Hari 5 | Sakit
Mata terpejam erat seolah enggan untuk menunjukkan mata indahnya. Sedang wajahnya tampak pucat pasi dengan keringat dingin mengalir di kedua pelipis. Tangan kanannya digenggam erat oleh pemuda dengan mahkota red pinkish yang tengah tertidur pulas dengan kepala di sisi kasur sang gadis.
"Ngh ...." Lenguhan kecil terdengar dari bibirnya. Perlahan kelopak matanya mulai terbuka. Tangan kanannya terasa berat, lantas [name] menoleh ke sisi kanan dan mendapati Akashi terlelap. Tanpa sadar, [name] menatap lekat-lekat wajah pemuda yang tengah tertidur itu—tampak sangat damai dan tampan.
'Uh ... apa yang baru saja kupikirkan?' Rona samar tampak di wajahnya. [name] menggeleng pelan.
"Sudah puas melihatnya, Nona?"
[name] berjengit dan langsung melihat ke arah sang pemuda yang masih dalam posisi tidurnya, tetapi dengan mata yang kini telah terbuka.
"S-Sudah bangun? Sejak kapan?" tanya [name].
Akashi membenarkan posisi duduknya tanpa melepaskan genggaman pada sang gadis. Begitu juga dengan [name] yang ikut duduk.
"Sejak kau menggeleng-geleng," jawab Akashi. "Bahkan saat kau mer—"
"J-Jangan dilanjutkan! Tolong," ujar [name] memotong ucapan Akashi. Akashi terkekeh.
Tidak ada lagi percakapan antara keduanya, hanya keheningan yang menyelimuti. "Etto ... Sei," panggil [name].
"Hm?"
Bibir terbuka dan terkatup, bingung ingin menyampaikan sesuatu yang mengganjal di hati. [name] menarik napas, mencoba mencari titik nyaman dirinya untuk menyampaikan sesuatu.
"Kau ... sebelumnya, apakah pernah bertemu ... denganku?" tanya [name] berhati-hati. Akashi diam untuk sesaat, kemudian mengangguk. "Tentu saja pernah. Sayang sekali kau tidak mengingatku," jawabnya pelan.
Akashi berdiri dan melepaskan genggamannya pada tangan [name]. Jujur, gadis itu cukup kecewa.
"Baiklah, tunggu sebentar. Aku akan mengambilkan bubur untukmu." Setelah mengucapkan kalimat itu, Akashi beranjak meninggalkan [name].
×
"Sekarang, buka mulutmu. Aaa." Akashi menyendok sesuap bubur lalu mengarahkannya ke [name] yang memerah.
"Aku bukan anak kecil, Sei. Tapi, aaa." Tak suka dengan perlakuan Akashi, tetapi pada akhirnya memilih untuk disuapi oleh Akashi. Ckck.
Akashi tersenyum tipis, lanjut menyuapi [name] bubur, sampai habis semangkuk. "Nah, sekarang minum obat ini." Akashi menyodorkan obat kepada [name] yang kini menatapnya ngeri.
[name] menggeleng dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "No, no, and no. Aku enggak mau minum obat, Sei. Pahit," tutur [name] menyatakan ketidaksukaannya terhadap obat.
Akashi menggeleng. "Kau harus minum obat, [name]. Agar kondisimu cepat pulih kembali." Akashi kembali menyodorkan obat kepada [name].
"T-Tapi, Sei ...."
Nyali [name] ciut ketika melihat Akashi menatapnya tajam. Perlahan dan dengan tangan gemetar, dirinya mengambil obat yang disodorkan Akashi, sedang tangan lainnya mengambil segelas air putih.
"Cepat minum, [name]. Sebagai gantinya, aku akan menceritakan apapun yang kau mau."
[name] menatap Akashi berbinar, lalu dengan buru-buru meminum obatnya. Ya, akibatnya dirinya tersedak. Terbatuk-batuk, [name] memukul-mukul pelan dadanya. Akashi spontan berdiri dan mengelus punggung [name] pelan.
"Uh ... sakit, rasanya mau mati," ujar [name] melebih-lebihkan.
"Jangan gila, [name]. Tidak cocok dengan dirimu."
"Ehehe. Jadi ceritanya? Cerita tentang ... Sei dan aku waktu kecil, ya? Soalnya aku hanya ingat sedikit, dan mungkin hanya beberapa ingatan lainnya," ucap [name].
Akashi menatap [name] heran, namun akhirnya setuju untuk menceritakan hal itu kepada [name].
"Ya, yang kau ingat hanya tentang diriku yang ... ehem, menolongmu, dan saat kita bermain saat itu, iyakan?" tanya Akashi dan [name] mengangguk.
"Jadi aku cukup menceritakan akhir pertemuan kita saja."
[name] diam menyimak.
"Saat itu kau dan keluargamu tiba-tiba saja sudah akan pergi ke London, tempat tinggalmu sebelum kau lupa ingatan." [name] mengernyit.
"Entah apa alasannya, tapi yang kutahu ayahmu ingin melanjutkan bisnisnya di Inggris dan tidak pernah kembali ke Jepang. Kabarmu pun tidak pernah terdengar kembali, hingga sampai satu bulan yang lalu,"
Lagi, [name] merasa kepalanya sakit. Namun memilih diam, karena penasaran. Akashi mengetahuinya, tapi memilih melanjutkan bercerita.
"Kau diberitakan akan bertunangan dengan anak sulung dari rekan bisnis ayahmu. Berita itu cukup heboh, kau tahu. Dan hebohnya lagi, ketika dua minggu setelah pengumuman bertunangnya dirimu, kau kabur dari rumah. Dan belum ada yang mendengar kabar tentangmu lagi.
Dan aku kembali melihatmu, lima hari yang lalu. Dengan keadaan lusuh. Aku cukup heran sebenarnya. Apa yang menyebabkan dirimu lupa ingatan jika kau tidak mengalami kecelakaan. Tapi, jika kau tidak mengalami kecelakaan, apa alasan kondisimu seperti saat itu?"
Akashi berhenti dan menatap [name] yang menangis dalam diam, seakan-akan tidak ingin membuat Akashi khawatir. Akashi mengembuskan napas.
"Kau baik-baik saja? Mungkin aku tidak perlu menceritakannya lagi. Karena aku yakin kau akan mengingatnya. Perlahan, tapi pasti." Akashi berujar, lalu duduk di sebelah [name] yang masih menangis.
Tangan Akashi menarik [name] untuk bersandar di bahunya, membiarkan sang gadis menjadikannya tempat menampung tangis.
"S-Sei ... ingatan ini menyakitkan."
"Aku tahu. Dan aku tahu, kau itu kuat." Akashi menenangkan, lalu memeluk tubuh ringkih [name]. Akashi mengecup pucuk kepala [name].
"Tenanglah, semua akan baik-baik saja."
— hari 5, sakit.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top