Rekan Kerja Baru
"Eh, eh. Lihat deh..."
Janet, sahabat karib Arumi baru saja menganggilnya. Arumi menyahut, "Kenapa?"
"Itu lihat!" kata Janet, kedengaran memaksa. "Arah jam sepuluh."
"Ooh, gue lihat kok!" Tere, sahabat Arumi yang lain, ikut menimpali. "Wah, lumayan nih!"
Arumi menoleh ke arah jam sepuluh. Seorang pria muda jangkung sedang masuk ke ruang wawancara bersama Sissy, si petugas HRD. Penampilannya yang bak aktor drama Korea langsung menarik minat para gadis-gadis di situ.
"Kira-kira keterima nggak, ya?" tanya Janet penuh harap.
"Kata gue sih pasti diterima," jawabTere yakin. "Tipe si Sissy banget, tuh! Yang ala oppa-oppa Korea gitu."
"Kayaknya orangnya melankolis," celetuk Janet. "Aku rasa zodiaknya Cancer."
"Sebentar, sebentar..." Arumi menunduk sedikit dan menyembunyikan wajahnya di balik monitor komputer yang lebar supaya tidak terciduk sedang mengintip. "Memangnya untuk posisi apa?"
"Desainer grafis," jawab Tere. "Buat bantuin divisi Multimedia."
Arumi, Tere dan Janet bekerja di sebuah perusahaan marketplace di daerah Kuningan, Jakarta. Mendengar itu, Arumi ber-ooh panjang.
"Benar kan tebakan aku," kata Janet, kedengaran menghayal. "Orangnya romantis. Secara desainer, gitu. Pasti perasaannya peka."
"Tadi lo bilang melankolis," seru Tere. "Melankolis beda sama romantis, Net!"
"Intinya orangnya itu lebih pakai hati," tukas Janet, agak mengacuhkan protes Tere. "Aduh, jarang banget lho ada cowok yang kayak gitu! Pasti lebih bisa memahami cewek."
"Memang iya?" tanya Arumi.
"Iya," sahut Janet.
"Enggak!" Tere tidak setuju. Sebelum Janet membantah, dia cepat-cepat menyerobot. "Lo tahu dari mana soal itu, Net? Ngobrol sama dia aja belum. Lo menyimpulkan semua itu dari penampilannya? Menurut gue biasa aja, orang-orang kreatif kan memang bajunya unik-unik."
"Ah, nanti juga kamu lihat sendiri, Re," kata Janet cuek. "Tebakan aku pasti benar."
Lalu kedua sahabatnya itu meninggalkan Arumi.
...
Rupanya Sissy langsung meluluskan aplikasinya dan menerima pria muda itu sebagai karyawan baru. Keesokan paginya, Sissy datang sambil menggaet si anak baru itu ke meja kerja Arumi.
"Hai, hai!" Suara Sissy yang cempreng kasar memecah keheningan kantor yang masih sepi. "Kenalan dulu, Ar! Ini Andro, desainer grafis kita yang baru."
Pria bernama Andro itu mengulurkan tangannya. Mendadak Arumi merasa gugup. Tara dan Janet tidak tampak di mana-mana, mungkin mereka ke toilet.
"Ini Arumi, marketing strategist kita..." kata Sissy.
Arumi membalas uluran tangan itu. Tangan Andro sedikit berkeringat, mungkin dia sama gugupnya dengan Arumi. Namun jabatannya terasa mantap. "Arumi."
"Andro..." Dia nyengir dan mengangkat name-tag nya yang masih baru. "Andromeda Kelana."
"Wih, pakai nama lengkap," goda Sissy sambil terkikik nyaring. "Nggak sekalian tukaran nomor WhatsApp? Arumi ini single, lho..."
"Apaan sih, Sis!"
"Bercanda, sis!" Sissy melanjutkan kikiknya yang lama-lama mulai terdengar horor. "Ini bagian Marketing ya, Andro. Nanti kamu bakal sering berurusan dengan mereka. Omong-omong yang lain pada ke mana, Ar? Belum datang, ya?"
"Mereka lagi ngopi di dekat pantry," kata Arumi. Setengah mati ditahan dirinya untuk tidak melirik Andro. Cowok itu berdiri menjulang di sebelahnya, sangat menawan. "Aku harus posting beberapa iklan di Instagram, jadi nggak ikut."
"Ooo..." Bibir Sissy monyong lebar. "Ya udah. Gue ajak keliling dulu ya, Ar. Nanti kalau udah, tolong kasih tahu sama teman-teman divisi lo yang lain."
Arumi mengangguk. Sissy menarik tangan Andro lagi dengan sok akrab dan pria itu beranjak pergi. Tetapi sebelum pergi, Andro menoleh sebentar pada Arumi dan tersenyum lebar.
Arumi cepat-cepat menunduk. Wajahnya terasa terbakar.
...
Menjelang istirahat makan siang, Janet dan Tere mampir lagi.
"Jadiiii..." Tere kedengaran geregetan. "Ada yang baru kenalan, nih!"
Arumi hanya tersenyum malu-malu.
"Benar nggak tebakan aku?" desak Janet ingin tahu. "Orangnya melankolis, kan? Perasa, kan?"
"Aneh," sahut Arumi, teringat sesi perkenalan canggung tadi. "Masa dia kenalan pakai nyebutin nama lengkap segala. Kayak kenalan ala anak SD aja."
"Lho, justru bagus dong!" Tere kelihatan heran. "Justru sekarang lo jadi tahu nama lengkap dia, Arumi. Apa dia nyebutin alamat rumahnya juga?"
Janet tertawa kecil, tapi Tere menghardiknya.
"Enggak," kata Arumi. "Lagipula, buat apa aku tahu alamatnya?"
"Ya supaya lo bisa mampir nganterin kue, lah!" Tere berdecak seolah-olah Arumi telah bersikap tolol. "Ini kan namanya kesempatan emas! Jangan kasih kendor!"
"Eh tapi memangnya kamu tahu kalau dia single, Re?" tanya Janet. "Siapa tahu dia udah taken?"
"Kalau menurut gue sih enggak," kata Tere yakin.
"Atau homo? Kamu tahu kan, cowok yang baju-bajunya selalu bagus kayak gitu..."
"Aduh, apa-apaan sih kalian berdua!" Arumi membentak kedua sahabatnya itu. "Suudzon terus. Aku aja nggak mikir sampai sejauh itu, lho!"
Tere dan Janet terbahak-bahak.
"Arumi, memangnya kamu mau jadi jomblo terus-terusan?" tanya Tere kebapakan. "Kamu ini udah dua puluh delapan tahun, lho. Sebentar lagi dapat predikat perawan tua. Nggak cemas, apa?"
"Umur cuma angka kok," kata Janet menenangkan. "Kalau kamu memang belum siap, nggak apa-apa kok, Ar. Bersabar aja sampai cinta sejati kamu muncul."
"Lo keseringan baca dongeng!" sela Tere tak sabar. "Di kehidupan nyata, nggak ada tuh yang namanya cinta sejati jatuh dari langit. Cinta sejati itu harus diusahakan. Iya kan, Ar?"
Arumi tidak menjawab. Dia memikirkan kata-kata Janet dan Tere. Dua-duanya benar. Sebentar lagi aku akan berusia kepala tiga. Sekarang saat yang tepat untuk menjalin hubungan yang serius. Tapi aku tidak mau dengan sembarangan orang. Aku ingin menemukan cinta sejati.
"Arumi?" panggil Tere. "Kok diam?"
"Aku lagi berpikir," kata Arumi.
"Nggak usah terlalu dipikirkan," kata Janet lembut. "Dengarkan aja kata hatimu."
...
Hari sudah menjelang malam ketika Arumi sampai ke apartemennya.
Dia memijat-mijat pelan betisnya yang kaku akibat berdiri di bus dalam perjalanan pulang. Sandal jepit yang biasa dipakainya sepulang kantor putus, jadi Arumi terpaksa memakai sepatu kerjanya yang punya hak lumayan tinggi.
Arumi melepas sepatu yang menyiksa itu lalu menyalakan lampu. Tempat tinggalnya adalah sebuah apartemen satu kamar tidur. Apartemen itu terasa pengap karena terkunci seharian. Aneh juga kalau dipikir-pikir, padahal baru dua minggu lalu Jakarta diguyur hujan tanpa henti yang berlangsung selama enam bulan. Anomali cuaca terekstrem, Arumi ingat begitulah siaran-siaran berita menyebutnya. Namun suatu hari hujan itu tiba-tiba berhenti dan sejak saat itu Jakarta kembali terik seperti biasanya.
Arumi mengambil remote dan menyetel pendingin udara pada level dingin maksimal.
Aku pulang...
Di dalam apartemen kosong. Arumi kangen pada Kai, tetapi adiknya itu tinggal di Depok agar dekat dengan kampusnya. Setelah mendapat pekerjaan, Arumi memang memutuskan untuk keluar dari rumah. Lagipula ibunya memang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sakit, sementara ayahnya sudah bertahun-tahun tidak muncul. Ada yang bilang pria itu sudah mati, tapi Arumi tidak peduli lagi. Rumah kontrakan kecil merekapun jadi kosong dan Arumi memutuskan untuk menghentikan sewanya untuk berhemat.
Apa yang sedang dilakukan Kai sekarang, ya?
Arumi melempar tas kerjanya dan menghempaskan diri di atas sofa. Di meja televisi ada foto Arumi dan Kai saat Arumi wisuda, kira-kira lima tahun yang lalu. Waktu itu Kai baru kelas sepuluh tetapi dia sudah tampan sekali seperti seorang model profesional. Untungnya Kai memanfaatkan anugrahnya itu dengan sebaik-baiknya.
Sedangkan aku, mana mungkin aku jadi model seperti itu...
Arumi cepat-cepat menumpas pikiran negatif yang mulai menggerogotinya itu. Fisik rupawan memang milik Kai, tapi setidaknya aku punya pekerjaan yang oke, pikir Arumi.
Arumi membuka kulkas di dapur untuk mencari-cari sesuatu yang dingin. Lehernya sekering gurun dan perlu disegarkan. Dia membuka freezer di bagian atas dan mencari sebuah es krim. Minggu lalu aku membeli selusin es krim buah. Yang rasa nenas sepertinya enak dimakan panas-panas begini...
Kabin freezer itu tidak sebesar kabin di bawahnya, jadi seharusnya Arumi bisa dengan mudah menemukan es krim itu, tetapi lagi-lagi es krim itu tidak ada. Hanya ada daging dan ikan beku di situ, dan satu botol yogurt rendah lemak.
Ke mana es krim itu?
Arumi berhenti sebentar. Dia ingat betul menyimpan kacang hijau dan es krim itu di dalam kulkas, tetapi secara ajaib kedua benda itu menghilang.
Arumi mengambil botol yogurt itu dan berusaha mengenyahkan pikiran tentang es krim yang hilang itu. Apa aku salah meletakkan benda-benda itu? Tapi itu tidak mungkin... Aku menaruhnya di freezer. Dia pergi ke dapur dan mengambil sebuah gelas untuk menyalin yogurt.
Arumi membuka botol yogurt itu. Karena sudah dilapisi es, tutup botolnya agak macet, jadi Arumi harus mamakai sedikit usaha untuk membukanya. Saat dia menariknya, tanpa sengaja botol itu terguling dan menumpahkan isinya yang kental ke rak dapur.
Wah, jadi berantakan!
Arumi mencari-cari tisu dapur. Dia membuka laci bawah kompor untuk mengambil gulungan tisu, tetapi tatapannya jatuh pada sesuatu di keranjang sampah.
Dus es krim.
Arumi mengambil dus es krim itu. Dus itu belum dibuka tetapi sudah dilempar ke tempat sampah bersama seluruh isinya. Cairan lengket es krim yang sudah mencair belepotan di sekeliling dus.
Arumi terheran-heran. Kok es krim ini ada di tempat sampah?
Dia membalik kotaknya untuk mengecek tanggal kedaluwarsanya. Rasanya aku tidak pernah membeli sesuatu yang sudah mendekati kedaluwarsa... Arumi menemukan tanggal itu dan memang betul, es krim itu masih layak dimakan sampai setidaknya enam bulan ke depan.
Tapi mengapa es krim bisa ada di tempat sampah?
Arumi memejamkan mata, mencoba mengingat-ingat. Dia tidak ingat pernah membuang es krim itu. Dia yang membelinya, jadi mana mungkin dia membuang es krim itu tanpa memakannya?
Kalau begitu... siapa?
Tiba-tiba Arumi merasa takut. Siapa yang telah mengacak-acak isi kulkasku?
Dia bergegas ke kamar tidur untuk memeriksa isinya. Ini tidak mungkin. Arumi hanya tinggal seorang diri di situ dan hanya dia yang punya kuncinya. Kalaupun Kai datang, dia pasti memberitahu Arumi lebih dulu. Arumi mengamati sekeliling kamarnya untuk mencari-cari tanda bahwa apartemennya sudah kemalingan. Dia mengecek surat-surat berharga dan tabungannya yang disembunyikan di rak paling atas dalam lemari pakaian. Barang-barang penting itu masih utuh, tidak terjamah. Begitu juga dengan benda-benda lainnya di kamar.
Sepertinya tidak ada yang berubah...
Arumi duduk di meja rias dan menangkupkan kepalanya ke tangan. Jangan aneh-aneh, Arumi. Pasti kamu yang telah memakan kacang hijau itu dan tanpa sengaja membuang es krim itu! Pasti kamu kelelahan atau bosan di akhir pekan kemarin sampai-sampai lupa telah melakukannya.
Arumi menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri. Ya, sudah pasti begitu.
Saat dia mendongak, dia melihat sesuatu di cermin riasnya. Ada secarik kertas memo berperekat, yang ditempelkan agak miring di sudut cermin. Di atasnya ada sebuah kalimat, ditulis buru-buru dengan pensil alis.
'Jangan kebanyakan makan es krim dan makanan manis. Nanti gendut. Gendut = jelek.'
Arumi mundur dari cermin dengan ketakutan. Kata-kata itu bukan tulisan tangannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top