( 𝟙𝟚 ) °• 𝓭 𝓸 𝔃 𝓮 .

chapter flashback.

pelan pelan bacanya. dua bagian cerita punya alur dan latar yang beda. satu di bagian cerita, satu di bagian flashback karakter.

.⠀⠀.⠀⠀.
.⠀⠀.
.⠀.

Laju kendaraan membelah jalanan sepi di malam itu. Kedua penumpang di dalam kendaraan terdiam, belum berniat untuk membuka percakapan bagi masing-masing. Masih dengan balutan seragam sekolah, pemuda di sisi kemudi membuang muka sejak awal ia mendudukkan dirinya di dalam mobil mewah milik pria di balik setir kemudi. Tidak ada niatan di dalam dirinya untuk mencoba setidaknya berterima kasih terlebih dulu para pria yang baru saja menyelamatkannya dari kejadian yang paling tidak diharapkan oleh siapapun di bawah kuasa para alpha.

Pada awalnya, Minhee ingin mengucap terima kasih. Ketika ia menolehkan sedikit kepalanya, ia hanya melihat cengkraman kuat di gagang setir hingga telapak tangan sang pemilik kendaraan memucat. Niatnya terurung, digantikan setitik rasa takut yang sama ketika menghadapi tiga alpha tadi.

"Tuan mencium sesuatu?," Minhee bergumam tanpa menatap lawan bicaranya. Lagipula, hanya ada keduanya di dalam ruang sempit itu. Jelas, tanpa ditujukan langsung, pria di sebelahnya mengerti pada siapa kalimat tanya Minhee ditujukan. "Maaf mengganggu, kalau memang ada feromon di tubuhku."

"Bukan milikmu, right?," pria itu membalas dengan suara cukup serak, menghantarkan sengatan aneh yang memberi gemetar kecil pada tubuh Minhee.

"Temanku," balas Minhee segera. "Aku petugas kesehatan. Ternyata seorang beta menjadi petugas kesehatan bukan ide yang baik. Aku sama sekali tidak mecium feromon apapun."

Keduanya kembali hening. Manik bulat Minhee menelusuri jalanan, tanpa bertanya kemana mereka akan pergi. Oh, Minhee belum menyebutkan dimana rumahnya. Ia belum merasa ingin untuk segera pulang, dan sepertinya pria penyelamat di sisinya ini mengerti. Mereka hanya melaju di jalanan, tanpa tau kemana tujuan mereka saat ini.

Sebenarnya, Minhee mencoba abai dengan pergerakan kecil di sebelahnya. Jangan kira Minhee tidak menangkap deham halus pria itu, atau juga tubuh yang bergerak menyamankan posisinya, juga jari yang sesekali mengetuk setir. Minhee cukup pintar, ia lantas menekan tombol air conditioner tanpa izin, kemudian menurunkan jendela, membiarkan dengan sengaja terpaan angin malam mengacaukan surainya. Sebelum pria itu sempat bertanya perihal tingkah Minhee, Minhee sudah lebih dulu menyahut.

"Sebaiknya Tuan bilang jika tidak bisa menahan bau feromonnya."

Pria itu mengatupkan bibirnya yang terbuka dan mengembalikan pandangannya ke jalanan. "Aku tidak bilang apapun."

"Tapi kau bersikap seperti itu, menyebalkan," Minhee merotasikan bola matanya. Ayolah, biarpun ia hanya seorang pelajar muda yang senang tertidur di kala pelajaran, bukan berarti otaknya menjadi setumpul itu. Peringkat dua di kelas jelas bukan hal yang mudah di dapatkan oleh seorang pemalas seperti Minhee, jika bukan karena kecerdasan otaknya. "Tuan tidak mau mengenalkan diri ya?"

"Tidak."

Minhee menekuk wajahnya terang-terangan. Maniknya menatap sengit pria di sisinya, kemudian mendengus. Jika bukan karena rasa hutang budi yang melingkupinya dan mengikat antara Minhee dengan pria itu, Minhee mungkin akan menyemprot lawan bicaranya dengan untaian emosi berkepanjangan. Minhee tidak tau bahwa pria itu jauh lebih menyebalkan dibanding melihat wajahnya saja.

Minhee terbiasa berhadapan dengan para alpha di sekolahnya yang nyatanya memang menyebalkan. Mereka egois, pemarah, tidak sopan, dan benar-benar menipiskan kantung kesabaran. Namun, pria di sisinya saat ini, adalah contoh yang Minhee yakini sebagai langkah para alpha  ke depannya; sombong dan benar-benar tidak menghargai siapapun, bahkan orang yang berusaha bersikap baik dengannya.

Masih segar dalam ingatan Minhee ketika pria itu berpura-pura dan menganggap Minhee tidak dapat menangkap nada bicaranya yang datar dan terkesan merendahkan di saat keduanya bertemu untuk pertama kali. Dengan sketsa Minhee di tangannya, manik pria itu menyorotkan pandangan membara yang ditutupi dengan begitu baik— sangat baik, hingga nyaris luput dari pengamatan Minhee. Rasa ingin menghancurkan tertutup oleh sorot datar wajahnya, Minhee tentu tidak pernah melupakan itu.

Terkadang, Minhee memang dapat menjadi lebih jenius dari seorang pelajar pada umumnya. Dengan kemampuan menerka dan analisis yang baik, Minhee sudah dapat menyimpulkan, bahwa pria ini jelas memiliki hubungan tersendiri dengan kasus para penjahat di kota mereka.

"Di jasmu, inisial Y.H. Dengan mobil semahal ini—," Minhee menggantungkan kalimatnya. Maniknya melirik sang lawan bicara yang tetap mempertahankan raut wajah menyebalkannya. Ketenangan pria itu menakutkan, namun sudah kepalang basah, Minhee terlanjur menginginkan jawaban. "Tuan Hwang Yunseong? Anak tunggal keluarga konglomerat Hwang di bidang properti?"

Minhee menangkap sebuah percik yang nyaris terlepas dari manik yang terkunci di jalanan. Hening yang sedari tadi mengisi, kini digantikan oleh perasaan kurang nyaman. Minhee mencoba menepis sisi wolfnya yang mendengking marah karena sikap penasaran dan tidak takut matinya. Ada sesak saat ia melihat pria itu menoleh, tanpa memberikan senyum, menatap Minhee dengan begitu dalam.

Minhee menjerit. Bukan, bukan karena ketakutan yang dihantarkan pria itu di dalam hatinya, tapi pada sorot lampu truk di depan sana yang nyaris menghantam keduanya. Minhee membungkuk sementara mobil terasa berguncang dan terlempar ke sisi jalanan yang harusnya mereka lalui. Lantunan klakson pengemudi truk sempat mengejutkan Minhee, hingga akhirnya suara itu menjadi sayup-sayup dan menghilang di kejauhan.

"Kalau Tuan berniat membunuhku atau bunuh diri, jangan terlihat terlalu jelas seperti ini!"

"Tidak," pria itu menyahut setelah berdeham dan kembali duduk dengan tenang di kursinya. "Aku belum mau mati."

"Berarti kau mengharapkan aku mati, begitu?"

Pria itu tidak menyahut; tidak membenarkan, tidak juga menolak kalimat pernyataan Minhee. Menyadarinya, Minhee hanya mendengus dan kembali membuang muka. Percakapan keduanya terhenti. Ruang sempit yang berada di antara keduanya diisi kembali oleh sunyi. Sebuah perang dingin seakan tercipta antara Minhee yang merasa kesal, juga dengan sang pria yang membangun tembok pembatas tinggi dan memasang topeng persembunyiannya dengan baik.

"Apartement Tenebrous. Aku mau pulang."

Pria di sisinya tidak mengangguk. Minhee hanya merasakan laju kendaraan yang meningkat, setelah sebelumnya mereka berjalan di kecepatan rendah lepas dari kejadian nyaris mematikan tadi. Perjalanan tak lagi terasa lama, mengingat Minhee menyebutkan alamat rumahnya setelah melihat jalanan familier yang selalu ia lewati ketika hendak kembali ke rumah. Dengan kecepatan sekitar 60km/jam, dalam sepuluh menit, mobil yang mengantarkan keduanya telah berhenti di lahan parkir apartement.

Minhee beranjak setelah melepaskan sabuk pengamannya. Di luar mobil, dengan keadaan pintu yang belum tertutup, ia membungkuk dalam dan penuh hormat. "Terima kasih, Tuan. Untuk penyelamatannya, juga untuk nyaris membunuh kita berdua."

"Tunggu."

Kalimat sang pria menahan pergerakan Minhee yang hendak menutup pintu. Minhee sedikit membungkuk dan menaikkan alisnya tinggi, bertanya-tanya pada pria di dalam mobil. Pria itu membuka ponselnya, tampak mengusap layarnya beberapa kali, kemudian menoleh pada Minhee yang masih tidak mengerti.

"Nomor ponselmu."

Minhee menarik sudut bibirnya, memberikan sebuah senyuman yang nyata sebagai sebuah formalitas saja. "Tidak, terima kasih," dan dalam satu gerakan, pintu mobil itu seudah terbanting cukup kuat, memutus percakapan dan pertemuan mereka di malam itu.

Sempat tubuhnya mematung, tidak menyangka akan mendapat penolakan seperti tadi. Yunseong mengendikkan bahu dan menyandarkan tubuh di kursi. Ponselnya yang menggantung di udara perlahan ia letakkan di paha, bukti kalahnya perdebatan seorang tuan muda dengan pelajar ingusan yang ternyata tidak sebodoh perkiraan Yunseong.

"Mungkin aku terlalu menyepelekannya. Sayang sekali."

Yunseong tidak berniat untuk benar-benar menyingkirkan Minhee. Nama pemuda itu tidak masuk dalam catatan milik seorang Hwang Yunseong, meski pemuda itu melihat kecerobohan mereka di dalam gang, bahkan hingga berani menggambar sketsa wajah dirinya. Yunseong sadar siapa pria yang digambarkan Minhee, sebab wajah Yuvin tidak dalam posisi dapat dilihat dengan jelas kala itu.

Yunseong, pada awalnya, hanya berniat mengawasi sang pemuda dari kejauhan; meneliti apakah pelajar itu dapat membahayakan dirinya, ataukah tidak. Yunseong cukup terkejut dengan keberanian seorang pelajar yang tidak mendapat dukungan kepolisian dalam menyebarkan informasi kejahatan yang dilihatnya. Namun kini, Yunseong lebih dikejutkan dengan kemampuan pelajar itu, kemampuan Kang Minhee dalam menerka dan menyimpulkan sesuatu.

Yunseong jelas akan menandai sang pelajar dan memasukkan namanya dalam catatan Yunseong mulai saat ini.

.⠀⠀.⠀⠀.
.⠀⠀.
.⠀.

Keduanya terbiasa diam seperti saat ini. Menghabiskan waktu beberapa jam hanya untuk berkeliling kota dan berpura-pura bahwa mereka menikmati tipuan yang mereka sajikan. Tidak heran, bahwa saat ini, tidak ada satupun yang berniat untuk membuka bibir mereka. Kebiasaan ini bermula ketika mereka untuk pertama kalinya bertemu. Pertemuan yang menyesakkan, mengganggu, benar-benar membuat hubungan keduanya renggang sejak awal. Terlebih ketika salah satu menyampaikan bahwa dirinya tidak dapat melakukan ini, saat itulah mereka sadar, mereka hanya perlu menciptakan permainan mereka sendiri hingga waktu yang tak dapat ditentukan.

Sejak awal, tidak ada satu pun di antara mereka yang menerima ide gila seperti perjodohan, sekalipun mereka adalah anak dari sosok keluarga terpandang kaum werewolf yang sialnya masih menjunjung tinggi tradisi. Persetan dengan darah mereka. Tidak ada lagi yang peduli dengan status tinggi yang tersandang, kecuali mereka-mereka para tetua yang begitu kolot.

Tiga bulan, dan kecanggungan ini tidak pernah dilepaskan. Mereka masih menunggu waktu dimana kedua orang tua mereka merasa jengah dengan progres perjodohan yang tidak pernah mengalami kemajuan. Masalahnya adalah, kapan pernyataan kekalahan para petinggi itu keluar?

Seungwoo tidak yakin orang tuanya menjadi pihak yang menyerah untuk kali pertama dalam perjodohan ini. Menyingkirkan Byungchan berada dalam agenda teratas mereka dan tidak akan pernah terhapuskan bahkan hingga kematian datang menjemput mereka. Kebencian itu jelas terlukis di dalam pancaran mata mereka.

"Bagaimana pekerjaanmu?"

Sosok di kursi penumpang tersentak, terkejut mendengar kalimat permbicaraan yang sebelumnya tidak pernah terjalin antara keduanya. Ia menoleh dalam gerakan terpatah, menandakan bahwa keterkejutannya bukanlah main-main semata. Keduanya sempat saling menatap, memastikan adanya permulaan percakapan di antara mereka.

"Oh," balas sosok itu kikuk. "Baik-baik saja. Tidak ada kendala apapun. Bagaimana denganmu?"

"Biasa saja."

Percakapan terhenti disitu begitu saja. Seungwoo tak lagi membuka bibirnya yang terkunci rapat, membentuk garis datar, penanda kebimbangan pada dirinya sendiri. Pria di sebelahnya juga tak ingin menimpali lebih jauh. Masih jelas dalam ingatannya tentang batasan yang tak boleh dan tak akan ia lewati jika itu menyangkut tentang Seungwoo.

Pernah Seungwoo memikirkan Byungchan dengan begitu keras di awal mula perjodohan ini dilakukan. Ia terus memaki di dalam hati, mengingatkan tentang siapa yang sebenarnya terikat dengan dirinya untuk seumur hidup. Cukup sulit ketika Seungwoo harus menjaga jaraknya dengan Byungchan, namun di sisi lain ia masih berupaya menjaga ikatan mereka. Seungwoo rasa sakit yang menerpa Byungchan ketika ia melakukan ini semua, sebab ia turut merasakannya. Mereka mate, berbagi rasa tak peduli sejauh apapun jarak memisahkan mereka.

Seungwoo merasakan sesak menghimpit dadanya saat Byungchan menatapnya dalam. Ia tau, Byungchan menemukan feromon lain menempel di tubuhnya, meski Seungwoo sudah menghantam feromon itu dengan semprotan wewangian dalam jumlah banyak. Manik kekasihnya itu membulat, samar, sebelum akhirnya tenggelam dalam senyumannya sendiri. Seungwoo marah. Emosi meletup di dalam dirinya, mengabaikan Byungchan yang memanggil namanya hingga suara itu teredam di kejauhan. Seungwoo mengurung dirinya di kamar kala itu, setengah membanting pintu ketika memorinya menampilkan kilasan hangat di wajah letih Byungchan.

Mulai hari itu, Seungwoo memutuskan untuk mengurangi intensitasnya mengunjungi markas, dimana berarti, ia menjaga jarak lebih jauh dari Byungchan. Hingga detik ini, Seungwoo masih tidak mengerti, apakah ia marah karena Byungchan tidak membencinya, ataukah pada dirinya sendiri yang tidak memiliki kuasa apapun selain menuruti jalan yang dibentuk kedua orang tuanya.

Seungwoo tidak suka melihat Byungchannya tersenyum pada dirinya.

"Kita sudah sampai."

Suara pelan di sebelahnya berhasil merenggut atensi Seungwoo dari lamunan yang mengganggu. Sang pria berkedip beberapa kali, memperhatikan jalanan di depan rumah yang selalu ia kunjungi setiap harinya selama tiga bulan ini. Bahkan Seungwoo tidak sadar ia telah berkendara sejauh ini hingga berhasil mengembalikan sosok itu ke rumah dengan selamat.

"Kau mau turun?," tanya Seungwoo tanpa menoleh pada lawan bicaranya.

"Ya, terima kasih," pria di kursi penumpang meraih gagang pintu mobil Seungwoo tanpa membukanya. Tangan kecilnya menggantung di udara. "Jangan memaksakan dirimu, Seungwoo," ia menoleh setelah menahan kalimat yang ingin diucap cukup lama. Maniknya menemukan Seungwoo yang menatap tajam jalanan di depan tanpa ada niatan untuk menoleh dan membalas tatapan lawan bicaranya.

Merasa tak ada tanggapan, sosok itu hanya menghela nafasnya dan beranjak turun. Lagi, tangannya menahan pintu agar tidak menutup. Setengah membungkuk, ia menggumamkan kata pengantar kepulangan Seungwoo sebagai formalitas. Dengan imbuhan kata sayang, pria itu tersenyum pada Seungwoo. Sesekali sudut matanya menangkap bayang orang yang mengintip dari balik jendela kamar orang tuanya di lantai dua.

"Hey."

Gerakan menutup pintu sosok itu tertahan saat Seungwoo memanggilnya. Dengan keterkejutan yang berusaha ia sembunyikan sebaik mungkin, ia menatap Seungwoo yang sudah mengunci pandangan pada wajahnya.

"Hubungi aku, jika kau ada masalah di tempat kerja. Atau mungkin teman kecilmu mengganggu."

Mereka menyepakati sejauh mana sandiwara berjalan. Tidak jarang keduanya menambahkan sedikit ciuman hanya untuk membuktikan sedikit usaha mereka pada perjodohan yang sudah gagal sejak awal ini. Seungwoo menangkap tubuh di sisi pintu mematung, begitu tidak percaya dengan apa yang Seungwoo ucapkan.

Seungwoo pula sama terkejutnya ketika mulutnya mengatakan hal secara acak.

Sosok itu tertawa, sangat canggung menurut pendengaran Seungwoo. Situasi mendadak tidak berada dalam kendali panggung pertunjukan mereka. Sang lawan bicara tampak jelas berusaha mengendalikan dirinya sendiri dari hal yang tidak diharapkan. Pria itu tau, bahwa apa yang Seungwoo ucapkan tidak masuk dalam skenario permainan mereka. Sikap defensif mengiringi tawa kecilnya yang masih mengalun, seakan Seungwoo baru saja melontarkan sebuah lelucon padanya.

"Sihoon? Tidak mungkin, dia orang baik, tidak akan mengganggu siapapun disini. Sudahlah, pulang Seungwoo. Ini sudah terlalu malam."

Pintu yang tertutup halus seakan menampar Seungwoo untuk kembali pada kenyataan. Kewarasannya berteriak nyaring, mengingatkan tentang sosok yang tengah menantinya di markas, sekalipun ia tidak pernah menghargai sambutannya setiap kali ia pulang ke markas.

Seungwoo menginjak pedal gas kuat-kuat, segera meninggalkan jalanan yang terasa mengawasi dirinya dengan lekat. Sunyi malam dibelah oleh suara deru mesin kendaraannya yang begitu halus. Lengking panjang mengiringi tawa yang entah sejak kapan meluncur dari bibirnya. Jangan tanya, Seungwoo juga tidak mengerti hal apa yang tengah ia tertawakan saat ini. Mungkin, dirinya? Mungkin juga, keberhasilannya dalam menipu banyak orang dan menutup rapat perjodohan memuakkan ini, bahkan dari Seungyoun?

Kemudi mobil terbanting ke sisi lain, menghentikan perjalanan Seungwoo yang sudah seperti orang kesetanan. Tubuhnya terlempar ke depan, menghantam setir dengan begitu kuat. Anehnya, rasa nyeri itu tetap tidak sebanding dengan sesak yang menghimpit dadanya. Ruang di dalam sana seakan tengah tersiksa dengan apa yang Seungwoo lakukan. Bukan, bukan tentang fakta bahwa Seungwoo nyaris meregang nyawa di jalanan. Bukan pula tentang perjodohan atau percakapan yang terjalin antara dirinya dengan Wooseok tadi.

Sesak itu timbul dari rasa tidak percaya dengan dirinya sendiri yang membiarkan perasaan lain tumbuh di dalam hatinya. Harusnya, Seungwoo menolak, bukannya mulai menerima keberadaan Wooseok dan menganggap bahwa omega itu adalah yang terbaik untuk dirinya.




7 rings

a/n: sabar. baku hantamnya tahan.
ngga, sebenernya aku juga mau nonjok seungwoo. yA GUSTI KAMU TUH KENAPA, KURANG APA BYUNGCHAN ASTAGA HAN SEUNGWOO MINTA DIGETOK PALANYA.

hehe, santet aja seungwoo, aku ikhlas.

sebenernya paling suka nulis karakter yunseong di cerita ini. cuma baru kumunculin aja dia. jinhyuk juga belom keluar kan, masih susah ngeluarin jinhyuk tuh:(

aku liat, chapter kemaren pada nebak nebak ya sebenernya maksud youn tuh apa? pokoknya banyak lah yang bohong di cerita ini. ga ada yang bisa dipercaya, jangan percaya.

penulisnya apalagi. susah buat dipercaya. sukanya nyakitin doang:)

With luv,
Jinny.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top