Hari 6 | Boneka

Sepasang muda-mudi duduk berdampingan di atas sofa. Pandangan keduanya terkunci ke arah televisi yang kini menanyangkan film horor.

Sesekali [name] berteriak kecil ketika muncul adegan-adegan jumpscare. Terkadang, gadis itu juga menutupi wajahnya dengan selimut yang menggelung tubuh atau bahkan menyembunyikan wajah di balik lengan Akashi.

Menatap [name] dalam diam, Akashi terkekeh geli melihat tingkah laku sang gadis. "Kau takut? Mau dimatikan saja tvnya?" tanya Akashi dengan suara bergetar—mencoba menahan tawa.

[name] menoleh seketika. Raut wajahnya tampak kesal, bibirnya juga agak maju—cemberut. "A—aku tidak takut!" sanggahnya dengan kedua tangan disilangkan di depan dada. "T-tidak usah matikan tvnya," lanjut [name] yang kembali berfokus ke layar televisi.

Akashi tertawa kecil. "Ya sudah." Pemuda itu melakukan hal yang sama dengan gadis itu.

Setelahnya, hanya keheningan yang melingkupi. Udara dingin makin terasa, apalagi kini film hampir mencapai klimaksnya. Namun sayang, momen tersebut diganggu oleh suara bel yang berbunyi.

Akashi menghentikan film, menatap [name] yang berdiri. Tangannya menahan tangan sang gadis. "Tidak perlu, biarkan Kizuki yang melihat," ucap Akashi.

[name] diam, dan setelahnya menggeleng. Dengan pelan ia melepaskan pegangan Akashi. "Tidak apa-apa, Sei. Itu akan merepotkan Kizuki-san nanti," balasnya, dan beranjak sebelum Akashi sempat menimpali.

Akashi menghela napas, tidak habis pikir dengan gadis yang satu ini. Kaki pemuda berambut red pinkish itu melangkah menyusul [name].

×

[name] membuka pintu dan disambut oleh sepasang pria dan wanita berpakaian formal yang dirasa cukup familiar.

"Ah, siapa ... ya? Ada perlu dengan Akashi-san?" tanya [name] beruntun. "Kalau begitu, mari saya an—"

Bruk

Ucapan [name] terhenti saat wanita berpakaian formal itu tiba-tiba memeluknya. Wanita itu menangis, membuat gadis mungil itu kebingungan. "Em ... Bu, ada apa?"

Wanita itu mengelap air di sudut mata dan melepaskan pelukannya. Perlahan tangan wanita itu memegang pundak [name].

"Ini Ibu. Ibumu, [name]."

[name] terdiam, setengah terkejut dan tidak percaya. "E—Eh?"

×

Akashi mendengkus pelan, memutuskan menyusul gadis keras kepala yang satu ini. Sampai di lorong, dirinya dikejutkan oleh kedatangan sosok yang tak diduga.

Orang tua [name].

Bagaimana bisa dia lupa?

Dahinya mengerut, tatapannya menajam. Pemuda itu mendesis ketika wanita paruh baya itu memeluk [name].

Hei, yang benar saja. Seenaknya saja mengaku menjadi Ibu [name], sedang dirinya selalu memaksakan kehendak pada gadis itu dan tak pernah memberikan kasih sayang yang sesungguhnya.

Dengan cepat, Akashi menarik [name] yang tampaknya masih kebingungan.

"Ah, Akashi-san. Terima kasih telah membiarkan [name] menginap di sini." Pria yang berada di dekat pintu berujar, dengan sedikit membungkuk. "Kami sudah lama mencarinya," sambung pria itu—ayah [name]—sambil mendekati Akashi.

Akashi mengembuskan napas kasar, tangannya mengacak-acak rambutnya. "Mencarinya? Untuk apa?" tanya Akashi dingin.

[father name] tertawa kecil, tatapan datarnya menatap Akashi. "Tentu saja untuk melanjutkan pertunangannya. Memangnya untuk apa lagi?"

"Pe—pertunangan? Apa ... yang kalian maksud? Dan Sei, mereka siapa?"

Hening sejenak, sampai ayah dan ibu [name] tersentak. "Kau ... tidak ingat kami? Kami ayah dan ibumu!" [mother name] berujar.

[name] menggeleng kecil. "Ugh ... benarkah?" Kepalanya mulai terasa sakit.

Kilasan-kilasan ingatan tiba-tiba datang secara beruntun memaksa masuk ke dalam kepala [name]. Gadis itu tidak kuat untuk ini. Dikejutkan secara tiba-tiba ... dan pertunangan?

"I-Iya! Kami orang tuamu, Nak! Dan pertunangan ... kau akan bertunangan dengan putra sulung dari klien kita! Tapi kau malah kabur," lanjut [mother name].

Akashi diam, hanya menunggu saat di mana ia perlu bertindak. Sampai [name] pingsan, dengan sigap Akashi menangkap tubuh gadis itu, dan membawanya ke kamar. Meninggalkan orang tua [name] yang turut mengikuti tanpa mengatakan apa-apa.

×

"Nona [name], anda dipanggil Tuan Besar ke ruangannya." Salah satu pelayan berujar kepada gadis berambut [hair color] yang tengah bersantai di ruang tamu.

"Dipanggil? Ada apa?"

Pelayan itu menggeleng. "Maaf, saya tidak tahu, Nona."

[name] menghela napas dan berdiri. "Baiklah. Terima kasih, ya." Gadis itu beranjak ke ruangan ayahnya.

Tok tok tok

Tangan mengetuk pintu pelan, dan disambut dengan ucapan 'masuk' dari dalam. [name] menarik napas dan membuka pintu.

"Ada apa Ayah memanggilku?" tanya gadis itu sambil menarik kursi dan mendudukinya. Ayahnya berdehem dan menatap putrinya serius.

"Kau akan ayah jodohkan."

Bola mata [name] melebar. Dijodohkan? Ia tidak mau! Dia masih ingin menghabiskan masa mudanya untuk meraih mimpi!

"A-Apa?! Aku tidak m—"

"Dengar, [name]. Ini demi kebaikan perusahaan kita."

"T-Tapi, Yah. Aku—"

"Tidak ada tapi-tapi. Nanti sore, pemuda yang akan ayah jodohkan denganmu datang. Bersiaplah dan tampil dengan cantik." [father name] berujar final, lalu kembali mengerjakan dokumen-dokumen yang sempat ditinggalkan-tanpa menghiraukan [name] lagi.

"Baik, Yah." Sedang sang gadis hanya dapat pasrah, menerima apa yang diperintahkan kepadanya.

'Sei ... apa memang kita tidak bisa bertemu lagi?'

×

Seperti boneka, kecantikannya hanya buatan.

Tersenyum lebar sudah menjadi kebiasaannya. Apa yang diberi kepadanya harus diterima dengan senyum lebar. Sebuah senyum hanya kebohongan baginya.

Senyum lebarnya membuat matanya menyipit. Di balik matanya itu tersimpan sejuta kesakitan yang ditanggungnya sendirian. Ingin menangis juga tidak diperbolehkan.

Seperti boneka yang selalu dikendalikan.

— hari 6, boneka.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top