Pertemuan Pertama
Hal yang paling Ruth sukai tentang Batavia adalah kebebasan barunya. Meski di sini perempuan belum betul-betul setara dengan laki-laki, tetapi mereka tidak dikekang. Ruth mendapati gadis-gadis muda bebas berjalan-jalan tanpa ditemani lelaki, banyak yang membawa buku dan membicarakan hal-hal berat. Mereka melakukan semuanya itu tanpa ada yang mencibiri.
Karena itu, Ruth ingin melanjutkan sekolahnya. Dia boleh-boleh saja jadi gadis paling terpelajar di kampungnya, tetapi tidak di Batavia. Ada sekolah-sekolah khusus perempuan, dan mereka diajari macam-macam hal sama dengan sekolah umum. Ruth ingin masuk ke sekolah itu.
Namun Ruth dan Ella harus memutar otak dulu untuk mencari uang.
Sebenarnya mereka bisa mendapatkan pekerjaan seperti sekretaris dan sejenisnya karena mereka cerdas. Tetapi pekerjaan-pekerjaan kantoran seperti itu memerlukan ijazah. Ruth belum menamatkan MULO-nya, dan dia tidak membawa ijazah Volkschool-nya. Sedangkan Ella sama sekali belum pernah bersekolah. Jadi mereka hanya bisa melamar pekerjaan-pekerjaan kecil.
Untunglah ada sebuah toko jahit yang bersedia menerima mereka. Toko itu milik seorang wanita Indo keturunan Jerman bernama Schneider. Frau Schneider (Frau adalah sebutan perempuan dalam bahasa Jerman) lancar berbahasa Belanda dan kaget sekali ketika tahu Ruth dan Ella juga mahir berbahasa Belanda. Tokonya punya banyak pelanggan dari kalangan menengah ke atas, seperti orang-orang Indo dan keluarga-keluarga Belanda.
Ruth sendiri sebetulnya tidak terlalu andal memakai mesin jahit. Ibunya punya mesin jahit, tetapi karena Ruth tidak begitu tertarik dengan "urusan-urusan perempuan", dia jarang memakai mesin itu.
"Bagaimana kalau Frau Schneider tahu kalau aku nggak bisa pakai mesin jahit?" Ruth bertanya pada Ella saat mereka melamar ke toko itu. "Bisa-bisa aku gagal diterima!"
"Wah, jangan bodoh begitu..." kata Ella. "Aku bisa memakai mesin jahit. Di rumah para pelayan, ada satu mesin yang sering kami pakai ramai-ramai untuk menambal gaun yang sobek atau membuat celemek. Kau tenang saja, aku akan mengajarimu. Bilang saja pada Frau Schneider kau bisa menjahit!"
Akhirnya dengan sedikit kebohongan, Ruth dan Ella diterima bekerja di toko jahit Schneider.
Menjahit pakaian ternyata tidak segampang yang Ruth kira. Awalnya, dia selalu menempel pada Ella karena takut ketahuan Frau Schneider. Sembari itu, Ruth belajar bagaimana cara membuat pola, menggunting bahan, dan memasang-masangkan lembaran kain. Dia juga sering bertanya pada Dewi dan Ambar, dua wanita lain yang sudah lebih dulu bekerja di toko itu.
Suatu hari, Frau Schneider datang ke toko sambil membawa tiga majalah. Dia memanggil keempat wanita di tokonya untuk berkumpul di meja lebar yang dipakai untuk menggambar pola.
"Coba lihat. Ini baru datang dari Paris..." Frau Schneider menunjuk sebuah majalah. "Ini gaun model terbaru yang sedang tren di Eropa. Pasti tak lama lagi para pelanggan akan minta dibuatkan yang seperti ini."
Ruth terkagum-kagum melihat gambar-gambar di majalah-majalah itu.
Frau Schneider mengeluarkan setumpuk kain sutra berbordir yang indah. "Kita akan membuat satu gaun dengan model seperti ini untuk dipajang di etalase. Saya sudah menyalin pola bajunya. Ruth, kamu yang akan memotong kainnya, ya!"
...
Ruth gugup karena mendapat tugas penting ini. Dan parahnya, dia melakukan kesalahan.
Pola salinan dari Frau Schneider ditulis dalam Bahasa Prancis. Wanita pemilik toko jahit itu memang sengaja meminta Ruth, karena dia tahu Ruth paham sedikit Bahasa Prancis. Tetapi saking gugupnya, Ruth malah salah membaca pola. Dia membuat guntingan yang keliru akibatnya bahannya jadi tidak cukup.
Mustahil merahasiakan ini. Sutra itu diimpor dari Prancis, bahannya kelas satu, dan sudah pasti mahal. Kalau sampai Frau Schneider tahu, Ruth bisa dipecat.
Ruth memanggil Ella dan menceritakan masalahnya.
"Tidak apa-apa," Ella menenangkan Ruth yang menangis panik. "Kita bisa mengubah polanya sedikit. Coba lihat, kalau bagian yang ini agak dikurangi, kainnya akan cukup, kan?"
Ruth mengamati petunjuk dari Ella itu. "Tapi ini berarti... gaunnya hanya akan semata kaki."
"Batavia ini kan panas," kata Ella. "Memakai gaun-gaun panjang pasti bikin gerah. Mengapa kita tidak buat gaun yang sedikit lebih pendek? Lagipula, bukankah kau memang tak suka gaun panjang?"
Benar juga, pikir Ruth. Akhirnya dia menuruti Ella dan menyelesaikan pola gaun itu. Sesuai tebakan Ella, gaun itu tidak mirip dengan yang ada di pola, tetapi pendek di bagian bawah.
Setelah jadi, Frau Schneider mengamati gaun itu. "Kamu sengaja memendekkannya ya, Ruth?"
"Betul, Frau. Sekarang musim hujan. Supaya tidak cepat basah, karena sutra ini mahal."
Frau Schneider menimbang-nimbang sejenak. Lalu dia tersenyum kecil. "Mungkin kamu benar. Baiklah, kita pajang saja gaun ini di etalase."
Ruth mengedip pada Ella. Sahabatnya itu baru saja menyelamatkannya lagi.
...
Ruth terus mengasah kemampuan menjahitnya. Ella bersedia patungan untuk membeli sebuah mesin jahit tua, agar Ruth bisa berlatih. Mereka menaruh mesin jahit itu di sudut kamar kos mereka yang sempit.
Rasanya takdir memang sengaja mempertemukan Ruth dengan Ella. Dia bersyukur sekali mengenal gadis itu. Awalnya Ruth mengira Ella sama persis dengannya. Namun setelah bersahabat karib dengannya, Ruth menyadari bahwa sifat mereka berbeda. Ella selalu tenang sementara Ruth cenderung cepat panik. Ruth selalu kukuh membela pendapatnya, tetapi Ella mau mengubah pandangannya jika dia terbukti salah. Ambar menyebut Ruth sebagai gadis yang mendengarkan hatinya, sementara Ella menggunakan kepalanya.
Meski begitu, Ruth merasa justru perbedaan-perbedaan itulah yang membuat mereka karib. Mereka saling melengkapi. Keduanya sudah punya reputasi di sekitar toko jahit sebagai duet gadis-gadis cerdas yang bisa diandalkan. Di mana ada Ruth, di situ ada Ella, begitupun sebaliknya.
Sore itu, toko sedang sepi. Ruth sedang mempelajari bahasa Prancis ketika bel di pintu berbunyi.
Seorang pria muda masuk ke dalam toko.
"Selamat siang," sapa Ruth. "Ada yang bisa saya bantu?"
Pria muda itu tampak kebingungan. Dia seorang pribumi, sama seperti Ruth. Tubuhnya tinggi dan termasuk kurus, tetapi dia berdiri dengan tegap seperti seorang laki-laki terhormat. Bentuk mukanya agak memanjang, dengan rahang tegas dan hidung yang tinggi. Usianya sekitar dua puluh tahun.
Pria itu celingak-celinguk. "Apa ada laki-laki di sini?"
"Laki-laki? Tidak ada, kami semua perempuan di sini. Tapi kami juga bisa membuat baju laki-laki. Apa Tuan perlu sesuatu?"
Pria itu meringis dan menarik napas dalam-dalam. Dia mengisyaratkan Ruth untuk mencondongkan tubuh ke arahnya. Ruth melakukannya, dan pria itu berbisik pelan sekali.
"Tolong saya. Celana saya robek..."
Ruth hampir tertawa mendengar itu.
Melihat reaksi Ruth, pria itu jadi tambah salah tingkah. "Maaf, bukannya saya tidak sopan..." Menyebut hal-hal pribadi pada lawan jenis memang tergolong memalukan pada masa hidup Ruth. "Tadi saya melompat turun dari kereta, tetapi tangganya patah. Saya terperosok dan... begitulah. Ini satu-satunya toko jahit yang ada di daerah ini. Saya harus bergegas pergi ke suatu tempat, jadi jika Mafrauw bersedia menolong..."
Ruth mengangguk. "Tentu. Mari saya antarkan ke kamar ganti..."
Sambil membimbing pria itu ke kamar ganti di bagian belakang, Ruth meminta ada Ella mengikutinya belakang. Pria itu masuk ke kamar ganti dan melepas celananya. Ella menyampirkan sebuah selimut untuk menutupi tubuh pria itu selama celananya direparasi.
Begitu Ruth memeriksa celana itu, barulah dia paham mengapa pria itu gugup sekali.
Celana itu robek di bagian belakang.
...
Selang beberapa hari, pria asing itu kembali lagi. Kali ini dia datang dengan senyum ceria. Celananya sudah tidak robek lagi. Kebetulan waktu itu Ruth sedang menjaga konter pita.
"Selamat datang kembali," sapa Ruth. "Bagaimana pertemuan Tuan waktu itu?"
"Berjalan lancar berkat bantuan Anda dan teman Anda." Pria itu nyengir malu-malu. "Saya minta maaf karena terburu-buru waktu itu dan sudah bersikap tidak sopan. Saya belum tahu nama Anda. Saya Matari. Matari Prakasa."
"Saya Ruth. Ruth saja."
Ruth menjulurkan tangannya dan pria itu mengecupnya. Selang beberapa detik, Matari masih mengenggam tangan Ruth dan belum melepaskannya. Seorang gadis tak bisa meminta pria melepas tangannya lebih dulu saat kenalan seperti itu karena dianggap lancang.
Akhirnya Matari menyadari kesalahannya.
"Wah... Maafkan saya. Saya tidak bermaksud kurang ajar menahan tangan Anda..."
Ruth tersenyum. Pria ini sopan sekali! Dan tampangnya lumayan juga. "Ada yang bisa saya bantu, Tuan Matari?"
"Oh, Matari saja," kata Matari cepat-cepat. " Kita seumuran. Mak-maksud saya..." Matari tergagap-gagap lagi. Ruth tertawa kecil. "Maaf. Saya sudah lancang menebak-nebak usia Anda..."
Reaksi Matari yang canggung bikin Ruth geli. Belum pernah dia melihat ada laki-laki yang canggung seperti ini. Rata-rata lelaki yang dikenal Ruth selalu arogan dan sok berkuasa, seperti Hermann dan ayahnya.
"Omong-omong, hari ini saya datang untuk memberikan ini..." Matari mengeluarkan sesuatu dari dalam tas kain yang ditentengnya. "Saya berterima kasih atas bantuan Anda waktu itu."
Itu adalah sekotak cokelat. Dan bukan sembarang cokelat, melainkan jenis cokelat impor yang mahal. Biasanya hanya orang-orang kaya yang makan cokelat merk itu.
"Wah, saya tidak bisa menerimanya. Hadiah ini terlalu mahal."
"Tolong. Saya akan malu sekali kalau Anda menolak hadiah ini."
Ruth menatap Matari dan mempelajari ekspresinya. Pria itu tampak lugu dan tulus. Belum pernah ada laki-laki yang memberi Ruth hadiah, jadi sebetulnya dia girang sekali. Tetapi Ruth menahan diri, dia tak mau kelihatan terlalu senang di depan Matari.
"Baiklah kalau Anda memaksa."
Matari tersenyum lega. "Terima kasih banyak."
Saat melihat senyum Matari, Ruth merasakan sesuatu yang menyenangkan berdenyut di dadanya.
...
Sejak menerima cokelat itu, Ruth tak bisa berhenti memikirkan Matari.
Pria itu seolah menjadi pusat hidupnya. Senyum pria itu dan tingkahnya yang sopan terus terbayang-bayang di benak Ruth. Dia belum pernah merasa seperti ini pada seorang pria sebelumnya. Saking seringnya memikirkan Matari, Ruth sampai sering melakukan kesalahan-kesalahan di tempat kerja.
"Kamu kenapa, sih?" Ella menanyainya ketika Ruth salah mengatur pita-pita di rak untuk kesekian kalinya. "Lagi nggak enak badan?"
"Tidak kok. Hanya saja..."
"Ayo, cerita dong padaku! Aku kan sahabatmu..."
Ruth bercerita tentang Matari. Tentang apa yang dirasakannya pada pria itu.
Mendengar cerita Ruth, Ella senyum-senyum. "Kalau dia datang lagi, kamu harus mengajaknya jalan-jalan!"
"Nggak mungkin aku mengajak laki-laki duluan seperti itu."
"Lho, kan kamu sendiri yang bilang laki-laki dan perempuan itu setara. Jadi, kenapa harus menunggu dia mengajakmu lebih dulu? Lagipula, kamu nggak perlu terang-terangan mengatakannya. Begini saja, coba tanyakan padanya apa jadwalnya kosong hari Sabtu ini."
Perasaan Ruth mengatakan dia sebaiknya menuruti nasihat Ella itu. Ruth berdoa semoga Matari mampir lagi ke toko jahit mereka. Dia akan melakukan persis seperti apa yang dikatakan Ella.
Jadi ketika Matari muncul lagi di toko pada hari Kamis sore, Ruth memberanikan diri bertanya pada pria itu apa yang akan dilakukannya hari Sabtu nanti.
Matari kaget karena ditanyai seperti itu. Dia tergagap-gagap semakin parah. Ruth malah tambah gemas melihat tingkahnya.
"Ya, kurasa jadwalku kosong..." Matari terkekeh gugup. Dia membetulkan topinya yang sempurna dan lurus-lurus menatap Ruth. "Maukah kamu menonton teater bersamaku hari Sabtu ini, Ruth?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top