurel, dia tidak pernah terlibat pertengkaran serius dengan Aqilla.

"Pendendam," sinis Aurel.

"Gue bukan pendendam, semua sifat buruk gue, cuma berlaku untuk lo doang."

Jam tangan Aurel berbunyi, tadi dia menyetel alarm agar tidak telat ke laboratorium, perjanjiannya dengan Liam masih berlaku.

Tanpa mengatakan apapun pada Aqilla, Aurel langsung pergi, dia takut telat.

🌺🌺🌺

"Pre-test gue rendah banget," keluh Aurel seraya melirik kertas kecil yang berisi jawabannya serta nilai yang didapatkan. Nol. Itu yang didapatkan Aurel.

"Punya gue juga rendah, nggak ada belajar sama sekali, kemarin gue nonton film sama Aandhira," balas Aileen yang juga mendapatkan nilai nol, tetapi tidak seperti Aurel yang misuh-misuh, Aileen masih santai.

"Kenapa kalian nggak ngajak gue?" tanya Aurel dengan kesal. "Kalian udah nggak nganggap gue sebagai teman lagi?" lanjutnya, suara Aurel terdengar kesal.

"Bukan gitu, kami pikir lo bakalan belajar, supaya nggak diganggu Liam lagi," balas Aileen.

Aurel berdecak ketika nama Liam disebutkan, jujur saja, saat mendengar nama tunangannya itu, Aurel langsung merasa begitu kesal, bahkan rasanya dia ingin menonjok dinding.

"Bisa nggak sih lo nggak usah sebut nama dia? Bikin kesal aja, tau nggak?" kata Aurel seraya menatap Aileen dengan sinis.

Aileen tertawa melihat kekesalan temannya itu, jelas dia tau kalau Aurel kesal saat nama Liam disebabkan, tetapi sebagai teman yang baik, tentu saja dia suka memancing kekesalan Aurel.

"Bukannya Liam nggak gangguin lo lagi, ya? Udah aman berarti, kan?" tanya Aileen. "Lo sama Andhira juga punya rencana untuk buat Liam suka sama cewek lain, kan? Kalau butuh bantuan lo bisa bilang ke gue, pasti bakalan gue bantu."

Aurel menatap Aileen sekilas lalu tersenyum. "Gue emang butuh bantuan lo," jawab Aurel.

Aileen hanya mengangkat alisnya sebagai respon, seolah bertanya bantuan apa?

Aurel melihat sekelilingnya, hanya ada tiga orang yang duduknya cukup jauh dari dirinya dan Aileen, meskipun begitu, Aurel tetap mendekatkan bibirnya ke telinga Aileen untuk berbisik.

"Gue mau buat Liam jatuh cinta sama cewek lain, berarti gue butuh cewek lain, kan? Gimana kalau lo yang gue deketin sama Liam?"

Refleks Aileen mendorong Aurel lalu menatap temannya itu dengan ekspresi kesal. "Lo mau tumbalin gue?"

Aurel menggeleng dan menatap Aileen dengan polos. "Lo kan udah kelamaan jomblo, gue cuma bantuin supaya lo nggak jomblo lagi. Lagipula ya, si Liam itu nggak buruk-buruk amat lah, mukanya ganteng, uangnya banyak, otaknya encer, masa iya lo nggak suka?"

Aileen tertawa dengan terpaksa ketika mendengar hal itu, dia mengakui kalau yang dikatakan Aurel memang tidaklah salah.

"Kalau gitu kenapa lo nggak suka sama Liam? Dia kan nggak buruk-buruk amat, masa iya nggak suka?" Aileen membalas kata-kata Aurel.

"Kami nggak cocok, kalau sama lo pasti cocok, lo tau kan kalau hubungan kami itu dipaksakan, sesuatu yang dipaksakan itu kan nggak baik."

"Sama lo aja nggak cocok, apalagi sama gue, yang ada kami bakalan ribut tiap hari. Udahlah, lo jangan ngada-ngada deh."

Aurel menatap kertas di tangannya yang menampilkan nilai nol, jika Liam sampai tau hal ini, cowok itu pasti akan kembali mengomel, Aurel takut jika Liam benar-benar akan mengatakan pada orang tua mereka agar pernikahan ini dipercepat. Aurel benar-benar tidak menginginkan pernikahan itu.

"Apa hubungan lo sama Liam memang nggak bisa diputusin? Lo kan benar-benar nggak suka, masa iya orang tua lo nggak coba ngertiin?"

Selama ini, yang Aileen lihat, Aurel benar-benar tidak menyukai hubungannya dengan Liam, apa orang tuanya tidak menyadari hal itu?

"Mereka nggak akan dengerin gue, kalau Liam yang mutusin hubungan ini, mungkin aja bisa."

Aileen jadi terdiam.

"Aadvika, gue rasa dia cocok dengan Liam, dan ada kemungkinan Liam bisa suka sama Aadvika, dia pintar dan cantik, jelas dia tipe orang yang mudah disukai."

"Aadvika," gumam Aurel.

🌺🌺🌺

Rabu, 12 Juni 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top