LIMA-8A

Lima

Di sudut perpustakaan yang jarang sekali didatangi orang, di situlah Aafia berada. Mempelajari pelajaran yang belum dia pahami, sudah empat jam dia berada di situ dan sama sekali belum ada tanda-tanda dia akan beranjak. Mungkin Aafia tetap akan berada di situ sampai hari berganti karena perpustakaan tersebut buka dua puluh empat jam.

Perut yang terasa perih tidak Aafia hiraukan dan berusaha untuk tetap fokus pada soal-soal yang sedang ia kerjakan. Aafia berpikir bahwa tidak makan satu hari tidak akan membuatnya tumbang karena sudah biasa Aafia melakukan itu. Ini adalah bentuk hukuman dari Aafia pada dirinya sendiri yang tidak begitu pintar sehingga dia harus belajar dengan ekstra untuk bisa mempertahankan posisinya, itupun di belakang Aadvika.

Aafia tidak membenci Aadvika karena temannya itu lebih unggul, Aafia hanya merasa tertantang untuk bisa memacu. Hasrat ingin menangnya begitu terpatik.

Namun rasa tidak nyaman di perutnya kini begitu terasa membuat Aafia tidak bisa berkonsentrasi, secara refleks dia memegang perutnya yang terasa melilit. Pena yang sedaritadi digenggamnya langsung terlepas diiringi ringisan kecil yang keluar dari bibir pucatnya.

"Apa kau baik-baik saja?"

Kepala yang tadinya Aafia letakkan di atas meja perlahan terangkat untuk menoleh pada orang yang bertanya padanya.

"Ya." Hanya itu yang bisa Aafia katakan, dan kembali meletakkan kepalanya di atas meja. Rasanya ia bahkan tidak mampu untuk menahan kepalanya sendiri untuk tetap terangkat.

Orang yang bertanya pada Aafia itu langsung pergi, tidak lama kemudian orang tadi kembali bersama seorang cowok.

"Kayaknya dia sakit, deh, lo bawa ke klinik sana. Kasian tuh pucat banget."

Cowok tersebut mendekati Aafia dengan ragu. "Permisi? Mau gue bantu bawa ke klinik?" kata cowok tersebut.

Aafia mengangguk pelan, rasanya ia tidak sanggup lagi untuk meneruskan belajarnya. Jika ia menolak bantuan cowok itu, entah kapan akan ada orang yang mau menolongnya.

Cowok tersebut menarik kursi yang diduduki Aafia dengan perlahan agar mudah menggendong Aafia.

"Tolong lo bawain barang-barangnya, ya? Gue langsung ke klinik."

Cewek yang tadi memanggilnya mengangguk dan mulai membereskan barang-barang yang tadinya Aafia gunakan.

"Tahan, ya. Sebentar lagi sampai."

Aafia tidak membalas ucapan itu karena merasa tidak sanggup, perlahan matanya terpejam diiringi dengan kesadarannya yang sudah terenggut.

🌺🌺🌺

Aanaya berdiri sambil memegangi pembatas balkon asramanya dengan pandangan terfokus pada satu hal. Senyuman Aanaya terbit ketika melihat orang yang terus diamatinya itu tertawa bersama teman-temannya.

Namanya Mark. Aanaya sudah menyukainya sejak pertama kali masuk ke asrama, tetapi Mark tidak memiliki perasaan yang sama pada Aanaya, meskipun begitu bukan berarti Aanaya langsung menghapus perasaannya begitu saja. Aanaya masih ingin berusaha untuk membuat Mark memiliki perasaan yang sama padanya, bukankah itu tidak mustahil?

"Mark, I love you," ucap Aanaya lalu terpikik karena salah tingkah dengan ucapannya sendiri, wajahnya yang merah ia tutupi dengan kedua tangannya.

Setelah dirasa wajahnya tidak lagi memanas, barulah Aanaya menjauhkan kedua tangannya dari wajah. Namun Mark dan teman-temannya sudah tidak terlihat, mereka sudah pergi membuat Aanaya langsung cemberut.

🌺🌺🌺

Aileen tidak memiliki motivasi yang bagus untuk menyelesaikan pendidikannya, Satu-satunya alasan ia tetap berada di asrama dan melanjutkan pendidikannya hanya agar tidak dinikahkan oleh orang tuanya.

Selama ini Aileen selalu dimanja, apapun yang diinginkannya selalu dikabulkan oleh orang tuanya, bisa dibilang Aileen belum pernah merasakan kesulitan dalam hidupnya. Orang tuanya tidak pernah menuntut apapun pada Aileen, mereka tidak mau anak semata wayangnya tertekan dan selalu berusaha untuk membuat Aileen hidup nyaman.

Pada awalnya Aileen tidak ingin kuliah, tentu saja hal itu ditentang oleh orang tuanya, untuk pertama kalinya keinginan Aileen tidak dipenuhi membuat cewek itu merasa kesal dan putus asa. Aileen pun tidak langsung menyetujui ucapan orang tuanya, dia memberontak sampai kedua orang tuanya harus memberikan ancaman bagi Aileen, jika Aileen tidak mau melanjutkan pendidikannya maka ia akan langsung dinikahkan. Hal itulah yang membuat Aileen setuju untuk kuliah.

Motivasi yang tidak begitu bagus membuatnya sering acuh dengan pendidikan, dia hanya mengerjakan tugas sesekali dan itupun tidak terlalu bagus, Aileen hanya peduli dengan apa yang disukainya, lagipula orang tuanya tidak pernah menuntut Aileen untuk mendapatkan nilai yang bagus, karena itu semakin menjadi-jadilah si Aileen.

"Bosan banget, nonton, yuk," ajak Aileen pada Andhira yang sedang berada di kamarnya untuk mencoba berbagai peralatan make up milik Aileen yang super lengkap.

"Enggak, ah, bentar lagi juga waktunya tidur," tolak Andhira seraya memakai eyeliner dengan tutorial dari video yang ditampilkan di layar iPad milik Aileen.

"Lo nginap di kamar gue aja, lampu di kamar lo matiin dulu, terus ke sini lagi, kita nonton sampai pagi," seru Aileen dengan semangat.

Besok bukan hari libur, tetapi tentu saja Aileen tidak peduli, jika dia mau melakukan sesuatu maka akan dia lakukan, tidak peduli dengan apa yang terjadi keesokan harinya, apalagi masuk ke kelas bukanlah hal penting baginya.

"Males, ah, nanti ada yang ngadu kalau gue nggak ada di kamar sendiri. Lo tau kan kalau orang-orang di sini banyak yang nggak suka sama gue?"

Andhira memandangi cermin yang menampilkan bayangannya, meletakkan kedua tangannya di pipi lalu tersenyum sendiri. Memperhatikan hasil make up nya dengan seksama.

"Gue cantik, kan?" tanya Andhira kemudian menggoyangkan kepalanya ke kiri dan kanan.

Aileen berdecak lalu mengambil iPad nya, mengabaikan pertanyaan Andhira yang menurutnya tidak penting. "Yaudah kalau lo nggak mau nonton sama gue, sana balik ke kamar lo sendiri," usir Aileen.

"Kenapa lo jadi kesal? Iya-iya kita nonton, kalau lampu kamar udah disuruh mati, nanti gue langsung ke sini lagi," ucap Andhira.

Aileen tersenyum kemudian bersorak. "Gue mau beli cemilan dulu, deh, kayaknya masih sempat sih." Aileen melirik jam tangannya. "Masih ada waktu dua puluh satu menit lagi, gue mau ke minimarket di bawah. Lo mau ikut?"

"Enggak, deh, gue mau ke kamar aja." Andhira yang tadinya duduk di kursi rias Aileen kemudian berdiri dan menatap ke arah cermin lagi. "Gue titip minuman soda, ya."

Andhira membuka pintu kamar Aileen setelah pemilik kamar itu mengiyakan titipannya. "Oh iya, sekalian beli kacang, ya, gue pengen makan kacang."

Aileen kembali mengiyakan permintaan Andhira, setelah memasukkan dompet dan handphone, barulah Aileen keluar dari kamar dan mendekati lift setelah mengunci pintu.

Masih ada beberapa orang yang berlalu lalang di lorong asrama dan sebagian dari mereka tidak Aileen kenali, mungkin orang yang tinggal di lantai lain dan sedang mengunjungi temannya.

Pintu lift terbuka dan Aileen langsung masuk, ia memikirkan cemilan apa saja yang akan dibelinya nanti. Aileen rasa malam ini akan menjadi salah satu malam yang menyenangkan di hidupnya.

🌺🌺🌺

Selasa, 4 Juli 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top