( 𝟙𝟙 ) °• 𝓸 𝓷 𝔃 𝓮 .
chapter flashback.
maaf ya updatenya lama.
.⠀⠀.⠀⠀.
.⠀⠀.
.⠀.
"Aduh, aduh! P-pelan!"
Pria dengan balutan seragam polisi mengaduh ketika sang dokter muda menekan kapasnya cukup kuat pada daerah bekas luka tembak di pahanya. Dibalik ringisan atas rasa sakit sang polisi, ia dapat melihat kawannya itu menekuk wajah kesal dan sedikit cemberut. Setiap kali ia hendak membuka mulut, memberikan sanggahan atau rayu bujuk pada sang dokter, saat itulah kapas beralkohol di tangan sang dokter menekan kulitnya kuat.
"W-Wooseok, sakit!"
"Salah sendiri," sang dokter muda, Wooseok, membalas dengan nada datar. Maniknya menatap kesal pada Sihoon yang terbaring lemah di atas kasur rumah sakit. Telapak tangannya masih menari, membalurkan alkohol tipis-tipis pada lingkar luka sang kawan. "Harusnya kau bertindak cepat, bukannya hanya menatap badut jelek itu!"
"Mana aku tau dia akan menembakku!"
Wooseok mendelik tajam pada Sihoon, membungkam sanggahan konyol lain yang akan dilontarkan. Sihoon tak dapat berbuat banyak selain menurut dan mengatupkan bibirnya. Keduanya sempat saling melempar tatap sebelum akhirnya Wooseok mengalah dan memilih untuk beranjak setelah menghela nafasnya panjang.
Ada ruang dalam hati Sihoon yang meneriakkan perasaan bersalah pada Wooseok. Ia ingat bagaimana raut panik menghias wajah Wooseok ketika ia terbaring di ruang gawat darurat tadi malam, tepat setelah kejadian penembakan oleh seorang badut pada Sihoon. Andai saja Yohan tidak menyusul Sihoon malam itu, mungkin Sihoon akan berakhir kritis karena kehillangan banyak darah. Baik Yohan maupun Wooseok, keduanya sibuk berlalu-lalang dengan wajah panik di sisi kasur Sihoon.
Wooseok bahkan tidak menjawab erangan tipis Sihoon yang memanggil namanya. Pria kecil itu sibuk melakukan tindakan darurat pada Sihoon. Mengingat betapa kerasnya konsentrasi Wooseok tadi malam, Sihoon kian diguyur perasaan bersalah karena telah membuat temannya itu khawatir.
"Hey."
Sihoon tidak merasa ia akan menerima seorang tamu saat ini. Tak ada niat baginya untuk menjawab panggilan ataupun ajakan obrolan orang lain. Selain karena rasa kantuk yang terasa menggelayuti kelopak matanya sebagai efek obat yang disuntikkan Wooseok padanya, Sihoon tidak dalam keadaan ingin berbicara dengan siapapun saat ini. Anehnya, ia tetap menoleh, menjatuhkan atensinya pada sosok yang tidak ia harapkan muncul saat itu juga.
Pria di sisi kasur Sihoon tersenyum lebar, menampilkan deret gigi putihnya. Tangannya bergerak cepat menyusuri kasur, menahan telapak tangan Sihoon yang sudah meraih bel perawat dan bersiap untuk menekannya. Sihoon memberontak, namun cengkraman pria itu bukan main kerasnya. Ia nyaris meringkuk dan gemetar ketakutan ketika sang pria menekan dirinya dengan aura khas seorang alpha.
Kelu, lidah Sihoon kelu bukan main. Sebagai seorang anggota polisi, dihadapkan dengan para pembuat onar adalah hal yang sering ia temui. Namun untuk yang satu ini, Sihoon tau, ia tidak akan pernah bisa melawannya. Sihoon hanya seorang omega, dan pria itu adalah alpha, alpha yang sangat kuat dan tidak mudah ditaklukkan.
Telunjuk kanan pria itu naik, menekan bibirnya sendiri, meminta Sihoon untuk tetap tenang. Jelas hal itu tidak membantu. Rasa takut dalam diri Sihoon telah membuncah dan nyaris meledakkan sang polisi muda detik itu juga. Melihat bagaimana pria itu menyeringai padanya, Sihoon paham bahwa ia takkan lepas dengan mudah dari cengkramannya. Sihoon seakan telah dikorbankan oleh pekerjaannya sendiri untuk menghadap seorang iblis.
"Menjauh atau aku akan berteriak."
"Oh ya?," pria itu justru mendekatkan wajahnya pada Sihoon, kemudian mencengkram rahang sang polisi muda dengan gampangnya. Senyumnya mengembang, mengejek sikap sok berani yang Sihoon layangkan padanya. "Teriak, aku patahkan rahangmu detik itu juga."
Sihoon tau pria itu akan melakukannya. Sihoon dapat melihat bagaimana pancaran matanya menunjukkan keberanian yang tidak main-main. Jelas mematahkan rahang seorang omega dalam keadaan lemah seperti ini bukanlah hal yang sulit untuk seorang alpha kuat sepertinya. Pancaran mata itu masih sama seperti pancaran yang ia lihat tadi malam, pancaran pria yang menembak tepat di pahanya dan membawanya berakhir terbaring seperti saat ini.
"Siapa kau?"
"Mau berkenalan?," pria itu melempar cengkramannya, kemudian duduk di salah satu kursi yang memang tersedia di sisi kasur Sihoon. Kepalanya bergerak main-main, menggoda kesabaran Sihoon yang kian terkikis. "Mungkin jika kita berkenalan, kau dan anjing-anjing lainnya bisa menangkap kami lebih cepat."
Sihoon menggeram. Telapak tangannya mengepal erat di samping tubuh, menunjukkan emosi yang membara ketika pria asing itu menyuarakan kesombongannya. Sihoon bersumpah ia akan menambah luka di wajah rupawan itu andai saja ia tidak terbaring kesakitan saat ini. Keinginannya untuk menghajar pria itu mungkin juga dilandasi amarah karena telah membuat dua temannya khawatir dengan keadaannya sata ini.
"Kau tidak takut ya?"
Pria itu mendecih, seakan kata-kata Sihoon hanyalah lelucon yang tidak perlu ditanggapi dengan serius. "Tidak," katanya. "Untuk apa kami takut dengan bocah-bocah ingusan seperti kalian? Polisi, hah, terus saja kalian bertindak tolol. Benar-benar sebuah hiburan untuk kami semua."
"Apa yang kau lakukan disini? Berniat untuk meledakkan gedung lainnya, tuan badut? Benar-benar tipikal seorang alpha urakan ya? Mengacau dengan mudahnya, membuat kerusakan, membunuh orang lain. Lucu sekali sampah seperti kalian masih hidup sementara orang lain yang tidak berdosa tewas karena ulah kalian."
Pria itu bersandar. Maniknya menyelami Sihoon tepat di bola matanya. Kedua tangannya tertekuk di depan dadanya. Jika saja pria itu tidak tetap mempertahankan senyumnya, Sihoon mungkin akan meerasa jauh lebih ketakutan dari saat ini. Tapi, tidak. Pria itu tetap tersenyum sementara pikirannya berkelana menjelajahi sang opsir.
"Kau tau? Aku benar-benar ingin membunuhmu saat ini."
"Lakukan," Sihoon menaikkan vokalnya, mengisi tiap sudut ruangan dengan rasa tak gentarnya. Ia bahkan telah menyibak selimutnya sendiri, memberikan gestur pada sang pria asing bahwa ia masih mampu untuk menerjang sang pria sekalipun pahanya terbalut oleh kain kasa. "Mungkin dengan membunuhku, kau dapat menyesali apa yang sudah kau lakukan saat ini."
Pria itu berdiri, mendekati Sihoon dalam sekali gerak. "Penyesalan?," ungkapnya dengan nada ejekan yang begitu kentara. "Aku lahir tanpa penyesalan. Repot sekali harus merasa menyesal sementara aku menikmati ini semua."
"Kau sakit!"
"Memang," telapak tangannya mengusap wajahnya sendiri, menunjukkan luka-luka segar yang seingat Sihoon tidak ia lihat malam itu. Wajah rupawan itu jauh dari kata bersih. Lebam dan darah kering mengisi disana, nyaris membuat Sihoon lupa bahwa ia adalah pria yang sama dengan sosok yang menembaknya tadi malam. Wajahnya berubah jauh, namun Sihoon masih dapat mengenali sorot matanya. "Ini memang menyakitkan," tambahnya.
Ada satu titik dimana sorot itu melukiskan kegelapan bagaikan jurang tak berdasar. Pria itu, entah bagaimana, terkesan kosong menurut Sihoon. Jiwanya seakan telah dibuang jauh oleh sang pemilik tubuh, menjadikannya sosok yang tidak memiliki perasaan simpati ataupun empati.
Pria itu membelenggu dirinya sendiri. Sihoon terlalu pintar untuk menemukan celah dari sikap agresif sang pria.
"Apa yang terjadi denganmu?"
"Ini? Dihajar. Mereka bilang aku terlalu tolol karena melakukan kejahatan itu sendiri. Mereka ingin kami melakukannya bersama," pria itu mengendikkan bahunya santai, abai dengan Sihoon yang tercenung mendengar penuturannya. "Aku hanya ingin mencari udara tadinya, tapi rupanya menjahili polisi juga menyenangkan."
Bukan, bukan itu jawaban yang Sihoon harapkan. Sihoon menginginkan jawaban dari rasa penasarannya terkait sosok itu. Tentang bagaimana ia menjadikan dirinya berbeda dengan yang seharusnya, tentang bagaimana sosok itu memenjarakan dirinya sendiri pada suatu-- entahlah, Sihoon tidak tau apa itu. Sihoon tidak tau jurang yang memerangkap sosok itu. Sihoon hanya yakin, setidaknya ada satu atau dua alasan kenapa pria itu sekarang menjadi sosok yang seperti ini.
Sihoon menggeleng, menjauhkan pikiran-pikirannya juga rasa penasaran yang menggelitik. Sihoon akan mencarinya, namun tidak sekarang. Rasa penasaran hanya akan membawanya pada kematian, dan mengharapkan jawaban detik ini juga tidak hanya membuatnya mati, namun juga menyeretnya ke dalam neraka dan terperangkap disana. Sihoon masih cukup waras untuk sadar bahwa ia tidak dapat bermain-main dengan sosok dihadapannya ini.
"Apa luka tembaknya dalam?"
"Tidak. Besok aku akan kembali bekerja."
"Sayang sekali," pria itu menghela nafasnya seakan kecewa dengan jawaban Sihoon. Sebelum ia beranjak dari sisi Sihoon, telapak tangannya sempat mengacak surai Sihoon, entah untuk apa. Setelahnya, pria itu tampak bersiap untuk pergi, mengakhiri sesi perbincangannya dengan sang opsir muda. "Padahal aku mengharapkan lebih dari luka itu. Seperti, membuatmu tersiksa, misalnya."
Sihoon tidak menanggapi. Ia sibuk menekan bel perawat berulang kali, berharap setidaknya seorang dari petugas rumah sakit ini menghampirinya dan melihat pria itu. Sihoon butuh saksi, namun tampaknya harapannya belum dapat dikabulkan. Pria itu, sekali lagi, akan lepas dari cengkramannya.
"Lee Hangyul," pria itu menoleh, memberikan senyumnya yang tidak pernah waras dalam pandangan Sihoon, kemudian membungkuk hormat. "Senang berkenalan denganmu, opsir Sihoon. Mari bermain lagi di kesempatan lain. Cepat sembuh, sebab antara kau dan aku, ini masih menjadi sebuah permulaan dari permainan yang aku ciptakan."
Sihoon mematung. Entah karena terkejut atas nama sang pria yang diberikan secara cuma-cuma, atau ketika pria itu mengetahui namanya, atau juga ajakan untuk bertemu di lain kesempatan. Bahkan saat ini Sihoon masih mensyukuri nyawanya yang tidak lenyap karena tembakan di pahanya. Bertemu dengan pria itu jelas bukan menjadi hal yang baik untuk diharapkan.
Sihoon masih merenungi kejadian yang baru saja ia alami ketika Wooseok mengejutkannya dengan langkah berderap. Wajahnya menunjukkan raut panik yang sama ketika Sihoon terbaring di ruang gawat darurat. Pria kecil itu segera menghampiri Sihoon, mengecek keningnya, kemudian mengulum bibir khawatir.
"Hey, kenapa?"
"Kau tidak menyadarinya?!," Sihoon memundurkan wajahnya mendengar bentakan Wooseok. Pria itu tampak sangat serius saat ini. Maniknya sesekali melirik sekitar, tampak seperti tengah memastikan keadaan. "Kau tidak mencium baumu sendiri? Kau heat, astaga! Baumu memenuhi lorong rumah sakit! Bagus ada bau alpha di sekitarmu, jadi alpha-alpha kelaparan di luar sana tidak berani mendekat! Ugh, feromon yang tertinggal disini bukan main. Bahkan aku nyaris tidak bisa menahan tekanannya."
Dunianya sempat berhenti berputar ketika akhirnya ia menyadari sengatan sakit dan panas di sekujur tubuhnya. Detak jantungnya yang masih berpacu hebat akibat pertemuannya dengan sang pria asing ternyata berhasil mengalihkan perhatiannya dari rasa sakit heatnya. Sihoon mencengkram dadanya yang terasa sesak, seakan terhimpit oleh beban yang begitu berat. Pandangannya yang memburam hanya berhasil menangkap sosok Wooseok yang berlari memanggil perawat, kemudian hilang. Kepalanya tak dapat memikirkan apapun saat ini.
Hanya ada pria itu dalam bayang imajinasinya. Hanya ada rekam kejadian yang berputar di dalam kepalanya, mengurutkan rentet kejadian yang ia alami. Suara dalam dirinya bergaung meneriakkan nama yang baru saja ia ketahui. Sihoon menangis dalam amarah yang memuncak dan melubangi kantung kesabarannya.
Lee Hangyul tengah menyiksanya. Pria itu sengaja melakukan semua ini pada Sihoon. Pria itu sengaja mengenalkan dirinya, mengacak surainya, membawa pikirannya pada kekalutan tak berujung.
Seorang omega akan merasakan sakit ketika ia sudah mengetahui matenya. Pada kasus Sihoon yang memang pada dasarnya memiliki siklus heat yang menyakitkan, tumpukan penyiksaan ini jelas membuatnya merasa dikuliti hidup-hidup dari dalam tubuhnya sendiri. Panas, perih, sesak, semuanya bercampur menjadi satu, menghantarkan rasa sakit dalam kepalanya.
Lee Hangyul terang menabuhkan genderang perang dengan Sihoon.
.⠀⠀.⠀⠀.
.⠀⠀.
.⠀.
"Kemana saja?"
"Urusan penting."
Jinhyuk tampak tidak puas dengan jawaban yang dilontarkan Hangyul. Pria itu mengetukkan kakinya, tampak menanti Hangyul untuk memberikan jawaban lain yang lebih memuaskan. Yang lebih muda hanya diam, membuang pandangannya dari Jinhyuk, tampak jelas tidak berniat memberikan alasan lain yang mungkin lebih logis dan dapat diterima sang pemimpin.
Seungyoun yang diam kemudian menyesap panjang puntung rokok yang terselip di bibirnya sebelum akhirnya menjatuhkannya di tanah. Maniknya menatap Jinhyuk yang berdiri di depannya, menekuk tangan, menatapi Hangyul dengan tatapan datar. Sempat ada jeda hening yang memberikan kecanggungan, kalau saja Seungyoun tidak bergerak lebih dulu guna memecah suasana. Pria muda itu membuka pintu mobil yang menjadi tempatnya dan Jinhyuk bersandar, kemudian tersenyum.
"Masuk, kita pulang. Hangyul sudah berobat, tidak perlu memperpanjang urusan disini."
Jinhyuk tidak memprotes, meski jelas di wajahnya tercetak kekesalan pada Hangyul. Masih dalam keadaan bungkam, ia masuk ke dalam mobil dan sedikit membanting pintunya, menyisakan Hangyul dan Seungyoun yang saling tatap. Seungyoun menaikkan alis melihat tatapan adiknya yang terkesan dalam dan menuntut di saat yang sama.
"Jangan coba memberikan alasan lain yang membuatmu kelihatan lebih bodoh dari saat ini, Lee Hangyul. Masuk, sekarang juga."
Hangyul sempat membuka mulutnya, hendak mengucap patah kata, namun ia urungkan. Ia masuk ke dalam mobil menyusul Jinhyuk yang sudah duduk tenang di kursi penumpang depan. Tak mau kalah, pria itu juga menutup pintu keras dengan cara membantingnya. Meski Hangyul duduk di kursi belakang, pria itu tampak enggan menatap lurus ke depan hanya untuk menatap objek yang sama dengan Jinhyuk.
Seungyoun menyipitkan kelopak matanya sejenak, memperhatikan rumah sakit yang menjadi langganan mereka semua ketika terluka, terutama Hangyul yang tidak terhitung lagi jumlah kunjungannya. Ada satu titik yang mengusik hatinya, terutama ketika Hangyul kembali dengan wajah pennuh kepuasan dan luka yang tidak diobati sama sekali. Bukti kerasnya tinju Seungwoo sangat kontras dengan senyum simpul yang tadi Seungyoun temukan di wajah Hangyul.
Seungyoun belum tau, masalah apalagi yang harus diselesaikan olehnya sebagai pihak penengah. Seungyoun hanya mengerti bahwa ia baru saja menyelamatkan Hangyul dari Jinhyuk. Jinhyuk tidak pernah menyukai kebohongan, dan Hangyul, untuk pertama kalinya berbohong dengan begitu jelas di hadapan Jinhyuk.
"Yang terkurung, memang sebaiknya tetap terkurung."
Gumam tipis Seungyoun terbang bersama angin tanpa sempat ditangkap oleh indera pendengaran siapapun. Ia menjadi yang terakhir masuk ke dalam mobil, mencengkram setir kemudi, dan mulai menjalankan mobil dalam hening seperti kedua penumpang di sisinya dan di belakang sana.
○
○
○
○ 7 rings ○
○
○
a/n: bingung? emang bingungin. anggep aja ini chapter jembatan, makanya rada flop wkwkw.
maaf ya update molor mulu, lagi susah aku tuh.
semoga terhibur deh. kalau chapter ini ga menghibur, maaf ya.
With luv,
Jinny.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top