Lenyap

[Soundrack: Yes You Do - Maureen Kelly]

https://youtu.be/VnuHI7OC2MI

Banyak hal ajaib yang terjadi pada tengah malam.

Dalam dongeng-dongeng, biasanya kekuatan sihir akan punah pada pukul dua belas malam. Cinderella kehilangan kesempatan berdansa lebih lama dengan sang pangeran karena sihir yang memolesnya luruh pada tengah malam. Dalam novel Midnight's Children karya penulis Salman Rushdie, anak-anak yang lahir antara pukul dua belas malam hingga satu dini hari dipercaya memiliki kekuatan magis.

Kencana masih menyimpan harapan bahwa dirinya akan sembuh. Kalaupun bukan tengah malam, setidaknya pada hari-hari yang mendatang. Di lubuk hatinya terpendam hasrat untuk bertemu kembali dengan Senja dan mengenal pemuda itu lebih jauh.

Namun tepat pukul dua belas malam itu, justru bukan keajaiban yang terjadi.

Kencana terbangun dengan rasa sakit yang menusuk-nusuk di perutnya. Kesakitan yang identik dirasakannya saat satu ginjalnya dilenyapkan. Ratih terbangun dan cepat-cepat memanggil para perawat. Dokter yang bertugas jaga di UGD malam itu segera memerintahkan untuk dilakukan CT Scan.

Hasilnya, empat puluh senti usus halus Kencana hilang saat gadis itu terlelap.

Para dokter masih tidak bisa melakukan apa-apa. Operasi bukanlah pilihan, karena mereka khawatir tindakan itu malah akan memperparah kondisi Kencana. Gadis itu hanya diberikan pil penahan sakit dan dikirim kembali ke kamar.

Kencana berbaring di tempat tidur dan berjuang untuk tidak menjerit-jerit. Perutnya terasa seperti disayat-sayat. Ratih berdoa di sampingnya. Sambil merintih, Kencana juga berdoa dalam hati. Tuhan, tolong sembuhkan aku. Dia merasa kecewa pada Tuhan. Selama ini aku sudah menjadi anak yang baik. Aku tidak pernah menyakiti hati Mama. Aku anak yang penurut. Tapi mengapa aku dicobai seperti ini?

Setelah bergumul selama satu jam, Kencana jatuh tertidur karena kelelahan. Dalam mimpi, dia kembali bertemu dengan Senja. Pemuda itu sedang menunggunya.

'Aku pikir kamu nggak akan ke sekolah lagi,' kata Senja.

'Sepertinya aku belum bisa bersekolah,' sahut Kencana. Suaranya terdengar mengambang dan ringan, bukan seperti suaranya sendiri. 'Aku masih harus dirawat.'

Senja tertunduk. Pemuda itu tampak kecewa. 'Aku berharap semoga kamu cepat sembuh...'

'Terima kasih.'

Tiba-tiba Senja melangkah pergi. 'Aku menunggumu...'

Sosok pemuda itu menjauh dan mengabur, seolah ada kabut pekat yang membungkus tebal dirinya. Senyum di wajahnya perlahan-lahan memudar. Kencana menggapai-gapai dan memanggil-manggil nama pemuda itu. Senja! Senja! Jangan pergi! Dikejarnya pemuda itu tapi dia tidak bisa, dia tak punya kaki. Kencana berteriak lebih keras tetapi suaranya berangsur-angsur mengecil hingga hilang sama sekali. Kencana meraba wajahnya dan dia tak bisa merasakan mulutnya. Mulutnya sudah menghilang. Dia menangisi kepergian Senja tetapi air matanya tidak mengalir, wajahnya juga sudah tak ada. Dia ingin memeluk pemuda itu tetapi tangannya kini hanyalah desau angin, tanpa tulang, daging dan otot...

Dia sudah lenyap. Menghilang sepenuhnya.

Menjadi kasat mata.

Senja!

Kencana membuka mata lebar-lebar. Dia duduk dan meraba wajahnya. Tidak. Wajahku masih ada. Tubuhku... masih ada. Dia menatap kedua tangannya yang masih berwujud. Aku masih hidup. Aku tidak menghilang.

Belum.

Kencana memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam.

Senja...

Memikirkan Senja menjadi semacam obat yang bisa membantu Kencana melupakan keadaannya. Jika diberi kesempatan bertemu lagi dengan Senja, ada banyak yang ingin dia tanyakan. Apa Senja suka olahraga? Musik apa yang selalu didengarkannya? Apa film favoritnya? Di mana dia tinggal? Apa dia punya kakak atau adik? Apa makanan kesukaannya?

Kencana terperangah. Sekonyong-konyong dia menyadari satu hal. Aku tidak tahu apa-apa tentang Senja... Satu-satunya informasi yang Kencana ketahui adalah Senja berada di kelas sepuluh. Hanya itu.

Namanya bahkan belum tentu Senja!

Senyum Senja dalam mimpi itu terbayang jelas di benak Kencana. 'Aku menunggumu...'

Kencana menarik napas dalam-dalam. Secara ajaib, sepertinya semesta berkonspirasi dan menghubungkan pikiran mereka berdua – dua remaja yang tak saling kenal – melalui semacam koneksi pribadi yang intim. Sebut ini telepati, ikatan batin, atau bahkan halusinasi semata... apapun namanya, Kencana tak lagi peduli. Aku juga menunggumu... Kencana menarik napas dalam-dalam, membiarkan oksigen mengisi tubuhnya yang sudah tak lengkap ini. Rasa sakit yang dia rasakan saat organ-organ dalamnya direnggut tidak seberapa dibandingkan kesesakan yang menguasai dadanya.

Sampai kapan aku akan menunggumu, Senja?

Suara Radi yang resah waktu di pesawat bergaung sendu. 'Para dokter tadi khawatir kalau yang lenyap berikutnya adalah organ-organ vital kamu seperti otak dan jantung...'

Kencana menatap ibunya yang masih berdoa dengan khusyuk. Kalaupun aku akan mati, pasti bukan karena penyakit ini. Tetapi karena menahan gejolak perasaanku.

Diam-diam tanpa sepengatahuan ibunya, Kencana meraih ponselnya yang terletak di meja samping. Dia harus melakukan sesuatu.

Waktuku tidak banyak.

...

"Kencana, kamu serius mau melakukan ini?"

"Iya, Lisye."

"Mana boleh! Kalau ketahuan, bisa gawat!"

Aku tidak punya waktu. Kencana menyentuh tangan Lisye dan Balqis dengan telapak tangannya yang tak berjari. Dia tak bisa lagi menggenggam apapun. "Tolong, Lis. Hanya kalian yang bisa menolong aku."

Lisye dan Balqis saling pandang ragu-ragu. "Tapi kalau ketahuan..."

"Nggak akan ketahuan kalau kita bergegas," bujuk Kencana. Ratih dan Radi sedang menyantap makan siang mereka di salah satu gazebo rumah sakit. Para suster masih sibuk mengurus pasien-pasien yang lain. "Aku mohon. Kali ini saja..."

Lisye menelan ludah dan menyelinap pergi. Balqis mengangguk paham, wajahnya penuh tekad.

"Oke..." Kencana menepuk tangan Balqis. "Sekarang!"

Balqis langsung tancap gas. Tanpa memedulikan orang-orang, gadis itu cepat-cepat mendorong kursi roda Kencana, sediam mungkin, sesenyap mungkin, menuju ke arah lapangan parkir.

Di teras lapangan parkir, Lisye menyambut mereka dengan sebuah mobil.

...

Rencana pelarian itu berlangsung mulus.

Sebetulnya Kencana takut sekali. Seumur-umur dia belum pernah melanggar peraturan. Namun kali ini berbeda. Kencana hanya menuruti desakan dalam dirinya. Dia tahu dia harus melakukan ini.

'Aku menunggumu...'

Perlahan-lahan, ketakutan dan kecemasan itu sirna. Digantikan oleh keberanian.

Aku tahu kau menungguku.

Ide itu terbersit begitu saja di benaknya. Kencana tahu dia tidak bisa keluar dari rumah sakit, ibunya dan Om Radi pasti akan mati-matian menolak. Makanya dia minta bantuan Lisye dan Balqis. Awalnya kedua sahabatnya itu menolak – mereka berdua juga tipikal anak-anak alim yang tak akan pernah melakukan hal-hal gila seperti menyelundupkan pasien kritis keluar rumah sakit. Tetapi Kencana memohon-mohon pada mereka, hingga akhirnya mereka setuju. Dibantu Leo, kakak laki-laki Lisye, mereka berhasil naik mobil dan keluar dari rumah sakit saat jam besuk pertama tadi.

Aku minta maaf, Ma... Om Radi...

Kencana yakin mereka akan panik setengah mati kalau tahu. Kencana sengaja meninggalkan ponselnya di atas kasur supaya tidak diganggu. Di bawah ponsel, dia juga sudah menyelipkan secarik memo yang ditulis dengan tulisan cakar ayam, menjelaskan perbuatannya saat ini. Dia tahu ibunya akan marah besar, tapi dia tidak bisa menahan dorongan hatinya itu lebih lama lagi.

Semoga Mama bisa paham...

Butuh waktu sekitar dua puluh menit menuju sekolah dari rumah sakit. Sepanjang perjalanan, Kencana memantapkan niatnya. Dia sudah tahu apa yang akan dikatakannya. Dia sudah mengulang-ulanginya seharian. Lagipula, dia sudah bertindak sejauh ini. Aku tidak akan menjadi pengecut. Kalaupun waktuku memang tak banyak lagi, aku sudah harus mengungkapkannya...

Leo mematikan mesin mobil di depan gerbang sekolah. "Kita sudah sampai!"

"Terima kasih, Leo!" Kencana tersenyum pada pemuda itu. "Kamu baik sekali."

Leo mengangguk dalam-dalam. "Semoga berhasil, Kencana..."

"Oke, ayo kita turun!" kata Balqis. Dibantu Leo, Balqis dan Lisye menurunkan kursi roda Kencana dan mendorongnya masuk ke halaman sekolah.

"Aduh..."

Kencana meringis. Rasa sakit yang sudah sangat dikenalnya itu menyerangnya lagi.

"Kencana?" Balqis dan Lisye memanggilnya bersamaan. "Kamu kenapa?"

"Aku..." Kencana mengkertakan gigi, berusaha meredam rasa sakit itu. Apa lagi yang hilang sekarang? "Aku baik-baik aja."

Balqis kelihatan panik. "Apa sebaiknya kita kembali saja ke rumah sakit?"

"Enggak! Jangan!" Kencana mengatur napas, berkutat supaya terlihat sehat. "Kita harus terus..."

Balqis dan Lisye menuruti permintaannya. Matahari sudah bergeser sedikit ke Barat, karena sekarang kira-kira pukul tiga sore. Di dalam kompleks sekolah, suasananya lebih lengang karena kegiatan belajar mengajar sudah berakhir. Anak-anak yang masih tinggal di sekolah hanyalah mereka yang mengikuti kegiatan eskul.

Balqis menghentikan kursi roda Kencana di depan lobi. "Kita akan ke mana, Kencana?"

Kencana memejamkan mata sejenak, berkonsentrasi untuk mendengarkan suara hatinya. Aku tahu kamu sedang menungguku, Senja. Tapi ada di mana kamu sekarang?

"Lapangan basket."

"Lapangan basket?" Lisye mengernyit bingung. "Sekarang hari Senin. Setahu aku eskul basket itu ada di hari Rabu dan Jumat."

"Pokoknya tolong antar aku ke... ahh..." Kesakitan itu semakin menjadi-jadi. Kali ini rentang jedanya semakin singkat, hanya beberapa menit saja. Tubuh Kencana gemetar saking kerasnya dia menahan sakit. Rasanya bagian dalam tubuhnya sedang dicincang.

Lisye beradu pandang dengan Balqis, ekspresinya ngeri. "Kencana... kamu nggak bisa terus."

"Tolonglah..." Kencana memohon dalam hatinya. "Lapangan basket."

Balqis terisak kecil dan mengusap air matanya. Dia tak tega melihat Kencana berjuang melawan penyakit seperti ini. Tetapi dia mengangguk yakin. Bersama Lisye, mereka mendorong kursi roda Kencana menuju lapangan basket yang terletak di bagian belakang sekolah, dekat kantin.

Serombongan gadis-gadis yang memakai kostum penari saman lewat di samping mereka. Beberapa kaget melihat Kencana, sebagian terperangah melihat kondisinya yang kian mengenaskan, yang lain penasaran apa sebenarnya yang terjadi pada gadis itu.

Dihantam kesakitan bertubi-tubi seperti itu lama-lama membuat tubuh Kencana kebas. Seakan-akan tubuhnya sudah mengenali penderitaan itu dan tak lagi mencoba melawannya, melainkan merangkulnya seperti seorang sahabat. Pandangan Kencana mulai mengabur, dunia tampak berbayang dan asing, seperti tidak nyata. Dia bertahan untuk tetap sadar.

'Aku menunggumu...'

Mereka sampai di tepi lapangan basket. Dari balik jeruji kawat yang memagari sekelilingnya, tempat itu tampak sepi.

Kata-kata Lisye terbukti benar, hari ini tidak ada eskul basket.

"Tidak ada siapa-siapa di sini, Kencana," kata Lisye. Dia melirik jam tangannya dengan cemas. "Sebaiknya kita segera balik ke rumah sakit! Mama kamu pasti cemas nyariin kamu."

'Aku menunggumu. Di sini. Di tempat ini...'

"Enggak." Kencana bersikeras. "Aku mau masuk ke dalam."

Balqis mendorong kursi roda Kencana menuju lapangan, tetapi dia menghentikannya.

"Lho? Kenapa, Kencana?"

"Nggak apa-apa, Balqis. Aku bisa sendiri."

"Ta-tapi..."

"Kalian tunggu di sini aja. Aku pasti balik!"

Kencana mengabaikan protes Balqis dan Lisye lalu memutar roda kursinya. Sulit sekali karena tangan-tangannya tak lagi berjari. Tetapi jantung Kencana yang berdegup cepat dalam rongga dadanya seperti memompakan daya baru untuk tetap maju. Dengan kekuatan itu, Kencana memutar roda kursinya memasuki lapangan basket.

'Aku menunggumu...'

Cahaya matahari menerpa wajah Kencana, menyilaukannya. Dia mengangkat tangan untuk melindungi wajahnya tapi percuma, jemarinya sudah tak ada.

Kamu ada di mana, Senja?

Kencana memutar kursi rodanya menyusuri sisi lapangan. Sengatan matahari menyerang kepalanya, mengacaukan hafalan kata-kata yang akan diucapkannya. Tidak, aku tidak boleh menyerah. Aku sudah sampai.

Ada sebuah pohon besar di sudut lapangan, jenis pohon tua dengan batang-batang yang kokoh dan daun-daun yang lebat. Di bawahnya, para pemain basket yang kelelahan biasanya beristirahat. Pelan-pelan, Kencana bergerak menggerakkan kursi rodanya ke arah pohon itu.

Aku tahu kamu ada di sana.

Di bawah kerindangan pohon, Kencana melihat sesosok pemuda sedang berbaring di sebuah bangku panjang. Di sampingnya ada tas olahraga dan sebuah bola basket.

Ternyata betul. Kamu ada di sini!

Kegembiraan yang luar biasa meliputi Kencana. Dia mendorong kursi rodanya untuk mendekat, tetapi akar-akar pohon tua itu yang menancap kuat di tanah menyulitkannya. Tampaknya Senja terlelap akibat udara sejuk di bawah pohon itu.

Baiklah. Ini dia saatnya.

"Senja..."

Kencana terhenyak. Ini... Mana suaraku? Dia mencoba berbicara lagi, tetapi tak ada bunyi yang terucap dari mulutnya. Kencana meraba mulutnya. Masih ada. Kalau begitu... kenapa?

Perlu beberapa detik bagi Kencana untuk menyadari rencana licik takdir yang mencuranginya. Sekarang dia paham apa arti kesakitan yang tadi dirasakannya itu.

Pita suaraku menghilang...

Kehilangan itu tak menyurutkan niatnya. Aku sudah sejauh ini. Kencana berkutat memajukan kursi rodanya dan melewati akar-akar pohon itu. Senja ada di hadapanku. Dia ada di sini. Dia memang menungguku...

Kursi roda yang tidak dirancang untuk melewati area yang berliku-liku itupun macet. Kencana mencoba lebih gigih, dia menyentakkan tubuhnya – torsonya yang tak bertungkai agar kursi roda itu bergerak maju. Kursi roda itu berkeriut sedikit dan bergoyang limbung. Kencana mencoba lagi.

Aku sudah ada di sini sekarang. Ini dia saatnya...

Usahanya yang terakhir dan tergigih itu akhirnya berhasil. Kursi roda itu meluncur maju, tetapi bukan lurus. Lewat secuil kemiringan sudut yang ditimbulkan saat kursi itu melewati sebuah akar yang menjorok keluar, gravitasi menggoncangkannya, menghilangkan keseimbangannya...

Kencana mengulurkan tangannya untuk menggapai Senja. Namun tangannya perlahan-lahan menghilang. Waktu melambat, seolah membiarkan Kencana menyaksikan kehilangan fisiknya itu dari dunia... sementara dia terjatuh, semakin lama semakin dekat...

Ketika kursi roda itu jatuh berderak menghantam tanah, Kencana meneriakkan selantang mungkin apa yang ingin diungkapkannya pada Senja, pada anak laki-laki yang mencipratinya dengan air di hari pertamanya sekolah, pada pemuda dengan senyum jenaka itu, pada dia yang sejak pertama kali Kencana melihatnya, sudah membuat hatinya merasa hangat...

Aku suka padamu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top