( 𝟞 ) °• 𝓼𝓮𝓲𝓼 .
Ia melihatnya, sang pria yang sudah tertawa kembali di tepi kasur, dengan kedua tangan yang sibuk menyentuh tubuh sosok yang terbaring. Lega terasa mengguyur bak air hujan di luaran sana. Setidaknya, pria di tepi kasur itu sudah tidak lagi mengabarinya setiap malam dengan isak tangis karena rasa takut.
Sebenarnya, Sihoon mengerti, Wooseok bukanlah sosok yang penakut. Sebagai seorang dokter, layaknya polisi, tentu pria manis itu sudah terbiasa dengan banyaknya hal menarik yang harus dihadapi. Ingatan Sihoon terlempar, merekam kembali saat Wooseok memancarkan semangat melalui matanya ketika menceritakan tentang pasien di situasi gawat waktu itu. Di tengah keriuhan bank sentral, Sihoon dapat membayangkan bagaimana raut profesional Wooseok ketika bekerja dan abai dengan gertak para penjahat.
Beruntungnya lagi, garis artistik di telapak tangan Wooseok sudah menghilang. Sihoon sempat nyaris meledak ketika memikirkan bahwa mungkin saja garis itu menjadi tanda entah untuk apa, dan lebih parahnya lagi jika itu menyangkut tentang mate. Menurut hukum yang tercipta, klaim secara sepihak tentu sudah melanggar hak kebebasan bagi pasangan werewolf. Klaim hanya untuk mereka yang sepakat untuk melakukannya, tak peduli sekalipun salah satu pihak tersiksa dengan penandaan yang terlalu diundur. Sihoon setuju saja dengan kebijakan itu, sebab melalui peraturan tersebut, para werewolf seakan diingatkan bahwa mereka tetap memiliki darah manusia di dalam tubuh mereka.
"Sihoon!"
Sihoon tersenyum dan segera membalas pelukan erat Wooseok. Ia terkekeh mendengar nada bicara Wooseok yang melengking bak anak kecil. Wooseok tampak dapat mood yang cukup baik hari ini— hey, Sihoon bukannya membuntuti Wooseok, ini karena ia ditugaskan untuk memberi perlindungan saksi pada Wooseok. Mengunjungi Wooseok di pagi hari untuk mengantarkannya bekerja, juga menemaninya di malam hari untuk memulangkan Wooseok ke rumahnya sudah menjadi rutinitas baru bagi Sihoon. Tidak masalah, Wooseok yang begitu menggemaskan selalu mencerahkan harinya, membuatnya lupa dengan tugas-tugas kepolisian yang memuakkan.
"Sudah makan siang?," Sihoon bergumam pelan. Suaranya teredam kecupan singkat yang ia daratkan di pipi Wooseok.
"Sudah— aku tidak tau kau akan datang. Kalau begini, harusnya aku tidak makan tadi!," gerutunya. Pipinya menggembung, tampak kesal— tapi jauh dari kata menyeramkan. Bahkan Sihoon sebagai sesama omega nyaris berubah menjadi seonggok jeli melihat tingkah Wooseok. Dia tentu tidak dapat bertingkah menggemaskan seperti Wooseok, selain karena Yohan akan menendang bokongnya hingga ia tersungkur, bertingkah manis sepertinya bukan selera Sihoon.
"Maaf maaf, aku hanya kebetulan lewat tadi, dan aku teringat dirimu. Jadi—," Sihoon memotong kalimatnya, membiarkan Wooseok melihat bungkusan plastik dengan logo yang sangat digandrungi Wooseok. Jelas dokter muda dihadapan Sihoon memekik senang. Senyum lebar nyaris merobek garis pipinya sendiri. "Sedikit donat untuk dokter muda kita," lanjutnya.
Telapak tangan Wooseok yang cukup mungil segera meraih bungkusan yang Sihoon berikan. Manikya berbinar riang, mencoba mengintip apa saja isi di dalam kotak donat itu. Jika seperti ini —disuguhkan dengan pemandangan Wooseok setiap harinya—, Sihoon mungkin akan tetap mengunjungi Wooseok sekalipun penugasan perlindungan saksi yang dilimpahkan padanya sudah berakhir. Lihat saja jari-jari kecil itu, oh astaga, sangat berbanding dengan miliknya yang terus dipaksa untuk bekerja keras.
Sihoon merasa lemah melihat kawan omeganya yang baru.
"Jadi, kapan kau— yah, siklus heatmu, kapan?"
Tanpa menaikkan pandangannya dari kotak donat, Wooseok bergumam samar. "Hung— mungkin sebentar lagi? Kenapa, Hoonie?"
"Aku hanya—"
"Khawatir?," Wooseok tertawa lembut. "Rumah sakit memberi izin cuti untuk mereka yang heat, jadi tidak perlu khawatir okay? Aku juga tidak mungkin bekerja dalam kondisi heat, itu menyalahi prosedur kehigienisan pekerja rumah sakit. Bagaimana dengamu? Kudengar, agak sulit meminta izin ketika seorang polisi uh— heat."
Sihoon tak dapat memberikan jawaban selain mengendikkan bahunya. "Tuntutan pekerjaan, Kim Wooseok. Andai saja kepolisian dapat melunak sedikit karena— hey, mereka punya omega dan beta disini. Tapi ah, sudahlah, lagipula aku tidak suka menunda pekerjaan hanya karena hal kecil seperti heat."
Telapak tangan Sihoon yang cukup lebar kemudian mendarat di bahu Wooseok. Ia tersenyum sebelum memberikan kecupan singkat yang lumayan dalam di pipi tirus Wooseok. Wooseok pun melakukan hal yang sama, yakni mengecup pipi Sihoon kemudian melambaikan tangannya. Entah sejak kapan salam perpisahan kecil seperti itu terjalin diantara keduanya. Tak jarang mereka —bahkan sekarang— dihujani tatapan oleh orang-orang.
Dua omega berciuman?
Ah, bahkan dari pandangan mata mereka Sihoon sudah mengerti apa yang ada di dalam otak para pengamat itu. Misalnya saja seperti: hey, tunggu saja hingga mate mereka melihat itu. Setelahnya, Sihoon tak ingin membayangkan. Terlebih— duh, memang, ia belum memiliki mate, tapi sungguh ia tidak dapat membayangkan sama sekali jika ia harus memiliki seorang mate yang mengerikan dan tentunya seorang alpha. Tidak, terima kasih, Sihoon lebih baik menolaknya dan bercinta dengan Wooseok, meski keduanya akan terlihat menyedihkan— sepasang omega yang sangat putus asa.
Jika boleh, Sihoon ingin menukar keberuntungannya sedikit guna menyogok Moon Goddess. Heat seorang Kim Sihoon tidak begitu indah. Memang benar jika ia merasa senang, terlebih ketika bagian selatan tubuhnya terpuaskan karena sentuhannya sendiri atau bahkan tanpa disentuh sama sekali. Namun sebenarnya, heat Sihoon dapat dikategorikan sebagai heat yang agak menyakitkan. Ia dapat merasakan kebas, sengatan tajam di beberapa sudut tubuh, juga kontrol akan wolfnya yang tidak begitu baik. Sihoon selalu meminta bantuan Yohan, kawannya, untuk menuntaskan heat yang menyerang. Sihoon memang membutuhkan Yohan, untuk berjaga-jaga kalau mungkin saja wolfnya mengacau dan berkeliaran di jalanan seperti orang gila dengan heat yang begitu kuat.
Lagipula, Yohan tidak menolak. Ayolah, ini hubungan mutualisme yang baik. Yohan juga memerlukan bantuan Sihoon. Kawan brengseknya itu tidak pernah cukup dengan tangannya sendiri. Kasihan juga jika mengingat Yohan— oh, tunggu. Sial, kenapa otak Sihoon menjadi sekotor ini.
Sihoon berdeham kaku, menganggukkan kepalanya sekilas pada Wooseok, kemudian segera berlalu dengan langkah tergesa. Maniknya turun, melirik takut-takut pada anggota tubuhnya di bawah sana. Baguslah, ternyata ia tidak ereksi secara menggelikan hanya karena teringat dengan heat yang ia alami, juga heat Kim Yohan brengsek itu. Jika saja Yohan tau tentang ini, kawannya itu pasti akan terbahak-bahak hingga menggelinding di jalanan.
"Sialan!"
.⠀⠀.⠀⠀.
.⠀⠀.
.⠀.
Yohan terbatuk tanpa alasan. Segera kepalanya menoleh, mencari perasaan aneh yang secara mendadak mengisi relung hatinya, bahkan hingga membuatnya cukup ketakutan. Sekali lagi, tidak ada apapun, sama seperti biasanya. Yohan mengusap tengkuknya, menenangkan bulu kuduknya yang berdiri seiring dengan getaran aneh yang menjadi alarm pada dirinya. Yohan benar-benar membenci perasaan ini, saat dimana kepekaannya justru melambung tinggi bahkan hingga omega seperti Sihoon tidak mempercayainya.
"Ah, mungkin Sihoon sedang membicarakanku. Bajingan menjengkelkan itu."
Tetap saja Yohan melangkah meski bibirnya telah berucap, mencoba meredakan rasa aneh di dalam dirinya. Takut, Yohan takut, namun tertantang. Ini dia bagian yang paling menjengkelkan, karena Yohan mengerti, rasa penasaran dapat membunuh dirinya sendiri. Dan inilah alasan kenapa kedua kaki panjangnya bergerak menyusuri rak-rak yang ada di mini market yang tengah ia kunjungi.
Mini market ini sebenarnya lebih tepat disebut sebagai sebuah toko kelontong. Pemiliknya hanya seorang nenek nenek tua yang hidup sendirian. Letaknya tidak jauh dari kantor kepolisian distriknya dan Sihoon bekerja, namun tempat ini entah kenapa terkesan terpencil. Mungkin karena penerangan yang kurang —Yohan dapat melihat debu-debu halus berterbangan di siang hari, tepat ketika sinar matahari masuk menembus jendela buram yang menjadi satu-satunya jalur udara di tempat itu—, atau juga aura membosankan yang begitu kental.
Yohan mungkin sudah menjadi pelanggan tetap nenek itu, dan Sihoon akan berada di urutan kedua. Mereka memang sangat sering datang meski hanya sekedar membeli permen pengusir rasa kantuk. Tentu saja hanya atas dasar kasihan. Toko kuno ini tidak lengkap dan penuh debu, namun nenek itu tetap tersenyum menyambut pembeli dan memberikan sapaan ramah. Kalau sudah seperti itu, tentu saja Yohan dan Sihoon tidak tega jika harus memutuskan predikat pelanggan setia di toko sang nenek.
Hingga langkah Yohan terhenti di gang terjauh yang dibentuk dari susunan rak, maniknya menemukan sosok lain yang tengah memilah dua snack kecil di tangannya. Pria itu tidak menoleh, dan Yohan tidak sekikuk itu untuk tidak segera kembali ke kasir dan membayar permen karetnya. Bohon jika Yohan tidak penasaran. Siapa yang tertarik belanja disini selain dirinya dan Sihoon? Hebatnya, Yohan justru merasa familier dengan perawakan sang pria asing. Ia memang tidak melihat wajahnya karena pandangannya terhalang sinar matahari penuh debu, namun Yohan tentu dapat melihat fitur sang pria meski hanya sekilas.
Aneh sekali.
Yohan mencebikkan bibirnya kesal. Ia berharap bahwa sang nenek segera kembali ke kasir saat ini karena ia tidak ingin merasa jauh lebih penasaran dari saat ini. Jarinya mengetuk meja kayu yang biasa menjadi penyangga siku sang nenek ketika tidur siang. Gatal sekali mulutnya untuk berteriak, memanggil sang nenek.
"Sial, kemana nenek. Bukannya dia bilang dia hanya ingin ke kamar mandi? Dia amnesia atau bagaimana sih?"
"Permisi?"
"Ba— ah," Yohan mengatupkan bibirnya cepat, menahan umpatan yang nyaris meluncur penuh dari mulutnya. Ia berbalik, terkejut ketika melihat pria asing yang ia temui di gang-gang toko kelontong telah berdiri di belakangnya. Pria itu juga sama terkejutnya menemukan Yohan berbalik secepat kilat dan menatapnya horror. Keduanya sempat diam, saling menyusuri wajah terkejut masing-masing, kemudian berdeham. Sang pria asing adalah yang pertama tersenyum diantara keduanya. Bibirnya melebar, menyapa Yohan dengan ramah— atau mungkin juga membuatnya kian terkejut karena dapat menemukan raut menyenangkan di wajah yang cukup menyeramkan itu.
"Permisi, kau menutupi lolipop itu," ucap sang pria seraya menunjuk piramida lolipop di hadapan Yohan. Tanpa menunggu Yohan memberikan jawaban atau sekedar reaksi, pria itu sudah menjulurkan tangannya untuk meraih salah satu batang manisan itu. Jarak tubuh keduanya sangat dekat hingga dengan tidak sopannya Yohan dapat mengendusi aroma parfum yang menguar dari pakaian pria itu.
"Kau baik-baik saja— Kim Yohan?," tanyanya dengan mata menyusuri name tag yang tersemat di dada Yohan.
"Oh," Yohan membuka dan mengatupkan bibirnya bak ikan. Ia tak menjawab, hanya memberikan anggukan kepala yang cukup kaku. Tangannya menyambar sejumlah uang pas yang telah ia kantungi di celana seragamnya. Dengan cengiran tak bersalah, Yohan meletakkan uang itu di meja dan menatap sang pria.
"Maaf, aku buru-buru sekali. Bisa titip ini ke nenek? Tolonng bayar permen karet ini dengan—," Yohan menunjuk uangnya dan melebarkan senyumnya. "—dengan uang ini. Maaf tuan, permisi. Maaf sekali."
Yohan tak mendengar protes sebab langkah kakinya segera membelah jalan. Derap sepatunya yang bertemu dengan jalanan mulai naik tempo. Pemuda itu berlari, benar-benar berlari tanpa menoleh sama sekali ke belakang sana. Setelah berbelok dan menemukan kantor polisi distriknya ada di depan mata, Yohan memelankan langkahnya hingga berhenti total. Nafasnya memburu, bukan karena acara marathon dadakan atau juga tugas yang mendesak, bukan karena keduanya.
Yohan hanya merasa benar-benar takut.
.⠀⠀.⠀⠀.
.⠀⠀.
.⠀.
Sihoon menguap. Bibirnya terus saja merutuki permen yang tidak mengusir rasa lelahnya sama sekali, juga karena panggilan tugas tengah malam yang harus ia penuhi. Setelah mengantarkan Wooseok, radio miliknya yang tersambung langsung dengan kepolisian secara tiba-tiba memberikan laporan adanya keanehan di kawasan pertokoan yang tidak begitu jauh dari rumah Wooseok. Mau tak mau, Sihoon yang memang mendapat bagian lembur malam ini bergegas kesana.
Udara dingin malam memang menembus epidermisnya, namun kelopak matanya justru terbuai dengan desir itu. Beberapa kali Sihoon terkejut dari duduknya, menemukan dirinya sendiri nyaris tersungkur hanya karena memejamkan matanya dan mencoba tidur dalam posisi duduk di depan salah satu mini market yang ada di kawasan itu. Ayolah, Sihoon benar-benar lelah. Benar jika menunggu Wooseok selesai dari jam kerjanya dan mengantarkannya pulang berhasil menguras tenaga seorang Kim Sihoon— mungkin karena pria itu menunggu dua jam sebelum Wooseok selesai bekerja. Sihoon hanya khawatir, okay? Ia nyaris memarahi seorang alpha yang— well, memang pria itu tidak sengaja menubruk Wooseok karena sang dokter harus berlari kesana kemari, tapi— tetap saja! Tetap saja pria itulah yang salah di mata Sihoon!
"Apa aku terlalu berlebihan ya?"
Sihoon menyandarkan kepalanya di kaca mini market, mencoba untuk terpejam kembali. Lima detik, Sihoon kembali membuka matanya. Tubuhnya menegak, bersikap siaga saat itu juga. Maniknya menyusuri kegelapan, mencari sumber dari rasa was-was yang seketika menembak dirinya tepat di jantung. Detak organ itu menggila hingga Sihoon merasa sesak nafas.
Pandangan Sihoon berputar menemukan kejanggalan di atas tembok beton pembatas yang tidak terlalu tinggi. Tembok itu kokoh, dapat dipijak, dan cukup mudah untuk dipanjat. Sihoon hanya tidak mengerti, kenapa tembok itu kini harus dihiasi sosok aneh dengan topeng badut, dan sialnya menatap lurus pada Sihoon. Sihoon dapat melihat senyum menyebalkan yang terukir di topeng itu, juga pandangan jahil khas seorang anak badung.
Sihoon berdiri, tergesa menghampiri sosok berbalut pakaian hitam itu. Ia dapat melihat tubuh itu mencetak perawakan seorang pria. Sosok itu tetap berjongkok di atas tembok pembatas dengan dua tangan tertaut di depan, seakan memang menunggu Sihoon untuk menghampiri. Keduanya bertemu di jarak tiga langkah, membisu, dan saling meneliti.
Sihoon telah mengeluarkan pistolnya, menodongkan moncong pistol pada sang pria tanpa ragu. Pria itu tidak gentar, sekali pun tidak Sihoon temukan rasa takut dari cara pandang sosok itu. Bahu pria itu bergerak samar, memberikan gestur yang menunjukkan bahwa ia tengah tertawa. Ia jelas menertawakan Sihoon.
"Aku kira kau tidak akan beranjak dari sana."
"Kenapa—"
Sihoon tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. Tanda tanyanya terpotong oleh suara ledakan di belakang sana. Ketika tubuhnya berbalik, maniknya hanya menangkap kobar api dari mini market tempatnya bersantai sejak tadi. Lutut Sihoon bergetar menyaksikan tari objek merah yang mengejek ketidakberdayaannya juga kebodohannya.
"Menikmatinya?," suara itu melanjutkan pembicaraan antara dirinya dengan Sihoon, sang polisi yang ditugaskan untuk mengamankan kawasan itu. "Aku meminjam peralatan temanku untuk yang satu ini."
Sihoon kembali menghadap sang pria dengan topeng badutnya. Sosok itu mengulurkan tangan, memberikan carik kertas pada Sihoon. Garis yang ia kenali selama beberapa saat kebelakang terlukis disana, digoreskan dengan cukup asal-asalan dan tidak simetris. Tepat ketika pandangannya kembali bergerak naik dari sobekan kertas yang diberikan pria badut itu, satu timah panas melesat tanpa peredam. Suara tembakannya mengisi malam, menumbangkan Sihoon dari pijakannya sendiri, membawa tubuh itu untuk tersungkur di tanah.
Nafas Sihoon terputus di ujung bibirnya. Kelopak matanya melebar melihat sumber dari rasa nyeri di paha kirinya. Genangan gelap tercetak di kain celananya, membentuk noda yang kian membesar dan merembes di tiap serat benang. Ia menunduk, tak sanggup menaikkan kepalanya yang berdentam saat itu juga. Lagipula, Sihoon tak perlu memastikan dari mana peluru yang menembus pahanya itu berasal.
"Aneh juga menggunakan deity ketika bekerja sendirian," pria itu menggumam samar. Suaranya yang cukup berat teredam oleh topeng badutnya sendiri.
Sihoon kali ini mencoba berani dengan cara mengangkat dagunya, membalas pandangan sang pria. Maniknya mencoba fokus, merekam gerak gerik sang pria yang justru menyentuh ujung topengnya sendiri dan menariknya hingga terlepas dari kepala. Sang pria sempat menggeleng kasar, membenahi rambutnya yang berantakan karena terhimpit topeng miliknya.
Sihoon melihat apa yang orang lain tidak dapat lihat di malam itu. Ia melihat mata tajam yang memandangi dirinya dengan penuh ejekan. Ia melihat senyum culas tersungging di bibir tebalnya. Sihoon melihat semuanya— semua yang ada di wajah pria asing itu.
Aneh. Kenapa Sihoon melihat belenggu di balik sorot mata penuh kebebasan itu?
○
○
○
○ 7 rings ○
○
○
a/n: nulis aja teros. ya udahlah, toh bentar lagi juga aku periksa ke dokter lagi— memastikan ini mata kenapa. jadi sekarang aku puas puasin deh main hp sama laptop:(
mencium something ga sih?
gila, banyak banget ya.
iya, banyak banget jawabannya.
buset.
eh, aduh, keceplosan:( bTW ADUH MON MAAP NIH MON MAAP—
MAKSUDNYA TUH APA?
INI HOLY TRINITYKU MAUNYA APA?
BIKIN SESEK NAFAS?
TUNJUKIN AJA TERUS JIDATNYA, TEROS.
INI PULA, BUSET.
GA BISA AKU DIGINIIN, SUMPAH GA BISA.
MINHEE APA KABAR HATINYA?
nangis ajalah aku.
bye world.
TERAKHIR NIH, AKU MAU PAMER, HAHA.
susah emang kalau udah berjodoh, ya gitu deh, ketemunya langsung dia pas sekali coba:)
With luv,
Jinny.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top