1st 24 Hours (2): Permintaan Sederhana
Aku duduk, dan Leslite menyuruhku menulis, menangkap bola, mengikuti dia dengan pandangan selama dia mondar-mandir di ruangan, dan gerak ringan lainnya. Membosankan? Ya. Tapi aku tahu ini penting. Tangan kiriku tidak bergerak tepat waktu; kalau sesuatu terjadi pada Albert, reaksiku bakal terlalu lambat.
Untuk Albert, ini membosankan. Ada seseorang di sudut pikiranku yang bisa merasakan proses ini, dan dia... yah, aku tidak bisa bilang dia sedang marah juga. Setidaknya dia menahan diri. Setidaknya, dia membiarkanku pegang kendali.
"Ini pertama kalinya aku bertemu dengan Jiwa yang lupa namanya sendiri." Kata Sang Penyihir, memotong dikte yang dari tadi kusalin.
Aku menahan ujung pena lima senti dari atas kertas. Ragu. Komentar tadi terdengar terlalu sarkatis.
"Apa aku harus menulis itu juga?"
Sang Penyihir mengangkat bahu. "Kalau kamu mau, boleh."
Tenggorokanku mendadak serak, jadi aku berdehem keras. Rasanya aneh sih; tubuh ini sakit digerakan meski hanya berumur sepuluh tahun. Seluruh badanku ngilu. Bukan sakit yang menusuk.... tahu rasanya sakit setelah olah raga seharian? Ya. Seperti itu. Agak lebih sakit lagi sedikit.
Intinya, aku tidak enak badan, tapi penyihir aneh ini membaca pikiran dan berpikir aku masih bisa dan harus membiasakan diri.
"Maaf." Sang Penyihir terkekeh. "Kalau kamu mau istirahat, kamu sebetulnya tinggal bilang."
Apa berpikir keras-keras tidak termasuk bilang mau istirahat?
Sang penyihir menggelengkan kepala, menjawab isi pikiranku. Senyumnya masih mengejek, dan aku benci diejek.
Ada suara ketukan di pintu kamarku dari tangan kecil. Adik perempuan... haah... adiknya Albert, maaf. Dia membawakan dua kue dan jus dalam gelas tinggi yang indah dengan sangat... sangat hati-hati.
"Ya- Yang Mulia Tuan Leslite." Natali mencicit. "Koki rumahku memasak kue untuk Anda dan Kakak sebagai tanda terima kasih. Bi-- bila Anda berkenan..."
Mungkin hanya aku, tapi sepertinya kalimat tadi salah entah di mana. Apa dia memang harus dipanggil Yang Mulia dan Tuan dalam satu kalimat? Dia setara Duke, sih, dan dia hampir menjabat di Kekaisaran... yah, entah.
"Seharusnya cukup sebutan atau titel status saja, tapi Nona Kecil sedang berlatih." Sang Penyihir melembutkan tatapannya untuk menyapa Natali...
...dan sesuatu, seseorang, menggaruk dadaku dengan cakar membara.
Albert?
Sang Penyihir membaca; dan jangan menatapku seperti itu, aku tidak tahu. Aku yakin bukan benci. Albert tidak membenci Natali; kalau dia benci, wajahku tidak akan terasa ringan begitu melihatnya masuk ke ruangan. Dia senang melihat Natali, tapi kelakuanmu itu....
...aku tidak ingin mengata-katai seorang noble dunia lain lebih dari ini, tapi Anda yang salah, dan anda sangat mengaduk emosi.
Sang Penyihir mengerutkan dahi. "Terima kasih?"
Kembali kasih.
"Alby, ini kue favoritmu." Natali berjalan mendekat. "Hari ini musim semi, kebun di desa yang Ayah ambil dari Tuan Kestrid memberi kita sedikit apel dari bonus pajak."
Natali menceritakan itu seperti teks buku. Seperti rehersal; dialog kaku. Kalau aku mendengarkan logikaku... siapa sih yang mengajarkan konflik wilayah ke anak umur tujuh tahun?
Tapi bukan itu. Aku berani bersumpah, Albert yang tadinya bahagia melihat Natali, langsung pergi. Jiwanya redup; tertidur. Aku masih merasakan kehadirannya, tapi dia tiba-tiba tidak mau mendengarkan. Pergi.
Aku menangkap pandangan Sang Penyihir. Apa Natali paham tentang ritual transmigrasi Jiwa Penyangga ini? Apa dia sudah menjelaskan, dan... yah, apa anak kecil bisa paham kalau aku dan Albert itu dua jiwa yang berbeda?
Ada getaran ringan di dalam kepalaku; seperti dering telepon genggam dalam keadaan hening. Lembut, bernada, yang perlahan berubah menjadi suara. Suara Sang Penyihir.
[Aku tidak tahu, tapi dia jelas berharap Albert yang menjawab.]
Aku menatap Natali dengan senyum tipis. Kucoba mengingat wajahnya saat aku terbangun di dunia ini, sambil mengintip ingatan Albert sedikit. Natali anak pintar, dan Albert sayang Natali.
Kutelan ludah untuk menghapus ganjalan di tenggorokan, yang entah sejak kapan menahan suaraku.
"Maaf. Albert... dia...." aku menghela pendek, "...dia tidak bisa menjawab langsung. Dia lelah."
"Oh..." Natali menunduk.
"Tapi dia menyuruhku makan kuenya," aku tanpa sadar membuang muka karena berbohong, dan melihat Sang Penyihir diam saja, "setelah mengingatkanmu kalau kamu seharusnya memberikan kue ini ke Archsage Leslite terlebih dahulu?"
Natali terperangah. Leslite menahan tawa, tapi perasaan geli itu terdengar di dalam kepalaku.
"Ah!" Natali lalu menoleh. "Tuan Leslite, ss-- Saya..."
Sang Penyihir menyahut, "Aku tidak lapar. Makanlah dengan Adiknya Albert, wahai Jiwa Tak Bernama."
"Albert berpikir kalau pendidikan tatakrama itu penting untuk Natali." aku tidak berbohong kali ini. "Apa benar Anda mempersilakan Natali untuk melakukan kesalahan yang mungkin bisa berakibat fatal nanti?"
Duke Leslite tersenyum ramah. "Tiga alasan; Dia belum Debut, aku tidak lapar, dan kamu pasienku. Makanlah."
Benarkah?
[Aku tersinggung, tapi umurnya tujuh, kan? Kalau aku memarahinya sekarang, nanti jiwanya rusak, dan dia akan sulit beradaptasi terhadap kesalahan kecil.]
Hah?
[Aku, kan, Soulmancer. Penyihir Jiwa. Aku tahu hal kecil yang bisa memperburuk kejiwaan seseorang.]
Aku tidak mengerti, tapi kukira bagus juga kamu memaafkan Natali... meski rasanya kamu tidak tulus.
"Aku tidak mau." Natali menggembungkan pipinya, cemberut. "Aku mau makan sama Kak Albert."
Oh.
Oke, masalah baru.
Tuan Leslite? Aku tidak mau membohongi anak ini dua kali. Bisa tolong baca pikiranku baik-baik dan tolong bohongi atau lakukan sesuatu supaya anak ini tidak menangis?
"Kalau begitu, kamu harus tunggu dua sampai tiga hari lagi." Kata Sang Penyihir. "Kakakmu masih sakit, mau kamu panggil bagaimanapun dia tidak akan menyahut."
"Ngghhh..." Natali meremas rok gaunnya.
Aku menepuk kepala Natali. Rambutnya lembut; seperti rambut boneka beruang. Rasanya aku ingin bilang; bersabarlah, tapi aku sendiri tidak tahu apa kata itu cocok dikatakan terhadap seorang adik yang melihat kakaknya masih mengenakan pakaian orang mati.
Oh iya, ngomong-omong soal baju... Pak Leslite?
Suara bel berdering dari dalam ruangan. Seorang butler muda -- mungkin footman dalam masa latihan -- masuk ke dalam ruangan setelah mengetuk pintu. Bajunya berwarna biru langit, dan pergelangan tangannya dibordir emas dengan motif lingkaran sihir.
"Tuan?" Ucap Sang Butler.
"Bawakan baju ganti untuk pasienku; kalau perlu, panggil Miss Avery."
"Baik."
"Dan..." Sang Penyihir memiringkan kepalanya. [Apa kamu ada permintaan lain yang spesifik?]
Untuk apa?!
[Ini tujuh hari terakhirmu.]
Oh ya, benar juga. Aku mau nonton teater dunia lain, tapi aku tahu itu agak berlebihan. Kalau hal sederhana yang ingin kulakukan sebelum aku betulan mati.... apa ya? Jujur, aku tidak punya apapun. Aku tidak punya keinginan atau cita-cita besar.
Ah, tapi, kamu kan seorang Bangsawan. Kalau tidak merepotkan, boleh aku makan bersamamu hari ini?
Aku bisa mendengar Sang Penyihir menahan semburan tawa; dan aku yakin dia mentertawakanku. Pikiran kita tersambung dan aku merasakan keinginan dia merendahkan keinginanku dari tempatku duduk.
Apa aku meminta terlalu sedikit?
Apa aneh kalau aku ingin makan enak dan melihat dunia baru selama tujuh hari ke depan?
"...tolong bantu Tuan Albert untuk bersiap-siap makan di ruang jamu utama." Sang Penyihir menutup buku dan memutus koneksi pikirannya. "Aku akan mengurus beberapa hal sampai waktu jamuan."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top