Days 6
"Baiklaaah! Satu dua tiga, hup! Ya! Seperti itu!"
Suara intruksi terdengar sedikit menggema di ruang olahraga. Mereka tengah geladi resik, untuk esok hari. Nanti malam pun mereka akan melakukannya sekali lagi.
Semuanya benar-benar telah diatur. Tata letak panggung, benda-benda nya, atribut, baju, sounds system, dan hal hal yang dibutuhkan dalam sebuah drama musikal. Kali ini dramanya mereka ganti.
"Okay! Have a break, guys!" Sebuah tepuk tangan, tanda sebagai habis nya latihan kali ini diberikan oleh guru mereka sendiri.
Semua menghela nafas lega, Rufina yang sebenarnya sedikit paham terdiam sejenak lalu turun dari panggung. Kini ia mengerti. Itu tanda akhir latihan.
Hazel mendekat lalu membrikan telapak tangannya searah dengan wajah Rufina. Ia bermaksud high five tanda sebagai kerja bagusnya Rufina hari ini. Ia mudah belajar
Tentu sebagai manusia biasa ia merasa senang dengan diberikannya pujian. Ia mengangguk dan tersenyum bahagia atas perbuatan pujian tak langsung dari Hazel
Aku harap kita semua bahagia, Tuhan..
Kini langkahnya menjauhi Hazel dan mencari sosok yang membuat pikirannya melayang kearah manusia itu.
Tempatnya digudang. Tempat basecamp kelompoknya sang parasit pikiran.
Dan ditemukannya sang parasit membuatnya tersenyum memperhatikan raut wajah Vincent yang mengerut tengah berfikir keras. Membuatnya tersenyum lalu sedetik kemudian tertawa kecil lalu melenggang pergi menuju ruang klubnya sendiri. Klub Literatur.
Sampainya ia langsung duduk dan mengambil buku. Buku yang membuatnya bergidik ngeri semakin harinya. Membuatnya takut. Getir pula.
Dibukanya selembar demi selembar kertas dan dibacanya juga tanpa henti.
Berhentinya tangan Rufina dalam beberapa halaman menuju akhir. Jari telunjuk dan ibu jarinya tergesek membuat kertas itu terlihat rusak dan tak terlihat lurus kembali. Tangannya bergetar di beberapa detik kemudian dan terisak.
"Biarkan.. bahagia.. kumohon, biarkan aku bahagia, Tuhan" matanya memudar akibat air yang menutupi penglihatannya. Ia memegang dadanya dan meremas kuat kain kemeja sekolah yang ia pakai. Syal merah yang ia pakai pun perlahan ikut melorot dan lalu terjatuh kebawah.
Kata-kata dari setiap tinta hitam yang tertulis didalam kertas membuat pikirannya mengulang kata- kata tersebut. Kepalanya sakit dan dadanya juga semakin ngilu. Tapi bukan hal itu yang semakin ia sedihkan.
Ia hanya sedih karna mengetahui ia tak akan hidup bahagia.
Sedih karna tak dapat mendengar tangisannya sendiri
Sedih karna tak bisa bersama dengan pujaannya.
"Aku merindukan semuanya" ia menyembunyikan wajahnya yang memerah dan matanya yang mulai berair diatas buku yang tengah ia baca kali ini. Buku yang menakutkan, pikirnya
"Wahai kau yang sedang mencari tahu.. waktu mu tak akan lama. Semakin mencari semakin tenggelamlah engkau. Semakin mengenal semakin tersesat lah engkau. Jadi..., Mengapa tak kau nikmati saja?"
pikirannya begitu saja masuk secara paksa kedalam pikiranku. Membuat kepalaku dihari sebelum terakhir ini membuat pusing. Sakit, benar benar sakit. Aku sendiri bahkan tak bisa menahannya
Hei, wahai pengutuk. Apakah ini benar-benar takdir yang harus kuterima?
Kenapa takdirku seperti ditentukan oleh buku bodoh, sialan seperti ini? Dan sebenarnya siapa sosokmu, wahai pengutuk?
Apakah kau sudah hidup beratus- ratus tahun? Dan apa tujuanmu untuk menyuruhku menulis buku ini?
Apa ada sesuatu yang ingin kau jelaskan? Kalau begitu kenapa tak langsung saja kau ceritakan dan temui langsung? Jangan jadi pengecut, hei, pengutuk!
Kau membuat hidup orang menjadi sengsara kau tau? Dan itu adalah alasanku tak menyukai orang aneh seperti mu. Walaupun aku benar-benar mengakui aku salah satu dari hal itu
Jadi, kenapa pengutuk... kau mengutukku dan bukan orang lain?
Tangannya yang memegang kertas kasar dari buku perlahan tergores namun tak mengeluarkan gumpalan darah kecil di ujung jarinya. Tangannya berhenti setelah membaca halaman pertengahan tersebut. Pikirannya melantur entah kemana, ia sendiri pun tak tau apa yang baru saja ia pikirkan. Tapi sepertinya itulah faktanya
Derip-derip air matanya juga berjatuhan. Seiring waktu, semakin deras lah pula air mata yang mengalir dari ujung mata hingga dagu dan jatuh.
Wajah ketidakpercayaan terlihat begitu jelas tiba tiba menekuk kesal namun sedih penyesalan pula. Dengan senyum getir miliknya yang ia pakai sebisa mungkin ia tertawa. "Haha. "Sayangnya ia tau kalau kini ia benar benar tak bisa mendengar suara tertawanya walau ia sendiri tau ia tertawa
"Tak bertahan lama.. Ha.. Haha"
Rufina akhirnya bangkit dan menyeka air matanya yang sesaat turun cukup deras. Ia kembali turun ke aula berada untuk melihat kawan kawannya yang akan berlatih geladi resik lagi.
"Kau yang sudah mengetahui. Kau memang pantas untuk mati"
Angin berhembus dengan kencang seiring menerpa seseorang yang berdiri membelakangi pagar atap diatas. Dengan senyum penuh arti misterius. Ia tiba-tiba menghilang begitu saja dalam satu kedipan seseorang.
Jadi sebenarnya apakah dia hantu?
.
.
.
.
"Rufina kembali! "
Tiba-tiba segerombolan manusia segrupnya menghampiri dirinya seolah dialah seorang pemenang. Padahal dia hanya baru datang kembali dan telat. Oke teralu telat sebenarnya.
"Kemana saja kau? " suara berat khas yang ditelinga terdengar membuat segerombolan tersebut menyingkir dari jalan.
Rufina tersenyum. Tak dapat menjawab pertanyaan dari sang Cinta pertamanya ---dasar masa muda.
Tapi ia bersyukur setidaknya Vincent tak melihat sembab bekas tanda jejak air mata yang mengalir beberapa puluh menit yang lalu. Ketika membaca buku itu.
Buku itu seharusnya ku bakar, pikiran itu tiba tiba saja terlintas dalam pikirannya yang biasanya hanya terpikirnya senyum, senyum, senyum, dan senyum. Setidaknya itu akan baik baik saja, bukan?
Vincent menghela nafasnya kasar. Lalu berlalu meninggalkan segerombolan yang perlahan juga mulai meninggalkan Rufina.
Rufina membuat senyum (kecut) setelah sebelumnya mendengar perkataan dari vincent sebelum pemuda itu meninggal kannya dan menimbulkan kata kata yang membuat pipinya kini tengah merona. Betapa menyedihkannya dia
Kau adalah bintangku.. Maka dari itu.. Aku akan berjuang untuk menghapus buku itu! Pemikirannya melayang kembali mengingat buku yang membuat nya ini tak dapat mendengar. Dan beberapa hal yang akan berujung kematian.. Sepertinya?
Tangannya bergetar mengingat umurnya yang mungkin akan sebentar lagi. "Haha.. " tawaannya membuat Hazel menoleh. Tawa getirnya dengan tangan yang memegang dan memeras erat dada kemeja miliknya. Tangannya semakin bergetar kala, butir mata nya berjatuhan.
"Rufina? Kau kenapa? " Hazel tentu yang melihat seolah Rufina mempunyai penyakit jantung ---mengira ia sedang kesakitan---- tentu menghampirinya dengan agak panik
"Rufina! Rufina" seru Hazel agak kencang. Namun sepertinya sekencang apapun panggilan yang diseruka Hazel, pendengaran Rufina yang sudah tak berfungsi malah dapat menerima sedikit sekitar 0,8 % suara dari 99,2% yang seharusnya diterima.
Sedetik kemudian ia terdiam. Seolah kesakitan tadi hanyalah mimpi atau tak pernah terjadi. Ia mengerjap pelan bingung. "Tidak... Sakit? "
Dipeluknya Rufina oleh Hazel yang kini benar benar gemetaran. Sangat, sangat gemetaran tubuhnya. Isakkan juga terdengar sekilas oleh Rufina. Disentuhlah punggu pemuda seumurannya itu, upaya menenangkan dirinya yang dikuasai emosi yang terguncang saat ini.
"Tenang, ya? tenang.. Aku.. Baik"dengan suara khas yang dimilikinya membuat Hazel tentu menenangkan dirinya sendiri. "Mungkin? " pelan. Amat pelan bagi Rufina, tapi tetap terdengar jelas ditelinganya yang dibilang dekat dengan bibir yang mengucapkan hal itu.
"Dasar sialan"
Begitu pula suara yang bergumam dari kejauhan yang sebenarnya tak tau bahwa itu adalah sebelum hari akhir dari apa yang dilihatnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top