💐 Dreizehn 💐
Babeh Jin lagi santuy cuyy di mulmed, lagi kagak mikirin si bungsu yang lagi uring-uringan gara-gara doi
***
Keesokan harinya Woo Jin keluar rumah sendirian karena sang kakak sedang ujian sedangkan kedua orang tuanya sudah bekerja, ia bernit mendatangi Yeon Joo untuk menyerah dengan perasaannya. Namun ia sadar, jika Yeon Joo belum bisa berbicara dengan benar, apalagi menyangkut perasaan, yang ada dirinya nanti saat keluar dari rumah keluarga Min hanya tinggal nama saja, masih mending jika namanya keluar rumah, kalau tidak? Orang tuanya, apalagi sang ayah akan gencar membuat yang baru.
Sebelum sampai di rumah Yeon Joo, ia harus melewati beberapa rumah, ia melewati rumah Nam Hee. Ia harus bisa bersikap biasa saja dan anggap kejadian kemarin tidak pernah terjadi. Egois memang manusia ini.
Ia melihat Nam Hee yang sedang menyiram kebunnya dengan air selang.
"Pagi Nam Hee-ya," sapa Woo Jin dengan senyum andalannya.
Nam Hee tidak mendengarnya dan ia hanya berpura-pura entah memang pendengarannya sedang terganggu.
"Dia marah, semangat! Kata ayah perempuan kalau harus di manja," gumamnya.
"Hee-ya,kau cantik hari ini. Apalagi dengan pakaian tidurmu itu," godanya yang berada di depan gerbang rumah Namjoon bahkan menyender di pagar hitam tersebut.
"Kau begitu ma--" belum selesai ia berbicara, ia telah di siram air oleh Nam Hee, ia berteriak-teriak saat Nam Hee tak kunjung melepaskan selangnya untuk berhenti menyiram manusia tampan ini.
Setelah puas menyiram Woo Jin, Nam Hee hanya mengatakan kata yang begitu manis karena terlalu sering bergaul dengan keturunan savage, "Ups, Sorry. Aku kira itu kotoran sampah," ucapnya dengan ketus lalu pergi meninggalkan Woo Jin yang basah kuyup dan melongo tak percaya dengan apa yang di ucapkan bibir kecil keturunan IQ tinggi itu.
Ia di samakan dengan kotoran.
Kotoran.
KO-TO-RAN.
Dan juga sampah. Sabar, nerhadapan dengan perempuan itu banyak tantangan. Tapi ia tidak bisa di ginikan, derajat orang tampan seketika akan punah jika seperti ini.
Ia kembali berjalan untuk menuju rumah Yeon Joo dengan keadaan bajunya yang terus meneteskan air. Sebenarnya, Nam Hee tidak berniat untuk menyiram bahkan hingga berkata kasar seperti itu, ia hanya tidak ingin mendengar pujian dari Woo Jin yang akan membuat hatinya kembali sulit untuk bangkit.
"Ada Beomgyu Oppa yang lebih tampan, tenang Nam Hee jangan baper oke," gumamnya pada diri sendiri saat beradaa di balik pintu dengan menatap kepergian Woo Jin yang sangat prihatin.
Ia tidak tahu jika daddy-nya sedang mengitipnya juga dari pintu dapur sedangkan sang Mommy sedang mengintip dari pintu kamar, mereka saling mengintip satu sama lain.
Woo Jin melewati rumah Jimin yang sedang memandikan mobil barunya yang baru saja lunas dari cicilan. Tak lupa juga ia menyapa sang paman yang sedang bernyanyi itu.
"Paman Jim ... saranghae," Woo Jin memberi finger heart pada Jimin dengan aegyo andalannya untuk menggoda para perempuan.
Dan itu membuat Jimin tertawa saat menyadari keponakannya tak sedarah itu sedang basah kuyup.
"Ya! Ganti bajumu dulu sana. Nanti kau sakit, apa kau terkena hujan di tetangga?"
"Ini bukan dari hujan paman, ini adalah bukti kesalahanku yang kemarin paman. Aku menyukai ini, apalagi aku belum mandi dari kemarin," ucapmya dengan cengiran lebar.
"Pantas, lalat mengikutimu dari tadi,"
"Tak apa, lalat saja menyukaiku apalagi para perempuan yang menyadari ketampanan seorang Kim Woo Jin yang membahana ini," sebelum Jimin menyiramnya, ia sudah terbirit-birit pergi dari hadapan pamannya dan bertemu dengan Taehyung yang sedang memandikan burung-burungnya di luar.
Rumahnya sudah seperti penitipan hewan, segala hewan berada dirumahnya hingga buaya darat saja ada. Taehyung terus bersiul dengan alat yang menempel di mulutnya seperti permen, Taehyung itu payah bersiul untuk burung tidak bisa tapi jika melihat wanita cantik siulannya sangat jelas bahkan terlalu jelas untuk bersiul.
"Paman Tae, awas burungnya kabur. Bahaya kalau kabur paman tidak punya lagi nanti," celetuk Woo Jin yang kembali membuat sang paman akan menyemburkan air yang sedang ia gunakan untuk memandikan burung.
Ia kembali lari, nasib orang ganteng selalu disiram air. Kenapa bukan air kembang saja?
Lalu ia melewati rumah Jungkook yang sedang sepi. "Paman Jung pasti masih tertidur, memang maknae aneh," gumamnya dengan terus memandang rumah berwarna biru itu.
"Maknae? Dia kan sudah tua masih saja ingin di sebut maknae, dasar paman bongsor," gumamnya lagi dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Sedang apa kau melihat rumah orang ganteng? Rindu?" tanya seseorang dari arah belakang.
"Cuih, rindu apanya?!"
"Kenapa bajumu basah? Kau terjebak hujan dimana?" tanya Jungkook dengan penasaran.
"Di rumah Paman Namjoon tadi hujan deras saat aku melewati rumahnya,"
Jungkook menggeleng-gelengkan kepalanya dengan pasrah. "Memang aneh putra Kim yang satu ini," gumamnya.
"Lalu kenapa tubuh paman basah?" tanya Woo Jin yang memandang aneh ke arah pamannya yang bongsor itu.
"Paman olahraga,"
"Olahraga tidak akan sebasah itu paman, apa paman terjatuh ke dalam lubang dekat taman?" tebak Woo Jin yang membuat Jungkook memalingkan wajah karena malu.
"Benarkan!! Hahaha ... jebakan itu ampuh ternyata," ucapnya dengan tawa kerasnya.
"Jadi itu jebakanmu? Kau yang menyimpan banyak daun di atas lubang besar itu? Kau juga yang menggali lubang itu kan?" tanya Jungkook dengan menyimpan kepala Woo Jin di ketiaknya.
"Bukan Woo Jin yang menggali, Woo Jin hanya menyimpan daun saja. AMPUN PAMAN ... KETIAK PAMAN BAU ASEM," rontanya dengan terus menerus untuk keluar dari jeratan ketiak Jungkook, ia sengaja untuk memberi pelajaran kepada keponakannya yang jahil ini. Sesudah ia puas, barulah ia melepaskannya yang sudah lemas karena menghirup udara tak sehat, udara yang sudah tercemar dan udara ini lebih bahaya dari dari pada asap rokok atau asap kendaraan.
Woo Jin terduduk karena terlalu lemas. "Bagaimana? Kau sudah menjadi playboy internasional menggantikan posisiku?" tanya Jungkook dengan alis yang naik turun.
Woo Jin menangah. "Jangankan playboy sampai internasional, menyukai satu gadis saja tantangannya melebihi roller coaster yang mengelilingi dunia," ucapnya dengan suara lemah.
"Perumpamaan yang sangat tidak efisien," gumam Jungkook.
"Begini, mau kau diajarkan menjadi playboy oleh paman?" tawarnya.
"Maaf paman, tawaranmu saya tolak. Senakal-nakalnya Woo Jin, Woo Jin tidak akan tega untuk memainkan perasaan seseorang, apalagi menyakiti perasaan perempuan. Karena perempuan adalah manusia yang patut di lindungi dan di istimewahkan,"
"Mimpi apa kau tadi malam?" tanyanya dengan heran.
"Mimpi basah," jawabnya dengan ketus.
"Baiklah, sepertinya kau sedang patah hati. Sebenarnya paman hanya mendapatkan gelar saja, padahal paman belum pernah berpacaran sama sekali, apalagi sampai mengukir mantan dimana-mana."
"Nasib orang tampan itu seperti itu paman," ucapnya dengan menepuk pundak sang paman tiga kali.
"Sekarang kau mau kemana?"
"Rumah terakhir disini."
"Yeon Joo?" tebaknya.
"Yes, aku ingin menyebuhkan hati yang akan merasakan keretakan ini," jawabnya dengan melankolis.
"Aw, paman tebak?! Pasti kau akan menyatakan cinta dan kau sudah menduga akan ditolak Olehnya? Begitu bukan?"
"Salah, bahkan sebelum aku menyatakannya saja aku sudah di hempaskan terlebih dahulu,"
"Cup, cup, cup. Kasihan sekali keponakan ku ini," ucapnya dengan menepuk-nepuk pelan kepala Woo Jin.
"Paman tebak lagi, pasti kau memiliki kisah rumit bukan?"
"Sotoy nih yang udah tua. Bye ah, Paman Kookie banyak ngomong mirip ayah kalau lagi minta diskon di pasar,"
Woo Jin pun berjalan kembali menuju rumah berwarna Hijau. Ia memasuki kawasan rumah besar di antara rumah yang lainnya. Lalu ia mengetuk pintu, padahal di sebelah tanganya terdapat bell yang memang di rancang khusus untuk yang memiliki badan ideal bukan pendek.
Tak lama ia mengetuk, keluarlah manusia berkulit putih yang keluar dari garasi.
"Ada apa kau datang kemari dengan keadaan basah seperti itu? Apa sebelum kemari kau berenang di danau sebelah!"
"Ah Paman Yoon, aku tersakiti dengan perkataan paman," ucapnya dengan memegang dadanya.
"Kau ingin bertemu Yeon Joo?" tanyanya dengan merapihkan debu dari pakaiannya, ia sudah membersihkan garasi dengan keadaan yang sangat, sangat, sangat terpaksa karena mencari kunci diary Yeon Joo yang hilang di garasi.
Woo Jin mengangguk. "Dia pingsan dari kemarin," jelasnya dengan tenang.
Woo Jin mengernyit bingung, Yoongi malas untuk menjelaskan secara rinci, kenapa anak yang satu ini sungguh menyusahkan Yoongi untuk berkata banyak. "Sejak semalam Yeon Joo belum bangun, dan ia tidak bisa di ajak bicara oleh siapapun kecuali jika sudah lapar,"
"Segitunya?" tanyanya dengan keterkejutan yang sangat ketara.
"Apa ada yang mengganggunya lagi di sekolah?" tanya Yoongi dengan menatap Woo Jin tajam.
Woo Jin membuang arah matanya supaya tidak menatap mata elang milik pamannya yang satu ini.
"Katakan!!" desisnya.
"Dia ... dia," ucapnya dengan gugup.
"Kau lelaki bukan? Kenapa kau gugup seperti itu?!" tanyanya dengan mendekati Woo Jin yang mulai ketakutan, "Apa jangan-jangan, kau yang membuatnya seperti itu?" bisiknya dengan tajam.
Woo Jin membesarkan matanya, bahkan tangannya bergerak untuk membantah tuduhan Yoongi. "Lalu?" ucap Yoongi yang memiringkan kepalanya dan tak lupa dengan tangan yang terlipat di atas dadanya.
"Eumm..." ucapnya dengan gugup, "Tapi, jangan katakan pada Yeon Joo ya paman," ucapnya dengan mengangkat jari kelingkingnya.
"Tergantung,"
"Paman ... jangan seperti itu, aku bisa mati di tangan Yeon Joo," ucapnya dengan memelas.
"Jadi kau lebih memilih mati ditanganku? Seperti itu?" Woo Jin ingin meralat ucapannya, keduanya sangat menyeramkan tapi manis secara bersamaan. Apalagi putrinya yang begitu ganas tapi jinak.
"Lebih baik Woo Jin menggubur diri saja,"
"Ya sudah sana!!" Yoongi pun melangkah pergi untuk meninggalkan tuyul yang kabur di pagi hari.
"Eh... Eh... Paman Yoongi jangan pergi dulu, Woo Jin belum bercerita," cegahnya.
"Paman sudah tahu apa yang akan kau katakan?!"
"Jangan menjadi cenayang di saat seperti ini paman," desisnya dengan pasrah. "Begini paman, paman tahu jika Yeon Joo menyukai lelaki?"
"Tentu saja tahu, dia manusia normal tentu akan menyukai lelaki, tapi siapa yang disukainya? Terus kenapa dia menangis terus?"
"Itu maslaahnya paman, Yeon Joo menyukai lelaki yang menyukai gadis lain. Jadi, Yeon Joo patah hati karena lelaki itu,"
"Ouh, ... jadi dia ukan karena teman-temannya,"
"Bukan, dia seperti itu karena hyung," ucapnya dengan melupakan sesuatu, jika ia sudah membongkar rahasia negara tetangga.
"Hyung?" ulangnya lagi.
"Eeeh ... ah baiklah," ucapnya pasrah dengan Yoongi yang terus menatapnya dengan mata yang hampir hilang itu.
"Dia sebenarnya menyukai Yeong Hyung, tapi hyung menyukai Haru Noona anak dari Paman Hyunjin di komplek sebelah," jelasnya yang terus mendapatkan tatapan bagai elang yang siap memakan mangsanya.
"Ya sudah sekarang kau pulang saja, percuma jika kau terus di sini putri tidur itu tidak akan bangun jika di bagunkan," usir halus Yoongi.
"Apa paman tau dongeng Aurora?" tanya Woo Jin dengan mata bulat polosnya.
"Yang memiliki 7 kurcaci dan mati karena memakan apel?"
Entah kenapa Woo Jin serasa ingin mengatai paman tampannya ini dengan perkataan yang bagus dan manis.
"Tertidur paman ... bukan mati!" jawabnya dengan gemas. "Aurora itu semacam putri duyung yang rela mengorbankan dirinya," balas Woo Jin asal.
"Itu Putri Ariel, paman tahu dongeng itu. Apa kau tidak pernah di dongengi oleh ayah mu ya?"
"Bodo amat paman! Woo Jin pamit pulang aja."
"Nah dari tadi dong perginya, jadi enggak usah repot-repot ngusir kan."
Benar-benar menguras emosi lahir dan batin jika berurusan dengan seorang Paman Yoongi, batin dan jiwa Woo Jin terkoyak-koyak karena perlakuan pamannya yang satu ini. Ia bersyukur menjadi putra dari Kim Seokjin. Jika ia adalah turunan Min Yoongi entah apa yang terjadi pada hidup dirinya saat ini, apa seperti Yeon Joo yang swag atau lebih savage.
Entahlah, ia nyaman menjadi dirinya sekarang ini. Ayah-Bunda maafkan putramu yang tampan ini.
***
"NAM HEE AND YEON JOO MAU BOBO CUY... KIta kembaran mulu kan :)"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top