( 𝟟 ) °• 𝓼𝓮𝓽𝓮 .

plis jangan berharap banyak di ff ini gaes. ff ini dari awal udah banyak sedihnya, ga bakal mulus semulus paha byungchan:(

.⠀⠀.⠀⠀.
.⠀⠀.
.⠀.

Lagi-lagi, keributan terjadi di gedung kokoh itu. Beberapa guru sudah berlari, mengamankan salah satu omega yang pingsan karena heat pertamanya, sementara separuh lainnya akan diam di pintu kelas, menjaga beberapa alpha muda yang jelas belum dapat menahan nafsu mereka. Aroma kayu manis begitu dominan mengisi tiap kelas ketika tubuh omega yang terbaring di tandu petugas kesehatan melintasi koridor panjang sekolah. Riuh menjadi-jadi dan terdengar bersahutan, entah karena seorang alpha yang melemparkan meja ke pintu kelas hanya untuk menyingkirkan guru yang berjaga, atau juga percakapan heboh diantara para siswa siswi.

Minhee bukan salah satu dari mereka yang harus menghadapi emosi para alpha di kelas, untungnya. Ia hanya diminta untuk berlari, menyamakan langkah panjangnya dengan siswa siswi petugas kesehatan lain yang mengangkat tandu atau juga berlari di sisinya. Telapak tangannya mendekap kotak P3K yang sempat ia raih dari laci mejanya di kelas. Bisa dikatakan, Minhee —yang memang merupakan seorang petugas kesehatan di sekolah— merangkap tugas sebagai penyedia perlengkapan di situasi gawat darurat, seperti saat ini. Tak heran ialah yang selalu membawa kotak kecil berisi obat-obatan setiap kali petugas kesehatan berjaga.

Pada awalnya, malam hari Minhee berjalan begitu baik. Ia terlelap di atas meja, sudah terlalu abai dengan jam pelajaran terakhir sekolahnya. Jam menunjukkan pukul tujuh kurang, ketika Minhee harus menahan kekesalan karena gebrakan di meja, memaksanya untuk terjaga detik itu juga. Fokusnya tak langsung menangkap sosok Koo Jungmo, kawannya yang juga merupakan petugas kesehatan di sekolah. Minhee justru nyaris terhempas ke belakang ketika kelopak matanya kembali terpejam dengan kepala terlempar mundur.

"Kang Minhee!"

Barulah Minhee melonjak dari alam bawah sadarnya, terjaga dengan manik sayu, khas seseorang yang baru saja hendak menjelajahi dunia mimpi berkepanjangan. Jungmo bukan tipikal pria yang akan membentak begitu saja jika tidak karena situasi gawat dan juga kesal bukan main menghadapi sifat jahil Minhee. Dan Minhee cukup pintar untuk sadar bahwa Jungmo tengah membentaknya karena kemungkinan yang pertama.

Minhee melesat tergesa, menyusul Jungmo yang sudah melangkah kala itu. Sempat ia mengaduh karena harus tersandung meja dan nyaris menabrak pintu karena— hey, ia belum sadar sepenuhnya, Jungmo menyebalkan. Hal pertama yang ia tangkap adalah keributan dimana-mana, persis seperti permulaan perang dunia ketiga.

Tentu Minhee tidak menangkap wewangian apapun. Ia beta, bukannya omega yang heat dengan cara paling kasihan yang pernah Minhee lihat sebagai sesosok makhluk hidup. Minhee juga bukan alpha yang akan terpancing hanya karena mencium feromon omega. Minhee baru menyadari situasi ketika ia berhasil menangkap tandu yang mengangkut tubuh seseorang, dan langkah yang menggiring mereka menuju ruang kesehatan.

"Kang Minhee!"

"Iya iya, jangan membentakku terus astaga, aku juga sudah sadar!"

Minhee mencebik kesal. Malam panjang kembali dilalui dengan erangan dan obat supresan. Terima kasih petugas kesehatan, Minhee sedikit menyesal memilih untuk masuk ke dalam ekstrakulikuler ini hanya karena Jungmo membujuknya dengan jajanan-jajanan mewah yang dibawanya dari luar negeri. Harusnya Minhee tidak menuruti perutnya, demi Moon Goddess yang baik.

.⠀⠀.⠀⠀.
.⠀⠀.
.⠀.

Minhee berjalan sempoyongan, ke kiri dan ke kanan dengan manik setengah terpejam. Heat yang harus ia tangani kali ini ternyata lebih buruk dari dugaannya. Kawannya terus saja mengerang dan— uh, ya kau tau, bertindak tidak senonoh. Minhee nyaris mual melihat apa yang dilakukan kawannya hanya untuk memuaskan diri, sementara petugas kesehatan harus mencengkram tangannya dan meningkatkan dosis obat supresan. Sungguh, Minhee tidak dapat berbuat banyak selain mematung di tepi pintu hingga kedua orang tua kawannya datang menjemput dengan raut panik setengah mati.

"Bagaimana ya rasanya?"

Akhirnya sang bocah bersandar sejenak di tembok pertokoan yang sudah tutup. Malam menunjukkan pukul sepuluh, dan Minhee masih terombang-ambing, belum sampai di rumahnya —yang sial, masih jauh—. Tak ada suara lain selain desir angin yang memaksa daun untuk bergesekkan, juga suara-suara dalam kepalanya.

Minhee bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Ia seorang beta, bukannya omega apalagi alpha. Bagaimana ketika heat menyerangnya, ia justru tidak sadar? Atau, bagaimana ia dapat menolong orang lain ketika ia tidak bisa membaui feromon dari mereka-mereka yang tengah menghadapi heat juga rut? Hingga detik ini, ia hanya merasakan tubuhnya lengket, basah oleh peluh. Ia tidak dapat mencium bau tubuhnya sendiri.

Di malam hari. Sepi.

Tubuhnya bergidik merasakan angin yang membelai tengkuk. Minhee mengusap lehernya sendiri dan menoleh. Sepasang kilatan tajam sempat ditangkap maniknya, tengah bersembunyi di balik semak dan pepohonan, sebelum secara ganjil menghilang seperti kedipan. Apa yang kau harapkan dari kota para werewolf selain hutan dan hutan dimana-mana?

Minhee punya reaksi yang bagus, kalau orang-orang tidak tau. Otaknya tidak selambat itu untuk memerintah anggota tubuh yang lain, memaksa dirinya agar segera berlari tanpa menoleh. Derap langkahnya membelah kesunyian malam. Rasa takut jelas menggerogoti dirinya. Minhee benar-benar tidak bodoh! Ia paham, sangat paham, bahwa apa yang ia lihat adalah sepasang mata wolf diantara kegelapan hutan.

Minhee mencoba menoleh, mendapati kekosongan di belakangnya, dan membawanya pada penyesalan lain. Mungkin, sebenarnya, Minhee memang sebodoh itu.

"Aduh!," Minhee terlempar mundur dan jatuh di jalanan. Kaki kirinya terantuk kaki kanannya sendiri ketika tubuh tingginya secara tak sengaja menabrak penghalang besar yang tak ia perhatikan. Ia tak sempat merutuk atau merasakan sakit di sekujur tubuh, sebab manik bulatnya sudah menangkap tiga sosok asing berdiri di depannya. Dua dari mereka belum mencapai kata setengah bertransformasi, hingga masing-masing iris mereka berbeda warna. Lain dengan pria yang Minhee tabrak, dua maniknya yang menyorot tajam jelas menunjukkan warna dan bentuk yang tak mungkin dimiliki seorang manusia.

Pria itu tersenyum. Hidungnya mengendus-endus udara, membawa kepalanya sendiri untuk bergerak naik seakan menikmati apa yang tengah ia hirup saat ini. Seringai di wajahnya menjadi peringatan bagi Minhee untuk segera bangkit dan mundur perlahan dengan kaki tertatih. Ketakutan menjadi jelas menghiasi wajah pucat sang pelajar muda.

Mereka alpha.

"Kau itu omega atau beta?," suara berat sang pria menyentak bahu Minhee, membawa tubuh jangkung itu pada serangan tremor mendadak. "Bau omegamu bahaya sekali, kau tau?"

"Persetan dengan beta atau omega!," sahut pria di kanan. Kedua matanya kini sudah berubah warna secara penuh, menyusul kawannya. Senyumnya melebar, menampilkan taring kokoh yang mulai mencuat. "Dia tetap menarik di mataku."

"Mata kita," koreksi yang lain cepat. Mereka saling melirik, menyanggah pendapat masing-masing karena tak ingin berbagi tubuh Minhee. Sedikit ia bersyukur dengan sifat egois alpha, sebab dengannya, ia dapat melangkah lebih lebar untuk mundur dan menjaga jarak.

"Bocah, mau kemana kau?"

Minhee membeku saat ketiganya bergerak cepat dan merangkul tubuhnya tanpa peringatan. Mereka mulai mengendus-endus tepat di atas epidermis Minhee, menikmati aroma memabukkan kawan omega yang tertinggal di tubuh Minhee. Jangan katakan Minhee tidak berusaha lepas. Minhee sudah mencoba mendaratkan tendangan ketika salah satu dari mereka menahan kedua tangannya dengan cara merengkuh dari belakang dan mengangkat tubuhnya seakan ia seringan kertas.

Sekali lagi, mereka alpha.

Air mata menggenang di kelopak lebar Minhee ketika ketiga pria itu membawanya ke gang yang sama ketika Minhee melihat para penjahat dan bertemu dengan tuan Y.H aneh itu. Tubuhnya melemas melihat salah satu dari mereka menarik kemeja sekolahnya keras, memutus kancing yang  menjadi pengait guna menutupi dada bidangnya.

Mati. Ia mati.

"Kang Minhee?"

Empat kepala disana menoleh, terkejut melihat sosok lain muncul dari arah berlawanan. Kegelapan masih menutupi parasnya, tapi Minhee bersumpah ia kenal suara itu. Minhee mencoba memberontak sekali lagi ketika menyadari cengkraman di tubuhnya mengendur begitu saja. Ia tak peduli pada para alpha bajingan yang  mengambil langkah mundur perlahan, menjaga jarak dari sosok lain yang terus melangkah maju mendekati mereka.

Minhee hanya menangkap kilat tawny di antara kegelapan, dengan corak yang cukup aneh di sepasang matanya— atau mungkin karena tatapan ganjil sosok itu. Ia menubruk tubuh yang sudah merentangkan tangannya, menangkap dirinya yang lemas bukan main. Kakinya berubah menjadi jelly di dalam pelukan sang penyelamat.

Minhee hanya seorang beta. Minhee tidak dapat merasakan betapa berbahaya feromon yang dikeluarkan sosok itu— pria itu, mengusir mereka-mereka para alpha untuk segera angkat kaki.

Minhee mendongak, menatap sang penyelamat dengan lelehan air mata di kedua pipinya. "T-tuan, aku takut—"

"Masuk ke dalam mobil di belakangku, biar aku yang mengurus sisanya."

Mengurus sisanya? Kata yang tentu berkonotasi buruk jika diucapkan seorang alpha. Minhee tidak mau menjadi alasan pertumpahan darah terjadi hanya karena feromon sialan kawannya. Telapaknya mencengkram dengan segenap tenaga yang tersisa, meminta sang pria untuk tidak melepaskan pelukannya atau juga melangkah menjauh. Kepala Minhee menggeleng, dan ia mulai terisak.

Hela nafas kasar meluncur. Pria itu mengeratkan dekapannya pada Minhee dan menyeringai pada para alpha yang sudah mundur cukup jauh. Tatapan datarnya terkesan semakin tidak bersahabat, namun menjengkelkan bukan main. Tatapan yang merendahkan orang lain, seakan mereka tidak sederajat dengannya.

"Kalian beruntung."

.⠀⠀.⠀⠀.
.⠀⠀.
.⠀.

"Mau sampai kapan?"

"Apanya?"

Sihoon mengernyit. Tubuhnya bersandar pada meja kerja sang kawan, kemudian meletakkan segelas kopi di dalam cup untuk sang kawan. Pria di balik meja tersenyum lembut, berterima kasih pada Sihoon karena repot-repot membelikannya minuman tanpa ia minta. Matanya yang memerah sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Rasa kantuk di shift malam memang semenyebalkan itu. Sihoon jelas paham rasanya, terlebih melihat tumpukan kertas laporan yang harus ditulis sang kawan karena keusilan Yohan, mau tak mau membuatnya merasa simpatik.

"Istirahatlah dulu, Yuvin."

Bukannya menyamankan diri dan tidur barang lima menit, Yuvin justru meraih kunci mobil patroli dan mengayunkannya di udara. Sebelah tangannya yang lain membawa kopi yang diberikan Sihoon, kemudian menyesapnya. Sihoon mengekori sang pria dari belakang, berjaga kalau saja kawannya yang juga bertugas malam itu secara mendadak oleng dan terjatuh di antara langkahnya menuju luar kantor kepolisian.

"Aku butuh udara segar, mau ikut?"

Sihoon mencaci dalam hati. Yuvin itu tolol bukan main, kalau boleh ia katakan demikian. Sudah ratusan kasus ditangani oleh kawan-kawan mereka dari divisi lain untuk hal kecelakaan di jalanan. Sebagian besar karena mengantuk ketika mengemudi. Sihoon belum mau mati, jadi ia membanting kembali pintu mobil yang sudah dibuka oleh Yuvin.

"Aku mengemudi."

Yuvin tertawa. Telapaknya menepuk puncak kepala Sihoon beberapa kali, menenangkan sang pemuda tanpa banyak bicara, dan masuk ke dalam mobil. Sihoon mengerang, kalah debat dengan alpha besar itu. Langkah kakinya menghentak ketika masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi penumpang depan dengan wajah cemberut.

"Ayolah Sihoon, aku memang mengantuk, tapi udara segar pasti bisa membuatku terjaga lagi," Yuvin bergerak maju, melintang di hadapan Sihoon dan memasangkan sabuk pengaman untuk sang kawan. "Lagipula kau hanya perlu menarik rem tangan kalau sesuatu terjadi."

"Lagipula, katamu?," Sihoon melotot horror mendengar ucapan ringan kawannya. "Kau itu tidak takut mati ya?"

"Tidak tuh?"

Sihoon menampar kepala Yuvin cukup keras. Pria di balik kemudi mengaduh panjang, namun tak menghentikan gerak tubuhnya untuk mulai mengemudi, membawa mobil patroli untuk berkeliling di malam itu. Yuvin mengerti bahwa Sihoon sudah berpatroli tadi, tapi demi dewa, ia benar-benar butuh hiburan. Suntuk melanda ketika ia harus terus mengisi laporan karena mempercayai seorang pelajar yang mengaku ia melihat perampokan di bank sentral. Lagipula, bocah itu terlalu bodoh untuk mengidentifikasi wajah Yunseong dan tubuh tegapnya. Yuvin sedikit bersyukur, kali ini ia tidak perlu memalsukan sedikit laporan yang ia kerjakan. Tapi tetap saja, Yuvin alergi dengan kertas laporan sebagaimana ia alergi menghadapi sosok Hangyul.

"Kau sudah makan malam?"

"Sudah," balas Sihoon. "Kau lupa ya, aku yang membawakan nasi kotak untuk makan malammu hari ini?"

Yuvin menoleh sejenak, tertawa, kemudian kembali memperhatikan jalanan. "Sekarang aku baru sadar kau begitu perhatian denganku, Kim Sihoon."

"Jangan berharap lebih, aku tidak sudi punya mate sepertimu. Kau sama sekali bukan seleraku, thank you but next. Lagipula—," Sihoon menggantung kalimatnya. Maniknya menatap jalanan, tampak ragu untuk menyuarakan pertanyaan lain untuk Yuvin. Pembicaraan mereka tidak pernah berakhir baik ketika Sihoon menanyakan hal ini, hal yang sama secara berulang pada Song Yuvin.

"—sampai kapan kau mau menyembunyikan perasaanmu pada Yohan?"

.⠀⠀.⠀⠀.
.⠀⠀.
.⠀.

Keadaan di dalam markas tidak seindah matahari yang menggantung di langit. Nyatanya, pancar sinar cerah itu tidak dapat menghapus suram yang mengisi. Hanya ada suara bantingan dan langkah kaki yang bergerak kesana kemari dengan emosi menggebu-gebu. Langkah kecil lain mengekori di belakang, meski menjaga jarak cukup lebar dengan sang pria.

Markas sepi, hanya ada tiga kepala disana. Salah satunya diam, memperhatikan dari kejauhan, sementara dua insan lain sibuk melintasi dari satu ruangan ke ruangan lainnya. Entah kemana perginya Jinhyuk di situasi genting seperti ini, pula Seungyoun yang sialnya tengah cuti dari tugasnya untuk melerai pertengkaran yang tak pernah berhenti di markas mereka. Setidaknya, Hangyul tidak ada disini dan justru memperburuk suasana. Kookheon patut bersyukur untuk hal ini.

Seungwoo melangkah lebar dengan emosi membara. Urat di kepalan tangannya tercetak, mencuat dari balik epidermis sepucat mayat miliknya. Telapaknya mencengkram udara kosong, tempat dimana seharusnya ada beberapa lembar kertas penting berisi data-data perusahaan disana. Beberapa kali ia akan menggeram rendah, selaras dengan tekuk di keningnya yang bertambah dalam.

"Pelan-pelan sayang, kau pasti tidak sengaja—"

"Diam, jalang!"

"Stop it, Han Seungwoo," Kookheon beranjak dari sofanya setelah memilih untuk memperhatikan keributan di markas sejak tadi. Lengannya membawa tubuh Byungchan mundur, melindungi sang omega yang sudah gemetar dan menatap lantai dengan manik berkaca-kaca. Tubuh tingginya meringkuk di balik punggung kokoh Kookheon, menyembunyikan diri dari Seungwoo yang hanya mendecih remeh dan tersenyum merendahkan.

"Ini dia, pangeran kesayangan Choi Byungchan, jalang kecil kita," Seungwoo melempar ponsel yang ia genggam di seberang kepalan tangan lain, membiarkan benda itu menabrak tembok dan menghancurkannya. "Atau dia milikmu, Kookheon? Mateku, milikmu? Seberapa sering dia memuaskanmu sampai kau mau menjadi tameng pria rendah sepertinya?"

Satu hantaman tinju menyeret tubuh Seungwoo ke belakang beberapa langkah. Pria tinggi itu meludah ke samping, membuang darah yang mengisi mulutnya akibat kepalan tangan Kookheon. Seungwoo tidak membalas, ia justru bersedekap dan menatap dua sosok di depannya datar. Derak gigi yang bersinggungan terdengar, mendukung emosi dari rahang Seungwoo yang sudah mengeras. Pria itu terang tengah menahan emosinya sendiri untuk tidak memulai pertengkaran lain yang dapat membebani pikiran kalutnya saat ini.

"Matemu? Baik sekali kata-kata yang kau ucapkan."

Kookheon menarik kerah kemeja Seungwoo, tak peduli akan sekusut apa pakaian itu kelak. Maniknya sudah menatap nyalang, membalas tatapan Seungwoo tak kalah mengejek. Kedua alpha mulai saling mengancam dan menekan, abai dengan Byungchan yang sudah terjatuh di atas lantai keramik dan semakin ketakutan. Ia hanya omega, tak mungkin ia dapat menyandingi para alpha itu.

"K-Kookheon, s-sudah—"

Kookheon melempar cengkramannya, mendorong Seungwoo untuk menjauh dari keduanya. Telunjuknya mengarah pada wajah yang lebih tua, mengabaikan status mereka di dalam markas juga usia yang terpaut di antara mereka. Sebuah peringatan menjadi penanda penuh pada Seungwoo.

"Renungi sebelum kau menyesal. Jangan jadi pendosa lain disini."

Perdebatan berakhir ketika Kookheon menggendong tubuh Byungchan dan membawanya menjauh, meninggalkan Seungwoo yang sudah meninju tembok hingga retak. Salah satu maniknya yang berubah warna sudah berkilat. Nyaris tubuhnya menerjang Kookheon, kalau ia tidak menahan emosinya mati-matian.

"Bajingan!"




7 rings

a/n: bentar. aku megap megap nulis chapter ini sumpah.

ga ngerti, suka aja gitu sama chapter ini:(
di halagueno boleh jadi seungwoo bucin setengah mampus, tapi disini, jangan berharap banyak ya gaes.

:)

salam sayang, dedek emesh kita, Minhee.

dan 2nd lead & 3rd lead kita.

juga manusia ga jelas, Yunseong.

dipastikan chapter depan bakal ada rombongan flashback, oqeh?

oh iya, maap ya aku jarang banget update. mataku masih ga jelas maunya apa, terus aku udah ikut tiga kepanitiaan— which is berarti aku ga bisa banyak pegang wp, paling nyampah aja di wall kayak biasa.

tapi! aku! tetep! usahain! update!

jangan lupa jaga kesehatan ya sayangku semua💞

With luv,
Jinny.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top