Hidup Baru


Tidak ada wanita waras yang akan mengakui punya anak seekor kucing.

Alasannya sederhana. Perempuan pasti akan melahirkan bayi manusia dan induk kucing akan melahirkan anak kucing. Sudah begitu hukum alamnya.

Begitu juga dengan ibu Dalu. Seumur hidupnya, dia hanya ingat pernah melahirkan seorang bayi perempuan, yaitu kakak Dalu. Tak pernah ada di ingatannya tentang anak laki-laki bernama Dalu.

Namun Dalu tidak menyerah. Dia ragu – itu sudah pasti, tetapi setidaknya dia harus mencoba dulu. Jadi begitu pintu dapur dibuka saat kakak Dalu mau mengupas kelapa, Dalu melesat masuk ke dalam rumah dan mencari ibunya. Dia menemukan ibunya sedang bersantai sejenak di dalam kamar. Dalu berteriak sekeras-kerasnya – mengeong, karena sekarang dia tidak bisa bersuara manusia.

"Mbak!" Ibunya memanggil kakak Dalu. "Pintu teras belakang ditutup, ya. Ini kucing masuk..."

"Oh, ini kucing hitam yang tadi pagi!" Kakak Dalu tergopoh-gopoh masuk. "Wah, dasar kucing kurang ajar! Keluar sana! Keluar!"

Dalu sedih sekali. Mama sama sekali nggak ingat padaku! Dia kembali ke pohon jambu dan menunggu ditemani Mimi. Kucing betina itu sedang berburu, menunggu burung gereja yang lengah untuk singgah di dahan pohon.

Menjelang sore, kakaknya keluar ke teras belakang untuk menyirami tanaman.

'Mbak!' Dalu mengeong pada kakaknya. 'Ini Dalu, Mbak! Dalu kena kutuk jadi kucing!'

Kakak Dalu tertegun sejenak dan menatapnya.

'Mama di mana, mbak? Dalu mau ketemu Mama!'

"Kamu lapar, ya?" Kakak Dalu tersenyum. Sepertinya perasaanya melembut sedikit dibanding tadi pagi. "Ya udah. Sebentar. Tunggu di sini, ya..."

Dalu memang lapar tapi bukan makanan yang ada di pikirannya sekarang.

Kakaknya kembali ke teras belakang sambil membawa sepotong ikan asin. "Nih..."

Ikan asin? Hidung kucing Dalu bergetar. Ooh, dia tidak tahu kalau aroma ikan asin ternyata sesedap ini. Dalu mendekati ikan asin itu dan mengendusnya.

"Aduh! Kenapa malah disodori ikan asin!" Ibu Dalu tiba-tiba nyelonong dari dalam kamar dan menghentikan kakaknya. "Kalau dikasih makan, kucing liar seperti ini malah tambah sering mampir!"

'Tapi ini Dalu, Ma! Anak Mama! Bukan kucing liar!'

Ibu Dalu mendorong kakak perempuannya melewati pintu. "Masuk, masuk," katanya. Lalu beliau menuding-nuding Dalu. "Kucing nakal! Kamu sama teman kamu yang kuning itu suka nyolong lauk, kan? Kalian juga yang sering menyenggol pot-pot bunga sampai jatuh sama membongkar keranjang sampah, kan?"

'Dalu nggak pernah nakal, Ma! Itu Mimi, bukan Dalu!'

"Pergi, pergi!" Ibu Dalu menyambar sapu rumah dan mengayunkannya pada Dalu. "Jangan ke sini lagi! Cari makan di tempat lain saja..."

Dari dahan pohon jambu, Dalu mendengar Mimi tertawa terkekek-kekek.


...


'Dalu, kamu masih mau di sini?'

Adzan Maghrib baru selesai berkumandang. Dalu merebahkan tubuhnya ke dahan. Perasaannya hancur. Tadinya dia mengira akan mudah saja meyakinkan ibunya. Namun setelah beberapa kali usaha yang gagal total, Dalu sadar bahwa ini mustahil. Mama nggak paham kata-kataku, bagaimana aku bisa memberitahunya? Selain itu sepertinya Mama juga sudah tak ingat lagi padaku...

'Kalau malam, di sini dingin, lho...' kata Mimi.

Dalu ingin menangis, tetapi tidak bisa. Rupanya kucing itu memang hewan yang angkuh sehingga sulit sekali menangis. 'Ini rumah aku. Aku mau pulang ke dalam...'

Mimi menggosokkan kepalanya ke pelipis Dalu. Dia terkejut, tetapi langsung nyaman. Mimi melakukannya beberapa kali. Dalu jadi lebih tenang. Rupanya ini cara kucing menghibur sesama kucing...

Mimi masih menunggu beberapa saat sebelum akhirnya berdiri dan meregangkan tubuh. 'Ya udah kalau kamu mau tinggal di sini. Sampai ketemu besok...'

Dalu menurunkan kepalanya dan memejamkan mata. Ini cuma mimpi. Saat aku terbangun nanti, semuanya akan kembali normal...

Dalu menunggu selama beberapa menit lalu membuka mata. Dia masih bertengger di pohon jambu, tangannya masih berbulu dan masih bercakar, telinganya masih berbentuk lancip segitiga.

Ini bukan mimpi.

Dalu marah. Kenapa Tuhan menganggap serius doaku waktu itu? Dia tidak menyangka Tuhan akan betul-betul mengabulkan permohonannya. Kalau tahu akan diubah menjadi kucing, sudah tentu Dalu akan membatalkan doanya. Maksudku waktu itu meminta supaya jadi orang lain selain anak Mama dan adik kakak kan betul-betul menjadi 'orang' lain, bukan makhluk lain! Namun kini Dalu hanya bisa menyesali doanya. Sampai kapan aku akan terus jadi kucing seperti ini?

Tiba-tiba perutnya berbunyi. Dalu ingat, dia belum makan seharian ini.

Kalau sudah seperti ini, dia tidak punya pilihan.

Dalu menajamkan hidungnya dan mengendus aroma Mimi.


...


Anak kucing itu berdiri di bawah sinar lampu. Matanya yang kecil berkilau dalam gelap seperti manik-manik. Dia mengeong keras. 'Ada kucing asing!'

'Kucing asing?' Kepala Mimi melongok dari dalam kardus. 'Oh kamu, Dalu! Kamu datang juga!'

Anak kucing itu menegangkan tubuhnya hingga tampak seperti busur bulu kecil. Bulu-bulu di punggungnya terangkat naik. Dia menggeram pada Dalu, mengingatkannya untuk tidak mendekat.

'Cipo, jangan galak begitu!' Mimi menegur anak kucing itu. 'Itu teman Mama.'

Mama?

Mimi melompat dan mendekati Dalu.

'Cipo itu...' Dalu mengamati anak kucing yang itu. 'Anak kamu?'

'Cipo anakku yang pertama. Dia kucing jantan...' Mimi menyeringai lebar. 'Yang bungsu kucing betina. Cipi, ayo ke sini. Salaman dulu sama Om Dalu...'

Seekor anak kucing lain melompat keluar dan mendekati Mimi. Anak kucing betina bernama Cipi itu memandangi Dalu dengan takut-takut. Setelah didorong ibunya, dia mendekati Dalu dan menggosokkan ujung hidungnya ke hidung Dalu. Jadi seperti ini cara kucing berkenalan, pikir Dalu. Aroma Cipi berbeda. Seperti Mimi, tetapi lebih manis.

'Cipo, nggak salaman sama Om Dalu?'

Cipo menggeleng dan mundur ke arah ibunya. 'Nggak mau! Dia... berbau manusia!'

Dalu dan Mimi saling pandang. Mata mereka berdua bersinar seperti bintang kecil di malam yang temaram itu. Akhirnya Mimi berbisik di telinga Dalu. Dia bilang akan mengeloni anak-anaknya sampai mereka tertidur, baru bergabung dengan Dalu lagi. Mimi menunjuk sebuah baskom kecil di dekat pintu garasi. 'Makanlah,' katanya.

Dalu mengintip isi baskom itu. Ada sepotong tempe, secuil ikan asin, remah-remah bakso dan beberapa tulang ayam. Sepertinya Mimi mengumpulkan makanan-makanan itu dari tempat sampah.

Dalu menelan ludah. Hidung kucingnya sudah membaui makanan-makanan sisa itu, membuat liurnya terbit. Tetapi akal sehatnya mengambil alih. Aku manusia. Aku nggak mungkin makan sampah seperti ini...

Namun tuntutan perut Dalu tak bisa dikompromi lagi. Dia memejamkan mata dan mengunyah makanan-makanan itu. Di luar dugaannya, ternyata rasanya lumayan juga.

Tak berapa lama, terdengar dengkuran lembut Cipi dan Cipo. Dengan hati-hati sekali, Mimi melompat keluar dari kardusnya dan mendatangi Dalu.

'Maaf soal Cipo," kata Mimi. 'Cipo sulit bergaul dengan manusia. Ayahnya ditembak manusia...'

'Ditembak?' Dalu tercengang. 'Apa dia... mati?'

Mimi mengangguk sedih dan duduk di tanah. Ekornya bergelung melingkari keempat cakarnya, seperti selendang bulu. 'Aku memindahkan Cipo dan Cipi dengan mulutku satu demi satu kemari karena aku nggak mau mereka mati seperti ayahnya. Waktu itu Cipi dan Cipo masih berumur satu minggu. Sejak saat itu aku merawat mereka berdua seekor diri...'

Tenggorokan Dalu terasa pekat mendengar cerita itu. Mimi persis seperti ibu Dalu – ditinggal selingkuh oleh ayahnya dan terpaksa harus mengurus keluarga sendirian. Dan itu bukan perkara mudah. Di awal ketika ayahnya baru kabur dari rumah, Dalu dan kakaknya sering memergoki ibunya menangis di dalam kamar. Hati seorang anak laki-laki pastilah membara jika melihat ibunya menangis, apalagi karena perbuatan ayahnya. Pasti itulah yang dirasakan Cipo saat mencium bauku. Rasanya mungkin seperti bertemu orang yang menghancurkan keluargamu...

'Maaf, Mimi,' kata Dalu. Dia marah dan sekaligus malu. 'Para manusia itu, maksudku... kami... kami sering sekali semena-mena pada binatang.'

'Kami?' Mimi mengangkat wajahnya dan menyeringai. 'Kita kan kucing, Dalu...'

Ah. Ya. Aku lupa. 'Mak-maksud aku...' Dalu masih belum bisa mengakui bahwa sekarang dia adalah seekor kucing, meski sudah hampir seharian dia berwujud seperti itu. 'Para manusia itu. Aku juga minta maaf karena sering mengusir dan memukul kamu pakai sapu.'

'Diusir dan dipukul itu berbeda dengan ditembak,' kata Mimi. Dia mendongak menatap langit dan purnama yang cemerlang terpantul di mata kuningnya. 'Kita para kucing sadar kok kalau kita mencuri milik manusia. Tapi kita melakukannya karena terpaksa, kan? Apalagi di daerah perkotaan seperti ini, nggak gampang berburu burung atau serangga. Kalian mengusir atau memukul kami karena kalian bertanggung jawab menjaga milik kalian. Aku bisa memahami soal itu. Aku seekor ibu, dan aku punya kewajiban memelihara kehidupan anak-anakku sampai mereka bisa mandiri. Aku terpaksa mencuri karena harus memberi makan anak-anakku...'

Mimi menatap kardus tempat anak-anaknya tidur itu dengan sayang. Dalu juga ikut-ikutan melihat kardus itu, dadanya terasa hangat. Sepertinya Mimi sayang sekali pada anak-anaknya.

'Malam udah makin larut,' kata Mimi sambil menguap. 'Kamu boleh tidur di sini.'

'Terima kasih,' kata Dalu. 'Besok aku akan mencoba meyakinkan Mama lagi.'

'Kamu ini gigih banget, ya?' Mimi menggeleng-geleng. 'Silakan saja dicoba. Mungkin besok kamu akan berhasil.'


...


Keesokan harinya, Dalu bangun kesiangan. Dia terkejut karena begitu membuka mata, yang pertama kali dilihatnya adalah garasi tetangga mereka yang berdebu dan usang. Tetapi saat melihat Mimi yang sedang bermain bersama anak-anaknya, barulah Dalu sadar.

Aku seekor kucing.

Dalu bilang pada Mimi kalau dia akan kembali ke rumah. Mimi sangsi Dalu akan berhasil, tapi dia ngotot. Hari ini Dalu bertekad untuk mengeong lebih keras. Kalau perlu dia akan nongkrong seharian di bawah jendela kamar dan memanggil-manggil.

Pintu depan terbuka lebar-lebar. Setiap pagi, ibu Dalu memang selalu membuka pintu supaya udara segar bisa masuk. Rumah kelihatan sepi, hanya terdengar suara kakaknya yang bersenandung riang di kamar mandi. Ibunya tidak kelihatan, mungkin pergi ke pasar.

Di seluruh rumah, Dalu mengamati bahwa tanda-tanda dirinya pernah tinggal di situ sudah lenyap. Tumpukan komiknya di meja keluarga sudah tak ada. Sepatu sekolahnya entah ada di mana. Di setiap foto, yang tersisa hanya wajah ibu dan kakaknya saja. Melihat itu Dalu tambah sedih dan nelangsa. Mimi benar, tidak ada setitikpun bukti bahwa seorang anak laki-laki bernama Dalu pernah hidup di rumah ini. Dalu sulit percaya bahwa kemarin dulu dia masih mondar-mandir di rumah ini.

Saat Dalu menunggu di dapur, tiba-tiba ibunya masuk sambil menenteng kelapa dan kantong belanjaan. Sebelum Dalu sempat menyapanya, ibu Dalu sudah mengayunkan kantong belanjaan itu ke arahnya dan mengusirnya.

Dalu jadi bertambah kesal. Aku harus memikirkan cara lain... Satu-satunya ide yang ada di kepala kucingnya saat ini adalah menulis surat.

Dalu kembali ke garasi dan mengungkapkan niatnya pada Mimi.

'Surat?' Mimi terkekek-kekek karena Dalu minta tolong dicarikan pulpen dan kertas. 'Memangnya kucing bisa menulis?'

'Kamu mungkin nggak bisa. Tapi aku bisa. Aku kan...' Dalu terhenti. Dia merasa getir.

'Manusia?' sambung Mimi lancar. 'Jangan aneh-aneh, Dalu. Mana bisa kamu memegang pulpen pakai cakar itu. Cakar kita ini diciptakan untuk menangkap hewan buruan, bukan menulis. Daripada kamu punya pikiran aneh-aneh, lebih baik kamu belajar berburu saja.'

Alis Dalu terangkat. Namun disadarinya bukan alisnya yang terangkat, tetapi kumisnya. Kucing kan tidak punya alis. 'Berburu?'

'Ya. Akan aku ajari. Kamu harus bisa mencari makananmu sendiri,' kata Mimi ceria. 'Selain itu, kurasa sudah saatnya Cipi dan Cipo belajar berburu juga. Ayo anak-anak!'

Cipi melompat keluar dari kardusnya dengan bersemangat dan berseru-seru. 'Asyik! Berburu!'

Kakaknya mengekor di belakangnya. Cipo tetap menjaga jarak dengan Dalu, kelihatannya masih belum mempercayainya sepenuhnya. Tepat ketika Cipo lewat di samping Dalu, dia bisa mendengar anak kucing jantan itu menggeram pelan, 'Dasar kucing amatir!'

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top