( 𝟠 ) °• 𝓬𝓱𝓸𝓲 𝓫𝔂𝓾𝓷𝓰𝓬𝓱𝓪𝓷 .

Jika ditanya apakah ia menyesal, maka ia akan menjawab bahwa ia menyesali segala hal yang ia alami di dalam hidupnya. Ia tidak pernah percaya bahwa Moon Goddess adalah sesosok makhluk yang baik-baik. Mungkin saja sebenarnya Moon Goddess adalah pendosa, atau juga sosok usil dengan humor yang sedikit keterlaluan. Lelucon yang harus diterimanya sebagai takdir hidup pasti merupakan permainan semata bagi Moon Goddess.

Sejak ia lahir, kehidupannya sudah cukup— tidak, sangat, sangat berantakan. Kehadirannya di dunia ternyata tidak semanis jalan cerita orang lain di luar sana. Setidaknya Byungchan paham, bahwa tidak ada yang bisa kau harapkan dari sebuah kelahiran tidak terduga seperti dirinya. Hadir dari hubungan yang bahkan tidak akan pernah bisa dimengerti karena manusia itu, ibunya, hanyalah seorang pelacur kelas rendahan yang terus berganti-ganti pasangan setiap malamnya. Bagus sekali Byungchan secara mendadak muncul di dalam perutnya, lahir, dan menjadi omega yang tentu semakin merusak hidupnya.

Ibunya adalah orang gila. Tertular penyakit seks setelah kehadiran Byungchan, ketika Byungchan berusia dua belas kalau tidak salah, wanita itu justru— ah, bagaimana menjelaskannya? Mulai memperdagangkan Byungchan hanya karena ia tampak cantik? Atau karena Byungchan begitu pemalu, sehingga membuatnya tampak sangat menggemaskan? Bahkan ibunya tidak peduli ketika Byungchan menangis ketakutan melayani pelanggan pertamanya. Ibunya sama sekali tidak peduli dengan rasa takut yang Byungchan miliki.

Byungchan tidak dapat menolak. Sumpah serapah dan semprotan penuh amarah tidak hanya meluncur dari bibir ibunya, tapi juga dari para pelanggannya. Tidak ada satupun yang mau menuruti keinginan Byungchan untuk tidak menggunakannya. Mereka hanya sosok kejam yang butuh tempat untuk memuaskan nafsunya, dan Byungchan bekerja untuk itu. Ibunya mengancam akan membunuh Byungchan jika ia tidak bekerja. Tentu saja, sebab sejak kehadiran penyakit sialan itu ibu Byungchan tidak dapat bekerja, dan mereka jelas membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Tidak ada kekhawatiran di wajah ibunya ketika para pelanggan mengatakan bahwa mereka akan mengeluarkan benih mereka di dalam tubuh Byungchan. Usia yang begitu muda belum mematangkan organ-organ tubuh Byungchan, dan bocah itu tentu tidak akan hamil sekalipun ia seorang omega nantinya. Well, usia tujuh belas belum ia injak, dan pembagian peran itu jelas belum hadir.

Setiap hari, benar-benar setiap harinya, Byungchan harus menahan tangis dan berpura-pura menikmati segalanya. Ia akan menjerit ketika para alpha menancapkan rut mereka. Para alpha itu justru menanggap Byungchan menikmatinya, sangat menikmatinya sampai ingin mati. Bola matanya yang berputar dan tubuh yang membusur dari kasur tidaklah menghentikan kegiatan mereka. Tempo akan terus meningkat, terus menuju puncaknya hingga sinar matahari mengetuk tubuh Byungchan yang pada akhirnya ditinggalkan sendirian di atas kasur dengan sisa sperma dimana-mana.

Ibunya sama sekali tidak peduli.

.⠀⠀.⠀⠀.
.⠀⠀.
.⠀.

Byungchan pernah merasa takut. Hari dimana ia memilih mati adalah saat gelenyar panas menerjang, membawa tubuh tingginya sendiri untuk terjatuh di jalanan ketika asyik memilih sayuran di toko kelontong murahan. Nafasnya sesak hingga otaknya sendiri kekurangan asupan oksigen. Pusing mendera hebat hingga Byungchan tak lagi sanggup membuka mata. Ia menangis ketika maniknya menatap objek terakhir sebelum ia menutup mata rapat-rapat.

Tubuhnya di bawah sana menggembung.

Ini dia, heat pertamanya, peran yang tidak pernah Byungchan sebutkan di dalam doa sebelum ia tidur. Omega bukanlah keinginannya. Byungchan tidak mau mendengar geraman juga lolongan para alpha di sekitarnya yang berhasil menaruh atensi pada feromon miliknya. Byungchan lebih memilih untuk mati hari itu, tak masalah meskipun ia tengah berlari membelah jalanan dengan susah payah hanya untuk kembali ke rumah dan sembunyi dari serbuan alpha yang mengais tembok luar rumah.

Byungchan ingin menabrakkan diri ke truk atau juga menjatuhkan tubuhnya ke dalam jurang ketika sang ibu justru tersenyum licik melihatnya menggeliat di dalam kamar. Wanita itu menyeretnya ke bar malam tempatnya biasa bekerja, mengambil alih podium setelah meminta izin pada bos besar disana —yang juga menatap Byungchan lapar—, dan mengumumkan begitu saja bahwa Byungchan tengah mengalami heat pertamanya sebagai sebuah sayembara untuk mereka-mereka yang ingin berlomba memasang harga tertinggi sebagai tarif Byungchan malam itu.

Kepalanya tidak mampu menangkap apapun malam itu. Semuanya terasa begitu gelap dan mengerikan untuk diingat oleh dirinya. Byungchan hanya ingat bahwa ia sudah terbaring di dalam kamar VIP, kamar termewah yang belum pernah Byungchan cicipi sebelumnya, dan menggeliat hebat karena sengatan aneh baik di penisnya maupun di— ugh, dimana pun itu. Tubuhnya terbakar oleh nafsu yang tidak pernah Byungchan rasakan selama ia bekerja sebagai tempat untuk memuaskan nafsu para alpha.

Byungchan menangkap siluet asing itu, sosok alpha lain di malam harinya, malam yang seharusnya istimewa bagi Byungchan. Byungchan seharusnya tidak menjadi makhluk yang lebih rendah dari biasanya khusus untuk malam ini. Byungchan mendecih di sela desahannya, juga gerak tubuh di bawah sana yang tengah berusaha memuaskan dirinya sendiri.

"Berapa banyak yang kau bayar?"

Pria itu berdeham dan melepaskan coat navy yang ia kenakan secara perlahan. Gerakannya berwibawa, jelas pria yang tidak mungkin kau temui dengan mudah di jalanan, juga di tempat rendah seperti ini. Seharusnya pria itu dapat membayar lebih jika memang ingin mencari sosok jalang malam, bukannya di bar bobrok tempat Byungchan bekerja —tidak sejelek itu, hanya saja bukan bar bintang lima—. Byungchan mengakui bahwa ia terpaku saat itu melihat sang pelanggan yang justru duduk di sofa lain, bukannya langsung menyerang Byungchan seperti yang sudah-sudah.

"Cukup mahal hingga bisa membelimu."

Byungchan membeku. Tubuhnya yang berkeringat tidak lagi menggeliat atau juga menggesek kasur dengan lapisan linen lembut. Maniknya melontarkan banyak kata dalam kesunyian pada pria yang menumpukan kedua sikunya di paha. Byungchan dapat melihat gundukan itu. Ia tau, bahwa sang pelanggan juga terangsang dengan feromonnya. Lantas, kenapa pria itu tidak menyerangnya? Dan— tunggu, membeli Byungchan?

"Membeliku—?"

"Apa kau tidak merasakannya, Byungchan?," pria itu akhirnya bangkit dan duduk di tepi kasur. Telapaknya mengusap lembut surai hitam legam Byungchan, membenarkan anak rambut yang lengket di kening akibat hujan keringat disana. Bibirnya melengkungkan senyum terlembut yang pernah Byungchan temui di antara wajah para pelanggannya. "Kenapa kau tidak coba mendengarkannya?," lanjut pria itu.

Byungchan diam, mencerna seluruh kalimat memusingkan sang pelanggan di antara tumpukan beban dalam kepalanya. Sel-sel dalam otaknya bertarung, mencoba berpikir keras. Satu suara menggema, membawa jantung Byungchan untuk jatuh terhempas setelah dentuman kuat yang menyakitkan. Tubuhnya gemetar dari ujung hingga ujung, merangsang bulu kuduknya untuk tegak berdiri.

Mate, mate, mate.

"H-huh—?"

"Sudah paham?," tanya sang pria kembali. Telapaknya yang bergerak turun menuju penis Byungchan berhasil menyadarkan sang pemilik tubuh. Dengan sigap, Byungchan menahan telapak yang berusaha meremat penisnya, mendatangkan tanda tanya dari sang pelanggan. Alis tebal itu bergerak semakin naik kala melihat Byungchan yang sedang menahan isak tangisnya mati-matian.

"J-jangan—"

"Let me help you, Choi Byungchan—"

"Jangan!," Byungchan menjerit. Entah sejak kapan ia mengumpulkan energi di dalam tubuh, namun dalam sekejap, ia sudah berhasil duduk terbungkuk dengan kedua kaki mengatup di depan dada. Telapak tangannya menepis tangan sang pelanggan ke sembarang arah dengan begitu kuat. Alpha di hadapannya menatap dalam tanpa menyembunyikan keterkejutan setelah Byungchan menolak sentuhannya begitu saja.

"But you need me. Jangan menolak, tubuhmu sendiri yang akan merasakan sakitnya."

"Jangan sentuh aku!," Byungchan meraung. Tangisnya pecah begitu saja di hadapan sosok asing yang menjadi matenya. Bahunya meluruh ketika sang pria membawa tubuh kurusnya ke dalam pelukan hangat. Dekapannya begitu lebar, menenggelamkan Byungchan dan tangisnya ke dalam dada alpha itu. Byungchan tak menolak, atau mungkin tidak bisa menolak sedikitpun. Ia dilema, ketika satu sisi dalam dirinya mencoba untuk menjaga jarak, namun dirinya yang lain melolong menginginkan sentuhan pria itu.

Keduanya membungkam bibir dan tidak saling berbicara. Pria itu tidak memotong tangis Byungchan yang semakin parau untuk didengar. Kedua telapak tangannya sibuk mengusap punggung yang lebih muda, menenangkan tangisnya tanpa suara atau bujuk rayu. Ia membiarkan saja ketika Byungchan sesekali memukulnya dengan sisa tenaga yang ada, juga ketika telapak tangan menggemaskan itu meremat pakaiannya kuat-kuat.

"Takut?"

Byungchan tidak menjawab. Tangisnya semakin keras dan pecah di ujung ketika pria itu bertanya dengan suara lembut. Byungchan menjawab melalui tangisannya.

"Mau mencoba segalanya secara perlahan? Dengan perkenalan, misalnya. Aku tidak akan memaksa sampai kau siap. Tapi aku mungkin akan melakukan kehendakku ketika kau kesakitan di heat yang akan datang."

Kenapa omega harus merasakan heat yang lebih sakit setelah bertemu mate mereka?

.⠀⠀.⠀⠀.
.⠀⠀.
.⠀.

"Hey, manis."

Byungchan menekuk bibirnya mendengar panggilan seseorang yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakangnya. Kedua lengan kokoh milik sosok itu merengkuh tubuh Byungchan dan membawanya dalam sebuah pelukan. Dagunya yang cukup lancip menyandari pada bahu Byungchan yang untungnya sudah lebih berisi jika dibandingkan saat mereka bertemu pertama kali.

"Kau baru sadar aku manis?," Byungchan meletakkan sendok sup di sisi kompor, kemudian memutar tubuh hanya untuk membalas pelukan sosok itu. Ia tersenyum malu-malu, membalas senyum lembut yang tidak pernah berubah dari beberapa bulan lalu. Senyum yang selalu membuai Byungchan untuk semakin jatuh cinta dengannya— sikapnya, ketulusannya, segalanya. "Lelah bekerja, Han Seungwoo?"

"Tidak juga," satu kecupan menjadi jeda sebelum kalimat lain menyusul di belakang. "Sekarang sudah tidak."

Byungchan tertawa dan memberikan kecupan lain secara sukarela pada matenya. Ia menghujani paras tampan itu di tiap sudut tanpa sisa. Ketika ia melumat lembut bibir tebal sosok di hadapannya, sebuah balasan yang sama pelannya menyapa. Keduanya larut dalam ciuman dalam yang tidak menuntut. Dua manik yang saling mengunci menyorotkan bagaimana mereka menyayangi satu sama lain dengan perasaan menggebu-gebu.

Byungchan baru mengerti, ternyata ini yang dirasakan orang ketika mereka menerima kasih sayang dari orang lain yang juga mereka sayangi.

.⠀⠀.⠀⠀.
.⠀⠀.
.⠀.

"Ini Byungchan."

Byungchan tersenyum kikuk memperhatikan para alpha yang berdiri di hadapannya. Tiga sosok dengan tiga perangai yang berbeda. Katakanlah Byungchan mendapat banyak pengalaman dalam hal menilai seseorang melalui visual saja. Pekerjaannya terdahulu menuntut Byungchan untuk menjadi pandai beradaptasi di lingkup sosial, dan salah satu keahlian yang muncul adalah menilai orang lain. Byungchan tau hal itu adalah salah, tapi jika ia berada di situasi ini, situasi dimana ia mengerti bahwa semua yang ada di rumah itu bukanlah orang yang baik-baik saja, Byungchan patut untuk merasa bersyukur akan keahliannya.

"Kalian mate?," salah satu tiga alpha itu mengendus udara, mencari-cari bau yang menguar diantara Byungchan dan Seungwoo. Byungchan sempat melirik matenya, mencari bantuan untuk menjawab pertanyaan retoris itu, namun Seungwoo tidak menangkap sinyal permohonannya.

"Apa tidak apa membawa matemu kemari, Seungwoo? Kita semua alpha."

Byungchan balas menatap ketika Seungwoo menoleh padanya. Keduanya tak lagi berbicara melalui pandangan mereka. Keduanya hanya menatap, mencari jawaban dari masing-masing manik tanpa mengerti jalan pikir yang beberapa saat lalu sempat terbaca. Byungchan tak memikirkan jawaban apa yang akan Seungwoo beri. Ia lebih sibuk mencari senyum yang biasa didapat ketika mereka saling melempar pandang, khas dua insan yang tengah mabuk oleh cinta di antara mereka.

Seungwoo tidak tersenyum.

"Bukan masalah. Lagipula, aku menemukannya di bar."

"Tarik kata-katamu, hyung."

"Jangan mulai," pria yang pertama bertanya menengahi sebelum Seungwoo dan pria lain saling meninggikan emosi mereka. Ia memberi jarak dengan berdiri di antara dua pria itu. Senyumnya tampak jelas berusaha menarik atensi Byungchan agar tidak repot-repot memikirkan apa yang terjadi.

Byungchan mengerti, Seungwoonya tidak lagi sama. Tidak ada lagi kecupan atau sapaan selamat pagi ketika Byungchan pertama membuka mata saat matahari menyapa. Bagus jika Byungchan dapat menemukan Seungwoo di sisi lain kasur, bukannya udara dingin tanpa sisa kehangatan sama sekali. Tidak ada lagi pelukan atau juga sikap manja setiap kali matenya kembali dari tempatnya bekerja— perusahaannya sendiri. Tak jarang Seungwoo hanya akan berlalu, mengabaikan Byungchan yang berdiri dan tersenyum lebar hanya untuk menyambutnya di pagi buta.

Byungchan membohongi dirinya sendiri jika mengingat semua itu. Ia tetap tersenyum meski harus membuang masakannya, semua masakannya, karena Seungwoo tidak menyentuh mereka sama sekali. Byungchan tidak ambil pusing dan yakin bahwa semuanya hanyalah hal biasa dan baik-baik saja. It's not a big deal, Byungchan pernah merasakan banyak hal yang lebih buruk dari sekedar diacuhkan. Kekhawatiran Byungchan terhadap Seungwoo juga kesehatannya jauh lebih besar dibanding harus memperhatikan dirinya sendiri.

"Selamat datang Byungchan. Semoga kau baik-baik saja dan tidak masalah jika harus berurusan dengan kami, para alpha."

Lamunannya terpecah oleh suara sosok lain yang baru mengangkat suaranya setelah cukup lama Byungchan menginjakkan kaki disana. Ia melebarkan senyuman, kembali bersikap profesional di hadapan para alpha. Telapak tangannya membalas jabatan-jabatan hangat yang menyambut dirinya, mengalihkan fokusnya dari Seungwoo yang sudah pergi entah kemana, meninggalkannya sendirian tanpa pemahaman apapun.

.⠀⠀.⠀⠀.
.⠀⠀.
.⠀.

Masa selalu memberikan jawabannya, entah cepat atau juga selambat kura-kura. Pada kasus seorang Choi Byungchan, jawaban selalu saja datang lebih cepat dari yang ia duga. Pertanyaannya terhadap kebiasaan Jinhyuk mengetukkan kaki di lantai seperti orang yang tidak sabar, Seungyoun yang terus pulang mendekati pukul tiga pagi, atau Kookheon yang terus saja membawa laptopnya kemanapun dia pergi seperti membawa kekasihnya sendiri.

Tinggal bersama para alpha rupanya berhasil merubah pandangan Byungchan pada mereka dengan status strata tertinggi. Mereka tidak seburuk itu, selain sikap egois dan mudah terpancing emosinya, semuanya aman-aman saja dan mudah dikendalikan. Byungchan secara tak langsung berubah peran menjadi seorang ibu di markas. Setiap harinya ia akan memasak dan menyiapkan segala hal terkait kebutuhan para alpha.

Byungchan tidak masalah mengetahui pekerjaan mereka yang memang sejak awal sudah ia duga— tidak baik-baik saja. Sejak awal, hidupnya sendiri sudah tidak berada di jalan yang benar menurut orang normal di luar sana.

Byungchan tidak masalah Jinhyuk suka sekali mengomel dengan keadaan bibir terkunci rapat. Ia mengerti, bahwa di markas, Jinhyuk adalah pihak yang paling atas, menguasai siapapun di dalam markas tanpa harus membuka mulutnya. Byungchan gentar, memilih menyingkir ke luar markas kalau saja suasana sedang tidak baik, terlebih jika Jinhyuk mulai berbicara dengan intonasi yang tidak biasa.

Byungchan tidak peduli dengan Seungyoun yang suka sekali memeluknya begitu saja. Risih, namun lama-lama ia juga terbiasa. Pria konyol itu suka sekali mencuri kecupan di pipi Byungchan, kemudian tertawa melihat pipi yang lebih muda memerah layaknya tomat matang. Byungchan bersyukur Seungyoun hadir sebagai pihak ketiga yang menetralisir pertengkaran berkepanjangan di markas, sehingga ia tidak perlu terlibat di dalamnya.

Byungchan tidak lagi mempertanyakan sikap baik Kookheon, terlebih ketika keributan tengah terjadi di markas. Kookheon akan selalu ada disana, memeluknya, mengusap punggungnya sepelan mungkin hanya untuk menenangkan Byungchan. Kookheon mudah tersenyum padanya, selalu mengucapkan selamat pagi dengan usapan ringan di kepala Byungchan, akan melindungi Byungchan di balik punggung kokohnya manakala pertengkaran dimulai atau juga topik perdebatan mengarah padanya.

Byungchan bingung, namun ia menikmati arus yang membawa jalan hidupnya.

Lagipula, ia belum berhasil menjawab, kenapa Seungwoonya berubah begitu saja menjadi sosok paling asing yang pernah Byungchan jumpai dalam hidupnya.

Mereka mungkin tidak lagi mencintai. Mereka hanya terikat hubungan mate yang mungkin akan dihapus kalau saja semudah itu. Sorot dan gejolak antara keduanya sudah tak lagi sama.

Apa Byungchan melakukan sesuatu yang salah?

Sungguh, Byungchan hanya takut ia tidak lagi dicintai. Byungchan tidak ingin kembali merasa terbuang layaknya benda yang tak lagi berharga.

⠀⠀⠀
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀

.⠀⠀.⠀⠀.
.⠀⠀.
.⠀.

⠀⠀⠀
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀

Choi Byungchan.

% Seungwoo's.
= mungkin.

% tersesat dan menyesatkan.
= dipastikan kebenarannya.

% menyayangi Kookheon.
= sangat.

% sosok ibu yang baik dan selalu merangkul anak-anaknya.
= dipastikan kebenarannya. tidak segan mengecup mereka di bibir.

% membohongi dirinya dari apa yang terjadi di depan mata.
= selalu, terus hingga hati dan pikirannya tidak memusingkan retak yang terus bertambah.

⠀⠀⠀
⠀⠀⠀




7 rings


⠀⠀⠀

a/n: chapter flashback bakal lanjoot terus dua update ke depan oqeh?

bingung? sabar guise, tunggu sudut pandang lain.

tapi asli nulis punya byungchan bikin mau nangiiiiissss sakit banget rasanya woe elah😭😭 pengen injek injek semua orang, apalagi seungwoo hMn, kupites kamu mas.

With luv,
Jinny.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top