Hadiah


Sebagai seorang marketing strategist, Arumi bertugas membuat strategi promosi di media sosial, termasuk penjadwalan posting untuk iklan dan pengaturan budget. Di divisi Marketing sendiri ada dua orang yang bertugas sebagai strategist, jadi Arumi tidak sendiri.

Tugas Androlah yang membuatkan materi iklan yang akan ditayangkan di Facebook, Instagram atau Twitter. Dalam sehari Arumi harus membuat minimal dua konten untuk Instagram, itu berarti dia harus meminta Andro membuatkan dua poster untuknya.

Setelah sesi perkenalan yang canggung dengan Sissy itu, obrolan berikutnya antara Arumi dan Andro berawal dari sebuah surel.

Suatu pagi, surel itu masuk ke komputer Arumi. Biasanya yang mengiriminya surel adalah orang-orang yang sudah dikenalnya, jadi Arumi langsung gugup begitu membaca nama pengirim surel yang satu itu. Andromeda Kelana. Subyek: Butuh bantuan banget!

Dengan ragu-ragu, Arumi membuka surel itu.

Hai,

Aku butuh bantuan kamu, nih. Kata Sissy, sebagai desainer grafis aku harusnya membantu tim Marketing, tapi sampai dua hari ini belum ada request desain yang masuk dari kalian 😣.

Jadi, sebelum aku dicap makan gaji buta, tolong kasih aku kerjaan, ya!

Cheers,

AK

Tidak ada seorangpun di kantor yang akan mengirim surel dengan isi seperti itu. Bahkan termasuk Sissy sekalipun yang sikapnya seriang permen. Arumi membaca surel itu sekali lagi untuk mengecek bagian-bagian yang janggal. Pertama, sapaan 'Hai'. Surel antar divisi seperti ini biasanya dimulai dengan panggilan untuk si penerima, misalnya 'Arumi,' terkadang ditambahi menjadi 'Dear Arumi.' Kedua, penggunaan emoji 😣. Terasa sangat kekanakkan untuk surel serius level kantoran seperti ini. Ketiga, salam penutup yang tidak biasa. 'Cheers' terasa terlalu santai, karena biasanya surel kantor ditutup dengan 'Regards' atau 'Salam'.

Apa orang ini serius?

Surel itu terasa seperti lelucon. Arumi mengecek lagi dan melihat bahwa surel itu dikirim bukan hanya ke Arumi saja, tetapi ke seluruh anggota divisi Marketing.

"Arumi..." Bu Helen, manajer Marketing melongok dari balik kaca sekat pembatas ruangannya. "Kamu terima email nggak?"

"Iya, bu."

Bu Helen keluar dari ruangannya dan mampir ke meja Arumi. "Siapa Andromeda Kelana?"

"Itu... anu... Desainer grafis kita yang baru, bu."

"Oh, yang katanya mirip Kim Soo-hyun itu, ya?"

Karena semua anggota divisi Marketing adalah wanita yang kebetulan gemar drama Korea (kecuali Arumi), mereka punya semacam tradisi untuk mencocok-cocokkan cowok ganteng di kantor dengan aktor Korea yang dirasa paling mirip.

Arumi tidak tahu siapa itu Kim Soo-hyun. "Kim Soo-hyun siapa, bu?"

"Crash Landing on You? Hotel Del Luna?"

Arumi menggeleng kecil.

Bu Helen mencebik. "Balik lagi soal si Andromeda ini... ngapain dia kirim email seperti itu?"

Arumi membaca surel aneh dari Andro itu. "Sepertinya... dia minta kerjaan desain, bu."

Bu Helen mengibas-ngibaskan tangannya dengan tak sabar. "Ya udah. Kamu kasih aja. Minta tolong bikinin video slideshow buat promo produk baru aja."

"Video itu udah ada, bu. Tiga slideshows sekaligus."

"Poster info tentang diskon ongkir tiga puluh persen?"

"Sebenarnya bu..." Arumi jadi tidak enak mengatakan ini. "Aku udah minta Denis buat bikin semua materi iklan sepanjang Ramadhan sebelum dia resign."

Bu Helen mengerjap-ngerjap. "Lha, terus dia ngerjain apa, dong?"

Aku juga tidak tahu, kata Arumi dalam hati. Tapi dia segan untuk mengatakannya dan memilih diam saja. Bu Helen hanya geleng-geleng dan kembali ke ruang kerjanya dengan tampang bosan.

Arumi membaca surel itu sekali lagi. Sudah dua hari nganggur, katanya? Apa dia tidak dapat job desain dari divisi lain? Tapi kalau mau dipikir-pikir, divisi lain memang hampir tidak pernah minta didesainkan sesuatu. Yang paling sering minta dibuatkan ini-itu adalah Marketing.

"Hai!"

Sebuah sapaan tiba-tiba. Arumi sampai terlonjak dari kursinya.

Andromeda Kelana si desainer grafis yang nganggur itu ada di depan Arumi. Tubuhnya yang jangkung miring ke kanan, ditopang tangannya yang bertumpu pada meja Arumi. Hari ini dia mengenakan kardigan tipis warna moka yang membuat warna kulitnya jadi dua kali lebih terang.

"Ha-halo," balas Arumi.

Andro tersenyum. Gigi-giginya putih dan rapi sekali, seperti diciptakan lewat cetakan.

"Umm, saya mau tanya..." Sejumput poninya jatuh menutupi matanya dan mendadak Arumi merasakan dorongan yang sangat kuat untuk mengusap rambut itu. "Apa kamu terima email?"

Bukan cuma aku saja. Tapi satu divisi. "I-iya."

Senyuman Andro melebar dan bahunya terangkat, seolah mengatakan, 'Jadi sudah jelas, kan?'

"Kamu minta kerjaan," kata Arumi, lebih untuk dirinya sendiri. "Dari saya."

Andro menjentik senang. "Yap!"

"Maaf, lagi nggak ada kerjaan."

Andro melongo sejenak. Matanya yang besar menatap Arumi dan tiba-tiba Arumi sadar betapa kasarnya jawabannya itu. Cepat-cepat dia menunduk.

"Hmm, apa sebaiknya aku ikutin usul si Farhan aja, ya?" kata Andro. Farhan adalah kolega satu divisi Andro. "Dia nyuruh aku bersih-bersih toilet daripada nganggur."

"Udah ada housekeeping yang bersih-bersih toilet."

Arumi menutup mulutnya dengan tangan. Apa-apaan aku ini? Kok jutek banget?

Namun sepertinya Andro tidak tersinggung. Dia masih tersenyum. "Kalau gitu lebih baik bantuin Mak Hasiholan di kantin aja kali, ya?"

Mak Hasiholan adalah perempuan berdarah Batak yang menjaga kantin. Perusahaan Arumi memang menyediakan makan siang dan camilan gratis untuk para karyawannya. Tiba-tiba muncul bayangan Andro memakai celemek dan harnet rambut seperti Mak Hasiholan sambil berteriak-teriak dengan logat Batak dari balik konter prasmanan. "Oi, jangan kau ambil semua sosisnya, lae! Kalau habis sosis kau yang kugoreng nanti!"

Arumi terkikik.

Andro juga ikut tertawa. Arumi tidak tahu mengapa pria itu tertawa. Melihatnya tertawa membuat Arumi semakin geli, dan anehnya tawa Andro pun semakin lepas.

"Kamu kenapa ketawa?" tanya Andro.

Ada apa sih denganku hari ini? Kenapa aku jadi canggung begini? "Maaf. Cuma... memang lagi nggak ada kerjaan, kok."

"Yakin?"

Baiklah kalau dia memaksa. "Ada satu, sih. Buat banner promo diskon ongkos kirim tiga puluh persen. Aku kirim brief-nya lewat email ke kamu, ya. Maaf..."

"Nggak perlu minta maaf," kata Andro. Dia kelihatan senang. "Terima kasih, ya!"

Lalu pria itu pergi meninggalkan Arumi sambil bersiul-siul. Wajahnya kelihatan lebih cerah dibandingkan sejak saat dia datang pertama kali. Arumi tersenyum melihat tingkahnya.

Arumi kembali ke komputernya. Surel aneh dari Andro masih terbuka, Arumi sampai lupa pada kritikannya tentang surel itu. Dia mencari-cari brief desain yang dikirimkannya pada Denis dua minggu lalu, menyalin isinya, dan menempelkannya pada surel baru untuk Andro. Sebenarnya dia tidak perlu melakukan itu, tapi entahlah... Arumi tidak merasa seperti dirinya hari ini.

Mungkin gara-gara Andro. Pria itu membuatnya tertawa.

...

Saat makan siang, Arumi ditemani Janet dan Tere lagi.

Arumi memilih menyantap makan siangnya di meja kerja. Dia masih geli saat melihat Mak Hasiholan karena terbayang Andro. Si desainer tampan itu sendiri makan siang bersama teman-teman satu divisinya. Dia mengedik sebentar pada Arumi saat berpapasan.

"Arumi, kenapa sih lo jarang makan bareng Bu Helen dan anak-anak?" tanya Tere.

"Itu karena Arumi nggak nyaman sama mereka," sahut Janet. "Iya kan, Arumi?"

"Sebenarnya bukan begitu," kata Arumi. "Tapi aku suka nggak paham mereka ngomongin apa."

"Alah, kalau soal drama Korea, lo kan tinggal nonton, Ar!" kata Tere dengan nada 'udah-jelas-kan'.

"Hari ini mereka lagi ngomongin The World of The Married," celetuk Janet. "Udah tepat kamu nggak gabung sama mereka hari ini, Arumi."

"Cuma karena lo single bukan berarti lo dilarang ngobrolin masalah pernikahan, kan?" kata Tere.

"Aduh, bukan begitu. Kamu nggak paham, Re," kata Janet. "Kalau ngebahas pernikahan pasti ujung-ujungnya Arumi kena singgung, karena Arumi yang satu-satunya belum menunjukkan tanda-tanda bakal menikah."

"Tapi Renata sama Tyas juga belum menikah, kok," timpal Arumi.

"Tyas baru tunangan minggu lalu," lanjut Janet.

Kok aku nggak tahu? "Oh ya?"

"Iya. Pacar Renata udah balik dari Jepang. Mereka berencana menikah akhir tahun ini. Kemarin dia sempat minta rekomendasi hotel yang bagus buat resepsi ke anak-anak yang lain."

"Wah, aku juga nggak tahu soal itu," kata Arumi.

"Itu karena mereka sengaja nggak ngasih tahu lo, Ar," kata Tere. "Mereka tahu pernikahan itu topik yang sensitif buat lo yang seumur hidup nggak pernah pacaran."

Begitu, ya? Mendadak Arumi merasa kian terasing di kantor ini. Dia memang kurang akrab dengan gadis-gadis di divisinya. Mereka semua beberapa tahun lebih muda dari Arumi dan lebih banyak membicarakan hal-hal hits seperti kosmetik, pakaian, makanan, gadget, gosip selebritis dan tentu saja drama Korea. Arumi tidak familiar dengan semua itu. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan membaca, membuat kue, atau berkebun.

"Padahal aku pikir Renata dan Tyas lumayan dekat sama kamu, Ar," kata Janet.

Sepertinya tidak seakrab itu. "Mungkin mereka lagi sibuk jadi belum sempat ngasih tahu aku."

"Sissy sama anak-anak HRD aja udah tahu kok soal lamaran si Tyas," kata Janet. Entah bagaimana caranya Janet bisa tahu tentang semua itu. "Pak Kadek yang manajer HRD aja sampai ngucapin selamat ke Tyas kemarin."

"Menurut kalian apa aku harus ngucapin selamat ke Tyas juga?" tanya Arumi.

"Nggak usah!" tolak Tere galak. "Ngapain sok baik ke mereka, Ar? Biarin aja kalau mereka cuekin kamu. Memangnya kamu bakal mati kalau nggak gaul sama mereka?"

"Aduh, si Tere kebiasaan deh," komentar Janet. "Nggak usah sampai segitunya, Arumi. Kalau mau ngucapin ya bilang aja."

"Ih, gue sih ogah!" sahut Tere. "Sok artis banget si Tyas gara-gara diselamatin satu kantor!"

Satu kantor? Arumi menarik napas dalam-dalam. Apa aku satu-satunya orang di kantor ini yang tidak tahu apa yang terjadi pada rekan satu divisiku sendiri?

"Terus pas acara nikahannya nanti, kalau misalnya si Tyas nggak ngundang kamu..." Tere betul-betul kedengaran jijik. "Kamu juga tetap mau datang, Ar?"

"Nggak mungkin, lah." Janet kedengaran seperti berusaha menghibur Arumi. "Tyas nggak bakal sekejam itu. Arumi pasti akan datang. Iya kan, Ar?"

Arumi diam saja. Membayangkan Tyas dalam gaun pengantin yang indah membuat Arumi merasa... jelek. Teman-temannya yang lain juga pasti bakal bersolek untuk acara itu. Mereka pernah jalan-jalan satu divisi ke Singapura saat cuti bersama dan waktu itu Arumi sempat ikut. Dia menyesalinya, karena acara jalan-jalan itu lebih mirip ajang pamer kecantikan dan kemewahan. Lagipula Arumi tidak pernah memakai gaun dan sejenisnya. 'Kamu terlalu jelek untuk gaun itu,' begitu kata ayahnya bertahun-tahun silam.

"Makanya, lo harus tunjukin bahwa lo juga bisa, Ar!" kata Tere menyemangati.

"Bagaimana caranya?" tanya Arumi.

Tere dan Janet saling lirik lalu tertawa kecil. "Kan ada Andro," kata Janet.

...

Saat pulang ke apartemennya, Arumi menemukan sebuah bingkisan besar di atas meja dapur. Arumi tidak ingat pernah membeli sesuatu belakangan ini. Bingkisan itu sudah dibuka, plastik pembungkusnya disobek buru-buru seakan pemiliknya sudah tak sabar untuk melihat isinya.

Apa ini?

Di dalamnya Arumi menemukan sebuah blus dengan belahan dada yang sangat rendah, rok pensil pendek super ketat yang memamerkan lekuk tubuh, sepatu stiletto dengan hak runcing, dan sebuah lipstik merah darah.

Semuanya itu bukan selera Arumi. Dia membayangkan dirinya akan kelihatan seperti pelacur seperti yang dikatakan ibunya jika dia memakai berang-barang itu.

Di kardus penutup bingkisan ada sebuah tulisan tangan yang lagi-lagi tak dikenal Arumi. Tulisan itu berbeda dengan yang ditemuinya tertempel di kaca rias. Tulisan ini lebih rapi dan melingkar-lingkar, seolah ditulis oleh seorang wanita tua. Tulisan itu berbunyi:

'Besok, pakai ini semua ke kantor!'

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top