Hari 2 | Bianglala
Mereka berdua duduk dengan tenang di dalam mobil yang kini memiliki tujuan ke rumah sakit. Hening melanda, tidak ada satupun dari mereka yang membuka pembicaraan. Mereka tampak nyaman dengan kesenyapan yang menyelimuti. Mereka berdua fokus pada pikiran masing-masing.
"Tuan Muda, Nona Muda, kita sudah sampai." Supir yang mengemudi berhenti, lantas bergeram membukakan pintu untuk Akashi dan [name].
"Terima kasih." "Terima kasih banyak, Tanaka-san, maaf sudah merepotkan." Akashi dan [Name] berucap terima kasih bersamaan diiringi dengan bungkukan singkat oleh sang gadis dengan rambut [hair color] yang menjuntai ke bawah.
Tanaka menggeleng pelan dan tersenyum. "Tidak apa-apa, Nona. Ini sudah menjadi kewajiban saya," tutur Tanaka.
Akashi yang melihat interaksi mereka tersenyum tipis.
'Kau tidak berubah sedikitpun.'
"Baiklah, ayo kita masuk, [name]," ujar Akashi akhirnya, seiring menarik gadis itu bersamanya.
×
"Shintaro, jadi kau tidak bisa memeriksanya?"
Pemuda berkacamata itu menggeleng. "Maaf, nodayo." Jari menaikkan kacamata yang menggeser sedikit. "Tapi aku punya teman. Kau datangi saja dia," saran Midorima—pemuda berkacamata tadi—sebelum menyerahkan sebuah kartu nama ke Akashi.
Akashi mengambilnya, dan membaca kertas nama itu sekilas. "Terima kasih, Midorima."
Sedikit tersentak, Midorima beralih membereskan meja kerjanya. "Tidak masalah. Bukan berarti aku senang, nanodayo."
"Baiklah, kalau begitu kami pergi."
×
Akashi duduk berhadapan dengan seorang wanita berkacamata—dokter yang disarankan Midorima, membahas perihal keadaan [name] yang kini tertidur di atas kasur pasien.
"Jadi ... apa penyebab [name] hilang ingatan?"
Dokter itu berdehem pelan, lalu membaca ulang kertas diagnosis di tangannya. "Kemungkinan besar adalah karena kejadian traumatis atau stres. Untuk kemungkinan lain, hanya hipotesa-hipotesaku saja berdasarkan kondisi fisiknya." Dokter itu membereskan berkas-berkas di tangannya dan memberikan Akashi secarik kertas berisi kesimpulan dari hasil diagnosis yang dilakukannya.
"Tadi aku sudah memberi beberapa pertanyaan, namun tidak ada satupun yang bisa dijawabnya." Akashi diam mendengarkan, menunggu sang dokter melanjutkan. "Kondisi fisiknya juga tidak perlu dikhawatirkan. Aku hanya menyimpulkan beberapa hipotesis yang memungkinkan terkait dengan tubuhnya," sambung dokter itu.
"Dilihat dari bagian anggota badan, sama sekali tidak ada masalah. Hanya saja ada satu bekas luka di kepala dan daerah lehernya." Dokter itu tersenyum. "Tapi jangan khawatir, luka itu tampaknya sudah ditangani."
Akashi mengangguk. "Jadi hanya itu?" Dokter balas mengangguk.
"Baiklah, kalau begitu aku pergi," tutur Akashi, lalu beranjak ke ruang pemeriksaan-membangunkan [name].
×
"Ugh ...."
"Sudah bangun?"
[name] langsung duduk tegak. Wajahnya cukup memerah. "A-Akashi-san, bagaimana aku bisa tertidur ... d-di pahamu?" tanyanya gagap.
"Kau tertidur pulas tadi, aku jadi tidak tega membangunkanmu. Jadi kugendong saja ke mobil dan membiarkanmu tidur di pahaku," jawab Akashi.
Menggeleng pelan, [name] meminta maaf berkali-kali. Akashi menghela napas dan memasang senyum tipis. "Tidak masalah, lupakan saja. Jadi ... ini masih siang. Kau ingin ke mana?" tanyanya. "Selagi aku luang."
Memasang pose berpikir, [name] mengangguk. "Bagaimana kalau taman bermain? Rasanya sudah lama aku tidak ke sana."
'Memang, kau tidak berubah.'
"Baiklah, tolong antar kami ke taman bermain," titah Akashi.
×
Keduanya berdiri di depan gerbang taman bermain. Akashi memperhatikan [name] yang dengan berbinar menatap ke dalam taman bermain.
"Baiklah, ayo beli tiket masuk terlebih dahulu."
[name] mengangguk semangat, namun semangatnya perlahan luntur ketika melihat antrian yang cukup panjang.
"Tenang." Akashi berjalan ke arah loket—tidak melalui barisan antri—dan berbisik kecil. Lalu Akashi kembali dan langsung menarik [name] masuk.
"E-Eh, tiketnya?"
Akashi melirik [name]. "Tidak perlu," jawabnya singkat, membuat sang gadis terdiam.
Mereka berjalan mengelilingi taman bermain dan menaiki permainan yang dirasa menarik. Tidak lupa mereka datangi stan-stan makanan yang ada.
Tidak terasa, hari sudah petang. Akashi menatap [name] yang terduduk di atas kursi taman dengan kelelahan. Melemparkan sekaleng minuman dingin ke orang terkait yang langsung ditangkap.
"Sebelum pulang, ingin naik apa?" setelah menyesap minumannya, Akashi bertanya.
Menimang-nimang, [name] cukup bingung ingin menaiki apa untuk menutup hari. Ah, satu ide terlintas di kepalanya.
"Bianglala aja, bagaimana?"
Akashi mengangguk. "Boleh saja. Kalau begitu ayo," ujarnya mengajak [name], yang langsung dirinya ditarik oleh sang gadis ke bianglala.
Duduk tenang di bianglala, keduanya menikmati pemandangan yang tampak dari ketinggian saat sudah berada di puncak. Mata [eye color] melihat ke bawah, dimana kerumunan orang-orang di taman bermain tampak seperti semut. Lalu beralih ke langit, yang tampak kejinggaan.
"Hei."
Diri menoleh saat sang pemuda menegur. "Ah, Akashi-kun, ada apa?"
"Sei."
[name] memiringkan kepalanya pelan-tanda tidak mengerti maksud perkataan Akashi.
"Sei, panggil aku Sei," ujar Akashi singkat. Mata dwiwarnanya menatap sang gadis lekat.
"E-Eh ... kenapa?" [name] bertanya, perlahan telinga memerah karena malu.
Akashi mengalihkan pandangan ke bawah. "Aku tidak suka kau memanggil nama keluargaku," tutur Akashi.
"Lagipula aku berharap kau akan mengingatku dengan panggilan itu," lanjutnya bergumam.
"B-Baiklah." membuang napas, [name] berusaha memanggil nama Akashi. "S-S-Se—ah, aku tidak bisa. Aku ... malu."
Akashi menatap [name] tajam, membuat yang ditatap meneguk ludah. "S-Sei ...."
"Lebih keras, aku tidak dapat mendengarmu."
"S-Sei!"
"Lagi, aku masih tidak mendengarnya dengan jelas."
Menarik napas, [name] memanggil nama Akashi dengan suara cukup kuat.
"SEI!"
Namun setelahnya tangan langsung mencengkram kepala, saat kepalanya terasa sakit. Keringat dingin mengucur. Kilasan ingatan tayang di kepala.
×
"Kau tidak apa-apa?"
"I-iya, terima kasih."
"Siapa namamu?"
"[full name]. Namamu? Sekali lagi, terima kasih, y-ya."
"Tidak masalah, kok. Kau bisa memanggilku S—"
×
[name] meringis, namun langsung menggelengkan kepala saat Akashi menggoyangkan dirinya dan bertanya mengenai keadaannya.
"Aku baik-baik saja. Hanya saja tadi tiba-tiba kepalaku sakit." [name] mengatakan keadaannya baik-baik saja, walau wajahnya cukup pucat. Akashi menatap [name] dalam diam.
"Sepertinya begitu."
— hari 2, bianglala.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top