Pengorbanan

[Soundrack: Mirai e - Kiroro]

https://youtu.be/3oO_YSBLbYg


Banyak kepercayaan yang menggunakan api sebagai simbol daya dan semangat. Ilmu kedokteran Timur misalnya, memetaforakan api dan air sebagai siklus energi dalam tubuh manusia. Api dianggap sebagai energi dinamis yang penuh tenaga, sementara air melambangkan tandingannya yang lebih lembut dan menenangkan. Dalam literatur, api juga sering dipakai sebagai lambang semangat. Jika seseorang sedang bersemangat, kita bisa menggambarkannya dengan istilah "sedang berapi-api".

Api memang tepat dipakai untuk melambangkan daya yang sangat kuat dan dinamis. Itu karena, jika api dibiarkan menyala, ia akan terus membakar sampai dipertemukan dengan air, penangkalnya.

Begitu pula dengan api yang sedang melahap rumah Dalu.

Seperti monster jingga yang kelaparan, api itu melahap teras depan rumah Dalu. Hanya dalam hitungan menit, api itu sudah membumbung ke angkasa

"Kebakaran! Kebakaran!"

Para tetangga berhamburan di jalan. Mereka mengguncang pagar rumah Dalu dan berteriak-teriak memanggil nama ibunya.

'MA!' Dalu mengeong keras-keras. Dia ingin menolong ibu dan kakaknya tapi dia tidak bisa melakukan banyak dengan tubuh kucing ini. Tuhan, tolong! Jangan sampai terjadi apa-apa pada keluargaku! Dia melompat turun ke halaman belakang dan mengintip ke dalam rumah. 'MAMA! KAKAK!'

Mimi menyusul Dalu. 'Kakak sama ibu kamu ke mana? Mereka harus cepat-cepat kabur!'

'Mereka ada di dalam! Kenapa mereka belum bangun juga?'

'Kita harus memberitahu para manusia itu!'

Memberitahu para manusia... Cepat-cepat Dalu berputar ke depan, tempat tetangga-tetangga berkerumun. Dia harus melompat kembali ke pagar pembatas karena panas yang menguar dari api itu begitu menyengat.

Beberapa pria melompati pagar dan menjebol gemboknya sehingga para tetangga yang lain bisa masuk ke halaman. Mereka berjibaku memadamkan api yang semakin ganas itu dengan peralatan seadanya. Ember-ember berisi air bermunculan. Selang-selang yang biasa dipakai menyiram tanaman kini menyemprotkan air untuk memadamkan kobaran.

"Awas!" Seorang bapak-bapak berteriak. "Kabel listriknya!"

BLAAAR!

Bunga api memercik dari kabel listrik di dekat rumah. Sekonyong-konyong, semua lampu di gang itu padam. Aliran listrik baru saja terputus.

Para tetangga tambah kebingungan untuk membangunkan ibu dan kakak Dalu. Mereka masih memanggil-manggil, tetapi masih belum ada jawaban.

"Wah, gimana nih?" Ibu Sumi, tetangga mereka, kelihatan panik. "Jendela-jendelanya terlalu sempit untuk dilewati. Mereka masih ada di dalam!"

Para manusia tampak takut untuk masuk ke halaman rumah karena api yang berkobar itu.

Aku harus membantu! Dalu melompat turun. Dia mengeong keras-keras pada Pak Bayu, si ketua RT. Pak Bayu sedang menelepon pemadam kebakaran memakai ponselnya yang besar dan memiliki tali. Pada masa itu, bentuk ponsel memang belum seringkas sekarang dan tidak dimiliki semua orang. Kebetulan sebagai salah satu yang paling berada di gang itu, Pak Bayu punya ponsel.

Pak Bayu menghiraukannya. Dalu mengguratkan cakarnya pada tumit pria itu.

"Aduh, kucing sialan!"

Pak Bayu berkelit dan menendang Dalu, tetapi dia menghindar dan terus mengeong. 'Kalian harus memutar lewat belakang!'

"Mau apa kamu, pus? Orang lagi gawat begini!"

'Lewat belakang!' Dalu menjerit. 'Jebol pintu belakang!'

"Pergi sana!"

Tiba-tiba Mimi melompat dari tembok dan menyambar tali ponsel Pak Bayu sampai terlepas. 'Aku akan pancing dia ke belakang!' katanya. Kemudian Mimi berlari sambil menggigit tali ponsel Pak Bayu, benda itu terantuk-antuk di tanah.

"Wah! Telepon genggam saya! Dibawa lari kucing!"

Pak Bayu tidak tinggal diam. Harga ponsel cukup mahal, mana mungkin dia membiarkan ponselnya digondol kucing seperti itu? Maka dia memberanikan diri menerobos api yang sudah semakin ganas di teras depan, menuju ke halaman belakang.

Dalu menyusulnya.

Di belakang, Dalu melihat Mimi sedang duduk di teras. Ponsel Pak Bayu terletak di dekatnya.

Pak Bayu sampai di halaman belakang. "Wah! Bu Kuncoro!"

"Tolong!" Ibu Dalu dan kakaknya sudah bangun. Mereka berdesakan di pintu dapur. Kakak Dalu memegang sebuah koper. Dalu tahu itu adalah koper tempat ibunya menyimpan dokumen-dokumen penting. "Kami terjebak! Pintu gesernya macet!"

Pak Bayu mengisyaratkan ibu Dalu dan kakaknya untuk mundur. Dia mengambil sebuah batu besar dan melemparkannya ke pintu geser yang terbuat dari kaca itu.

PRAAANG!

Pintu kaca itu pecah berkeping-keping. Ibu Dalu dan kakaknya melewati birai pintu yang sudah bolong itu dan pergi ke teras belakang.

Kakak Dalu melihatnya dan Mimi. "Wah, kucing-kucing ini!"

"Kita harus segera menyelamatkan diri," kata Pak Bayu, mengacuhkan komentar kakak Dalu. Dia memungut ponselnya yang tadi digondol Mimi. "Api di bagian depan semakin besar!"

Ibu Dalu mengangguk setuju. "Kalau begitu, ayo!"

Mereka bertiga bergegas menuju ke depan, tetapi terhenti di tengah jalan.

Api sudah melahap sampai ke ruang keluarga di bagian tengah rumah. Pak Bayu, ibu Dalu, dan kakaknya saling pandang ketakutan. Atap rumah di bagian itu sudah sangat miring karena dihajar api, sementara dinding luar rumah kini berubah kehitaman karena hangus terbakar.

BRAAAAAK!

Tiba-tiba atap itu roboh ke tanah. Mimi melompat kaget, Dalu merapat ke dinding. Pak Bayu dan kakak Dalu berhasil lewat di jalan sempit itu tepat sebelum atap ambruk, tetapi ibunya terjengkang jatuh.

'MAMA!'

Ibu Dalu terbatuk-batuk. Asap mengepul dari reruntuhan atap, menambah sesak udara yang sudah pengap dan panas itu.

"Ma!" Kakak Dalu berteriak. "Mama nggak apa-apa?"

Ibu Dalu berbalik dan tengkurap. Puing-puing beton, kayu dan kaca terserak dan memblokir jalan sempit di samping rumah itu. Api terus menjalar, kini sibuk melumat bagian kamar.

"Mama nggak apa-apa... Cuma ini... Mama nggak bisa lewat."

'Dalu!' Mimi melompat naik ke tembok pembatas. 'Ibu kamu harus memanjat tembok ini!'

Satu-satunya jalan menuju halaman depan sudah tertutup reruntuhan sementara api semakin membesar. Tidak ada cara lain untuk menyelamatkan diri selain memanjat tembok pembatas itu dan pindah ke rumah sebelah.

"Mama akan lewat sebelah," kata ibu Dalu, seakan mendengar usul Mimi. "Tunggu Mama, ya!"

"Oke, Ma!" sahut kakak Dalu. "Aku bakal jemput Mama dari sebelah!"

"Sabar ya, bu!" kata Pak Bayu. "Sebentar lagi pemadam kebakarannya akan tiba!"

Ibu Dalu mundur ke daerah yang belum tersulut api. Tembok pembatas itu cukup tinggi dan dia tak mungkin memanjatnya begitu saja. Pohon jambu di sudut itu terlalu ringkih untuk dipanjat manusia.

Dalu mencari-cari benda yang bisa dijadikan pijakan untuk ibunya.

Di bawah pohon jambu, ada beberapa pot batu yang belum dipakai. Pot-pot itu cukup besar dan bisa dipakai ibunya untuk berpijak.

'Ma! Di situ!' Dalu mengeong memberitahu ibunya. 'Pakai pot-pot itu, Ma!'

Ibu Dalu mencoba menggapai puncak tembok pembatas tapi tak cukup tinggi. Dia melompat, mengaitkan tangannya ke tepian tembok dan menarik tubuhnya sendiri, tetapi tergelincir jatuh karena tangannya licin berkeringat.

'Ma! Pakai pot, Ma! PAKAI POT!'

Ibunya tidak mendengarkan Dalu. Dari pinggir tembok, Mimi juga mengeong untuk memberitahu ibu Dalu, tetapi wanita itu tidak paham juga. Dalu mengangkat cakarnya. Maaf sekali, Ma. Sepertinya ini satu-satunya cara...

Dalu menyabetkan cakarnya ke betis belakang ibunya.

"Aduh!"

Wanita itu meringis. Dalu sengaja berdiri di depan pot-pot itu agar ibunya melihatnya.

"Kucing ini! Kenapa kamu mencakar saya?'

'Ini, Ma!' Dalu menggerak-gerakkan ekornya ke arah pot-pot itu. 'Pakai pot!'

Tatapan ibu Dalu berpindah ke pot-pot itu. Mendadak paham apa yang harus dilakukannya, wanita bangkit berdiri dan berlari ke arah pot-pot itu untuk mengambilnya. Dia mencoba mengangkat satu pot tetapi agak keberatan. Pot itu memang besar dan berat, biasanya Dalu yang mendapat tugas memindahkannya.

'Ayo, Ma!' Dalu mengeong menyemangati ibunya. 'Mama pasti bisa!'

Ada bunyi berderak lain yang muncul dari rumah, kali ini lebih menggelegar dari sebelumnya. Atap di atas kamar baru saja rontok dilumat api. Dalu sadar api itu sedang bergerak semakin cepat ke belakang, dia bisa merasakan suhu yang meningkat drastis dan rasa panas yang kian menggila.

Ibu Dalu membalik pot itu dan naik ke atasnya. Lewat dahan pohon jambu, Dalu naik ke atas tembok pembatas dan menghampiri tangan ibunya.

'Ayo, Ma! Naik! Naik ke sini!'

Pot itu membuat posisi ibu Dalu setengah meter lebih tinggi. Wanita itu berjinjit, lalu mengaitkan kedua sikunya ke atas tembok untuk naik.

"Masih belum cukup tinggi..."

'Nggak! Mama pasti bisa! Tinggal sedikit lagi!'

Dalu meletakkan kedua cakar depannya di punggung tangan ibunya. Punggung tangan itu basah oleh keringat dan tergores-gores. 'Mama harus bisa!' Dalu terus menyemangati ibunya. Dia merasakan pengangan ibunya di puncak pagar itu sedikit mengendur. 'Ini Dalu lagi menolong Mama. Ayo, Ma!'

Tiba-tiba saja tatapan Dalu dan ibunya bertemu. Kedua mata ibunya membesar, sepertinya dia baru melihat kucing hitam itu dengan jelas sekarang. Dari pandangan yang saling berserobok itulah sesuatu terbit – asa untuk hidup, semangat untuk berjuang, hasrat untuk bertahan. Dan bersamaan dengan perasaan itu pula, tekad ibu Dalu terbit. Wanita itu berteriak keras-keras dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk menarik dirinya sendiri melewati pagar pembatas yang tinggi itu.

Kobaran api bertambah hebat, seolah-olah marah melihat usaha ibu Dalu untuk melarikan diri. Bongkahan-bongkahan besar tembok hancur berserakan tepat di punggung ibu Dalu, menghembuskan asap yang menyesakkan.

Separo tubuh ibu Dalu sudah terangkat. Wanita itu terbatuk-batuk.

Dalu terus menyemangati. 'Sedikit lagi!'

BRAAAK!

Sesuatu berderak lagi dan tubuh ibu Dalu merosot jatuh. Mimi memekik kaget. 'Pot batunya pecah!'

Dia melompat turun. Ibunya jatuh di atas pot batu yang hancur itu, tangannya lecet-lecet, wajahnya tergores-gores. Dia berteriak kesakitan sambil memegangi kaki kanannya.

Mimi menunduk dari puncak tembok. 'Kaki ibu kamu patah!'

Kengerian menyergap Dalu, lebih menyesakkan dari asap dan debu. Tidak, tidak. Dia melompat ke arah paha ibunya. 'Ayo, Ma! Bangkit lagi!'

Ibu Dalu menatapnya sambil menangis menahan sakit. "Kamu ngapain masih di sini, pus?"

'Dalu mau menolong Mama!'

"Kamu harus pergi dari sini! Kamu bisa terbakar!"

'Nggak! Nggak! Dalu nggak mau ninggalin Mama!'

Ibu Dalu mengkertakan gigi dan memutar tubuhnya dalam posisi berlutut. Sekonyong-konyong Dalu merasakan tangan ibunya yang terluka memeluk perutnya.

Apa... Kenapa ini?

Ibu Dalu sedang mengangkat tubuh kucingnya.

'Tunggu, Ma! Mama ngapain? Mama harus bangkit dan memanjat tembok itu!'

Dalu mencoba melepaskan diri tetapi tangan ibunya terasa kuat dan mantap. Wanita itu mengangkatnya tinggi-tinggi dan mendekatkan Dalu ke puncak tembok.

"Lompat!" kata ibunya pada Dalu. "Kamu harus lari, pus!"

'Tapi, tapi...' Dalu tak mau pergi. Dia tidak percaya ini, ibunya malah memilih menyelamatkannya ketimbang dirinya sendiri. Dalu ngotot untuk tetap tinggal, dia mencoba melompat balik ke bawah tetapi tangan ibu Dalu mendorongnya ke puncak tembok dan mencegahnya untuk kembali.

BLAAAAR!

Ruang makan baru saja lebur oleh api. Ibu Dalu memekik, kesakitan akibat terjangan hawa panas itu. Dalu ingin turun tetapi tangan ibunya menahannya agar tetap di puncak tembok. Wanita itu meringis. Dia menengadah pada Dalu, wajahnya berantakan dan penuh luka, api besar yang menggila itu terpantul di kedua bola matanya yang letih dan tua.

''Lari..." Ibunya merintih dan tersenyum samar pada Dalu. "Selamatkan diri kamu..."

Meongan merana Dalu teredam oleh deru yang memekakkan telinga saat api membuncah dan meledakkan dapur tepat di belakang punggung ibunya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top