Impian
Tak perlu waktu lama bagi Ruth untuk membangun reputasi sebagai gadis yang kurang ajar. Dia disebut kurang ajar karena cara pikir dan perangainya tidak sesuai dengan pandangan masyarakat soal perempuan.
Misalnya, perempuan tidak diperbolehkan nimbrung dalam pembicaraan laki-laki. Kala itu perempuan dan laki-laki harus dipisah untuk membahas urusannya masing-masing. Para pria akan pindah ke ruangan lain untuk mengobrol soal macam-macam, kadang-kadang diselingi permainan kartu atau merokok. Para wanita akan berkumpul di ruangan yang berbeda untuk membahas "urusan-urusan perempuan". Waktu itu tidak banyak hal yang bisa diurusi oleh perempuan, jadi topiknya hanya berputar-putar di antara masalah keluarga, mode, kosmetik, atau resep makanan. Politik, pendidikan dan petualangan tergolong topik laki-laki, jadi sudah tentu tak ada orang di ruangan para wanita yang paham dan tahan mendengar ocehan Ruth.
Makanya dalam beberapa kesempatan, Ruth mencuri-curi waktu untuk berbicara dengan Hermann, tuan tanah muda yang sering mampir ke rumah mereka.
"Psst! Hermann!"
"Ya? Ada apa?"
"Kau sudah pernah ke Amsterdam, kan? Ceritakan padaku tentang Eropa..."
"Wah, perjalanannya panjang sekali. Aku mabuk laut setiap hari. Selain itu di sana cuacanya dingin, tidak hangat seperti di sini. Jalan-jalannya sempit dan penuh kotoran kuda, betul-betul berbeda..."
Sepertinya karena keseringan membicarakan topik-topik "serius", para laki-laki jadi kehilangan daya imajinasi mereka. Padahal Ruth membayangkan Amsterdam sebagai kota dengan gedung-gedung klasik yang cantik, taman-taman tulip yang memikat, dan gadis-gadis Barat yang mempesona dalam balutan gaun sutra dan pita rambut warna-warni.
Setelah beberapa kali menanyai Hermann dan selalu mendapat jawaban yang mirip-mirip, Ruth berhenti menanyai pria itu. Kalau terus-terusan mendengar kisah menyedihkan seperti itu, bisa-bisa aku batal keliling dunia, pikir Ruth.
Akhirnya ayah Ruth tahu kalau putrinya suka mengajak Hermann mengobrol diam-diam. Ruth dimarahi habis-habisan dan disebut anak kurang ajar.
Suatu hari saat pulang sekolah, hujan turun dengan deras. Jalan menuju rumah Ruth tergenang. Dia menunggu selama satu jam, tetapi hujan tak kunjung berhenti. Ruth punya payung dan karena perutnya sudah keroncongan, dia nekat melepas sepatu dan stokingnya, lalu berjalan pulang melewati jalan yang tergenang itu sambil mengangkat roknya.
Orang-orang yang melihatnya saat itu bersikap seperti melihat hantu. Para laki-laki mengalihkan wajah mereka yang memerah, memprotes marah dalam suara rendah. Para wanita menutupi mulut dengan kipas tangan dan lewat bisik-bisik tajam menyuarakan keheranan.
Jika tak ingin disebut kurang ajar, yang seharusnya Ruth lakukan pada situasi itu adalah menunggu hujan reda atau menunggu seorang pria menawarinya tumpangan kereta. Dua-duanya melibatkan menunggu, dan Ruth tidak suka itu. Lagipula aku kan punya kaki dan bisa jalan sendiri, jadi mengapa tidak kulakukan saja?
Begitu Ruth sampai di rumah, ibunya sudah mendengar berita itu.
"Apa yang kamu lakukan, Ruth?" Ibunya menangis karena marah dan malu. "Memamerkan kaki kamu di jalanan seperti itu! Vulgar sekali!"
"Vulgar apanya, Ma?" Ruth keheranan. "Aku hanya mengangkat rokku setinggi seperempat betis. Jalannya tergenang, kalau tidak rok ini akan basah dan sepatuku bisa rusak!"
"Perempuan baik-baik tidak pernah bertelanjang kaki dan mengangkat roknya seperti itu!"
"Perempuan yang punya otak tak akan diam saja menunggu hujan reda!" balas Ruth. "Para laki-laki bisa bebas bertelanjang dada dan tak ada yang menyebut mereka vulgar! Padahal aku hanya mengangkat rok sedikit karena hujan..."
Ruth tak sempat menyelesaikan kalimatnya. Tamparan ibunya yang terasa bagaikan setrika panas mendarat di pipinya. Kemudian Ruth dikurung di kamar karena sikapnya yang kurang ajar itu. Dia tahu bahwa perbuatannya tadi memang tidak biasa, tapi Ruth tidak menyangka akan separah ini dampaknya. Ayahnya bahkan sampai harus meminta maaf kepada orang-orang di sekitar karena sikap putrinya. Ruth menangis, bukan karena sedih, tapi karena kesal.
Sejak saat itu, Ruth disebut gadis kurang ajar. Bukan hanya sekedar kurang ajar, tetapi yang paling kurang ajar dari semuanya.
...
Di sekolah, keadaannya juga tidak jauh berbeda.
MULO biasanya ditempuh dalam tiga tahun, tetapi karena Ruth lulusan Volkschool, dia harus menambah setahun lagi masa persiapan. Sebetulnya Ruth sudah lebih dari siap, tetapi dia menurut saja karena untuk urusan sekolah, dia sudah mendobrak terlalu banyak aturan. Bukti pertama, hanya ada lima orang lulusan Volkschool sepertinya yang berhasil masuk ke MULO. Bukti kedua, Ruth adalah satu-satunya perempuan.
Reaksi teman-teman sekelasnya pun sudah bisa ditebak. Ketertarikan mereka pada Ruth sama besarnya dengan ketertarikan mereka pada debu di pinggiran jam dinding: tidak ada. Mereka tidak repot-repot mengajaknya mengobrol. Ruth adalah seorang perempuan, keberadaannya di kelas itu tak mungkin disandingkan dengan para laki-laki.
Meski begitu, Ruth tetap bersikap biasa saja. Dia menyapa para laki-laki itu dan mengajak mereka diskusi jika ada pelajaran yang sulit. Sudah tentu para laki-laki itu tidak memperlakukannya dengan setara. Mereka membalas Ruth dengan jawaban-jawaban pendek ala kadarnya supaya tidak dianggap kurang ajar. Mereka lebih khawatir dianggap tidak bersikap gentleman daripada betulan menjadi gentleman dengan memperlakukan Ruth sama dengan mereka.
"Paling juga nanti keluar sendiri..." Ruth menguping obrolan mereka suatu hari. "Mana sanggup dia belajar hal-hal sulit seperti ini? Seharusnya dia tetap di rumah dan belajar menyulam saja!"
Para laki-laki itu tergelak. Mereka masih tetap tertawa saat Ruth lewat di depan mereka.
Namun tawa para laki-laki itu tak berlangsung lama. Saat ujian kenaikan kelas, Ruth sekali lagi membuktikan dia bukan gadis kurang ajar yang tolol.
Setelah melihat nilai sempurna yang berhasil didapatkan Ruth di setiap mata pelajaran, para laki-laki itu berhenti menggunjinginya. Sekarang mereka malah tak pernah lagi bicara dengannya.
...
Awalnya terasa menyenangkan karena bisa mendobrak aturan yang mengekang. Namun lama kelamaan Ruth mulai merasakan akibatnya menjadi pembangkang.
Para ibu melarang putri mereka bergaul dengan Ruth, seolah-olah sikap dan cara berpikir Ruth adalah sejenis penyakit mematikan yang bisa menular. Para ayah tak ingin putra mereka berbicara dengan gadis yang "tidak tahu diri" seperti Ruth. Para lansia mengecap Ruth sebagai pembangkang terbesar yang pernah ada; bagi mereka Ruth adalah simbol penolakan atas norma-norma dan aturan yang telah mereka tetapkan dalam masyarakat tentang perempuan. Anak-anak kecil sudah didoktrin oleh orangtua mereka untuk menjauhi Ruth, jadi setiap kali melihat Ruth, mereka lari tunggang langgang seperti bertemu monster. Bagi orang-orang ini, seorang gadis muda yang berpendidikan, lantang menyuarakan pendapatnya, dan menganggap diri setara dengan laki-laki adalah sebuah ancaman besar.
Namun mereka tak bisa berbuat banyak. Apa yang dilakukan Ruth memang melawan adat istiadat, tapi belum melanggar hukum. Jadi karena Ruth tak bisa diusir dari kampung itu, orang-orang mengucilkannya.
Pengucilan itu berjalan mulus sesuai rencana – jenis pengucilan yang terjadi begitu rapi sampai-sampai Ruth tak menyadarinya. Hanya dalam seminggu, semua orang tidak mengajaknya bicara. Jika Ruth mengatakan sesuatu, mereka pura-pura tidak mendengar. Jika Ruth ingin menyampaikan hal penting, mereka segera memotong pembicaraan dengan berpura-pura ada urusan mendadak. Tujuan mereka sederhana, mereka ingin agar Ruth tak kerasan di kampung itu dan segera angkat kaki.
Hari itu sepulang sekolah, Ruth kembali singgah di kedai tempat membeli limun. Begitu dia masuk, wanita pemilik kedai langsung membuang muka. Para laki-laki yang duduk bergerombol di sudut kedai melirik Ruth dan menaikkan volume suara mereka keras-keras, seakan takut kehadiran Ruth akan membungkam mereka selamanya.
Baiklah kalau begitu, pikir Ruth dalam hati. Bisa saja kalian memperlakukanku seperti sampah begini. Tapi aku akan membuktikannya pada kalian...
Ruth duduk di salah satu meja kosong dekat pintu dan menunggu. Harusnya ada seorang pelayan yang menanyakan pesanannya, tapi itu tidak terjadi. Ruth terus duduk dan menunggu.
Dia menunggu selama dua puluh menit.
Karena tidak ada yang melayaninya, Ruth berdiri untuk menyapa wanita pemilik kedai. Tetapi langkahnya terhenti karena ada yang berbisik memanggilnya.
"Psst! Ruth!"
Ruth melihat Ella si pelayan sedang berdiri di luar dekat pintu.
"Ella?"
Ella tidak mengatakan apa-apa. Ruth mendekatinya. Ella menarik tangan Ruth dan membawanya ke bagian belakang kedai. Di situ ada sebuah bangku dipan tempat para pelayan biasanya beristirahat.
"Tunggu di sini," kata Ella. "Jangan bicara dengan siapapun..."
Ella menghilang ke dalam. Tak berapa lama, dia kembali sambil membawak segelas limun.
"Ini, minumlah..." kata Ella sambil tersenyum. "Tak akan ada yang melayanimu. Mafrouw pemilik kedai sudah mewanti-wanti para pelayan agar tidak menggubrismu jika kamu datang."
Ruth tersenyum getir dan menerima pemberian Ella. "Terima kasih. Kamu baik sekali..."
Ella tidak berjengit, memalingkan wajah, atau pura-pura tidak melihat seperti reaksi kebanyakan orang pada Ruth. Sebaliknya, Ella menatap Ruth dengan mata berbinar-binar.
"Kamu tahu, Ruth..." kata Ella. "Aku nggak menganggapmu kurang ajar kok. Menurutku kamu cerdas dan berani. Para laki-laki itu gampang saja mengatai perempuan macam-macam, tapi apa pernah mereka mencoba berjalan dengan gaun ini saat hujan?"
Ruth tertawa. Ella tambah takjub melihat Ruth tertawa lepas seperti itu – dia belum pernah melihat perempuan tertawa tanpa menutupi mulut dengan tangan atau kipas.
"Rok yang basah terasa seberat gerobak kayu bakar," kata Ruth sambil menyepak roknya yang besar dan berlapis-lapis itu. "Aku senang karena aku bukanlah satu-satunya yang membenci rok ini."
"Aku yakin banyak perempuan yang benci dengan gaun mengembang ini," kata Ella sambil ikut-ikutan menendang gaunnya. Gaun para pelayan lebih tipis, bahannya lebih ringan dan biasanya hanya dua lapis. "Belum lagi soal korset. Aduh, para laki-laki mana paham..."
Ruth mengangguk-angguk setuju. Korset wanita pada masa itu lebih kejam dari korset modern. Terbuat dari tulang ikan paus, korset zaman dulu lebih mirip alat penyiksa badan. "Kurasa di masa depan kita tak perlu lagi memakai korset dan rok tiga lapis..."
"Yang kudengar para wanita di Prancis sudah memendekkan rok mereka," kata Ella.
"Yang benar? Kamu tahu dari mana?"
"Dari obrolan para laki-laki yang mampir di kedai," sahut Ella. "Hmm, aku jadi ingin ke Prancis!"
Ruth terhenyak. Dia menatap si pelayan. "Kamu serius mau ke Prancis, Ella?"
"Serius dong," kata Ella. Dia mendongak menatap langit dan berkata pelan, seperti sedang berdoa. "Ke Perancis atau Italia. Atau Amerika boleh juga. Katanya di Amerika perempuan seperti kita ini lebih dianggap. Ke mana saja asalkan bukan di kampung ini. Aku ingin melihat dunia..."
Melihat dunia! Selama ini Ruth mengira dialah satu-satunya si gadis aneh di desa karena bermimpi untuk melihat dunia. Tapi ternyata bukan cuma aku saja!
"Aku juga mau keliling dunia!" pekik Ruth bersemangat. "Bagaimana kalau kita pergi bersama? Kita pasti bisa! Kalau para laki-laki itu bisa melalangbuana ke mana-mana, kenapa kita tidak?"
"Betul!" Ella mengangguk dalam-dalam. "Apa sih yang bisa dilakukan laki-laki tetapi tak bisa dilakukan perempuan?"
"Tapi aku nggak bisa Bahasa Belanda. Apalagi Bahasa Prancis." Ella tertunduk lesu. "Kalau kita mau mengunjungi tempat-tempat itu, setidaknya kita harus bisa bahasa mereka, bukan?"
"Tak perlu khawatir! Aku bisa mengajari kamu!"
"Kamu serius, Ruth?"
"Sangat serius!" jawab Ruth bersemangat. "Setelah itu, kita akan keliling dunia bersama-sama!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top