Si Kucing


Dalu punya seorang kakak perempuan yang usianya lima tahun lebih tua. Saat ini kakakanya sedang berkuliah di Yogyakarta dan hanya pulang di waktu libur semester saja. Namun di liburan kali ini kakaknya tetap tinggal di Yogya karena sedang magang.

Dalu mengerling ke arah satu-satunya kamar tidur di rumah itu. Kalau kakak pulang, pasti rumah ini jadi lebih sempit...

Setiap kali kakaknya pulang, Dalu mengalah untuk tidur di sofa. Tetapi Dalu tak bisa terus-terusan tidur di sofa karena banyak nyamuk dan panas. Dalu sudah berkali-kali protes ke ibunya. Dia perlu kamar sendiri. Usianya sudah tujuh belas tahun dan rasanya aneh bagi seorang anak laki-laki untuk tidur dengan ibunya. Jawaban ibunya hanya: "Sabar."

Tapi aku harus bersabar sampai kapan? Sampai kita bisa pindah ke rumah yang lebih luas? Sampai aku dibuatkan kamar sendiri?

Gara-gara masalah kamar ini, Dalu tidak bisa mengundang teman-temannya menginap di rumah. Padahal kan menginap pas akhir pekan seru sekali! Dalu selalu menghindar setiap kali teman-temannya bertanya apa mereka boleh menginap. Mama sedang flu, nanti kalian tertular... Plafon di kamar bocor, perlu dibetulkan... Kakakku ada di rumah, jadi lain kali saja... Rasanya dia sudah terlalu sering berbohong sampai-sampai teman-temannya tak pernah lagi bertanya. Setiap kali ada yang mengusulkan untuk menginap, pasti Dalu menyarankan rumah Reza saja, karena tempat itu punya empat kamar.

Tadi pagi Dalu mencoba lagi.

"Ma, kapan Dalu punya kamar sendiri?"

Ibunya mendongak. Wajahnya berubah muram. "Sabar ya, Dalu..."

"Dalu udah gede, Ma. Dalu nggak mungkin tidur terus-terusan di kasur lipat di lantai itu..."

"Mama tahu," kata ibunya lembut. "Nanti, ya. Kalau tabungan Mama sudah cukup, kita bisa pindah ke rumah yang lebih besar..."

Dalu berdecak kesal.

"Omong-omong, tadi kakak kamu telepon," kata ibunya. "Besok lusa dia bakal pulang dan tinggal seminggu di sini. Magangnya udah selesai."

Dalu mengangguk kecil lalu masuk ke kamar. Tidur di sofa lagi, deh! Dia menyalakan pendingin ruangan, menggelar kasur lipatnya di lantai di bawah tempat tidur sempit ibunya, lalu tidur siang.

Dalam tidur siang kali itu Dalu bermimpi. Dalam mimpinya, Dalu berada dalam kejadian persis seperti kemarin, saat dia memecah kelapa. Kucing putih berbelang kuning itu juga ada dalam mimpinya, sedang menjilati air kelapa yang tumpah.

'SHUH!' Dalu mengusir kucing itu. 'Pergi kau, kucing sialan!'

Kucing itu tertegun dan menatap Dalu. Kumisnya bergerak-gerak. Lalu kucing itu membuka mulutnya, tetapi yang didengar Dalu bukanlah meongan.

'Dasar manusia pelit!'

Dalu terbangun. Mimpi macam apa itu? Apa kucing itu baru saja berbicara denganku?

Dia duduk dan melihat jam dinding. Tidurnya singkat sekali, hanya sepuluh menit. Pasti gara-gara kebanyakan makan siang, makanya aku mimpi aneh seperti itu...

Dalu bangun dan keluar kamar.

Di ruang keluarga, ibunya sedang terlelap di sofa. Itu adalah jenis sofa separo dipan yang tak punya jok empuk atau bantal. Sekali-sekali tidak apa-apa tidur di sofa, pikir Dalu. Nggak nyaman kan, Ma?

Dalu pergi ke dapur. Dia merasa gerah, dan ingin minum sesuatu yang dingin. Di atas meja makan hanya ada kangkung tumis, ikan asin dan beberapa perkedel kentang. Dalu membuka kulkas.

Klepon lagi, klepon lagi!

Rak kulkas paling atas penuh terisi adonan klepon yang belum dikukus. Kemarin ibu Dalu membatalkan niat untuk membuat klepon karena protes anaknya itu. Tidak ada minuman dingin.

Kenapa Mama nggak bikin puding, sih? Seingat Dalu, dia sudah minta ibunya untuk bikin puding. Malah bikin klepon terus!

Akhirnya Dalu hanya mengambil botol air dingin dan pergi ke teras belakang. Suasana hatinya sedang tidak enak. Ternyata liburan itu menyebalkan. Dalu berharap bisa cepat-cepat kembali ke sekolah. Dia tidak suka menghabiskan waktu bersama ibunya.

Saat Dalu duduk di teras belakang, dia bertemu kucing yang sama yang dilihatnya kemarin dan dalam mimpinya. Kucing itu sedang menggigit sepotong ikan asin dan melompat ke pagar pembatas yang tinggi.

Kucing sialan! Dalu mengejar kucing itu. Pasti dia mencuri dari meja makan!

Kucing itu berlari ke sudut teras dan berhenti. Dalu mengambil sapu lidi yang biasa dipakai untuk menyapu halaman lalu menggebukkan sapu itu pada si kucing. Meleset. Si kucing melompat dan berdesis marah. Dalu mengayunkan sapunya lagi ke arah si kucing dan menyudutkannya.

Kali ini, pasti dapat!

Kucing betina itu mundur sambil mendesis-desis ke belakang tempat sampah karena takut pada sapu lidi. Dalu menyambar tengkuk si kucing dan melemparkannya ke halaman. Kucing itu terlontar dan mendarat lincah di atas keempat kakinya. Ikan asinnya terjatuh di belakang tempat sampah.

"Pergi sana!"

Kucing itu mendesis marah lalu mendadak diam. Dia menatap tajam Dalu dengan matanya yang kuning, seakan menantang untuk dipukul.

Dalu tertegun. Dia belum pernah melihat kucing yang bersikap seperti ini. Biasanya kucing selalu lari kalau dikejar. Dalu jadi teringat pada mimpinya.

"Pergi! Jangan mencuri dari rumahku lagi!"

Si kucing mengibaskan ekornya yang gemuk dengan anggun, lalu melompat ke atas pagar.


...


Keesokan harinya, Dalu memutuskan untuk jalan-jalan bersama teman-temannya.

Di ruang keluarga, ibu Dalu sedang menyetrika pakaian ditemani tontonan telenovela (sejenis sinetron dari luar negeri yang populer di tahun sembilan puluhan).

"Ma, minta ongkos, dong."

"Buat apa, Dalu? Kamu mau ke mana?"

"Hari ini mau jalan-jalan ke mall bareng Reza sama Irvan."

Ibu Dalu mengeluarkan dompet serut kecil dari belakang punggungnya. Jenis dompet yang biasa didapatkan gratis jika membeli perhiasan dari toko emas. Ada beberapa lembar uang kertas di situ. Ibunya mencabut selembar dan mengangsurkannya pada Dalu.

Dalu menatap uang kertas itu. "Dua puluh ribu?"

Dua puluh ribu pada masa itu adalah jumlah yang besar. Itu adalah masa-masa sebelum krisis ekonomi, di mana harga-harga masih sangat murah. Sebagai perbandingan, gaji ibu Dalu di kantor kecamatan adalah lima ratus ribu rupiah sebulan.

"Memangnya kamu mau ke mana?"

"Kan tadi aku udah bilang, Ma... Aku mau jalan-jalan di mall."

"Nah, dua puluh ribu itu cukup, kan?"

"Iya sih, tapi..." Hari ini aku mau mentraktir Reza dan Irwan karena tidak bisa mengajak mereka menginap. "Mama nggak bisa tambahin sedikit lagi, apa?"

"Itu empat kali lipat uang jajan kamu setiap hari kalau ke sekolah lho, nak..."

"Tambahin sedikit lagi, Ma."

Ibu Dalu memutar kenop setrika dan memberdirikannya. "Kamu nggak beli narkoba atau jajan yang aneh-aneh, kan?"

"Enggak lah, Ma. Cuma takut uangnya nggak cukup."

"Itu lebih dari cukup," kata ibu Dalu kalem. "Mama lagi nabung. Kemarin kan kamu minta kamar sendiri. Makanya Mama lagi berhemat supaya kita bisa pindah ke rumah yang lebih besar..."

Dalu menghentak dengan kesal dan pergi mengambil helm. Dia menyambar kunci motor Vespa miliknya dan melengos ke teras depan tanpa berpamitan dengan ibunya.

"Jangan pulang terlalu larut, ya!" Ibu Dalu berpesan kepadanya. "Nanti malam mbakmu datang dari Yogya. Kalau bisa kita makan malam sama-sama!"

Ah! Cerewet! "Iya!"

Saat Dalu mendorong Vespanya ke jalan depan, dia melihat kucing betina berbulu putih kuning itu sedang duduk di atas pagar depan, dekat kotak surat. Kucing itu sedang mengamati Dalu.

Ngapain kucing itu di sini?

Kucing itu menggoyangkan kepalanya ke atas dan ke bawah.

"Shuh!" Dalu menghentak ke arah si kucing. "Pergi!"

Tiba-tiba si kucing menjulurkan kaki depannya yang sebelah kiri lurus-lurus ke arah Dalu, seperti menunjuknya.

"PERGI SANA!"

Perhatian Dalu teralihkan oleh bunyi klakson motor dari pagar depan. Reza dan Irwan sudah datang menjemputnya.


...


Sudah hampir pukul sebelas malam ketika Dalu pulang ke rumah. Setelah makan dan nonton di mall, dia mampir ke rumah Irwan dan main gim di sana. Dia sengaja berlama-lama karena tidak ingin bertemu dengan kakaknya.

Di teras depan, Dalu menemukan sepasang sepatu lain. Kakaknya sudah tiba.

Dalu mengeluarkan kunci cadangan dan masuk ke dalam rumah. Suasana rumah sudah sunyi, sepertinya ibu dan kakaknya sudah tidur. Dia melihat bantal tidurnya sudah dipindah ke sofa depan, di atasnya terlipat sebuah sarung.

Sialan.

Dalu harus tidur di luar. Hatinya mulai dongkol. Dia kesal kenapa kakaknya tiba-tiba pulang ke rumah seperti ini. Padahal kan dia sudah hidup nyaman di Yogya sana!

Dalu terus ke dapur. Dia membuka tudung saji. Masih ada sisa orek kentang, ayam goreng dan bakwan udang. Dalu dan mamanya jarang makan daging kalau di rumah, jadi menu itu termasuk mewah. Dalu membuka kulkas. Di dalam kulkas ada semangkok besar sop bakso tahu dan beberapa iris rendang dalam wadah plastik.

Padahal hanya demi kakak, protes Dalu iri. Mama sampai masak besar seperti ini.

Tatapan Dalu jatuh pada sebuah wadah lain di rak kedua. Di dalam sebuah baskom plastik, ada puding buah yang sudah dimakan seperempat. Sirup vla pelengkap puding disimpan dalam sebuah toples kaca kecil di sebelahnya.

Kekesalan Dalu berlipat ganda melihat puding itu. Padahal aku memang sudah lama ingin makan puding! Kenapa harus menunggu kakak pulang untuk makan lezat seperti ini?

Dalu membanting pintu kulkas. Rasa laparnya sirna, digantikan kecemburuan yang membara. Dalu menyambar sarung miliknya, membuka pintu depan dengan keras, dan duduk di dipan rotan. Dia bahkan sudah tidak peduli kalau ibu dan kakaknya terbangun gara-gara suara yang ditimbulkannya.

Diam-diam Dalu mengeluarkan sebungkus rokok. Dia mengambil sebatang, memantiknya, lalu menghisapnya dalam-dalam. Ibunya bisa mengamuk kalau melihatnya merokok seperti ini, tapi... Persetan! Kekesalan ini hanya bisa diredakan dengan merokok.

Asap rokok yang khas mengisi paru-paru Dalu, membuat kepalanya terasa lebih ringan. Dia menyesal karena telah pulang malam ini. Seharusnya aku menginap di rumah Irwan saja... Dalu benci karena harus menghabiskan waktu liburan di rumah ini. Dalu merasa ibunya memperlakukannya sebagai pembantu. 'Dalu, tolong ambilkan ini...' atau 'Dalu, tolong lakukan itu...' Begitu terus sepanjang hari, sampai-sampai Dalu tak bisa baca komik dan main gim dengan tenang. Yang membuatnya tambah dongkol, Dalu tidak mendapat imbalan apa-apa karena sudah melakukan semua itu. Nggak dapat kamar sendiri, minta puding saja nggak buatkan, mau tambah uang jajan nggak dibolehkan...

Apalagi sekarang ada kakaknya. Dalu selalu menjadi nomor dua kalau ada kakak perempuannya itu. Apa-apa untuk kakak... Dalu merasa ibunya menganggap dirinya kurang penting dibandingkan kakaknya. Sewaktu kakaknya lulus seleksi UMPTN (sekarang Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri atau SBMPTN), ibunya membelikan komputer baru untuk kakaknya, padahal harga komputer kan mahal sekali. Mereka pergi ke Yogya untuk mengantar kakaknya, dan sesampainya di sana, ibu Dalu membelikan rupa-rupa perabotan untuk tempat kos kakaknya, ditambah beberapa stel pakaian dan sepatu baru. Uang jajan kakaknya pun meningkat drastis.

Sementara Dalu tidak mendapat apa-apa. Ibunya menolak permintaannya untuk membeli Sega, gim konsol terbaru pengganti Nintendo. Alasannya karena berhemat. Ongkos menguliahi kakaknya di Yogya lumayan besar, jadi permintaan-permintaan Dalu yang dianggap ibunya kurang penting harus ditangguhkan dulu.

Dalu merasa dianaktirikan.

Dia sudah muak. Berhemat selalu jadi alasan ibunya untuk menolak semua permintaan Dalu.

Dalu mengirup rokoknya dan menghembuskan napasnya. Nyamuk-nyamuk mulai menyerang kakinya, jadi dia mengambil sepotong obat nyamuk bakar dan menyalakannya. Kalau sudah begini, dia jadi tidak bisa tidur.

Sampai kapan aku harus hidup tertindas seperti ini? Dalu menatap langit yang hitam. Langit di daerah ini tidak indah penuh bintang seperti di film-film, tetapi pekat dan membosankan akibat polusi ibukota. Sambil terus merokok, Dalu mulai melamun. Seandainya dia terlahir sebagai orang lain, bukan sebagai anak dari ibunya dan adik dari kakaknya, pasti rasanya lebih menyenangkan. Asap rokoknya mengepul semakin tebal sampai membentuk semacam kabut di sekeliling kepalanya. Semua permintaanku akan dikabulkan, dan aku tak perlu terus-terusan menahan diri seperti ini...

Ada yang bergerak di dekat pagar.

Dalu melihat dua bola kuning kecil seukuran kelereng yang bersinar di kejauhan.

Ternyata itu adalah kucing yang sama yang tadi pagi dilihat Dalu.

Dalu mengacuhkan kucing itu dan kembali pada lamunannya. Dia sudah sering membayangkan bagaimana rasanya hidup sebagai orang lain. Mungkin seperti Reza yang orangtuanya pengusaha kaya raya. Atau seperti Irwan yang adalah anak tunggal, sehingga tidak perlu mengalah pada siapapun.

Kucing itu mendekati Dalu dan duduk di pinggir teras.

Pokoknya jadi siapa saja, asalkan bukan anak Mama atau adik dari kakak!

Si kucing mengeong. Dalu mengambil sendal jepitnya. Dia membidik si kucing dan melemparkan sendalnya. Si kucing melompat kaget dan menghindar.

Namun binatang itu tidak kabur. Dia malah menyeringai, seperti menertawakan hidup Dalu.

"Mau ngapain lo?" Dalu menghardik si kucing dan melemparkan sendalnya yang sebelah lagi. Masih tidak kena juga. "Mau nyolong lagi, ya?"

Selain karena si kucing suka mencuri, alasan lain Dalu membenci kucing adalah karena dia tak tahan dengan bulunya. Bulu kucing selalu bikin Dalu bersin-bersin tak keruan. Dalu memelototi kucing itu lalu mengangkat asbak tembikar yang dipakainya untuk menadahi abu rokok. Tetapi kucing itu malah mengibas-ngibaskan ekornya dan menyeringai semakin lebar, seperti kegirangan.

Dalu menimpukkan asbak tembikar itu kencang-kencang. "Pergi sana!"

Kucing itu terlambat menghindar. Lemparan Dalu kali ini tepat sasaran, asbak tembikar itu mengkemplang punggung si kucing sampai pecah. Kucing itu jatuh terlungkup.

"Ha! Rasain lo!"

Binatang itu tidak bangun lagi. Aneh juga, pikir Dalu sambil mendekati si kucing. Bukannya kucing adalah hewan yang terkenal gesit? Mana bisa terkena lemparan seperti yang tadi itu...

Dalu menyenggol kucing itu sedikit dengan kakinya. Apa dia mati?

Disentuhnya kucing itu. Hidungnya langsung terasa gatal. Diangkatnya tubuh si kucing dan dibalikkannya. Mata kuning si kucing terpejam dan bulunya terasa lembut, tidak seperti kucing liar.

Dalu bersin dengan keras. Tiba-tiba kucing itu menggeliat dan membuka matanya.

Tatapan Dalu dan si kucing berserobok. Sepasang matanya berwarna kuning berkilauan seperti lampu sorot. Dalu bersin lagi dan ingin meletakkan kucing itu, tetapi dia tidak bisa, seolah-olah tangannya merekat pada punggung si kucing. Dalu menyentakkan tangannya, kucing itu membuka mulut untuk mengeong, tetapi rasanya meongannya kali ini terdengar lebih lantang dan menakutkan. Dalu mulai panik, bersin-bersinnya bertambah parah, sementara kucing itu masih terus mengeong keras, matanya yang kuning sekonyong-konyong membesar, seperti bulan purnama. Mendadak Dalu merasakan tubuhnya menjadi ringan, seringan asap rokok. Dunia berpilin cepat seperti gasing, membuat kepalanya berputar-putar.

Lalu Dalu terjatuh.


...


Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, kakak perempuan Dalu menemukan seekor kucing jantan sedang terbaring di teras depan. Tampaknya kucing itu sedang tertidur, tetapi lelap sekali, seperti pingsan. Di dekatnya ada serpihan-serpihan asbak tembikar yang telah pecah.

Warna bulu kucing itu hitam legam, seperti rambut Dalu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top