( 𝟙𝟘 ) °• 𝓴𝓲𝓶 𝓴𝓸𝓸𝓴𝓱𝓮𝓸𝓷 .
alur maju mundur enak. dibaca pelan-pelan, alur waktu lompat.
ada foto badut di bawah⚠️⚠️
.⠀⠀.⠀⠀.
.⠀⠀.
.⠀.
Kookheon adalah sosok yang paling normal jika dibandingkan dengan kawan-kawannya yang lain. Sejak kecil, ia sudah cukup beruntung. Ia menjalani kehidupan yang baik-baik saja, tanpa ada paksaan atau hubungan buruk antara dirinya dengan kedua orang tuanya. Mereka ada di jalan yang nyaman, hidup penuh kemewahan hasil pendapatan perusahaan elektronik ternama milik sang ayah, kedua orang tua yang menyayangi dirinya— semuanya memang seindah itu.
Tentu ia akan menjawab tidak jika ia ditanya, apakah ia merasa iri dengan teman-teman alphanya yang lain. Sejak Kookheon dapat berdiri dengan dua kakinya, Kookheon memang sudah sejenius itu. Ia dapat menilai dan mempelajari tingkah laku orang lain. Kookheon memang layaknya sebuah buku, tidak— Kookheon tidak dapat dengan mudah dipahami, dan ketika kau sudah mengerti dirinya, ia berada jauh di depan karena telah membacamu terlebih dulu.
Ia sempurna. Benar-benar tanpa cela, jika kau tidak menghitung sikapnya yang cukup unik dan lebih banyak membungkam mulut. Ia bukanlah tipe yang banyak berbicara. Kookheon lebih suka menggunakan kedua matanya untuk memperhatikan sekitar, mempelajarinya dengan baik, kemudian menyimpan segalanya dalam otak jenius yang menjadi berkah baginya. Kepintarannya juga menjadi senjata tersembunyi kedua orang tuanya dalam mengungguli gerak perusahaan, mengalahkan pesaing-pesaing lainnya hanya karena Kookheon dapat memperkirakan bagaimana serta apa saja yang terjadi di perusahaan lawan.
Semuanya sangat mudah. Dalam jentik jari, Kookheon mendapatkan semua yang ia inginkan. Hal ini tidak lantas membuatnya menjadi sosok yang egois seperti para alpha di luar sana. Pada usia tujuh belas, tepat dimana status kedudukannya menjadi jelas, Kookheon muda justru sibuk bersantai di halaman belakang rumah dan mengamati langit dalam wujud wolfnya. Tidak ada raungan atau benda yang dirusak, semua hal berada di situasi yang aman.
Hidup Kookheon begitu mudah dan tenang.
Andai rasa menyesal tidak menjadi tameng yang berbalik dan menyakiti dirinya sendiri, Kookheon akan tetap menjadi sosok baik, contoh dari alpha brengsek lain di luar sana.
Jangan mengingkari. Kookheon tetap seorang alpha. Mereka brengsek, namun Kookheon mungkin tak lagi dapat dimaafkan. Ketika kepandaiannya tidak lagi dapat menghalau bencana, Kookheon sadar, semuanya sudah begitu jauh dari kata tidak terlambat.
.⠀⠀.⠀⠀.
.⠀⠀.
.⠀.
"Byungchan, berdiri di belakangku."
"Berhenti melindunginya, Kookheon."
Debat panas terasa memuncak, membawa emosi mereka pada situasi yang semakin sulit dikendalikan. Di balik tubuhnya, seperti yang sudah-sudah, Byungchan akan berdiri dengan tangan gemetar mencengkram helai pakaian Kookheon. Samar, deru nafas yang terputus janggal beberapa kali terdengar, bukti bahwa pria kurus di balik Kookheon tengah menahan isaknya agar tidak terdengar nyaring. Dapat dipastikan Byungchan menahan dirinya sendiri untuk tidak memperburuk suasana yang sudah ada.
Telapak tangannya terayun, menjadi batas tegas ketika Seungwoo berusaha menggapai tubuh Byungchan. Manik dua alpha itu beradu, saling memberi peringatan akan kemungkinan terburuk yang dapat terjadi. Kookheon tidak mau mengalah dan menyerahkan Byungchan, begitu pula Seungwoo yang tidak mundur dari usahanya meraih sang mate yang bersembunyi semakin dalam di balik punggung Kookheon.
"Minggir."
Seungwoo tidak pernah bercanda ketika sudah berbicara dengan nada datar.
Sekali lagi, Kookheon tidak juga menyerah.
"Minggir sebelum aku melakukan hal lain padamu."
"Terdengar jauh lebih baik ketimbang kau menyeret Byungchan begitu saja, hyung," Kookheon mundur satu langkah, menjauhkan jarak antara dirinya dan Byungchan dengan Seungwoo. Telapaknya mencari-cari objek di balik punggung untuk kemudian dipaparkan di hadapan mereka. "Kau menyakitinya."
Erangan geram menyeruak dari yang lebih tua. Ia membuang wajahnya ke samping, mencoba untuk tidak mengedepankan sikap egois kala menghadapi dua pria yang usianya berada jauh di bawahnya. Seungwoo memijit pelipisnya, menolak fakta yang Kookheon paparkan mengenai cetak garis merah yang menghias pergelangan tangan Byungchan.
"Byungchan sudah bilang padamu kalau dia tidak tau dimana letak amplop perusahaanmu itu. That's all. Berhenti menyakitinya."
"Memang kenapa?," Seungwoo mendengus dengan gaya paling menyebalkan. Maniknya melirik Byungchan yang juga mengintip takut-takut dari balik pundak Kookheon. Tatapan merendahkan itu berpindah pada Kookheon, menelusuri keberanian di sorot mata sang pemuda. "Dia mateku, bukannya milikmu."
Menjadi anak baik tidak lantas membentuk pribadi lemah pada diri Kookheon. Ia salah satu penggerak kelompok itu, bukan hanya seorang pria dengan rasa bosan dan bergabung begitu saja. Kookheon juga seorang alpha yang kuat, cukup kuat hingga kepalan tinjunya berhasil menyeret tubuh tinggi Seungwoo mundur beberapa langkah. Bahkan kepala yang lebih tua sempat terhempas kuat ke samping, membuatnya limbung dan nyaris tersungkur.
"Berhenti—," Kookheon menerjang maju sebelum Seungwoo pulih dari pusing yang seketika mendera setelah mendaratnya bogem Kookheon di pipi. Keduanya terjatuh di lantai dengan Seungwoo yang berada di posisi paling tidak menguntungkan. Tangan yang terkunci di sisi paha Kookheon tak dapat melakukan banyak selain pasrah saat tinju bertubi-tubi bersarang di tubuhnya. Pun teriakan Byungchan yang biasanya efektif dalam menghentikan debat antara keduanya, kini tak lagi mengganggu kegiatan Kookheon.
"—kubilang berhenti! Sadarlah!"
Tinju terakhir menjadi penutup dari kekesalan Kookheon yang memuncak. Tangannya sempat menggantung di udara, dibiarkan terkepal kuat hingga gemetar, sebelum akhirnya mendarat juga di wajah Seungwoo. Kookheon menarik nafasnya yang memburu dan memberi ruang bagi Byungchan untuk menyelamatkan matenya yang terkapar tak berdaya.
"Berhenti, hyung. Sudah berapa kali kubilang? Jangan—," suara Kookheon yang berguncang sempat pecah di ujung, tersedak salivanya sendiri akibat amarah yang masih berada di puncak. Telunjuknya mengarah pada Seungwoo, tak lagi peduli dengan sopan santun yang biasa ia jaga. "Jangan pernah menyakiti matemu."
"K-Kookheon sudah, j-jangan membahas ini, kumohon."
Selalu, pada akhirnya semuanya sama. Kookheon akan kembali mengalah setelah Byungchan memohon sembari terisak, memintanya untuk berhenti menyakiti Seungwoo. Bukan maksud Kookheon membuat Seungwoo terkapar penuh lebam juga luka, ia sama sekali tidak ingin menyakiti siapapun disini. Ia ingin menjaga mereka semua, menggiring mereka pada jalan yang benar.
Kookheon tidak ingin teman-temannya tersesat terlalu jauh seperti dirinya.
"Sadarlah, hyung."
.⠀⠀.⠀⠀.
.⠀⠀.
.⠀.
"Lakukan sesuatu."
Suara Jinhyuk terdengar parau, nyaris kalah dengan deru keras di luar markas. Aroma segar yang menyapa hidung, justru bercampur dengan feromon yang tentu mereka semua kenali.
Kookheon tidak pernah suka dengan hujan. Entah kenapa, hujan selalu saja turun ketika Byungchan menghadapi heatnya. Heat di dalam markas para alpha jelas bukan suatu keuntungan, kecuali Seungwoo memang menggadaikan matenya untuk dijadikan milik bersama. Mungkin, hujan turun guna membantu menyamarkan feromon Byungchan, menghalau kemungkinan para alpha melakukan hal lebih selain menolong mate kawan mereka.
Bagaimanapun, ia sendiri tak dapat berbuat banyak. Kejadian yang sama terulang. Kookheon akan masuk ke dalam kamar, menghadapi Byungchan dan heatnya karena tidak ada alpha lain selain dirinya di markas yang dapat menolong pria itu. Tentu saja Kookheon tau batasan. Ia sosok paling waras yang punya kendali diri baik, bukan seperti Seungwoo yang tempramen.
Beruntung Kookheon hadir disana.
"Byungchan—"
Ada sengatan sakit di dalam hatinya ketika melihat Byungchan menangis seraya meremat pakaian kotor milik Seungwoo. Pula sweater yang seingat Kookheon baru dipakai kawan alphanya kemarin, kini sudah melekat di tubuh Byungchan. Omega itu terisak sembari mengendusi sisa feromon yang tertinggal di pakaian matenya. Kelopak matanya sudah terlalu sembab untuk sekedar terbuka dan membalas tatapan Kookheon.
"Let me help you."
"S-Seungwoo— hiks, w-where nghh—"
Jangan tanya Kookheon. Ia tidak pernah mengerti dimana keberadaan Seungwoo di setiap hari pertama heat Byungchan melanda. Pria sibuk itu secara ajaib akan hilang ditelan bumi. Bahkan ratusan telepon yang Jinhyuk lakukan tidak pernah diangkat oleh sang pria Han. Seungwoo akan kembali setelah dua atau tiga hari ke depan dengan raut kusut bukan main dan masuk ke dalam kamar matenya. Sejauh ini, hanya saat itulah — seingat Kookheon— Seungwoo melakukan kewajibannya sebagai mate Byungchan.
Tentu saja hal tersebut bukan kabar baik. Mereka mungkin memang saling menolong di keadaan genting, namun setelahnya, keduanya akan kembali seperti orang asing. Byungchan tidak menganggap heatnya yang begitu menyakitkan sebagai sebuah beban, dan Seungwoo tidak repot-repot memikirkan matenya. Keduanya akan saling memunggungi dan berjalan menjauh.
Mereka benar-benar hanya terikat oleh kata mate. Kookheon tau, Seungwoo melakukan hal yang seharusnya ia lakukan pun karena ia terpaksa kalau tidak ingin Byungchan mati karena penolakan secara halus yang ia lakukan.
"I'm sorry."
Byungchan tersedu menahan sakit yang menggerogoti tiap jengkal tubuhnya. Tubuh kurusnya yang meringkuk di atas kasur sempat tersentak ketika telapak tangan Kookheon menyapa punggungnya dan mengusap pelan disana.
"S-Seungwoo—"
"Maaf," Kookheon kembali mengulang kata yang sama dengan suara yang kian pelan. "Sakit?," lanjutnya, mencoba untuk menahan Byungchan agar tetap sadar. Seseorang yang tengah menghadapi heatnya dan pingsan bukanlah hal baik. Sistem yang tersusun di dalam tubuh mereka akan melemah karena kesadaran yang hilang, dan tentunya dapat menyeret mereka ke situasi kritis.
Byungchan mengangguk. Tentu saja.
"Kubantu seperti biasa, okay?"
Kepala Byungchan menggeleng. Isaknya kembali terdengar lirih. Nama yang sama selalu meluncur dari bibirnya yang sudah gemetar, meminta Kookheon untuk mendatangkan sosok itu di depan matanya.
"Seung— woo nhh—"
"Jinhyuk hyung masih berusaha menghubunginya. Ssh, no no— stop crying, bee. Kubantu ya? Pasti sakit sekali, right? Let me help you, please."
Kookheon tidak dapat berbuat banyak selain memberikan pertolongan semampunya. Ia mengerti batasan. Bagaimanapun, Byungchan adalah mate Seungwoo. Kookheon tidak mungkin melakukan hal lebih selain membantu Byungchan mengeluarkan muatan di dalam skrotumnya yang terus terproduksi. Tidak ada anggota tubuh lain yang bergerak selain tangannya, itupun secara perlahan. Kookheon tidak ingin menyakiti penis Byungchan yang sudah memerah karena terus digesekkan pada kain pelapis kasur.
Ngilu sekali melihat Byungchan mendesah, memohon pada Kookheon untuk menyentuhnya lebih jauh. Tubuh Byungchan kesakitan, sangat. Kookheon hanya mengusap paha dalamnya, menenangkan getar takut di tubuh Byungchan, namun pria itu merintih seakan kulitnya baru saja tergores benda tajam. Kookheon bohong jika ia mengatakan ia tidak terangsang, tapi ia cukup waras untuk tidak menggila.
Sudut di dalam dirinya juga merasa sakit. Panas, sesak— seutas cambuk memecut jiwanya setiap kali Byungchan menarik nafas, mendesah, juga memohon akan kehadiran Seungwoo di ruangan itu.
Ia tidak sekuat itu menahan hukuman yang Moon Goddess berikan pada alpha tanpa ampunan maaf seperti dirinya. Hukumannya terus berlanjut, mengejarnya hingga ujung dunia, terus, sampai nafas berhenti mengaliri paru-paru Kookheon.
"Maaf Byungchan, maaf."
.⠀⠀.⠀⠀.
.⠀⠀.
.⠀.
Ada ruang yang tidak pernah bisa diisi kembali. Sebuah lubang tercipta atas dosa yang menghantui. Sang pendosa dihukum seumur hidupnya, tiada ampun, menyiksa jiwa dan raganya hingga ia mungkin memilih mati jika ia bukanlah sosok yang kuat seperti Kookheon.
Alpha adalah mereka yang arogan, mementingkan strata mereka hanya untuk menghancurkan siapapun yang mereka anggap lemah. Kesombongan mereka melambung tinggi, selaras dengan sikap egois dan ketidakpedulian mereka. Mereka kuat, namun kekuatan itu yang menghancurkan diri mereka sendiri.
Tidak ada yang dapat mengalahkan alpha selain sikap mereka yang menggerogoti secara perlahan. Sejenius apapun, mereka tetap menjadi sosok paling bodoh di atas bumi.
"Aku tidak mau."
"A-Apa—?"
Kookheon pernah menjadi manusia bodoh, bajingan, biadab, apapun itu yang buruk. Ia memulai hukuman atas sikapnya yang jauh lebih hebat dari kata keterlaluan. Kilas mundur dari rentet kejadian di hari hujan itu, kehangatan di sekitarnya— semuanya sakit, tidak wajar. Tubuhnya menggigil hebat ketika tulangnya terasa berderak, merasa kedinginan dengan hangat yang harusnya melingkupi. Sengatan yang pada awalnya bukan seberapa, ternyata menjadi sumber petaka sepanjang jalan hidupnya.
Sakit, sakit sekali mengingatnya. Kookheon hanyalah alpha, bukannya pria Kim yang selalu digadang-gadang akan kejeniusannya.
"Aku tidak mau, kau tidak dengar?"
Ia merutuki bagaimana dirinya justru tersenyum kala itu, bukannya peduli dengan air mata yang menetes dan membasahi pipi lawan bicaranya. Mungkin mesin waktu pun tidak akan sudi mengembalikan Kookheon pada hari dimana ia menjadi seorang pendosa.
"Aku, Kim Kookheon, menolakmu sebagai mateku."
Bodoh, bodohnya ia justru berdiri dan mengucapkan terima kasih pada lawan bicaranya yang sudah mematung dengan bibir gemetar. Ia hanya berlalu, meninggalkan siapa yang seharusnya menjadi pendamping hidupnya sampai mati. Kookheon ingat bagaimana senyumnya turut melebar ketika payung dalam genggamannya terbuka, menghalau hujan dingin kala itu.
Ia hanya pura-pura abai dengan hawa lain di dalam dirinya, menganggap dingin di setiap sudut tubuhnya hanya disebabkan oleh angin musim hujan sore itu. Ia menggiring pemikirannya bahwa— ini yang dia cari, lega, kebebasan lainnya dalam hidup.
Bahkan ketika telinganya sendiri mendengar sosok yang harusnya menjadi matenya mati karena kebodohannya, Kookheon sadar ia sudah terlalu terlambat bahkan untuk mengucapkan kata maaf. Tubuhnya yang terbaring lemah di rumah sakit, kritis, hanya dapat memberi respon kecil pertanda rasa sakit yang membungkus dirinya— sebelum kemudian sengatan itu hilang.
Hilang, semuanya hilang. Rasa sakit yang menguliti dirinya di setiap jengkal, panas di dalam tubuh, sesak di dadanya, pusing yang bahkan membuatnya menangis dan memohon agar lebih baik ia mati ketimbang merasakan rasa sakit berkepanjangan itu— semua rasa yang dialami matenya, sebuah ikatan batin antara dua sosok yang harusnya salig menguatkan, akhirnya habis tak bersisa sedikitpun.
Kookheon menyesal, namun ia sadar ia sudah terlambat. Ia sudah menjadi seorang pendosa, bajingan yang paling biadab di antara para alpha, makhluk tolol yang harus menjalani hukumannya mulai detik itu.
Ada ruang kosong di dalam dirinya. Sunyi, begitu gelap, menyesakkan dan mengikat. Kookheon tau, ruang itu tidak akan lagi sama. Ruang itu akan tetap kosong, melubangi jiwa Kookheon dan mengingatkannya akan keputusan besar yang membebani hingga detik dimana ia masih bernafas.
Ia bahagia. Ia senang matenya lah yang mati. Ia senang dirinya yang harus menanggung semua rasa sakit dan kekosongan ini, bukannya sosok yang ia tolak hanya untuk mengedepankan sikap egoisnya, hanya untuk meraih mimpinya dan menganggap bahwa ikatan mate hanya akan menjadi sebuah beban.
Kini, sang pendosa masih menjalani hukumannya yang tidak akan pernah menjadi lebih ringan.
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀
.⠀⠀.⠀⠀.
.⠀⠀.
.⠀.
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀
K, watcher.
% merupakan salah satu pendiri kelompok para alpha.
= dipastikan kebenarannya. bayangan dari 1st lead, 2nd lead, dan 3rd lead.
% menyayangi Byungchan.
= sangat.
% hidup dalam penderitaan.
= dipastikan kebenarannya. tidak ingin kawan-kawannya mengulang kesalahan yang sama.
% topeng yang menyiratkan bahwa ada beban yang tengah ia tanggung.
= dipastikan kebenarannya; senyum yang menunjukkan sebuah penyesalan besar dalam hidup— platinum, lambang keluarga.
% pemerhati; penyusun rencana dari segala kekacauan.
= dipastikan kebenarannya.
⠀⠀⠀
○
○
○
○ 7 rings ○
○
○
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀
a/n: baca part Byungchan sedih, baca Seungwoo kasian, baca Kookheon nyesek. kenapa sih nggak bisa yang anteng aja gitu ga usah cari masalah😭
Kookheon juga, idup udah enak, malah nyari masalah😭
mumpung ide lagi ngalir gaes, jadi nulisnya ngebut hehe. habis ini juga paling aku ngilang lagi . . . . . . . eh:(
bosen ga sih baca ini?:(
With luv,
Jinny.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top