( 𝟝 ) °• 𝓬𝓲𝓷𝓬𝓸 .

Hujan terus menerus mengguyur, membasahi kota hingga tiap sudut, tanpa melewatkan satu jengkal pun garis yang ada. Awan pekat yang mengisi langit rupanya berhasil menyembunyikan pancar sinar mentari, mendatangkan kegelapan ganjil yang begitu dingin dan mengganggu. Keadaan markas yang sejak semula sudah tidak cukup baik rupanya menjadi lebih parah karena gelap yang didatangkan oleh awan-awan kelabu di atas sana. Dingin bertemu dengan dingin bukanlah perpaduan intimidasi yang baik, dan sialnya, inilah yang terjadi.

Tak banyak percakapan antara mereka-mereka yang ada disana―mereka yang memilih menghabiskan hari di markas, menjadikan rumah kecil itu sebagai rumah―. Abaikan saja Hangyul, sebab pria itu akan selalu mengacau tanpa peduli situasi. Kini, hening yang begitu mencekik justru melingkari mereka yang berada di atas sejak kegiatan terakhir mereka,yakni penghancuran bank sentral.

Mereka yang menyadari diri akan tempat mereka―usia― memilih untuk diam, tak mencampuri apapun yang terjadi di dalam markas mereka. Selain memilih untuk menghindari pertikaian, mereka yang merasa berusia jauh lebih muda dari alpha lainnya sadar bahwa tidak baik bertindak gegabah dan bersikap sok pahlawan disini. Mereka yang muda memilih untuk bersikap bak orang dungu, meski sesungguhnya mereka sangat paham ada percik pertengkaran disana. Toh, mereka semua memiliki satu sosok yang akan menguraikan benang kusut di dalam perkumpulan itu― itulah pekerjaan salah satu dari tiga garis utama kelompok mereka.

Komunikasi tidak berjalan baik. Kookheon, pencipta alur cerita pesta mereka, tampak bungkam dan menghindar. Ia terus menerus membanting pintu ataupun jendela di markas― jelas pria muda itu tengah dalam kondisi emosi yang tidak stabil. Meski sama saja dengan Jinhyuk, keduanya secara ajaib menjadi makhluk anti-sosial, hal yang paling menarik disini adalah fakta bahwa Kookheon dan Jihyuk tidak lagi saling memandang manik satu sama lain.

Tidak ada adegan pembunuhan, sayangnya, ketika Kookheon mencecar Jinhyuk dan tindakan bodohnya. Kookheon tidak pernah suka ketika rencana yang ia susun hancur berantakan, sebab ia tidak menerima celaan atas jalannya pesta mereka. Kookheon hanya menendang sofa miliknya hingga terdorong cukup jauh dari lingkaran sofa di ruang tengah, tidak juga ia mendaratkan kepalan tangannya pada tubuh pemimpin mereka. Hebatnya, Kookheon memilih untuk menjauh dari forum diskusi kecil mereka dan masuk ke dalam ruangan miliknya sendiri.

Ini tentang Jinhyuk, Lee Jinhyuk, J, pemimpin mereka. Andai saja sosok yang mengacau di pesta adalah Hangyul, sudah dipastikan dua alpha itu ―Kookheon dan Hangyul― akan saling menyerang hingga salah satu dari mereka atau mungkin keduanya terkapar dengan genangan darah di setiap sela bulu tebal mereka.

Perang dingin di markas menjadi himpitan besar di dalam kepala Seungyoun sebagai sang mediator. Ia sudah mencoba menarik Kookheon dan Jinhyuk untuk duduk di meja yang sama dan menguraikan garis berantakan diantara mereka. Sialnya, bahkan ketika kedua alpha itu mengendusi udara dan menyadari bau siapa yang akan mereka jadikan lawan bicara, mereka justru memutar langkah dan kembali ke kamar― Seungyoun lagi-lagi merasa pening karena harus duduk sendirian dengan tangan kosong, tanpa membawa hasil barang satu langkah pun menuju kesatuan kelompok mereka.

Hari ini, usahanya kembali gagal. Jinhyuk memandanginya dengan dingin ketika ia masuk ke dalam kamar sang kawan tanpa permisi, bahkan ia belum sempat mengutarakan maksud kedatangannya. Kookheon? Pria itu sudah duduk tanpa banyak protes di sofa miliknya. Ia tidak mungkin membangkang ketika Seungyoun menahan langkahnya dengan senyum di wajah, kemudian menggiringnya untuk duduk di sofa. Kookheon tidak bodoh untuk memahami sorot tajam di balik kelopak mata Seungyoun yang ikut bergerak naik karena senyumnya sendiri.

Pada akhirnya, keduanya tidak dapat dipertemukan di satu ruang yang sama, juga untuk menghirup udara yang sama. Seperti kaset rusak yang diputar secara berulang selama beberapa hari ke belakang, Seungyoun akan meminta bantuan Byungchan untuk berbicara empat mata dengan Kookheon sementara dirinya menyingkir. Tidak, Seungyoun tidak membujuk Jinhyuk. Seungyoun mengerti bahwa pria itu akan mendinginkan kepalanya sendiri.

Seungyoun menghempaskan tubuh di kasur empuk yang begitu berantakan. Tubuhnya bergelung, mencoba menarik sosok lain dengan pelukan yang melingkar di pinggang lebarnya― dan berakhir dengan makian juga tamparan cukup keras di kepala. Bukannya marah, Sengyoun justru terkekeh, merasa gemas karena amarah pemuda yang tengah ia jahili.

"Diamlah, Hangyul."

Pemuda yang duduk di tepi kasur menggeram rendah, kesal karena tingkah menjijikkan Seungyoun. Ia menghempas lengan kokoh yang melingkari pinggangnya, membiarkan Seungyoun memeluk udara hampa di kamar miliknya.

"Bahkan sekalipun aku mati, aku tidak sudi kau bermanja-manjaan dengan mayatku, hyung," balas Hangyul ketus. Tubuhnya beranjak sebelum Seungyoun meraih pinggangnya kembali untuk membawa tubuh besarnya ke dalam pelukan. Hangyul melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda karena kedatangan Seungyoun di kamarnya― melepaskan kaus hitam tipis yang melekat di tubuh dan menggantinya dengan sleeveless berwarna senada dengan kaus yang ia kenakan sebelumnya.

Seungyoun tidak protes ketika pemuda yang menjadi lawan bicaranya itu bergerak menjauh. Ia hanya menumpu kepalanya dengan siku yang tertekuk dan memandangi tubuh bagian atas Hangyul dengan lekat sebelum tubuh itu kembali dibalut oleh helai kain. Hangyul tampak terkejut ketika menoleh dan mendapati Seungyoun yang memandanginya dengan sorot dalam― oh, juga sebuah senyum tipis.

"Aku tidak pernah tidak menyukai tubuhmu."

Itu pujian. Sejak awal kedatangan Hangyul di perkumpulan gila ini, Seungyoun sudah menunjukkan sikap memuja atas tubuhnya yang memiliki proporsi tepat. Pria itu sendiri yang mengatakan bahwa pujian menggelikan itu murni sebagai sebuah pujian pada sesama alpha. Pada awalnya, Hangyul akan memaki dan menunjukkan rasa jijiknya secara terang-terangan. Tapi seiring berjalannya waktu, ia menjadi terbiasa dengan sikap Seungyoun juga kekagumannya dengan tubuh miliknya.

"Tadi tidak berhasil?"

Seungyoun merebahkan punggung kokohnya pada kasur Hangyul. Matanya menelusuri coretan tinta yang begitu sembarangan di langit-langit kamar. Ia jelas menerawang jauh, bukannya asyik memikirkan gambaran deity milik Hangyul di atas sana. Ada jeda lama hingga akhirnya kepala Seungyoun menggeleng pelan. Hangyul terduduk di bangku kayu yang berjarak tak begitu jauh dari kasurnya, menyelami Seungyoun yang masih asyik mengembara di dalam pikirannya.

"Tidak, mereka masih belum mau duduk di ruangan yang sama. Bahkan mencium feromon masing-masing saja mereka tampak jengah."

"Wajar saja," Hangyul menggigit sebatang rokok yang sudah ia nyalakan sebelumnya di celah bibir miliknya. Asap mulai membumbung tinggi, menari diantara dua pria dewasa di dalam kamar. "Kookheon tidak pernah suka rencananya kacau terlebih ketika Yuvin tolol itu juga mengatakan bahwa ada seorang bocah ingusan yang melihat wajah Yunseong, dan Jinhyuk hyung tampaknya memiliki pemikirannya sendiri. Mereka sama-sama menganggap tindakan mereka bukanlah sesuatu yang salah."

Seungyoun tertawa pelan sebagai tanggapan. "Jadi, apa definisi tindakan yang tidak salah menurutmu, Lee Hangyul?," dan lagi, ia menumpukan kepalanya guna memandangi Hangyul dengan sorot jahil. Wajahnya tidak menunjukkan kekalutan karena harus menyelesaikan masalah diantara anggota kelompoknya.

"Jika salah satu tidak dapat diatasi, kenapa tidak sekalian keduanya dihancurkan? Semua kalah, masalah selesai."

Sengyoun mendengus, tapi tetap melebarkan senyumnya hingga titik terluar yang dapat diraih sudut bibirnya. "Awalnya, aku senang otakmu sudah berjalan normal. Tapi ternyata kau memang tidak bisa menjadi waras barang sedikit saja ya, H?"

Kedua bahu Hangyul bergerak naik dan turun, terkesan pasrah dan menerima begitu saja ejekan Seungyoun yang sialnya tidak salah sama sekali. Lagipula, Hangyul memang lebih suka menjadi sosok yang agak gila ketimbang harus menyerupai mereka yang normal-normal saja. Normal itu membosankan, Yuvin contohnya, dan Hangyul tidak suka itu.

Keduanya kembali diam, saling menatap seakan berkomunikasi melalui cara pandang mereka. Seungyoun memikirkan susunan rencana lain untuk menyatukan dua sosok di dalam kelompok mereka, sementara Hangyul menanti apa yang akan Seungyoun katakan. Oh, Seungyoun memang selalu terbuka pada siapapun yang ada di dalam kelompok ini. Pria itu akan menyuarakan pendapat untuk didiskusikan bersama― dan herannya, pria itu sering mengajak Hangyul berbicara tentang masalah yang ada. Ayolah, ini seorang Lee Hangyul, sang pengacau! Ia bukan Song Yuvin yang memiliki otak secermelang Kookheon.

"Sudahlah, biarkan ini mengalir saja hingga sampai di titik yang akhirnya bisa menjadi penyelesaian masalah."

Hangyul berdegung panjang menanggapi gumaman Seungyoun.

"Mana Yunseong?"

Bahu Hangyul mengendik lagi. "Pergi. Baguslah. Bosan melihat wajah menjengkelkannya terus menerus, aku sampai muak."

.⠀⠀.⠀⠀.
.⠀⠀.
.⠀.

Nafas hangat dihela panjang, menghalau udara dingin yang tak berhenti menusuk tulang. Ia sudah membiarkan syal miliknya mencekik di leher, tapi rasa menggigit itu tidak kunjung lenyap. Bahkan giginya sudah bergemelutuk karena bersinggungan dengan cuaca tak bersahabat di kota kali ini. Waktu tertera menjadi rancu karena matahari memilih untuk bersembunyi di balik awan, malas memancarkan sinarnya yang sebenarnya begitu menolong dalam mengukur masa.

Ada kiranya dua jam berlalu, namun ia masih setia berdiri di persimpangan dengan kertas yang didekap erat di depan dada. Ada banyak sekali lembar kertas yang masih harus ia bagikan, namun jujur, lututnya yang bergetar sudah tak lagi sanggup terpaku di tempatnya berdiri lebih lama lagi. Pasrah saja ketika ia kemudian menunduk dan memutar tubuh untuk beranjak dari titiknya sejak dua jam lalu. Ia tak menggeram marah ketika melihat lembar senada dengan tumpukan yang ada di dekapan harus teronggok di jalanan yang ia lalui.

Ia menunduk, meraih kertas yang masih baik, untuk kemudian ia pungut kembali. Tentu saja ia akan menyebarkan kembali kertas dengan coretan tinta yang sebenarnya ia kerjakan sendirian selama dua hari berturut-turut. Bahkan ia membawanya ke sekolah dan mengerjakannya secara diam-diam agar tidak disita oleh guru-gurunya.

"Huh, orang-orang memang sama saja, tidak ada yang mau mempercayai apa yang kukatakan. Bahkan aku sudah bersusah payah menggambarnya!"

Minhee menendang kerikil yang dirasa menghalangi jalannya hingga kepingan itu menggelinding masuk ke dalam gang kecil yang akan ia lalui. Fokusnya kemudian terhenti pada lembar kertas lain yang teronggok menyedihkan di tiang listrik yang ada di dalam gang. Sudut-sudutnya mengepak, terhembus angin dingin pasca hujan yang bertiup kencang. Minhee menunduk malas-malasan, jengah juga dalam jarak beberapa meter ia harus bertemu dengan kertas-kertas artistik miliknya yang dicampakkan begitu saja oleh para orang dewasa.

"Ah!"

Manik bulat Minhee melebar karena terkejut, juga mengikuti gerak kertasnya yang secara mendadak terbang terbawa oleh angin. Kertas itu terseok di tanah basah hingga akhirnya berhenti karena tersangkut pada objek lain. Sepasang sepatu kulit hitam menjadi penyebab terhentinya laju kertas tipis itu. Sontak, Minhee menaikkan pandangannya, mempertemukan manik bulatnya dengan tatapan dalam sosok pria di dekatnya.

Sorot pandangnya mengikuti gerak pria dengan kemeja hitam yang membungkuk untuk memungut kertas Minhee. Nafasnya tertahan di pangkal tenggorokannya sendiri, entah karena merasa terancam dengan aura mengintimidasi pria itu, atau juga terpana dengan lengan yang terpampang jelas karena pria itu menggulung kemejanya hingga batas siku. Pria itu memutus pandangnya dengan Minhee hanya untuk menelusuri coret tinta hitam di atas kertas.

"Kang Minhee," ucap sang pria ketika mengeja tiap suku kata pada nama yang sengaja Minhee tuliskan di sudut kertas. "Itu kau?," sambungnya seraya menyorongkan kertas yang sudah selesai ia teliti. Dengan ragu, Minhee meraih kertas miliknya dari tangan sang pria.

"Kang Minhee itu aku― tapi potret kerangka wajah di kertas ini bukan aku― uh, tuan."

"Oh ya?," nadanya tak naik, menunjukkan kepura-puraan atas sikap terkejutnya. "Siapa dia?"

"Dia― dia penjahat yang aku lihat di dalam gang. Maksudku, dia salah satu dari para penjahat itu, penjahat dengan topeng badut yang menghancurkan bank sentral!"

"Menarik, ceritakan padaku."

Minhee terkejut. Sejak terakhir ia melihat penjahat-penjahat itu dan mengadukannya pada siapapun yang dapat ia percaya, tak pernah satu pun dari mereka ―para orang dewasa― meminta dirinya untuk menceritakan apa yang ia lihat. Tentu saja, Minhee paham, mereka tak mau mempercayai ucapannya. Ia hanya beta, seorang pelajar pula. Memang, siapa yang mau berpihak padanya?

Mungkin, kecuali tuan aneh ini.

Minhee berdeham. Ia tak menyembunyikan binar girang ketika harus menceritakan apa yang ia lihat melalui mata kepalanya sendiri. "Aku pulang melalui gang yang sama dengan gang para penjahat itu― mereka menghentikan mobil mereka disana dan menurunkan salah satu dari mereka. Sayang, pria itu melepaskan topengnya dalam posisi memunggungiku, jadi aku tidak dapat melihat wajahnya. Tapi melihat satu! Aku melihat satu, dia yang berwajah galak, seperti pria tua, dan tampak menyebalkan! Aku jamin, dia pemimpin mereka― dia pasti seorang kakek-kakek yang begitu gila!"

"Kakek-kakek?," sang pria menerima uluran kertas Minhee, kemudian menatap kerangka wajah yang tercetak disana. Banyak keriput dan tekukan penuh kebencian di wajahnya. "Kenapa kau yakin dia seorang kakek-kakek?"

Minhee menggaruk pipinya yang tak gatal. "Itu dia― andai pria yang turunlah yang aku lihat, aku pasti bisa membawa penjahat itu ke penjara! Sayang, aku justru melihat kawannya dan― dan, okay, aku memang memiliki masalah pengelihatan, tapi aku yakin aku melihat wajah tua yang sangat jahat! Memang tidak terlalu jelas― t-tapi aku bersungguh-sungguh aku melihat mereka!"

Suara Minhee pecah di ujung kalimatnya. Lagi, ia merasa usahanya sia-sia. Pasti pria itu akan menertawai kebodohan Minhee, sama seperti orang dewasa lainnya, kemudian membuang kertasnya begitu saja di jalanan. Minhee tidak menyembunyikan bara kesungguhan di balik manik jernihnya yang mulai berkaca-kaca.

"Sudahlah―," Minhee mendesah kecut. "Tidak apa kalau tuan tidak percaya, kembalikan saja kertasnya padaku."

"Tidak."

Kening Minhee berkerut dalam, merasa kebingungan dengan jawaban tegas pria itu. Minhee kira, tuan aneh itu akan tertawa― atau setidaknya mendengus, sebab wajahnya tidak diciptakan untuk tertawa sepertinya. Oh, atau juga, mungkin tuan itu akan meremas kertas sketsa miliknya dan melemparkannya di wajah Minhee begitu saja.

Tapi, apa?

Tidak?

"Aku akan menyimpannya. Usaha bagus, Minhee. Mungkin kau harus coba memperhatikan detail gambar lebih teliti setelah ini."

Minhee mematung, tak menjawab salam perpisahan yang diucapkan setelah kalimat dukungan itu, Otaknya berhenti merespon, tak dapat memproses tindakan tuan aneh itu― Minhee benar-benar tidak mengerti kenapa tuan itu menepuk puncak kepalanya lembut dan menyunggingkan senyum yang sial! sial! sial! kenapa pria itu tampan sekali ketika tersenyum?

Telapak tangannya mencengkram jas yang tersampir di kedua bahunya. Tuan aneh tadi membungkus tubuh Minhee ke dalam jasnya, mengatakan bahwa udara begitu dingin dan Minhee tampak sangat pucat. Minhee menangkap kalimat perintah ketika pria itu mengatakan padanya bahwa bukan masalah besar bagi Minhee untuk membawa jas pria itu kembali ke rumah, tanpa harus mengembalikannya.

Manik bulat Minhee turun, menatap inisial yang dibordir dengan benang berwarna tawny di bagian dalam pergelangan tangan kiri lengan jas itu.

"Y.H?"




7 rings

a/n:
aku: mau istirahat! Harus bed rest! Jangan sampai makin parah!
also aku: *main pubg berjam-jam* *ngetik* *main hp 25/8*

SUSAH BANGET GAES GA MEGANG PERANGKAT ELEKTRONIK TUH HUHUHUHU😭😭

susunan duduknya gaes. Seungwoo di kanan, Seungyoun di kiri, di tengah Jinhyuk😈
[ kanannya Jinhyuk y maksudnya:( ]
why? Bcs #2 selalu di kanan dan #3 di kiri
[ podium lomba ]

udah deh, kayaknya sampai chapter ini aja dulu, bcs aku mau lanjut hiatus— dadah!😭

bakal kangen kalian!😭

With a lot of love,
Jinny.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top