Perundungan
Kencana tidak begitu paham obrolan antara tim dokter di Singapura dengan ibunya karena mereka berbicara cepat dalam Bahasa Inggris. Dia hanya menangkap beberapa kata, seperti mystery (misteri), disappear (menghilang), dan unknown disease (penyakit yang tidak diketahui). Dari semua yang bisa dipahaminya, Kencana menyimpulkan para dokter di Singapura sama bingungnya dengan dokter-dokter di Indonesia.
Dalam penerbangan pulang, Kencana meminta Radi pamannya untuk menjelaskan padanya selagi ibunya sedang tertidur karena kelelahan.
"Jadi, menurut mereka, kelainan ini menyebabkan anggota-anggota tubuh kamu hilang perlahan-lahan," kata Radi.
Kencana tidak terkejut mendengarnya. "Terus?"
"Dari hasil pemeriksaan para dokter, mereka sepakat proses kehilangan ini berlangsung perlahan-lahan, dimulai dari ujung-ujung jari. Mereka menduga bisa saja penyebabnya mutasi gen, tapi mereka sama tidak tahunya dengan dokter-dokter lain yang sudah pernah kita temui."
Kencana tertunduk. Para dokter Singapura tak punya nama untuk kelainan ini sehingga mereka hanya menyebutnya "Disappearing Disease" (Penyakit Kasat Mata) saja.
"Kalau begitu, apa yang akan terjadi selanjutnya sama aku, om?"
Radi menelan ludah. "Sejauh ini, anggota-anggota tubuh kamu yang menghilang bukanlah yang signifikan. Para dokter tadi khawatir kalau yang lenyap berikutnya adalah organ-organ vital kamu, seperti otak dan jantung..."
Dari kursi sebelah Radi, tangis Ratih pecah. Rupanya sedari tadi wanita itu menguping.
"Itu berarti..." Kencana sudah menduga hal itu tetapi dia masih berusaha membantahnya sampai beberapa detik lalu, saat Radi membenarkan dugaan itu. Sepertinya akan berakhir begitu. "Artinya aku akan mati kan, om?"
Radi memejamkan mata dengan pedih, tidak mampu menjawab. Dari sebelahnya, tangan Ratih terjulur dan meremas telapak tangan Kencana yang hanya berjari empat. "Mama nggak akan membiarkan kamu mati, Kencana! Nggak akan!"
...
Dua hari berikutnya, tampaknya penyakit Kencana melemah. Setelah telunjuk kanannya yang hilang, selama tiga hari ke depan tidak ada tanda-tanda akan ada anggota tubuh lain yang lenyap. Ratih stres berat; dia tidak tahu bagaimana cara menyelamatkan putrinya. Setiap malam dia hanya bisa berputar-putar di tempat tidur, pikirannya berpacu menebak-nebak bagian mana lagi dari tubuh Kencana yang akan lenyap. Lalu Ratih jatuh di lantai dan bersimpuh berjam-jam, dalam air mata dan jeritan terpendam dia memohon kepada Yang Kuasa agar anaknya bisa diselamatkan.
Jawaban doa Ratih muncul pada hari Jumat minggu itu, dalam wujud yang tak dimintanya.
"Ma..." Kencana menatap bayangannya di cermin sambil menyisir rambutnya dengan tangan. "Kayaknya hari ini rambut aku digerai aja."
"Lho, kenapa?" Ratih mengambil sehelai pita biru yang cantik dari laci meja. "Diekor kuda pakai pita ini aja, Kencana. Ini Mama baru beli. Warnanya biru, kesukaan kamu."
"Nggak apa-apa, Ma." Bayangan Kencana di cermin tersenyum pada Ratih. "Digerai aja. Telinga kiri Kencana hilang."
...
Sejak telinga kirinya lenyap, bagian-bagian tubuh Kencana yang hilang menjadi semakin cepat.
Seakan marah melihat usaha Ratih mencari kesembuhan, penyakit aneh itu menyerang dengan lebih ganas dari sebelumnya, melahap rakus anggota-anggota tubuh Kencana. Satu-satunya telinga Kencana yang tersisa – telinga kanannya, tinggal setengah. Tangkup telinga bagian atasnya sudah lenyap, seperti daun yang digerogoti ulat. Sederet gigi di bagian belakang mulutnya tak lagi kelihatan seperti ditelan gusi. Di siku kanannya ada lubang sebesar koin yang setiap hari makin melebar, membuat lengan Kencana seperti putus di tengah.
Meski Kencana tahu tubuhnya lenyap secara perlahan, dia sama sekali tak merasa sakit. Setiap pagi saat menatap bayangannya di cermin, ada saja anggota tubuhnya yang tak lagi berada di tempatnya, seperti sehelai bulu mata atau sepotong kuku. Bagian-bagian tubuhnya yang lenyap tak menyisakan otot, tulang, atau daging terbuka yang mengerikan, tetapi sepenuhnya menghilang, seperti kelinci yang lenyap di dalam topi pesulap. Kencana tampak "bolong-bolong", dia merasa tubuhnya seolah berubah menjadi seperti sarang lebah, penuh lubang dan rapuh.
Jam istirahat berbunyi. Kencana mematikan ponselnya yang dipakai untuk merekam materi pelajaran di sekolah dan menyelipkannya ke dalam kotak pensil. Di telapak tangan kanannya hanya tersisa kelingking, sehingga Kencana tidak lagi bisa menulis.
Lisye dan Balqis mendekatinya. "Kencana, kita ke kantin, yuk!" ajak Lisye.
Sebetulnya hari itu ibunya membawakannya dua potong kue cokelat, tetapi Kencana tak tega menolak Lisye yang selama ini sudah membantunya di kelas. "Oke. Yuk!"
Balqis mendorong kursi roda Kencana ke luar kelas. Sekarang untuk sekedar menggerakkan kursi roda saja sulit, karena Kencana hanya bisa mengandalkan tangan kirinya, dan dia bukan seorang kidal.
Kantin yang terletak di lantai dasar itu ramai. Balqis memarkir kursi roda Kencana di sebuah meja yang kosong di sudut kantin dan memasang remnya.
"Mau pesan apa, Kencana?" tanya Lisye.
Sebetulnya Kencana sedang ingin makan batagor, tapi mengingat jumlah gigi-giginya yang tinggal separuh, sekarang dia hanya bisa menikmati makanan yang lunak. "Bubur ayam aja, Lis."
"Oke, aku pesenin, ya. Kamu tunggu aja di sini."
Lalu Lisye pergi bersama Balqis untuk mengantre di kios bubur ayam. Ada antrean lumayan panjang di kios itu. Kencana menunggu sambil mengamati suasana kantin yang gaduh. Meja-meja di kantin ditempati kelompok-kelompok tertentu, sebagian besar anak-anak sudah menemukan teman-teman yang cocok. Tidak hanya kelas sebelas dan dua belas, tetapi kelas sepuluh juga. Sisanya yang masih malu-malu untuk berteman atau memang tidak suka bergaul, memilih untuk duduk di pembatas beton panjang yang memisahkan teras kantin dan lapangan belakang.
Kencana bersyukur karena dia mengenal Lisye dan Balqis. Untung saja aku memberanikan diri berkenalan dengan mereka berdua di hari pertama itu...
Beberapa teman sekelas Kencana yang melihatnya menyapanya dengan ramah. Kencana membalas dengan melambai riang. Dia senang karena teman-teman sekelasnya tidak memperlakukannya dengan berbeda karena kelainan ini, meski mereka juga tidak jadi lebih bersahabat. Mereka percaya Kencana kena kanker tulang dan menerima penjelasan itu mentah-mentah, padahal kalau mereka mengorek lebih jauh, gejala-gejala kanker tulang sama sekali tidak mirip dengan apa yang dialami Kencana. Namun lagi-lagi sepertinya kanker sudah menjadi sejenis penyakit yang vonisnya bisa diterima begitu saja tanpa banyak tanya, seperti tamu kehormatan yang selalu mendapat tempat duduk terdepan dalam undangan.
Karena Lisye dan Balqis masih mengantre, Kencana mulai mencari-cari Senja.
Dia merasa malu setiap kali melakukan ini. Rasanya seperti menguntit Senja di tengah keramaian. Sejak Senja menolongnya di dekat gerbang masuk waktu itu, Kencana berharap bisa bertemu pemuda itu lagi. Namun Kencana tak pernah lagi melihat Senja datang terlambat. Tapi... Hei, itu kan hal yang bagus, Kencana mengingatkan dirinya sendiri. Kalau Senja tak pernah terlambat lagi, artinya dia tidak akan dihukum. Kencana tak mau Senja dihukum. Walaupun hukuman untuk murid-murid yang terlambat hanya sekedar lari keliling lapangan atau bersih-bersih toilet, tetap saja Kencana tidak mau Senja melakukan itu. Mungkin anak perempuan lain menganggap pemuda itu biasa saja, tetapi bagi Kencana, Senja itu pas. Tidak terlalu cool, tapi tak juga urakan. Tidak kurang ajar, tapi tak juga terlampau alim. Seakan-akan Tuhan sengaja mengatur segala sesuatu yang ada dalam diri Senja agar tidak berlebihan ataupun berkekurangan, menghasilkan sesosok pemuda yang pas.
Hari ini Senja juga tak nampak di kantin. Keberadaan pemuda itu seperti bintang jatuh, hanya muncul sesekali dalam semesta hidup Kencana, tidak peduli seberapa sering gadis itu mencari-cari. Acapkali Kencana mengira dia sedang bermimpi. Berangan-angan bahwa Senja hanyalah obyek rekaan imajinasinya semata, bahwa pemuda itu tak nyata, tak lebih dari segugus ide dalam kepala. Namun ada saat ketika Senja tampak, kemunculan seringkali tiba-tiba dan tak disangka-sangka, seolah-olah ingin menyatakan pada Kencana: 'Inilah aku yang kau panggil Senja. Aku di sini... betul-betul ada, bukan sekedar khayalanmu saja.' Di saat-saat seperti itu, kehadiran Senja selalu menggetarkan hati Kencana.
"Woi!"
Seseorang berteriak keras di belakang telinga Kencana. Gadis itu terlonjak kaget.
"Ngapain pake selimut ke sekolah? Kayak korban banjir aja lo!"
Seorang gadis senior kelas dua belas menyentakkan selimut yang dipakai menutupi kaki Kencana hingga copot. Kencana tidak tahu siapa nama gadis itu. Kemudian kakak kelas itu melemparkan selimut Kencana pada teman-temannya, seorang gadis kelas dua belas lain dan dua orang senior laki-laki.
"Balikin selimut aku!"
"Coba ambil kalau bisa."
"Jangan gitu, Nad..." Teman perempuannya pura-pura menegur. "Kasihan, lho. Lihat tuh... kakinya buntung. Jari-jarinya juga cacat. Jangan kelewatan, lo!"
Cewek bernama Nad itu cemberut dan mulai terisak dibuat-buat. Teman-temannya ikut-ikutan. Kemudian mereka menertawakan Kencana sambil menunjuk-nunjuknya. Mereka mengolok-oloknya dengan sebutan Tung, singkatan dari Buntung.
"Kencana!" Lisye berlari menghampiri Kencana. Balqis mengikuti tergopoh-gopoh sambil memegang nampan dengan tiga mangkuk makanan. "Kamu diapain?"
"Kak Nadine, Kak Farrah, jangan jahat gitu, dong!" protes Balqis dengan berani.
"Wah, ternyata si cacat ini punya pembantu pribadi," cibir Nadine sambil melirik Lisye dan Balqis dengan keji. "Keren juga, anak cacat kayak lo bisa bawa pembokat ke sekolah."
"Udah diizinin datang telat, nggak ikut kelas Penjaskes," timpal Farrah. "Nggak usah ikut upacara, nggak usah piket, wih... enak banget hidup lo!"
"Hei!"
Ada yang berseru lantang. Kencana mengangkat wajahnya pelan-pelan.
Dia melihat Senja.
'Aku di sini... betul-betul ada, bukan sekedar khayalanmu saja...'
Pemuda itu berdiri di seberang meja dan menunjuk Nadine. "Kalian sedang apa?"
Nadine pura-pura terperangah. "Wah, lo juga bawa satpam pribadi, Tung?"
Senja maju dengan berani. Dia tidak menoleh pada Kencana, tapi lurus-lurus menatap Nadine, menantang gadis itu. "Jangan ganggu dia."
Farrah berdecak marah. "Lo sebagai adik kelas nggak usah nyolot! Jangan ikut campur!"
"Kak Farrah dan Kak Nadine sebagai kakak kelas juga seharusnya jangan nge-bully junior," balas Senja. Raut wajahnya tenang, tetapi nada suaranya tegas. "Masa MOS udah lewat!"
"Kita juga emang nggak lagi ngeplonco, kok!" Nadine tersenyum masam. "Gue cuma mau nganterin ini, bubur ayam pesanan si Buntung..."
Nadine mengangkat mangkuk bubur ayam yang dibawa Balqis dan menumpahkannya di paha Kencana. Gadis itu memekik karena tumpahan bubur yang panas.
Senja melompat ke arah Nadine sambil mengacungkan tinju, tetapi dua orang senior laki-laki yang bersama Nadine menangkap kerah kemejanya dan memiting ke atas meja kantin. Lisye dan Balqis menjerit-jerit. Nadine dan Farrah terbahak-bahak menikmati pertunjukan itu. Anak-anak yang lain bergerombol di sekitar meja untuk menonton.
"Hei, ada apa ini?"
Pak Singgih sang guru olahraga datang mendekat. Anak-anak cepat-cepat memisahkan diri karena takut dihukum. Kedua senior laki-laki itu melepaskan Senja.
"Enggak ada apa-apa, pak," sahut Nadine enteng. "Ini, ada bubur tumpah."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top