( 𝟚 ) °• 𝓭𝓸𝓲𝓼 .

⚠️⚠️⚠️
ada foto badut di bawah! Bagi kalian yang phobia dan tidak cukup berani, harap hati-hati ketika mendekati akhir cerita!

.⠀⠀.⠀⠀.
.⠀⠀.
.⠀.

Aroma khas hujan yang baru saja berhenti turun masih membekas di tengah kota. Aktifitas yang sempat terhenti kembali seperti semula. Jalanan kembali dipadati baik oleh mereka yang tengah hilir mudik di garis penyeberangan atau bahu jalan, juga oleh kendaraan-kendaraan. Deru mesin terdengar bersahutan lagi. Kota ini sudah kembali ke kegiatannya semula.

Sang pemuda melahap potongan terakhir dari sarapan kecil yang ia makan pagi ini. Decihan pelan meluncur ketika ia menyadari hanya dirinya yang diasingkan di setiap kegiatan. Tugas memaksanya untuk terus saja menyantap makanan paginya sendirian, sementara kawannya yang lain akan makan makanan rumahan yang disajikan. Tidak buruk juga, karena setidaknya sesekali ia dapat menghindari keributan yang mungkin terjadi di meja makan― tidak tidak, keributan memang selalu saja terjadi. Ia tidak masalah jika memang harus mencuatkan urat lehernya untuk berdebat, tapi ayolah, tidak di pagi hari dan tidak di meja makan.

Maniknya menatap dengan malas televisi yang tergantung di sudut, dekat dengan posisi mejanya saat ini. Berita masih saja menayangkan kejadian yang sama sejak kemarin, kejadian penjarahan toko-toko kecil yang begitu berantakan. Jejak sang penjahat tersebar dimana-mana, menyisakan tempat kejadian perkara yang begitu mudah untuk diendus jejaknya. Sayang polisi-polisi terlalu bodoh. Mereka seakan memaksa diri untuk fokus dengan bukti-bukti yang berhasil didapat, bukannya mencari fakta lain yang pasti bisa ditemukan dengan mudah.

Setidaknya, satuan kepolisian yang diisi oleh cukup banyak beta itu berhasil menyimpulkan berapa banyak pelaku yang terlibat. Lebih dari lima, terdengar masih samar tapi cukup meresahkan banyak orang. Belum lagi, coretan logo familier yang tersebar di toko-toko jarahan; logo yang tersusun atas tiga garis utama yang memiliki arti Tuhan atau Dewa.

Sang pemuda mendengus konyol. Memang bodoh.

Ia beranjak dari kursinya setelah meletakkan sejumlah uang di atas meja. Tungkai jenjangnya melangkah lebar, keluar dari eatery yang masih sepi pelanggan. Di persimpangan, tepatnya di samping eatery tempatnya mendapatkan sarapan untuk pagi ini, sebuah mobil sudah berhenti disana. Mobil itu menderu pelan seakan menunggu dirinya untuk segera masuk.

Keadaan di dalam mobil tidak terlalu menarik. Hanya ada segelintir manusia disana, menyambutnya dengan senyum― terutama dua pemuda yang duduk di kursi terdekat dari pintu belakang dari van itu, mereka sudah siap meledakkan tawa melihat wajah datar pemuda yang baru saja masuk ke dalam mobil. Apalagi? Selalu saja sama. Mereka akan menertawakan sang pemuda karena terus saja diabaikan ketika mereka bertugas.

Mobil seketika melaju ketika sang pemuda sudah duduk dengan nyaman di kursi depan, di sisi pengemudi. Penanda pada speedometer terus naik, naik, dan naik. Kecepatan van hitam itu diatas rata-rata, tak peduli dengan hujan klakson yang diterima. Semua yang ada di dalam van hanya diam, menunggu pengemudi membawa mereka pada tujuan utama di akhir pekan kali ini.

"Kalian lihat berita?," pemuda yang menjadi penumpang terakhir menyahut dari kursinya. Nadanya terdengar gemetar, merasa marah mungkin. Oh tidak, tentu saja ia marah. Ia tidak suka jalan cerita yang telah ia rangkai dihancurkan begitu saja oleh kelompok bodoh yang bahkan tidak bisa melakukan hal dengan baik.

"Penjarahan?," sang pengemudi menyahut pertama. Semua telinga lantas terpasang baik, mendengarkan percakapan yang sedang dibangun di dalam van.

Pemuda di sisi kemudi mengangguk sembari mengenakan silikon miliknya, menjadikannya menyerupi sosok-sosok lain di belakang sana. Senyum lebar yang terukir terus menerus di wajah topeng miliknya seakan mengejek ketika ia menoleh pada sang pengemudi.

"Menjijikkan," lanjutnya. Suaranya agak teredam karena topeng pucat yang ia kenakan, terlebih ia tengah asyik membungkuk untuk memunguti beberapa hal di bawah kakinya, seperti: sebuah komputer kecil, juga beberapa mesin aneh yang terus mengkopi siaran laporan di kepolisian. "Aku tidak pernah sudi membiarkan rencanaku berubah menjadi seburuk itu."

"Kau tau, mereka tidak pernah mendapatkan hasil yang sama, K."

"Tapi mereka membuat harga diriku tercoreng, O. Aku seakan telah melakukan kegagalan yang begitu besar hanya karena makhluk tolol itu― mereka, tidak dapat melakukan hal dengan baik. Mereka bahkan membawa nama kelompok disana. Disgusting asshole."

Tepat setelah ungkapan kekesalan itu menemui tanda titik di akhir kalimat, bunyi nyaring terdengar memekakkan telinga di luar sana. Serpihan kaca dari pintu tinggi yang baru saja mereka tabrak justru diabaikan. Semua mata dan telinga terfokus pada pemuda di depan sana― terkecuali, satu pemuda yang sudah turun lebih dulu melalui pintu belakang. Ia tidak lagi memilih untuk terlibat dengan percakapan di dalam van. Lagi pula pemuda itu memang menjadi pembuka untuk kawan-kawannya, tak heran kenapa ia sudah turun terlebih dulu tanpa permisi.

Pemuda dengan sebutan K memiringkan tubuh, memandangi semua kawannya di balik topeng badut yang terpasang. Maniknya menyorot marah. Bagus sekali, kalau sudah begini, semua harus berjalan seindah mungkin. Silahkan menghadap K kalau kau membuatnya merasa tidak puas.

"Aku ingin kalian melakukannya sebaik mungkin, atau kalian mati di tanganku."

Kalimat itu mengakhiri diskusi singkat mereka. Satu persatu, penumpang van hitam itu turun, menemani pemuda yang sudah lebih dulu memulai pesta. Salah satunya melompat dengan riang dan mulai menghancurkan apapun yang bisa ia hancurkan. Pelurunya terus saja meluncur, menembaki langit-langit juga setiap sudut ruangan bank sentral kota yang kini menjadi sasaran mereka.

Yang terakhir turun dari van berperawakan semampai. Tubuhnya kurus dibalut jas merah darah, namun tetap tampak pas melekat disana. Ia tak melakukan apapun, hanya memandangi tiap hal yang ia temui. Matanya sesekali bertabrakan dengan para nasabah bank yang menjerit ketakutan. Kebanyakan dari mereka adalah beta dan omega yang tak dapat memberikan perlawanan, sebab para alpha yang ada disana sudah terkapar, kalah kekuatan dengan mereka― lebih tepatnya oleh pemuda hiperaktif yang sibuk menembaki siapa saja yang dirasa mengganggu, dan pemuda lain yang menghajar dengan kesetanan.

Seorang dari mereka berjalan mendekat pada sabg pembuka jalan mereka— dia yang turun pertama dari van, meninggalkan diskusi atau lebih tepat disebut sebagai ancaman K.

"H, berhenti bermain-main. Tugasmu sudah selesai."

Suaranya terdengar menggema di ruangan yang telah kacau. Suara itu terdengar dalam dan penuh intimidasi, khas suara alpha. Tangannya menimbang rangkai benda mirip tongkat kecil di kedua tangan, memilih peledak mana yang akan ia gunakan untuk menciptakan alunan musik di pertunjukan kali ini— atau mungkin keduanya? Langkahnya terhenti di sisi pemuda lain yang masih sibuk memuntahkan pelurunya dari senapan.

Bukannya meletakkan senapan otomatis yang menempel di bahunya, ia justru mengarahkan moncongnya pada sang lawan bicara. Lawan bicaranya menatap datar di balik topeng, tak merasa ketakutan sama sekali dengan ancaman kawannya. Bahkan ketika satu peluru meluncur melewati bahunya begitu saja, mendarat di salah satu petugas keamanan yang masih tersisa, tubuh itu tak sekalipun bergetar karena terkejut.

"Yang terakhir, G."

"G, cepat pasang! Aku sudah mulai bosan, tidak ada lagi yang dapat dilakukan disini!"

G menghentikan percakapannya dengan H dan mengangguk samar pada pria gila yang masih menembaki tiap kaca. G melanjutkan langkah, mengabaikan apapun, siapapun, tak peduli apa yang membentang di depannya. Sepatu kulitnya menginjak begitu saja mayat salah satu nasabah yang merupakan seorang alpha, melewatinya tanpa penghormatan sama sekali. Beberapa kali ujung sepatunya menendang beta dan omega yang sudah membentuk satu barisan di sudut, ketakutan dan merasa terancam dengan kelompok kecil berisi tujuh pria tak waras itu.

Melalui sudut matanya, G tersenyum pada para korban yang menjerit tak karuan ketika ia meletakkan dinamit di tengah kerumunan. Para sandera sadar peledak itu akan menjadi akhir dari siapapun yang ada disana. Sayangnya, mereka tidak bisa bergerak untuk menjauh. Satu pemuda yang tadi meminta G untuk memasang peledak sudah berdiri di belakang dengan tawa liar. Shotgun terkalung melintasi tubuh tegapnya.

"Kalian bergerak, maka ucapkan selamat tinggal pada kepala utuh kalian."

Suara alpha terdengar darinya, diakhiri dengan geraman hewan buas penuh peringatan. Auranya menekan para sandera untuk terpaku di tempatnya. Satu peluru meluncur dan menembus paha seorang omega wanita yang mencoba untuk memeluk dirinya sendiri. Tampaknya ia benar-benar tidak menerima alasan apapun yang diberikan para sandera, sekalipun untuk mencoba memberanikan mereka sendiri dalam menghadapi kekacauan mendadak ini.

"N, tidak dengan suara alpha."

Pria itu meraung marah pada kawannya yang baru saja memperingati. Pria dengan jas merah akhirnya bergerak setelah diam di samping van sejak kedatangan mereka. Makian kasar disebut secara berulang dari balik topeng N. Pada akhirnya ia memilih untuk menyingkir dan berdiri jauh di belakang ketika kawannya berjalan santai mendekati satu sosok yang lumayan menarik atensinya.

"Apa yang kau lakukan?"

Sosok yang diajaknya berbicara tak menoleh. Hanya seorang omega, harusnya tidak usah bersikap bebal seperti saat ini. Maniknya dan tangannya tak dapat diajak bekerja sama. Ia tidak menanggapi dan justru asyik memandangi luka di paha omega yang ditembak tanpa ampun. Jari-jari telapak tangan kirinya yang lentiknya menekan luka sang wanita, sementara tangan kanannya bergerak masuk menembus luka dan melakukan gerakan memutar dengan cepat. Peluru yang bersarang jatuh berdenting di lantai, diikuti nafas putus-putus sang wanita.

"Aku dokter," jawab pria berkacamata pada sang lawan bicara setelah menyelesaikan tugas kecilnya. Tangannya dengan cekatan membalut luka sang wanita dengan sobekan lengan kemeja tipis yang ia kenakan. "Peluru yang bersarang kalau tidak segera dikeluarkan akan menimbulkan infeksi."

"Kau tau kau tidak boleh bergerak?," pria dengan jas merah terdengar sedang memberikan senyuman ketika memberikan pertanyaan itu. Dua tangannya membantu pemuda dihadapannya yang ternyata seorang dokter untuk mengikat balutan perban darurat pada paha sang omega wanita.

Belum dokter dengan kacamata itu membalas ucapan lawan bicaranya, satu pria di sudut barisan sandera berdiri begitu saja. Tangannya menunjuk dengan penuh amarah pada mereka-mereka, terutama pria dengan jas merah yang tengah bercengkrama santai dengan omega di depannya.

"Berhenti mengganggu omega―"

Dor!

Pemuda yang berdiri di belakang sosok jas merah, N, mengangkat shotgun dengan santai dan menembak begitu saja kepala beta tolol yang berusaha terlihat sok pahlawan itu. Bunyi benda remuk terdengar sangat jelas. Kelompok terdekat dari sudut menjerit ketakutan saat tubuh sang beta jatuh ke lantai dengan kepala yang sudah meledak akibat tembakan dari peluru patah.

"Diam."

Lengkingan gaduh yang terjadi justru tak memecah fokus antara dua insan yang masih saling tatap. Pandangan dokter pria itu menyorot tanpa rasa takut pada sosok alpha dengan topeng badut jeleknya, begitu pun sebaliknya. Mungkin dokter muda itu tidak mengerti, bahwa kini ia telah menjadi fokus atensi siapapun di ruang utama bank sentral itu. Omega pria itu tak terganggu dengan aura yang menguar dari 7 manusia pengacau yang menatapnya dalam. Sang omega telah terbiasa menghadapi alpha-alpha brengsek di rumah sakit tempatnya bekerja, meski tak bohong sosok hewan di dalam tubuhnya mendeking ketakutan dan penasaran di saat yang sama.

Tapi— oh astaga. Ini berbeda. Ini bukan rumah sakit. Ini adalah kejadian nyata. Ia tidak menghadapi para alpha yang bisa disingkirkan oeh petugas rumah sakit. Mereka adalah penjahat, bukannya pasien.

Dan aroma alpha dihadapannya saat ini mengusik pikiran dan sisi wolf dalam dirinya.

"J, mereka datang," pemuda di samping kemudi yang sejak awal tidak pernah turun menyahut begitu saja, memecah keheningan dan interaksi antara dua elemen timpang di strata sosial itu.

Alpha yang terbalut jas merah berdiri. Matanya memberikan senyuman pada omega dokter dihadapannya. Telapaknya menarik lembut sosok itu, membawanya untuk berdiri dan menuntunnya untuk keluar dari bank sentral di depan sana, ramai orang berbondong-bondong mendekati bank sentral― meski menjaga jarak cukup jauh. Dokter omega itu melemparkan pandangan penuh tanya akan aksi sang alpha, terlebih ketika telapak yang tadinya menggenggam tangan sang omega tanpa peringatan berpindah pada puncak kepalanya dan mengusap pelan.

"Pergilah ke seberang jalan. Bank sentral akan meledak setelah ini."

J memutar langkah, meninggalkan omega dokter itu dengan protes yang harus ia telan bulat-bulat. Dengan langkah linglung, sang omega turut memutar langkahnya dan berjalan terseok menuju keramaian di seberang jalan sana. Keduanya berpisah begitu saja, saling memunggungi tanpa menoleh sedikit pun.

Tujuh biang kekacauan itu masuk ke dalam van tanpa perintah. Salah satunya sempat berhenti untuk kembali menembaki orang-orang yang duduk di barisan terdepan sandera, menghancurkan anggota tubuh mereka dengan peluru-peluru shotgun, sebelum akhirnya menjadi penumpang terakhir di van itu. Tubuh van yang separuh berada di luar bangunan bank sentral membuatnya lebih mudah untuk mengedarkan pandang pada keramaian yang ada di seberang jalanan sebelum akhirnya menutup pintu belakang van.

Decit ban menghantarkan van hitam itu menjauh dari kekacauan yang mereka buat, meninggalkan satuan kepolisian yang sudah begitu terlambat untuk datang ke pesta mereka. Semua yang ada di dalam van menarik nafas mereka dalam, meredakan euforia yang mengaliri tubuh. Pandangan mata mereka fokus pada satu sosok yang tengah mengintip dari celah kecil jendela van, tampak memastikan sesuatu, sebelum mengangguk pada pemuda di seberang tempat duduknya. Tanpa jeda detik, dua ledakan besar terdengar menggema di kota. Bunyi bangunan runtuh yang jatuh dan berdebum ke tanah masih dapat ditangkap oleh indera pendengaran mereka yang memang cukup tajam.

Ini dia. Akhir dari pertunjukan mereka.

Semuanya berakhir sempurna dengan alunan musik indah seperti biasanya.

Mobil berbelok di salah satu gang kecil yang cukup tersembunyi. Dua orang melepaskan topeng silikon yang menempel erat di wajah. Salah satu dari mereka menarik nafas panjang, merasa lega karena bisa terlepas dari rasa pengap setiap kali harus mengenakan topeng konyol itu. Telapak tangannya menjatuhkan benda persegi yang dihiasi satu tombol berwarna merah, persis seperti remote pengendali jarak jauh untuk sesuatu― bom atau dinamit, misalnya. Sementara pemuda yang lain mulai melepas jas hitam yang menutupi kemeja putihnya dan melompat turun dari pintu van yang sudah dibuka.

"Sisakan makan malam untukku. Hari ini akan jadi hari yang panjang."

"Berhenti bersikap penuh drama, V," pemuda yang sudah melepaskan topengnya karena merasa sesak menimpali dengan nada sinis. Protes yang hendak disampaikan pemuda dengan kemeja putihnya dipotong begitu saja oleh sosok lain yang duduk di kursi terdekat dengan pintu. Maniknya memperingati untuk tidak melanjutkan percakapan, bahkan terang-terangan mengusir sang pemuda.

"Mati saja kau, Yunseong."

"Yuvin, pergi."

Satu perintah oleh pemuda yang duduk di dekat pintu sekali lagi menghentikan perdebatan di kelompok kecil itu. Dengan gerutuan tak terima, Yuvin menghentakkan kakinya dan berjalan menjauh dari arah kedatangan van. Mereka berpisah disana, melepaskan Yuvin untuk melanjutkan tugasnya, sementara keenam pemuda lain kembali ke markas mereka.

.⠀⠀.⠀⠀.
.⠀⠀.
.⠀.

"Hey, good job boys."

Suara mengalun lembut, menyambut kedatangan para pemuda di markasnya. Ada satu sosok pria, melongok dari balik dinding yang membatasi ruang tengah dengan dapur, memberikan senyum lebar hingga menyembunyikan bola matanya sendiri. Pria itu meninggalkan pekerjaan dapurnya dan memeluk satu per satu pemuda yang datang. Tak lupa, setiap pria mendapatkan lumatan lembut di bibir mereka. Sangat adil, keenam pria mendapatkan ciuman hangat dan pelukan selamat datang setelah pertunjukan mereka hari ini.

Sebagai sosok terakhir yang masuk ke dalam markas, Kookheon yang menggiring langkah pria kurus dalam rengkuhannya untuk menyusul ke ruang tengah. Keduanya sempat saling mengecup bibir masing-masing sekali lagi sebelum berpisah di sofa yang berbeda. Pria kurus itu duduk di pangkuan salah seorang yang lain, sementara Kookheon duduk di sofa khusus miliknya.

"Aku penasaran denganmu, Jinhyuk."

Seungyoun angkat suara setelah Kookheon melemparkan tubuhnya yang cukup lelah― padahal ia tidak melakukan apapun. Oh, mungkin ia lelah tertawa di dalam mobil ketika teman-temannya melakukan kegilaan mereka. Hal itu selalu menjadi peristiwa yang menggelikan dan konyol menurutnya, seperti sebuah lelucon, bukannya pembantaian dingin.

"Apa yang tuan muda J lakukan hari ini?," sahut pria kurus yang tadi menyambut mereka.

Pria yang memangku sang penanya tersenyum lembut dan mengecup lehernya singkat. Tak lupa, ia mengusap daun telinga itu. Merasa paham, sang pemuda beranjak dari pangkuan pria di belakangnya dan memandangi mereka semua. Ia tersenyum dan sedikit bersandar pada Kookheon yang duduk tak jauh dari tempatnya berdiri. Dua lengannya melingkar pada bahu lebar Kookheon, membuatnya sedikit membungkuk dan menyamakan pandang degan mereka-mereka yang ada di ruang tengah.

"Kalian mau minum apa hm?"

"Apapun, Byungchan."

Itu Jinhyuk yang menyahut setelah memecah lamunannya akan bayang sosok dokter omega yang ia lepaskan begitu saja.

Jinhyuk bingung dengan dirinya sendiri.

.⠀⠀.⠀⠀.
.⠀⠀.
.⠀.

G, finisher.

• • ○ • •

H, first liner.

• • ○ • •

K, watcher.

• • ○ • •

N, 3rd lead.

• • ○ • •

O, 2nd lead.

• • ○ • •

V, double agent.

• • ○ • •

J, 1st lead.




7 rings

a/n: aKU NULIS APA INI YA AMPUN KENAPA GINI SIH GA TAU AH:((((

Asli nggak sesuai ekspektasi ya😭😭😭 Baru beberapa juga tokohnya aku keluarin hMM......

Salam sayang, mereka

HAHAHAHAHAHAHA DAMN BOI😭💞

Btw, ini kalian bener masih mau baca?:(

With luv,
Jinny.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top