Bencana & Rencana
Keanehan-keanehan lain mulai bermunculan.
Pagi itu Arumi terbangun dengan sakit kepala yang hebat. Dia merasa melayang, seperti tidak tidur semalaman. Cahaya matahari yang sudah tinggi menyinari kamarnya.
Arumi mengecek arlojinya. Sembilan tiga puluh.
Aku terlambat!
Dia meloncat bangkit dari tempat tidur. Namun tiba-tiba gerakannya terhenti.
Kamarnya berantakan, seolah ada yang melepas binatang liar di sana semalam. Lemari-lemarinya terbuka, isinya bertebaran di seluruh kamar. Lampu tidurnya terbalik. Ada dua pasang sepatu di atas meja rias, peralatan make-up nya berhamburan sampai di lantai. Pakaian dalam miliknya tergantung di ujung pintu dan belakang kursi, seperti jala untuk menjerat laba-laba.
Apa-apaan ini?
Arumi bergegas ke ruang depan. Bagian apartemennya yang ini juga berantakan. Puntung-puntung rokok berceceran di atas meja, bungkus- bungkus makanan ringan teronggok di sudut-sudut, dan majalah-majalah fashion terserak di lantai. Buku-buku novel Arumi dibuang di tempat sampah. Siapa yang melakukan ini? Aku tidak merokok dan tidak membaca majalah-majalah ini!
Di dapur keadaannya lebih gawat lagi. Piring kotor bertumpuk-tumpuk, jelas belum dicuci selama berhari-hari. Serbet-serbet bernoda teronggok di atas mesin cuci. Arumi mengecek kulkasnya. Semua makanan manis yang digemari Arumi telah lenyap, digantikan sayuran hijau dan berbotol-botol jus.
Arumi mengecek pintu apartemen. Pintu itu masih terkunci dari dalam.
Dia bersandar di dinding dan mengingat-ingat apa yang dilakukannya kemarin malam. Sepulang kantor aku hanya memasak makan malam, mandi, membaca sebentar lalu tidur. Rutinitas yang sama. Tidak ada yang aneh-aneh.
Arumi jadi ngeri sendiri. Dia masih ketakutan karena tulisan-tulisan asing itu dan bingkisan tanpa tuan yang diterimanya kemarin dulu, dan sekarang apartemennya porak-poranda seperti ini.
Seseorang... Hanya itu satu-satunya penjelasan yang masuk akal. Seseorang sudah masuk ke apartemenku dan mengobrak-abriknya ketika aku tidur!
KRING!
Suara ringtone ponselnya terdengar mengalun entah dari mana. Arumi mencari ke kamarnya. Biasanya dia meletakan ponselnya di meja kecil samping tempat tidur, tetapi ponselnya tidak ada di situ. Arumi menajamkan telinga dan meneliti sumber bunyinya. Akhirnya dia menemukan ponselnya di belakang televisi, masih tersambung dengan kabel charger.
Panggilan itu berasal dari Bu Helen.
"Ha-halo?"
"Arumi?" Suara Bu Helen yang tegas membalasnya. "Kamu di mana?"
"Saya... saya di rumah..."
"Di rumah?" Bu Helen kedengaran tidak senang. "Kamu masuk kantor kan hari ini?"
"I-iya, bu. Saya segera ke sana!"
Bip. Sambungan itu terputus. Arumi menyambar handuknya dan bergegas ke kamar mandi.
...
Sudah hampir jam sebelas ketika Arumi sampai di kantor. Dia malu karena terlambat, tetapi anehnya orang-orang seperti tidak mengacuhkannya. Bahkan Pak Bima si petugas keamanan yang setiap pagi menyapa Arumi dengan ramah hari ini pura-pura tidak melihatnya.
Saat menyambangi mesin absen, Arumi bisa merasakan pandangan orang-orang di belakang punggungnya, menusuk seperti selusin paku. Arumi berbalik dan orang-orang itu membuang muka.
Arumi mengecek penampilannya. Tidak ada bekas kopi di bibirku. Kancing blusku terkunci semua. Resleting celana panjangku tidak turun.
Jadi, mengapa mereka semua memandangiku?
Dalam perjalanan menuju meja kerjanya, Arumi berpapasan dengan Renata. Dia tersenyum dan Renata membalas dengan anggukan kecil yang kaku.
"Di mana Bu Helen?"
Renata mengedik ke ruangan Bu Helen. Tirainya tertutup. "Lagi rapat." Gadis itu menarik napas dalam-dalam. "Kamu... nggak apa-apa kan, Arumi?"
"Iya, aku baik-baik saja." Arumi jadi ragu-ragu. "Kenapa, Ren?"
Renata tersenyum. "Nggak apa-apa kok."
Arumi duduk di meja kerjanya dan menyalakan komputer.
Tiba-tiba pintu ruang kerja Bu Helen terbuka. Arumi melihat Sissy si petugas HRD keluar dari ruangan. Dia mengatakan sesuatu pada Bu Helen lalu tatapannya jatuh pada Arumi.
"Oh, ini udah datang, bu..." kata Sissy.
Sebutir keringat mengalir di tengkuk Arumi.
Sissy menghampiri Arumi. "Hai, sis..."
Dia terdengar riang seperti biasanya, tetapi Arumi tahu Sissy akan mengungkapkan sesuatu yang buruk tak lama lagi. Arumi membalas Sissy dengan senyuman, dia terlalu gugup untuk bicara.
"Gimana, sis? Lo nggak apa-apa, kan?"
Pertanyaan itu lagi. Pertanyaan yang sama seperti yang ditanyakan Renata. "Iya, Sissy."
"Yakin?"
Apa maksudnya? Ada apa dengan orang-orang ini? "Iya. Memangnya ada apa, ya?"
Sissy memindah-mindahkan berat tubuhnya dari satu kaki ke kaki yang lain. "Baguslah kalau begitu. Omong-omong, gue mau nyerahin ini..."
Sissy mengulurkan selembar kertas yang dipegangnya.
"Ini..." Arumi membaca isinya dan membeliak tak percaya. "Surat Peringatan? Aku kena SP?"
Sissy berkedip-kedip seperti orang kelilipan. "Soalnya lo absen seminggu tanpa kabar, Ar..."
Apa? "Nggak mungkin, Sissy. Aku masih ngantor kok kemarin."
"Terakhir lo masuk hari Jumat lalu, Ar..." kata Sissy. "Bu Helen sama anak-anak yang lain udah mencoba ngontak lo tapi nggak ada jawaban. Mereka pikir lo sakit, tapi karena lo nggak bisa dihubungi, kita nggak tahu apa yang terjadi sama lo..."
"Aku nggak sakit! Ini mustahil! Aku..." Arumi melihat hari dan tanggal di surat peringatan itu. Jumat empat belas April. Sekarang seharusnya Jumat tanggal tujuh April! Arumi mengecek tanggal di komputernya. Empat belas April. Ponselnya juga mengatakan hal yang sama.
Jumat empat belas April. Satu minggu sudah berlalu sejak terakhir kali Arumi ingat tanggal, persis seperti yang dikatakan Sissy.
Apa-apaan ini?
"Tapi kalau lo memang sakit, lo tinggal lampirin surat dokter aja kayak biasa, Ar," kata Sissy. "Kalau lo merasa masih kurang fit, lo boleh kok tinggal di ru-"
"Aku nggak sakit!" potong Arumi buru-buru. Dia mencubit pahanya sendiri untuk memastikan ini bukan mimpi dan ternyata memang kenyataan. Bagaimana mungkin aku tidur satu malam dan tak tahunya waktu sudah bergerak maju selama seminggu?
"Ar?" Sissy mengibaskan tangannya di depan wajah Arumi. "Arumi? Lo baik-baik aja, kan? Prosedur HRD memang kayak gitu. Maaf, ya..."
Sepertinya yang dibicarakan oleh Sissy adalah Surat Peringatan itu, tetapi yang dimaksud Arumi adalah waktu yang berjalan maju tanpa sepengetahuannya. Arumi memandang surat itu dan menelan ludah. Bu Helen sudah menandatanganinya. Ini semua nyata.
"Oke deh kalau begitu," kata Sissy tidak yakin. "Gue tinggal dulu ya, Ar..."
Arumi menghempaskan diri ke sandaran kursinya. Kepalanya terasa sakit lagi. Ada apa ini?
KRING!
Ponsel Arumi berdering. Di layarnya tertulis panggilan itu berasal dari bank tempat Arumi menyimpan tabungannya. Cepat-cepat diangkatnya panggilan itu.
"Halo?"
"Selamat siang, saya Beni dari Bank X. Apa benar saya berbicara dengan Ibu Arumi Setiadi?"
"Benar. Ada apa, ya?"
"Sebelumnya maaf telah menganggu. Apa betul Ibu Arumi memiliki fasilitas kartu kredit jenis Visa dari bank kami dengan nomor sekian sekian?"
Arumi mengingat-ingat nomor kartu kreditnya. "Iya, betul."
"Baik. Kami informasikan bahwa tagihan kartu kredit ibu Arumi sudah melebihi batas dan belum bisa digunakan sampai tagihan bersangkutan dilunasi."
"Melebihi batas? Tapi saya tidak membeli apa-apa selama sebulan belakangan ini."
"Dari catatan kami kartu kredit ibu memiliki tagihan sebesar tujuh juta tiga ratus ribu rupiah."
Tujuh juta rupiah? "Kok bisa? Saya tidak membeli apa-apa!"
"Transaksi terakhir tercatat di gerai pakaian Zara senilai satu juta dua ratus ribu rupiah pada hari Rabu tanggal dua belas April. Histori transaksi lainnya bisa ibu cek melalui rekening online..."
"Tapi..." Arumi syok sekali. "Tapi saya nggak pergi ke Zara!"
"Apa kartu kredit ibu hilang?"
Arumi membuka dompetnya. Kartu kreditnya masih tersemat rapi bersama kartu debet dan KTP-nya. "Tidak. Kartu kreditnya masih ada. Tapi saya tidak melakukan semua pembelian itu."
"Baik," kata Beni. "Jika ibu merasa telah terjadi transaksi yang mencurigakan, saya sarankan ibu menghubungi customer service kami atau mendatangi kantor cabang Bank X terdekat."
"Akan saya lakukan. Terima kasih."
Arumi segera memutuskan panggilan itu. Dia merasa seperti dilemparkan ke dalam kehidupan yang tak dikenalnya. Seakan-akan takdir menganggap Arumi tak lagi becus mengurus hidupnya dan memutuskan untuk menjalankan semuanya secara otomatis, tanpa persetujuannya. Ini benar-benar gila! Ada yang mengacak-acak apartemenku, memajukan waktu secara misterius selama seminggu, dan sekarang berbelanja gila-gilaan memakai uangku? Siapa yang tega melakukan semua ini?
Arumi memejamkan mata. Dia tak sanggup berpikir.
...
Saat makan siang, Arumi bertemu dengan Andro lagi. Pria itu senyam-senyum padanya.
"Lihat tuh!" Janet kedengaran senang sekali. "Si Andro senyum ke Arumi."
"Balas, Arumi!" Tere menyemangati. "Mumpung ada kesempatan!"
Arumi mengelak. "Aduh, aku lagi nggak bisa berpikir, nih!"
"Senyum!" tegur Tere galak. "Sekarang!"
Kemudian dia dan Janet menarik bibir Arumi dengan terpaksa, hingga terbentuk sebuah seringai lebar. Andro tertawa dan mengangkat jempol tinggi-tinggi.
"Nah, sekarang lo samperin dia," kata Tere. "Tuh, lihat! Dia ngajak lo makan siang bareng!"
Arumi merasa malu. "Wah, kalau dilihat anak-anak Marketing yang lain gimana nanti?"
"Udah, nggak apa-apa!" dukung Janet. "Buruan!"
Kedua sahabat Arumi mendorong tubuhnya sehingga dia terlontar maju ke arah Andro. Dan tiba-tiba Janet dan Tere menghilang, meninggalkan Arumi seorang diri. Kepanikan dan rasa gugup langsung menyerangnya.
"Kursinya kosong, kok..." kata Andro ramah sambil menunjuk kursi di sampingnya. "Aku senang banget kalau kamu mau makan siang bareng."
Arumi menelan ludah dan mengangguk. Andro kelihatan sangat memesona – pria itu bahkan terlihat bercahaya seperti purnama di malam hari. Arumi merasa serba salah, dia ingin menolak ajakan itu karena merasa tidak pantas bersanding di sebelah seseorang yang setampan Andro, tetapi di sisi lain dia tidak ingin terkesan jual mahal.
Akhirnya Arumi mengangkat nampannya dan duduk di kursi kosong itu.
...
Obrolan dengan Andro singkat, tetapi berkesan. Pria itu sedikit mengingatkan Arumi pada Kai, adiknya. Meski Andro rupawan, dia tidak sombong seperti kebanyakan cowok-cowok tampan lainnya. Dia juga pendengar yang baik, tidak memonopoli pembicaraan, dan merespon jawaban-jawaban Arumi dengan tepat. Dan satu lagi, Andro terlihat tulus, tanpa kepura-puraan. Tidak seperti laki-laki lain yang mengajak wanita mengobrol karena punya motif terselubung, Andro senang berbincang-bincang karena memang senang saja.
Arumi jadi menantikan istirahat makan siang keesokan hari.
Namun sebelum itu, dia harus menyelesaikan urusannya dengan bank dulu. Karena bank tutup pukul tiga sore, selesai makan siang Arumi minta izin pada Bu Helen untuk mampir ke kantor cabang Bank X yang ada di mall seberang kantor.
Arumi menceritakan masalah dengan kartu kreditnya dan pihak bank menyelidiki. Ternyata seseorang memang telah memakai kartu kredit Arumi untuk berbelanja pakaian, sepatu, dan peralatan make-up dalam jumlah besar. Yang lebih membingungkan, semua transaksi itu terjadi dalam rentan waktu seminggu yang tidak bisa diingat Arumi. Transaksi kartu kredit memerlukan PIN dan hanya Arumi yang tahu kombinasi angkanya.
Karena semua transaksi itu sah, pihak bank tidak bisa berbuat apa-apa. Arumi harus melunasi tunggakan itu.
Akhirnya Arumi terpaksa menutup kartu kreditnya. Tidak ada gunanya melaporkan kejadian seperti ini pada polisi, karena toh Arumi tidak bisa membuktikan apa-apa. Dia bahkan tidak ingat apa yang terjadi dari Jumat minggu lalu sampai hari ini.
Arumi berdoa semoga masalah ini cepat tuntas. Dia akan menelepon Kai dan meminta adiknya itu untuk mampir jika sempat, karena hatinya sedang galau. Untuk menenangkan pikirannya, Arumi berjalan-jalan sebentar di mall.
Saat melintas di depan sebuah toko elektronik, Arumi melihat deretan spy cam (kamera pengintai) dan CCTV dipajang di etalasenya. Ada yang bisa memantau ruangan dalam sudut seratus delapan puluh derajat dan menangkap gambar dalam gelap. Sebuah spanduk besar tergantung di atasnya, bertuliskan "Diskon Lima Puluh Persen."
Ini dia yang kucari-cari!
Arumi bergegas masuk ke dalam toko dan membeli satu set peralatan pantauan yang terdiri dari tiga kamera. Satu untuk kamar tidur, satu untuk ruang tengah, dan satu lagi untuk dapur apartemennya.
Dengan begini, penguntit itu pasti bisa tertangkap!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top