( 𝟙𝟝 ) °• 𝓺 𝓾 𝓲 𝓷 𝔃 𝓮 .

hi guys?:(
adakah yang rindu?:(

maaf ya kalau chapter ini berantakan atau banyak typonya.. aku nulisnya ngebut banget, di tengah tengah masa uas pula:( hope you like it💕

.⠀⠀.⠀⠀.
.⠀⠀.
.⠀.

Seungwoo mengerjap, membiasakan pandangnya dengan cahaya yang berlomba masuk sejak ia membuka kelopak mata. Hal pertama yang ia temukan adalah lukisan rasi bintang yang memenuhi langit-langit kamar. Ingat betul dirinya, tentang bagaimana sang pemilik ruangan mengoceh pada dirinya yang malas-malasan membantu kala itu. Liburan musim panas harusnya diisi dengan udara dingin khas air conditioner, diikuti beberapa camilan manis dan segar— bukannya memanjat tangga besi yang dirakit di tengah ruang kamar dan melukis langit-langit kamar, dan jangan lupakan air conditioner yang dimatikan dengan alasan menghindari cat kering. Jadi, ini bukan salah Seungwoo jika ia menggerutu tak habis-habis.

Sudah lama sekali. Sekian tahun yang lalu, sejak ia masih bisa bertengkar karena hal kecil seperti ini.

"Kau yang menggambar rasi Orion. Ingat?"

Seungwoo menggeliat dari posisi tidurnya dan duduk. Punggungnya menyandar pada tembok yang menempel dengan kasur tempatnya berbaring. Ia tak langsung menjawab pertanyaan yang dilontarkan padanya. Hantaman rasa pusing lebih dulu menyambut, memecah fokusnya hingga ia mengerang. Kilas balik kejadian yang menimpanya hari ini berbaur dengan rasa sesak dan perih di tiap sudut tubuh. Kepalanya berat, dan pandangannya menggelap. Ia nyaris tersungkur kalau saja kawannya tidak merengkuh bahunya dan membawa tubuhnya untuk kembali berbaring.

"Sakit?"

Seungwoo mengangguk lemah.

"Memang sebaiknya kau tidak banyak bergerak lebih dulu," ada hela nafas yang menjadi jeda sebelum lawan bicaranya melanjutkan kalimat. "Dokter bilang kau luka parah— disini, di dalam kepalamu. Beruntung kau baik-baik saja dan kondisi tubuhmu memang mendukung untuk memulihkan diri dengan cepat."

Seungwoo menangkap kalimat lawan bicaranya dalam penggalan-pelnggalan. Masih agak sulit baginya untuk mengumpulkan fokus disaat rasa sakit tak berhenti menyambangi kepalanya.

"Sakit."

Sosok itu tersenyum. "Tentu saja. Sebentar lagi kita harus mengganti infusmu. Ada obat yang diinjeksikan dalam infus, dan beberapa obat lainnya harus kau konsumsi. Tapi sebelum itu, kau harus makan lebih dulu."

Seungwoo bahkan tidak sadar ada jarum infus yang menancap di lengan kanannya. Saat matanya menatap plester disana, ia menangkap ada beberapa garis tipis yang tidak hilang. Bekas plester lain yang ditimpa rupanya tidak tertutup sempurna.

"Ada yang salah dengan jarum infusnya? Aku masih belajar memasangkannya padamu, tapi perawat bilang aku melakukan hal yang baik, jadi harusnya itu tidak menyakitimu," suara itu bergetar karena khawatir. Jarinya meraih lengan Seungwoo perlahan dan mengangkatnya, mencoba melihat hasil kerjanya sendiri.

"Sudah berapa lama— aku memakai infus?"

"Menuju dua minggu. Setidaknya, dengan operasi, kondisi tubuhmu dapat memulihkan dirinya sendiri dengan cepat— jangan tatap aku seperti itu. Lukamu terlalu parah, dan aku, sebagai wakil keluargamu, menyetujui anjuran dokter untuk melakukan operasi. Minggu lalu kau kritis, tapi operasi itu membawa hasil yang baik, untungnya. Buktinya, sekarang kau sudah membuka matamu."

Ada banyak pertanyaan dalam dirinya saat sang kawan memaparkan fakta terkait kesehatannya. Demi Tuhan, Seungwoo merasa ia hanya tertidur sebentar sejak kejadian dimana Jinhyuk menendang kepalanya. Siapa sangka, saat ia membuka mata, lebih dari satu minggu sudah terlewatkan? Seungwoo masih ingin bertanya lebih banyak lagi, namun dirinya merasa sudah terlalu lelah untuk berpikir. Kepalanya berdenyut jika ia memaksa untuk berpikir atau mengingat semuanya kembali.

"Dua minggu, aku disini?"

"Tentu saja. Lagi-lagi aku yang meminta dokter untuk melakukan perawatan intensif terhadap dirimu, disini."

"Kau—"

Sosok itu terkekeh dan berjengit jijik. "Memandikanmu, melakukan pengecekan terhadap kesehatanmu, pulang pergi ke rumah sakit untuk melaporkan perkembangan kesehatanmu karena aku yang meminta perawat untuk berkunjung tiga hari sekali saja. Banyak yang kukerjakan untukmu, dasar merepotkan."

Seungwoo tersenyum samar. Ingatkan dirinya bahwa yang tengah mengoceh di hadapannya ini adalah sahabatnya sendiri. Melihat pria itu berceloteh panjang dan memaki Seungwoo karena sudah menyita waktunya yang berharga hanya untuk merawat Seungwoo, membawa ingatannya kembali pada liburan musim panas bertahun-tahun silam. Sosok itu masih sama saja. Masih terasa seperti rumah bagi Seungwoo.

Lupa, ia lupa sekali, sudah banyak masa yang ia dan kawannya habiskan bersama. Presensi kehadiran sang kawan sudah tak dapat ia lepaskan, setelah ia menyadarinya. Kapanpun, dimanapun, apapun situasinya— rupanya, mereka memang selalu bersama. Kehadirannya yang sudah menjadi bagian hidup Seungwoo membuatnya lupa akan tahun-tahun yang dilalui. Mereka sudah tumbuh bersama selama itu. Padahal, jika disandingkan, keduanya memiliki kepribadian yang cukup betolak belakang di beberapa bagian. Tapi mungkin, itu yang melengkapi mereka.

"Terima kasih."

"Tidak perlu. Cukup lekas sembuh dan segera keluar dari rumahku. Aku tidak tahan harus berbagi kasur dengan orang lain."

Seungwoo menatap lawan bicaranya dalam. Senyumnya memudar, digantikan oleh raut wajah yang lebih serius. "Tidak, aku sungguh-sungguh, Seungyoun. Terima kasih."

Seungyoun menangkap tatapan dalam Seungwoo dan tampak mencernanya dengan lamat. Wajah konyolnya turut memudar. Emosinya berbaur menjadi satu dengan Seungwoo. Keduanya saling menatap, bahkan tak terputus saat Seungyoun memutuskan untuk berjongkok di sisi kasur Seungwoo dan menggenggam telapak tangan kawannya.

"Aku kira aku akan kehilanganmu."

Seungyoun menarik nafas guna menenangkan diri. Nada bicaranya terlampau gemetar untuk ukuran Cho Seungyoun yang tak pernah repot-repot memikirkan berbagai hal dalam hidupnya.

"Apa yang belum kau ceritakan padaku, Seungwoo?"

Seungwoo merasa angin baru saja menampar dirinya, saat ia melihat raut wajah Seungyoun yang begitu menyedihkan dan guncangan di tiap kata yang kawannya lontarkan. Sudut terdalam dari dirinya berdenyut menyakitkan. Kalau bisa, ia ingin melempar genggaman Seungyoun yang mengerat dan memintanya untuk meninggalkan dirinya sendiri. Seungwoo terluka, melihat kawannya berubah menjadi sosok yang tampak hancur hanya karena dirinya.

Ia baru saja menipu bagian dari kehidupannya sendiri.

.⠀⠀.⠀⠀.
.⠀⠀.
.⠀.

"Oh, hai. Kenapa kau masih terjaga?"

Seungyoun menggantung mantelnya. Cahaya remang berpendar dari lampu kekuningan di sisi sofa. Satu sosok langsung menyambutnya saat ia melangkah masuk. Kemejanya terbuka hingga separuh dada. Bercak hitam layaknya tato mengintip malu-malu dari balik kain tipis yang dikenakan olehnya. Sosok itu tak menjawab pertanyaan Seungyoun. Ia lebih sibuk untuk diam, memiringkan kepalanya, dan menggigiti jari telunjuknya sendiri. Tatapannya dalam, meneliti Seungyoun yang sudah mendekat mulai dari ujung hingga ujung.

"Kenapa melihatku seperti itu?" Seungyoun mendesah panjang. Ia masih berlalu lalang kesana kemari setelah menggantungkan mantelnya—ke toilet untuk mencuci tangan, kembali ke mantelnya untuk mengambil kacamata, ke dapur untuk meneguk air putih dari dalam kulkas, meraih alkohol di meja lalu mengusap alkohol itu ke telapak tangannya. Selama Seungyoun melangkah kesana kemari, menyibukkan diri sebelum mendekat dan duduk dengan satu satunya orang di ruang itu, Seungyoun menyadari bahwa ia diikuti. Tidak, tidak dengan fisik, namun melalui sorot pandang dalam yang dilontarkan terang-terangan padanya.

"Harusnya kau tidur, kondisimu memburuk akhir-akhir ini. Jangan terlalu banyak memikirkan segalanya," Seungyoun mendekat, dalam artian sesungguhnya. Ia membungkuk untuk merendahkan dirinya agar sejajar dengan jarak pandang yang sesuai, kemudian menanggalkan kancing yang saling mengait hingga kemeja lawan bicaranya terbuka sepenuhnya. Ia kembali menuang alkohol pada tangannya dan mengusap cairan itu layaknya sedang mencuci tangan.

Jarinya bergerak perlahan, menelusuri tepian garis-garis berwarna hitam yang baru terukir di tubuh lawan bicaranya. Di beberapa tato, Seungyoun akan berhenti. Kelopak matanya menyipit dari balik kacamata yang sudah bertengger di hidungnya dan memperhatikan secara seksama tato hitam yang tercetak lebih dalam dari tato lainnya.

Sebenarnya, Seungyoun kurang suka jika harus menyebut luka-luka itu sebagai tato. Namun, Seungyoun sendiri tidak dapat menemukan kata lain yang lebih tepat selain tato. Cetak hitam itu persis seperti kulit terbakar karena ditempeli cap membara yang baru diangkat dari sumber api; seperti orang yang baru saja dilukai dengan besi membara. Cetak hitam baru itu adalah yang kedua dari yang paling parah setelah cetak hitam di punggung, tepatnya di bahu kiri sosok itu.

"Masih belum membaik ya?," Seungyoun mendesah panjang layaknya orang yang kelelahan. "Kita harus membuatnya mengering, setidaknya seperti yang ada di bahumu. Kalau kita tidak membuatnya mengering, daging tubuhmu bisa infeksi."

"Bagaimana Seungwoo?"

Pertanyaan itu selalu sama, berulang kali diucap sejak hari dimana keributan besar terjadi di mansion. Seungyoun bukannya lelah untuk menjawab. Ia hanya ingin kawan-kawannya beristirahat lebih dulu. Setidaknya, biarlah dirinya yang mengurus segalanya sementara ini. Toh, kepemimpinan Seungyoun tidak buruk dan ia bisa menyelaraskan semuanya dalam waktu singkat, sementara semua orang yang terlibat beristirahat.

"Seungwoo sudah sadar," Seungyoun mengusap kapas yang telah dibaluri alkohol pada kulit lawan bicaranya. "Pikirkan dirimu sendiri terlebih dulu, Jinhyuk."

Tangan kanan Seungyoun melintas berulang kali di atas tubuh Jinhyuk, sementara lengan kirinya menahan tubuh sang sahabat yang sudah menggeliat ingin membebaskan diri. Jinhyuk meronta kesakitan. Seungyoun berharap ia dapat meringis, turut merasakan perih yang dirasa sang sahabat, namun dirinya sudah terlampau terbiasa dengan hal ini. Memang, di awal dirinya mengenal Jinhyuk, ia tak dapat menyembunyikan ekspresinya saat mengobati sang kawan. Ia akan meringis sembari membersihkan luka kawannya dengan tangan gemetar karena takut kalau saja ia salah mengobati kawannya.

Sekarang, setelah melewati banyak waktu bersama dengan Jinhyuk, Seungyoun sudah terbiasa. Ia sudah melatih dirinya sendiri tentang bagaimana cara mengobati luka kawannya, tentang bagaimana ia harus menahan tubuh Jinhyuk yang meronta hebat setiap kali kapas beralkohol menyentuh kulitnya. Seungyoun sudah terlampau paham. Bahkan ia sudah tau kebiasaan Jinhyuk yang akan menendang apapun di dekat kakinya hingga lima langkah jauhnya. Atau juga, kebiasaan Jinhyuk yang akan menggigit sesuatu guna menahan erangannya sendiri. Itu kenapa Seungyoun merelakan begitu saja lengannya untuk digigit oleh Jinhyuk tanpa terpikirkan bahwa lengannya beberapa kali koyak cukup parah. Setidaknya Seungyoun masih bisa mengemudi ke rumah sakit untuk menjahit lengannya.

"Tahan, Jinhyuk," ucap Seungyoun. Gaya bicaranya agak mendengung, entah karena menahan sakit akibat gigitan Jinhyuk yang menjadi lebih dalam, atau karena sedang berkonsentrasi penuh agar pengobatan ini lekas selesai.

Setelah beberapa kali usapan, Seungyoun menjauhkan tangan kanannya. "Kurasa ini cukup," ucapnya. Ia menoleh, menatap Jinhyuk yang sudah melepaskan gigitannya dan bersandar pada sofa sepenuhnya. Dadanya kembang kempis karena nafas yang memburu. Sejujurnya, lengan kiri Seungyoun sedikit mati rasa, namun ia tetap menggerakkan dua tangannya untuk membawa Jinhyuk masuk ke dalam pelukannya. Peluh Jinhyuk merembes di kemeja Seungyoun, tapi Seungyoun tak peduli. Ia tak pernah keberatan dengan hal itu.

"Sudahlah. Kau sebaiknya beristirahat lebih dulu. Biar aku yang mengurus segalanya."

Jinhyuk tidak menjawab, tidak juga menolak. Ia diam dalam rengkuhan sahabatnya. Bahkan kepalanya justru tenggelam lebih dalam pada ceruk leher Seungyoun. Jinhyuk mengistirahatkan dirinya sejenak dalam pelukan Seungyoun.

"Apa yang kulakukan?"

Seungyoun mengusap peluh di pelipis Jinhyuk yang nyaris meluncur turun. "Menyadarkan Seungwoo. Apa yang kau lakukan tidak salah, tapi aku juga tidak membenarkan tindakanmu. Kau tau itu."

Dahi Jinhyuk mengerut dalam. Dari balik pelukan Seungyoun, ia tampak seperti orang yang melihat mimpi buruk dalam tidurnya. "Apa yang kulakukan?," Jinhyuk merintih lemah.

Seungyoun sudah hidup dalam jangka waktu yang lama dengan Seungwoo dan Jinhyuk. Meski tak lebih lama dari hubungannya dengan Seungwoo, tapi Seungyoun sudah cukup paham dengan segala hal yang berkaitan dengan Jinhyuk.

Seungyoun memanglah seperti itu. Ia adalah satu-satunya yang paling mengerti segala hal, baik di luar maupun di dalam, dari setiap orang di mansion. Boleh dibilang, Seungyoun adalah gudang informasi terbesar dari grup mereka. Mungkin itulah kenapa ia selalu menjadi yang pertama dicari oleh anggota yang lain saat terjadi keributan internal. Statusnya sebagai seorang hakim di dalam kelompok sudah disematkan tanpa ada penobatan langsung.

Seungyoun adalah yang paling pantas untuk itu.

Jadi, Seungyoun paham, bagaimana cara menyikapi setiap orang dalam kelompok mereka. Berbeda orang, berbeda pula penanganannya. Jika Seungwoo dianggap sebagai yang paling sulit untuk dipahami, maka Seungyoun akan terbahak dan menjawab tidak. Jika Jinhyuk pula dianggap sebagai yang paling sulit dipahami, Seungyoun pun akan berkata tidak. Kedua kawannya ini adalah buku yang amat sangat mudah untuk dibaca oleh Seungyoun. Tapi Seungyoun adalah orang yang cukup pengertian. Ia menyimpan kemudahan itu untuk dirinya sendiri. Biar spekulasi orang lain tentang kedua sahabatnya berkeliaran, karena Seungyoun selalu tau seluruh kebenaran di balik segalanya.

Perlakuan terhadap Jinhyuk tidak terlalu khusus. Jinhyuk yang sedang rapuh seperti saat ini cukup mudah untuk diajak bicara perlahan, dibanding Seungwoo yang masih akan mengelak, jika ditempatkan di keadaan yang sama.

"Jinhyuk, lihat aku," Seungyoun melepas pelukannya. Telapak tangannya menelusuri rahang Jinhyuk, kemudian mengangkatnya naik agar dapat memandang netranya yang tengah bersungguh-sungguh.

Seungyoun menemukan sorot lelah dari balik bola mata Jinhyuk.

Jika menghadapi Seungwoo yang harus didekati perlahan adalah bagian yang paling menyakitkan dari cara menggapai Seungwoo, maka sorot lelah Jinhyuk adalah bagian menyakitkan dari cara untuk menggapai Jinhyuk.

Seungyoun tidak pernah tahan lebih dari lima detik untuk memandangi letihnya sang sahabat. Namun kali ini, ia harus menguatkan dirinya sendiri, agar ia dapat berbicara langsung dengan sisi terdalam Jinhyuk.

"Jinhyuk," Seungyoun bersuara dengan lembut. Kontras memang, dengan sosok Seungyoun yang biasa ditemui di mansion. Seungyoun yang jenaka, Seungyoun yang sulit dikendalikan dan bergerak semaunya sendiri, Seungyoun yang seribu satu persen seorang pengacau. Seungyoun yang itu bukanlah Seungyoun yang saat ini berbicara sepelan mungkin dengan Jinhyuk.

"Jinhyuk," Seungyoun mengulangi kalimatnya bak mengucap mantra untuk meluruhkan pertahanan Jinhyuk.

"Ya Seungyoun," jawab Jinhyuk dengan suara serak, setelah jeda beberapa detik dalam keheningan antara keduanya. Jinhyuk sudah menjatuhkan tembok raksasanya dan membuka dirinya pada Seungyoun.

"Kau percaya padaku?"

Jinhyuk meremat pergelangan tangan Seungyoun. "Ya," kini Jinhyuk berbisik parau, seakan tidak ingin dunia tau apa yang ia ungkapkan pada sahabatnya. "Ya, aku percaya padamu."

Seungyoun tersenyum tipis, menenangkan Jinhyuk yang tampak kalut—atau tepatnya bimbang. Pria itu seakan tidak tau siapa dirinya sendiri. Ia mencengkram Seungyoun lebih erat, seakan memintanya untuk tetap di sisi Jinhyuk.

"Aku disini. Istirahatlah. Biar aku yang melakukan semuanya untukmu."




7 rings

a/n: kangen ga sih? ngga ya? ya udah ga apa kalau ngga kangen, tapi aku kangen kalian:(

oh iya kalau ada yang bertanya-tanya sama eksistensi Seungyoun yang:

"kok dia menel kemana-mana?"
"kok dia gini?"
"kok dia gitu?"

hm, jadi aku mau menciptakan karakter seungyoun yang dia fit to everybody. sosok yang nggak egois, dan bisa cocok untuk siapa aja.

seungyoun ke seungwoo mungkin keliatan kayak lovers from childhood tapi nggak, mereka sahabatan. mereka udah temenan lama, se-lama itu sampai hubungan emosional mereka memang udah connect satu sama lain. istilahnya, kayak kembar beda darah.

seungyoun ke jinhyuk mungkin keliatan terlalu soft dan kayak pasangan, tapi sekali lagi, mereka emang cuma temenan. dan sama kayak seungyoun ke seungwoo, seungyoun ke jinhyuk juga udah temenan lama dan mereka udah kayak saudara beda darah.

jadi jangan merasa karakter seungyoun too much atau gimana ya, karena dia anak baik-baik kok meski suka ngeledakin kepala orang dalam artian sesungguhnya🥺 he's just a baby😔💕

bikin penasaran ga sih ini chapter— atau kurang suatu apa gitu? maklum, udah lma ga nulis jadi siapa tau ada yang bikin nggak berkenan di hati kalian😔

semoga aku bisa lanjut nulis lagi deh, dengan didongkrak chapter ini! ! doakan aku bisa balik secepatnya ya! soalnya gatel juga gitu pengen nulias hm...

With luv,
Jinny.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top