1st 24 Hours: (1) Tentang Isekai dan Batas 7 Hari

Aku ingat kemarin aku menyebrang jalan raya sambil membaca novel, dan aku mendapat kesimpulan kalau tertabrak truk dan kepalamu terhantam duluan, kamu hanya merasakan sakit kurang dari satu detik.

Tentu saja aku mendapat kesimpulan itu dari pengalaman pribadi, jadi kuharap tidak ada yang mengutip perkataanku untuk dijadikan riset. Tapi kalau ingin dilanjutkan, seperti bagaimana rasa sakitnya atau apakah aku baik-baik saja sekarang (ya jelas tidak, sih), aku ingin menutup mulutku yang tidak berwujud. Bagaimana kamu menjelaskan rasa sakit? Di novel saja, yang dijelaskan itu reaksi dan visual dari apa yang terjadi di adegan itu untuk jadi penjelasan baik soal sakit! Jangan berharap aku punya jawaban yang lebih baik daripada "Sakit banget terus gelap" deh.

Aku tahu kamu kecewa.

Tidak, aku hanya tidak ingin bercerita saja.... Tapi, kalau boleh jujur, aku merasa aneh berbicara pada limbo gelap seakan ada yang mendengarkan; jadi sebelum aku gila, atau reinkarnasi, atau apalah itu di cerita yang kubaca sebelum aku tertabrak, aku ingin berhenti menjawab pertanyaanmu dan bersiap-siap memulai hidup baru. Biarkan aku lupa. Hidupku sebelumnya tidak buruk dan tidak baik, mungkin aku punya teman sepertimu yang banyak penasaran soal hidup orang. Tapi itu namanya stalking, dasar kepo.

"...."

Hah?

"...bert."

Kau bilang, itu kakakmu?

"...Albert, bangun!"

-----

Aku membuka mata. Rasanya aku pernah membaca adegan ini entah di mana. Dari ribuan cerita transmigrasi, mungkin, tapi jarang juga bangun saat seluruh keluargamu di sisi lain perpindahan jiwa mengelilingimu dengan baju pemakaman, dan badanku dipakaikan baju formal.

"Albert?" Gadis itu -- kakak pemilik tubuh ini -- memanggil nama yang membuat tubuh asing yang kunaiki menoleh.

Aku menghela panjang, berusaha ingat. Buku transmigrasi mana, ya, yang punya kakak perempuan yang super dramatis, berambut panjang, cantik menyaingi artis di kehidupan tokoh utama sebelumnya... Aku tidak ingat, semua cerita dimulai hampir sama semua. Jadi aku berusaha menangkap detail lain; sihir? Yap, di sebelah Ayah pemilik tubuh ini, ada pria berjubah putih yang membawa kayu panjang dengan batu melayang di ujung. Aku punya satu kakak, satu adik... tipikal tukang nulis yang ingin dua tipe interaksi antar karakter keluarga. Mungkin salah satunya orang penting di dunia ini.

"Albert?"

Hei, pemilik badan, nama kakakmu siapa? Aku tidak bisa berpura-pura semuanya baik-baik saja kalau kamu menghindariku.

"Seph, dia bukan adikmu."

Aku menoleh. Bukan pemilik badan. Aku. Satu kalimat dari pria berjubah itu memunculkan dua pertanyaan dalam kepala, meski satu langsung terjawab begitu aku melihat cermin holografik dari sihir yang ia rapalkan. Dua layar, satu menunjukkan apa yang kulihat, dan satu lagi, tulisan. Tulisan yang. Sepertinya. Oh? Tidak, tidak sepertinya. Memang bergerak berdasarkan isi kepalaku.

"Kamu membaca.... pikiranku." Tuturku halus - sehalus mungkin, karena aku tidak tahu apa dia akan membunuhku setelah tahu aku bukan... bukan pemilik tubuh ini.

Pria berjubah itu tersenyum, bahunya terangkat sedikit karena bangga. "Kedatanganmu direncanakan, kok."

Oh.

"Kenapa nada pikiranmu terdengar kecewa?"

"Aku tidak kecewa." Ucapku pelan, menyembunyikan kekecewaanku. Suaraku... kecil? Berapa umur anak ini, dan kenapa badan ini sulit sekali digerakan? "...boleh aku... ah, tidak... ini sepertinya..."

"Albert?" Sefira meraih tangan...tanganku; yah bisa dibilang tanganku, lalu dia sadar dan menahan diri. "...ah, sepertinya kita belum berkenalan?"

Tidak ada kata yang tepat muncul di pikiranku. Tidak ada sama sekali kata yang tepat. Aku tahu aku ingin menjawab dia, memperkenalkan diri dan meminta maaf, tapi dalam bahasa yang Albert tahu? Kenapa anak ini tidak tahu cara minta maaf yang baik dan benar, sih?!

Sang penyihir tertawa miris. "Benar---?."

"Apa?" Ayahnya Albert agak... marah? Bingung? Aku tidak tahu, tubuh ini tidak ingin memberitahuku nada dan intonasi orang dewasa di sekelilingku. Bahkan sang penyihir, meski, yah, sang penyihir punya wajah yang mudah dibaca--

Sang penyihir menunjuk dirinya sendiri. "Leslite."

Ah. Cewek.

"Pe..." Leslite menghela napas panjang. "Salah."

Ya, maaf, mas. Nama kamu mirip nama perempuan di kehidupanku sebelumnya. Oh, dan, namaku...

...hah?

Aku... sebentar. Kenapa... kenapa aku tidak ingat?

Wah, issekai yang ramah terhadap transmigrasi jiwa. Pasti ada 'tapi'-nya di suatu pojok di kontrak pindah dunia ini; semua novel begitu.

"Yah, bagian 'Tapi' itu tidak salah." Ujar pria berjubah itu lagi.

"Berhentilah membaca pikiranku, dasar mesum." Gerutuku sesopan mungkin berdasarkan ukuran badan dan kata-kata yang aku pahami dari memori anak kecil ini.

Ayah dan Ibu pemilik tubuh ini terbelalak. Adiknya terkejut, dan meski kakak perempuan-- Seph? -- dia terlihat paling datar, tapi dia juga masih menyiratkan rasa kagetnya. Apa aku melakukan sesuatu yang... hei, penyihir bodoh, berhenti membaca pikiranku dengan muka seperti itu! Senyummu itu mengerikan, tahu?!

"Maaf." Sang penyihir nyengir kuda. "Isi kepalamu menarik."

Demi Tuhan.

"Duniamu punya Tuhan?" Sang Penyihir membalas.

"Punya."

Sang Penyihir mengangkat sebelah alis, seakan aku seharusnya tidak menjawab. Dia menghela, melirik keluargaku... ahem, keluarganya Albert, dengan tatapan aneh yang tidak bisa kuterjemahkan. Dengan anggukan, Sang Ayah mengajak adik, kakak, dan Ibu untuk pergi meninggalkanku dengan... em...

Penyihir aneh ini.

Begitu pintu tertutup, Leslite meleburkan sihir pembaca pikirannya di udara dan berkata; "Kamu boleh memanggilku Penyihir Aneh atau Leslite sekarang."

"Oke, Penyihir Aneh."

"Wah, beringas sekali." Dia terkekeh. Tertawa. Ter...entahlah, kepalaku bisa menterjemahkan ekspresi itu sebagai merendahkanku, tapi entah kenapa kepala ini susah sekali mengolah pikiran rumit.

Saat aku sibuk berpikir, Sang Penyihir membuka tirai dan membiarkan cahaya masuk. Cuaca mendung meratapi suatu pemandangan dari sudut pandang burung. Setinggi apakah bangunan ini berdiri? Jelas, aku tidak berada di lantai satu; atap-atap bangunan berwarna merah dari kejauhan menutupi tanah, batu dan bangunan menghampar entah sampai mana ujungnya. Kamar ini setidaknya ada di lantai lima.

"Di mana aku?"

Sang Penyihir menjawab singkat; "Leslitten, Wilayah Kekaisaran Timur." Setelah beberapa saat, dia menangkap tatapanku dan menambahkan: "Wilayahku. Aku Duke Leslite; Sage Leslite, Sang Soulmancer."

"Anda punya wilayah?"

Leslite memiringkan kepala sejenak, mengiyakan. "Tapi, kalau dari sejenak membaca pikiranmu, wilayahku hanya sebesar benteng ini. Duke hanya jabatan yang kuterima karena aku calon High Sage Kekaisaran yang tidak terpilih karena penyihir lain lebih kompeten."

"Ah, buangan." Aku menyembur.

Leslite terhenyak mendengar kalimat asalku, tapi wajahnya masih mempertahankan raut pengertian.

Jantungku berdegup kencang. Panas. Aku seharusnya familiar dengan respon ini; aku terlalu familiar dengan perasaan ini. Kenapa? Aku membuka mulut, berusaha untuk mengeluarkan suara tanpa getaran tidak perlu.

"Maaf kalau aku menyinggung..."

"Oh, kamu sudah menyinggungku saat kamu memanggilku mesum dan buangan. Singgung saja lagi."

Aku pura-pura tidak mendengar respon itu. "--Tubuhku... tubuh Albert... sepertinya, dia takut padamu."

Sage Leslite mengangkat alis. "Yah. Aku terkenal."

"Tapi aku tidak takut padamu."

"Aku tahu. Tapi badanmu masih badan Albert."

Ada satu jeda; bagai tetes air mengganggu permukaan genangan dan menunggu sampai tenang. Namaku bukan Albert; inisialku... bukan A. Namaku terpanggil di tengah buku absen, tapi aku... terpanggil. Sial, otak kecil ini tidak bisa menyusun kata-kata. Bahkan ini kata-kata bukan dari planet... Bumi?

Kepalaku bukan kepalaku, dari isi kata dan bahasanya bukan milikku.

"Singkatnya," Sang Penyihir duduk di sebelah tempat tidur Albert. "Tubuh kecil ini; Albert von Schordinger, jiwanya... rendah Aether. Kami harus memanggil jiwa mati dari dimensi lain untuk mengisi tubuh kecil ini supaya dia tidak mati. Sementara. Sampai Albert pulih."

Ah. Sementara.

Tanpa sadar aku menghela napas panjang. Leslite... dengan kalimat terbatas dari kosakata anak ini, dia terlihat jengkel; meskipun jengkel bukan kata tepat untuk seorang pria yang menatapku kasihan sekaligus... hm... sekaligus... 'perasaan melihat ibu kucing yang mengeong melihat anaknya di sungai' saat liburan musim panas tahun lalu... tahun lalunya Albert.

Leslite menyentuh jidat dan mengatur poniku seperti waktu aku -- aku, bukan Albert kecil -- dimanja Ibu saat sakit. Mungkin dia menungguku mem... mengatur pikiran tentang menjadi pemghuni sementara tubuh sekarat sampai jiwa beres sembuh.

"Oke. Berapa lama?" Aku bertanya setegas mungkin.

Jeda lagi. Muka yang aku paham, tapi Albert tidak punya kosa kata tepat menjelaskan kaget yang senang. Tidak, bukan senang. Netral? Albert, kamu harus baca buku lebih banyak; dia... tertegun. Ya, tertegun mungkin kata paling mendekati.

"Aku sudah mati di duniaku. Tujuh hari menyentuh rumput..." aku tanpa sengaja menggunakan istilah modern dengan bahasa dunia ini, "...menikmati hidup terakhir kali, seharusnya aku sudah berterima kasih pada kalian."

"Kamu tidak bertanya apa kamu bisa ambil alih Albert selamanya atau memohon untuk hidup lebih lama?" Leslite bertanya; tapi dia jelas tidak menerima jawaban.

Tapi meski dia bertanya dengan nada mencemooh dan (sok) tahu, mulutku, ditambah dorongan kekanakan dalam dadaku, membuatku merespon balik;

"Kamu bisa baca pikiranku, jadi aku juga tidak punya opsi pura-pura jadi Albert saat dia pulih dan hidup lagi." Aku mendecak.

"Touché." Sang Penyihir tersenyum. "Paling lama tujuh hari."

"Oh."

Pendek juga.

"Kecewa?" Sang Penyihir menebak.

Aku berusaha menggelengkan kepala, tapi tubuhku... tubuhnya Al-- ah sialan. Aku bisa tanyakan soal badan ini nanti. Ada hal lain yang lebih penting di kepalaku.

"Kenapa aku?"

Sang Penyihir mengangkat bahu. "Kebetulan?"

"Hah?"

"Aku tidak tahu jiwa baik mana yang terpanggil oleh sihirku. Aku juga beruntung orang baik yang terpanggil sekarang tidak punya hasrat mengambil alih Si Kecil Albert."

Idih. Aku punya standar moral, dan mengambil nyawa anak yang sekarat untuk nyawaku sendiri bukan... mmm... hm, intinya aku tidak mau. Gak. Gak mau sama sekali ambil nyawa anak. Ih.

"Itu saja yang ingin kamu tanyakan?"

"Badanku--"

"Aku tidak akan seenaknya membiarkan jiwa dengan niat parasit langsung menempel dengan tubuh Albert, jadi ada sihir pengaman yang kupasang. Tunggu satu jam; sampai sihirku luntur."

Oh. Membosankan. Tapi, bisa dimengerti. Tapi, membosankan. Aku bisa saja duduk di kelas bahasa selama dua jam penuh tapi ini membosankan. (Duh, aku butuh kosakata baru)

"Sambil menunggu, silakan, tanya apapun." Sang Penyihir melebarkan kedua tangannya. "Akan kujawab sebisaku."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top