( 𝟙𝟛 ) °• 𝓽 𝓻 𝓮 𝔃 𝓮 .

Gaduh yang biasa tercipta kini digantikan oleh sepi. Bangunan megah yang berdiri kokoh kini tak lagi dihiasi suara-suara atau pula keributan seperti biasa. Selain fakta bahwa kecanggungan besar di antara mereka-mereka masih belum bisa diselesaikan, keberadaan para pemilik bangunan itu patut dipertanyakan. Tidak ada satu alpha pun disana. Yang tersisa disana hanyalah sosok kurus Byungchan yang berdiri kebingungan di tengah ruangan.

Jarang sekali mereka meninggalkan seorang Byungchan sendirian di dalam markas. Setidaknya, Kookheon akan menemani omega itu di sela kesibukannya sebagai seorang pengusaha muda. Pula Seungyoun yang memang tidak memiliki kegiatan apapun selain menciptakan kerusuhan, biasanya berbincang ringan dengan Byungchan ditemani segelas teh hangat milik Seungyoun. Ketiga pria inilah yang biasa menghabiskan waktu bersama— lebih tepatnya, menghabiskan waktu untuk menemani Seungyoun menghabiskan teh, sebab pria itu mungkin akan memuntahkannya saat Byungchan atau Kookheon tidak menemani.

Aneh rasanya, jika terbiasa menghabiskan hari dengan menertawakan wajah kesal serta jijik Seungyoun bersama Kookheon, kini— hampa. Kookheon harus menghadiri rapat di kantor, memaksa pria posesif itu meninggalkan Byungchan dengan janji-janji kepulangan yang segera. Lain dengan Seungyoun, pria itu memang memiliki urusan penting yang tentu tak dapat mengajak Byungchan ikut serta. Selain dua alpha itu, Byungchan tidak pernah mempertanyakan kemana perginya Yuvin —sebab pria itu pasti tengah berada di kantor kepolisian—, Yunseong, Hangyul, Jinhyuk atau pula Seungwoo.

Byungchan menyadari posisinya. Bagaimanapun, mereka-mereka yang menjadi kawannya kini adalah para petinggi dunia werewolf, dimana berarti mereka memiliki kesibukannya masing-masing. Jelas seorang yang terlunta-lunta sepertinya tidak dapat memahami kesibukan apa yang dilakukan kawan-kawannya. Byungchan hanya dapat membersihkan segala sudut markas dengan teliti— berusaha tidak meninggalkan debu atau remah makanan milik Yuvin dan Hangyul, sebab para alpha tidak akan menyukai keadaan kotor itu. Bahkan Byungchan sudah membersihkan kamar mereka semua yang jelas menyita banyak masa. Namun, buktinya ia masih memiliki sisa waktu untuk tinggal sendiri di bangunan megah ini, sementara para pemilik bangunan bekerja.

"Ah, malas—"

Kalimat yang ia desahkan kuat-kuat seketika terputus ketika hidungnya mengendus wewangian yang ia kenal. Tubuhnya yang semula terbaring di sofa Kookheon, mendadak melompat riang hingga membuatnya nyaris terantuk meja kaca yang berdiam di tengah ruangan. Refleks tubuhnya menjadi penyesalan tersendiri saat manik jernihnya bertubrukan dengan iris silt green yang tampak tajam dan membara.

Tubuh keduanya mematung dalam diam. Senyum Byungchan yang mengiringi refleks tubuhnya, perlahan luntur. Byungchan tidak ingin menambah kecanggungan yang memang melingkari keduanya. Maka, ia berdeham sekali dan mulai mengambil langkah mundur. Sebisa mungkin, bibirnya menyunggingkan garis tipis— yang begitu tipis, bahkan tidak dapat dikatakan sebagai sebuah senyuman; hanya formalitas untuk menyambut salah satu pemilik markas.

Entah kenapa, saat ini, Byungchan mengharapkan kedatangan Kookheon yang bahkan bukan matenya— untuk menyelamatkannya dari matenya sendiri.

"Kau— pulang? Aku— aku, aku sudah menyiapkan makanan untuk kita semua—"

Byungchan menahan tangis yang terasa mencekik tenggorokannya. Kakinya melemah. Lututnya tak kuat menopang Byungchan hingga tubuh itu kemudian menyandar pasrah di tembok terdekat yang dapat ia gapai. Sesak merayapi dirinya, mulai dari sudut terjauh anggota tubuh, sampai di otak Byungchan yang berteriak— entah ketakutan, atau juga ingin menubruk tubuh Seungwoo dan memeluknya erat.

Hanya, Byungchan takut. Ketakutan itu lebih mendominasi. Feromon Seungwoo yang menguar, kini terasa lebih pekat dari terakhir kali Byungchan ingat. Ah, Byungchan lupa. Seungwoonya sudah terlalu lama tidak pulang ketika pria itu menghadapi rut. Pantas, ingatan tentang kuatnya feromon seorang pangeran muda seperti Seungwoo mudah terhapus. Mengingat aromanya saja, Byungchan sudah bersyukur.

Detik terasa berhenti saat Seungwoo berlari maju, cepat, sangat cepat hingga Byungchan tidak siap menerima dekapan yang menenggelamkan dirinya dalam dada Seungwoo. Yang lebih muda terbatuk, mencari udara semampunya di antara lengan Seungwoo yang justru menyakiti dirinya. Bukan, bukan dekapan rupanya. Pria itu seakan tengah mencekik Byungchan dan bersiap untuk meremukkannya jika saja Byungchan bergerak.

"T-tidak—," Byungchan terisak lirih. Jemarinya terselip di surai Seungwoo, berusaha menjauhkan sang pria yang mulai menggigiti perpotongan lehernya dengan kuat. Anyir mengetuk indera penciuman Byungchan, menyadarkannya dari rasa takut. Byungchan berteriak pada dirinya sendiri, meminta wolfnya untuk menahan diri dengan menyakinkan bahwa apa yang Seungwoo lakukan kali ini hanya didasari oleh nafsu dan kebutuhan yang mendesak untuk dipenuhi. Byungchan tidak mau. Byungchan ingin cinta pria itu, bukannya ikatan mate semata yang meminta mereka untuk saling melengkapi secara nafsu.

"B-berhenti, Seungwoo—"

Byungchan mendapatkan wajah Seungwoo dalam telapak tangannya. Ia lantas mendorong sang dominan menjauh sekuat yang ia mampu. Dua tangannya menahan pergerakan Seungwoo, meski sebenarnya cukup sia-sia. Pria yang lebih tua darinya itu tetap memberontak. Dengan mudahnya, ia menghempaskan tangan Byungchan ke sisi lain dan bersiap untuk menjadikan leher Byungchan sebagai sasarannya.

"Berhenti— Seungwoo, berhenti!"

Seungwoo tidak mendengar. Pria itu tidak peduli dengan rasa sakit Byungchan. Maniknya dipenuhi oleh nafsu, menenggelamkan sisi manusia Seungwoo ke dasar— dimana nyatanya, sisi manusia Seungwoo sendiri terasa mulai terhapus dari kehidupan sehari-hari.

"S-Seungwoo— kumohon, kumohon sadarlah. Seungwoo!"

Seungwoo sama sekali tidak peduli.

"Alpha!"

Dalam hari yang sama, detik terasa tak berdetak ketika Byungchan mendaratkan tamparan kuat ke pipi Seungwoo. Bunyinya nyaring, terdengar menyakitkan bahkan untuk ukuran seorang alpha. Setidaknya, sengatan itu seharusnya Seungwoo rasakan, melihat wajah pria itu terhempas ke samping dan memberi satu langkah mundur dari posisinya berdiri. Tangan Byungchan merasakan kebas. Sensasi terbakar mulai naik, mengiringi air mata yang menuruni pipi tirusnya.

Byungchan tidak pernah membentak siapapun. Tidak, bahkan ketika Hangyul dengan sengaja mengotori markas tepat di depan wajah Byungchan, Byungchan tidak membentaknya. Ini bukanlah tentang status omega yang tersandang pada dirinya. Byungchan hanya berusaha menghargai siapapun, meski mungkin mereka tidak melakukan sebaliknya. Membentak Seungwoo, memanggilnya alpha, menangis di hadapan pria itu— ini semua jelas berada di luar kendali Byungchan.

Bunyi berdebum menyusul cepat. Byungchan tidak berani membuka mata. Ia lebih memiliki nyali untuk menghadapi kegelapan ketimbang membalas tatapan Seungwoo di depannya. Nyeri di panggulnya samar terasa. Entah sejak kapan Byungchan sudah terjatuh di lantai dengan tubuh separuh tersungkur. Sungguh, tidak ada rekam kejadian apapun di dalam kepalanya. Tubuhnya terasa mati rasa dalam keterkejutan.

Telapak Seungwoo menggantung kaku di sisi tubuh sang pria. Tanpa sadar, dengan tangannya yang bergetar, Byungchan mencoba menyentuh pipinya yang terasa terbakar. Perih adalah rasa pertama yang menyapa, menyentak Byungchan untuk seketika menahan gerak tangan yang tengah menelusuri pipinya. Meski hatinya menyangkal, fakta yang tersaji tetap tidak bisa Byungchan pungkiri.

Seungwoo menamparnya? Ia terjatuh karena Seungwoo menamparnya?

Aneh. Keributan yang mendadak muncul akibat kedatangan Kookheon, Jinhyuk, serta Yunseong entah kenapa tidak dapat ditangkap oleh indera pendengaran Byungchan. Maniknya yang berkaca-kaca hanya dapat menangkap gerak bibir Kookheon yang memaki di balik tubuh Yunseong, sesekali memberontak dan nyaris bertransformasi kalau saja Jinhyuk tidak memandanginya dalam. Byungchan merasa bodoh ketika menyadari bahwa ia tak dapat bergerak sama sekali. Tubuhnya kaku, memaksanya menyaksikan Seungwoo yang diam di hadapan ketiga kawannya.

"Brengsek!," Kookheon meraung, mencoba terlepas dari Yunseong yang menahan tubuh tegapnya. Kilat platinumnya membara oleh amarah yang tak lagi bisa diungkap oleh verbal, kecuali pria itu menghajar Seungwoo detik itu juga. Kepalan tangannya telah mengatakan demikian; siap untuk menghantarkan Seungwoo ke liang kematiannya sendiri.

"Brengsek! Dasar brengsek!"

"Diam."

Hawa dingin menyeruak di tengah perdebatan mereka. Kookheon membuang nafasnya kasar dan segera menghampiri Byungchan yang lebih terpaku dari sebelumnya. Tubuh kurus itu bergetar, tampak kedinginan oleh hal yang tidak dapat ditangkap mata mereka. Tanpa pikir panjang, Kookheon menariknya dalam pelukan, mencoba membagi kehangatan melalui dekapannya yang melingkari Byungchan penuh kehati-hatian, seakan Byungchan adalah barang rapuh yang mudah pecah kapan saja.

Tidak ada yang berbicara lagi di dalam ruangan itu. Jinhyuk sendiri sudah mengembalikan pandangannya pada Seungwoo yang jelas menolak bersitatap dengan dirinya. Sang pria muda tidak melakukan apapun. Ia menatap tenang pada Seungwoo yang semakin menunduk. Dalam satu kedipan mata, tubuh kokoh Seungwoo sudah terjatuh di atas lantai. Kedua lututnya menghantam keramik lantai dengan keras hingga menimbulkan bunyi derak yang menyakitkan.

"Apa yang kau lakukan, putra pertama keluarga Han?"

Sebagai sosok pendatang di lingkaran ini, Byungchan tidak pernah sekalipun melihat Jinhyuk seperti ini. Pria itu marah, marah besar. Kakinya melayang dalam satu gerak, menendang kepala Seungwoo ke samping seakan anggota tubuh pria itu hanyalah benda mati. Seungwoo tidak bergerak dari posisi berlututnya, sama sekali tidak. Tendangan itu keras, Byungchan melihatnya, namun ia paham bahwa tubuh Seungwoo tidak dapat digerakkan sama sekali kecuali Jinhyuk melepaskannya.

Tak butuh waktu lama untuk mendapati darah mengalir turun dari lubang hidung Seungwoo. Likuid merah itu menetes membasahi celana kain yang Seungwoo kenakan. Tidak hanya satu atau dua, aliran darah itu turun cukup banyak— tidak, memang banyak. Seungwoo jelas terluka berat di dalam sana. Semua menyadari udara yang mulai dipenuhi aroma anyir telah menari-nari di sekeliling. Byungchan, masih dalam keadaan terkejutnya, hanya dapat membuka mulut dan mengeluarkan erangan pelan— terkejut, juga kesakitan. Tetes darah meluncur turun dari hidungnya mengikuti Seungwoo di depan sana.

"Aku memintamu untuk menjawabku, Han Seungwoo."

Tidak lagi dengan tendangan, Jinhyuk justru berjalan mundur, memberi ruang bagi Seungwoo. Pria muda di depan sana tampak susah payah menaikkan tangannya ke arah dadanya sendiri. Nafasnya memberat, nyaris seperti tercekik. Wajahnya merah padam, kekurangan pasokan udara bagi paru-parunya.

"Hentikan! Byungchan—"

"Diam, Kookheon."

Tekanan itu terasa meningkat, mengiringi langkah Jinhyuk yang memutari tubuh Seungwoo. Suara decit dan batuk lirih meluncur dari balik bibir Seungwoo yang mulai membiru dan gemetar. Warna kehidupan di tubuh pria itu digantikan oleh pucat yang menjalar secara pasti. Iris silt green di matanya sudah kembali pada sorot redup yang menunjukkan sisi manusia Seungwoo. Wolf yang semula hendak mengambil alih, entah bagaimana sudah terpukul mundur dari pertarungan dan kembali ke sisi terdalam Sungwoo.

Kookheon tak dapat mengelak. Ia hanya mampu mengeratkan pelukannya pada Byungchan guna menguatkan sosok itu. Telapaknya mengelus punggung sang pria, mencoba membantu sebisa mungkin agar Byungchan dapat bernafas dengan normal. Jarinya mengusap darah yang mengalir turun dari hidung Byungchan perlahan, mengalihkan gemetar di tubuhnya sendiri. Manik Kookheon meredup, berkaca-kaca melihat Byungchan tersiksa karena kebodohan Seungwoo.

"Bee, bee listen to me. Ayo bernafas— bernafas, perlahan. Tarik nafasmu perlahan. It's okay, Byungchan—," suara Kookheon parau, nyaris pecah di ujung kalimatnya sendiri. Sebisa mungkin amarah dan rasa sedih yang menghimpit dadanya tidak ia keluarkan di hadapan Byungchan. Kookheon terus mengajak Byungchan berbicara, meminta fokus Byungchan untuk tidak teralih pada suara lain yang mulai memenuhi ruangan.

Yunseong jelas memanggil kawan-kawan mereka yang lain. Bahkan pria itu sudah melakukannya sejak kepulangan mereka. Seungyoun menjadi sosok pertama yang ia hubungi. Tak lama, sang pria sudah berlari tergopoh-gopoh, menyeruak ruang menyesakkan antara Jinhyuk dengan Seungwoo. Pria itu dengan berani mendorong mundur dada Jinhyuk, menjauhkannya dari Seungwoo yang kemudian tersungkur sepenuhnya di atas keramik lantai. Udara dingin yang melingkupi ruang kecil itu berangsung menghilang, digantikan dengan Yunseong dan Hangyul yang berlalu-lalang, berusaha menyingkirkan Seungwoo dari hadapan Jinhyuk sebelum pria itu benar-benar mati.

Ada keheningan ketika Seungyoun dan Jinhyuk bertukar tatap. Mereka berbicara melalui pandangan mereka. Seungyoun memohon dengan begitu jelas, meminta Jinhyuk menghentikan segalanya sebelum keadaan menjadi lebih buruk dari saat ini. "Berhenti, Jinhyuk. Sudah cukup," Seungyoun menunduk dalam, seakan membungkuk dan memberikan penghormatan besar pada Jinhyuk. Permohonannya terdengar sangat serius, hingga tanpa sadar, semua yang ada disana telah menahan nafasnya dan menanti jawaban Jinhyuk.

Jinhyuk sempat membuka bibirnya, hendak menyuarakan kalimat entah apa, sebelum akhirnya ia telan kembali. Tatapan yang terkunci pada Seungyoun perlahan menyurut, tidak lagi menunjukkan bara amarahnya yang menggebu-gebu. Ia melirik Byungchan sekilas, menemukan pria itu pingsan dalam pelukan Kookheon dengan jejak darah di bawah hidung. Raut penyesalan terhampar nyata di wajah Jinhyuk saat itu juga.

"Bersihkan ini semua," ucapnya lirih tanpa meletakkan pandangannya pada siapapun. Permintaannya diungkapkan saat ia memutar tubuh dan beringsut menjauh dari sana.

"Tentu," balas Seungyoun tanpa menaikkan pandangannya. Pria itu masih terus membungkuk pada Jinhyuk yang sudah meninggalkan tempat kejadian.

Setelah Jinhyuk benar-benar berlalu dan masuk ke dalam ruangannya sendiri, hela nafas lega mengudara di ruang tengah. Semua orang lantas sibuk bekerja. Seungyoun kembali berlari ke luar setelah meneriaki yang lain untuk bertindak sesuai arahannya. Pria Cho itu bergegas menuju mobil entah milik siapa yang terparkir di halaman, kemudian bersiap untuk menghantarkan dua sosok yang sudah tak sadarkan diri. Keduanya terkulai lemah di bangku belakang dengan Kookheon sebagai pembatas.

Ramai yang sempat mengisi kemudian terenggut oleh hening. Dua mobil milik para alpha meraung meninggalkan markas dengan cepat. Sementara Seungyoun menyetir di depan, Hangyul dan Yunseong mengekori dengan mobil milik Yunseong di belakang. Di antara kedua mobil itu, tidak ada satu pun yang membuka suaranya. Semua yang ada telah terpaku pada rentet kejadian yang baru saja terjadi di depan mata mereka.

Jelas, Seungwoo memilih Jinhyuk sebagai pemimpin bukan hanya didasari oleh hubungan persahabatan semata. Dan mungkin, kini hubungan persahabatan keduanya akan terasa lebih renggang.




7 rings

a/n: jangan tahan diri, langsung aja pukul aja si seungwoo. sumpah kesel bener dah, ada gitu kayak dia di cerita ini WKWKWKW:")

raise kookchan tapi ga deng gaes. kookheon sendiri— eh, ga, dia kan sama aku:)

coba dong komen kalian ada opini apa sama cerita ini. like "menurutku, si ..." atau "kayaknya ...". kOMEN YA GAES AYO KOMEN, MUNCULLAH KALIAN😣

lets share your thought guys (re: aku mau tau aku udah cukup bikin kalian kesel apa belum hEHEHEHE😣💕)

jangan bosen ya, mumpung aku bisa update hikd.

With luv,
Jinny.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top