Bayangan di Cermin
Arumi berlari ke dalam gedung kantornya.
Otaknya berputar cepat. Dia berusaha keras memahami apa yang terjadi. Semuanya tidak masuk akal. Arumi ketakukan, dia merasa diteror. Siapa yang melakukan hal-hal ini?
Di lobi, Arumi menunggu lift. Kantornya terletak di lantai dua puluh dua. Dia mengamati angka-angka lantai bergulir di layar kecil di atas lift, berharap lift itu bisa bergerak lebih cepat. Akhirnya lift itu tiba di lantai dasar. Arumi menyeruak antrean yang sudah menunggu dan menerobos masuk.
Seluruh bagian dalam lift itu ditutupi cermin. Arumi menunduk, tak mau menatap bayangannya sendiri. Satu-satunya cermin yang nyaman dipandanginya adalah cermin di kamarnya. Tidak seperti cermin-cermin yang lain, cermin di kamar itu tidak menghakimi penampilan Arumi yang jelek.
Tere dan Janet tidak muncul lagi. Belum. Padahal Arumi menunggu kehadiran mereka. Tere sudah mengaku, tetapi Janet masih berutang penjelasan pada Arumi. Perbuatan kedua sahabatnya itu yang mengajak Andro jalan diam-diam di belakang Arumi sudah melewati batas. Walau niatnya baik supaya Arumi tidak kecewa, tetap saja mereka sudah melangkah terlalu jauh.
Tere dan Janet adalah sahabatku. Aku mempercayai mereka. Tidak sepantasnya mereka bergeriliya diam-diam di belakangku seperti itu.
Dan tentu saja ada Andro. Semua keanehan ini terjadi karena Andro. Dia pasti tahu jawabannya.
Rasanya berabad-abad sampai lift itu tiba di lantai dua puluh dua. Begitu pintunya berdenting terbuka, Arumi langsung menghambur keluar.
Aku butuh jawaban.
Dompet milik Andro ada dalam genggaman Arumi. Dia tiba di lobi kantor, dan melihat sosok jangkung Andro yang sudah menunggunya di situ.
"ANDRO!"
Pria itu menoleh. Dia mengernyit. "Arumi, kamu berantakan sekali."
"Ini..." Arumi mengangkat dompet itu. "Ini dompet kamu, kan?"
Andro menjulurkan tangannya untuk mengambil dompetnya. "Iya."
"Kenapa dompet ini bisa ada di apartemen aku?" tanya Arumi. Orang-orang di lobi melirik-lirik mereka tetapi Arumi mengacuhkannya. "Apa kamu datang ke apartemenku tadi malam?"
Andro mengusap belakang lehernya dengan gugup. Dia menatap Arumi, kedua alisnya yang tebal terangkat. "Iya. Kenapa kamu bertanya seperti itu?"
"Kamu yang merusak kamera-kamera di apartemen aku, kan? Kamu juga yang mengirim bingkisan berisi pakaian dan macam-macam itu, kan?"
Andro mundur beberapa langkah. "Wow, tenang dulu, Arumi. Kenapa kamu tiba-tiba jadi begini?"
"Jawab, Andro!"
Andro menelan ludah, jakunnya bergerak turun. Dia melirik sekeliling lobi yang ramai, seperti malu. Lalu dia mendekati Arumi dan merendahkan suaranya.
"Kan kamu yang mengajak aku mampir tadi malam!"
"Aku?" Arumi tercengang. "Aku bahkan nggak tahu nomor hape kamu, Andro!"
Andro tertawa pelan. "Kamu bercanda ya, Ar? Kamu minta nomor aku sebelum kita berangkat ke Tangkuban Perahu waktu itu..."
Arumi merasa tersambar petir. "Kita?"
Andro mengangguk. "Waktu itu kamu beda banget. Aku nggak nyangka kalau ternyata kamu suka kegiatan-kegiatan outdoor kayak mendaki gunung. Aku sampai ketinggalan saat mendaki. Kamu ceria banget selama kita di Bandung, beda sekali dibandingkan kamu yang di kantor. Ternyata kamu gadis yang mengejutkan, Ar. Apa kamu lupa?"
Mendadak kepala Arumi terasa berat. Dia menelengkannya, mencoba mengusir beban itu.
"Pas tanggal merah di hari Rabu itu, sebetulnya aku mau mengajak kamu ke arena panjat dinding. Tapi kamu memilih ke Taman Safari. Aku baru tahu kalau ternyata kamu juga suka binatang dan berkebun. Dan tadi malam, kamu tiba-tiba menelepon aku. Kamu bilang ada penguntit yang masuk ke apartemen kamu dan memasang kamera-kamera tersembunyi. Kita melacak posisi kamera-kamera itu bersama-sama. Terus kamu minta tolong aku untuk melepas kamera-kamera itu dan merusaknya. Aku mau lapor polisi tapi kamu melarang aku..."
Arumi bergeming. Potongan-potongan ingatan akan satu minggu yang terlupakan dalam hidupnya kini bermunculan, seperti benda-benda tersembunyi di kolong tempat tidur yang nampak setelah disinari lampu.
"Selama dua minggu ini kamu bikin aku bingung, Arumi," kata Andro. Pria itu terdengar jujur. "Kadang-kadang kamu antusias sekali, sampai-sampai aku kewalahan. Namun di hari-hari tertentu kamu jadi sangat melankolis sampai aku ikutan galau. Beberapa kali kamu mengacuhkan aku, seolah-olah kita tidak saling kenal. Aku nggak paham, Ar. Aku menanyai kamu tapi kamu nggak ngasih jawaban yang jelas. Aku merasa... kamu seperti menjadi orang-orang yang berbeda..."
Arumi tidak perlu mendengarkan penjelasan Andro untuk tahu semua itu. Mereka berdua...
"Aku jadi bingung..." Andro mendekati Arumi dengan hati-hati. "Siapa kamu sebenarnya?"
Siapa aku sebenarnya?
Arumi berbalik dan kembali ke lift. Cermin. Aku perlu cermin.
"Arumi!" Andro menarik tangannya. "Kamu mau ke mana?"
"Maaf, Andro..." Arumi menekan tombol lift sampai terbuka. Lift itu kosong. "Aku juga nggak tahu siapa aku yang sebenarnya..."
Pintu lift itu tertutup, menghalangi wajah Andro yang kebingungan. Arumi memencet tombol lantai dasar dan lift itu mulai melaju turun.
Arumi berbalik menghadap dinding lift. Cermin-cermin yang dipasang di keempat sisinya memantulkan bayangannya.
"Keluar!" Arumi berteriak pada bayangannya. "Keluar kalian!"
Tidak terjadi apa-apa. Bayangan Arumi yang terpantul di dalam cermin balas menatapnya.
"Aku tahu kalian ada di sana!" Arumi menunjuk cermin. "Jangan bersembunyi dariku!"
Namun yang terdengar hanyalah pantulan suara Arumi. Oh, jadi begitu. Setelah semua kegilaan ini, kalian memutuskan untuk bersembunyi?
Lift itu akhirnya tiba di lantai dasar. Arumi berlari keluar menuju lapangan parkir dan mencari mobilnya. Dia memacu mobil itu kembali ke apartemen. Di dalam mobil, Arumi melirik cermin spion tengah. Ditantangnya lagi sosok-sosok biang kekacauan itu untuk menampakkan diri, tetapi rupanya mereka masih belum punya nyali.
Untungnya letak apartemen Arumi berdekatan dengan kantornya, jadi perjalanan itu tidak makan waktu lama. Dia segera masuk ke dalam, mengunci pintu apartemennya, dan pergi ke kamarnya.
Cermin setinggi tubuh yang dipasang Arumi di kamar tidurnya berkilauan akibat ditimpa cahaya matahari dari jendela. Kalau seperti ini, cermin itu tampak layaknya cermin ajaib dalam dongeng. Arumi menggeser meja riasnya dan menjauhkan semua benda-benda yang berada di depan cermin itu. Dia butuh perspektif yang sempurna, seluruh bayangannya harus terpantul penuh.
Arumi menarik napas dalam-dalam dan menunggu.
"Lho, Arumi?" Tere muncul sambil tertawa. "Ngapain lo di sini?"
Di dalam cermin, bayangan Arumi yang terpantul itu berubah. Tubuhnya adalah tubuh Arumi, tetapi raut wajah dan gerak-geriknya sangat berbeda. Gadis di dalam cermin itu lebih percaya diri dan berani. Kepalanya terangkat tinggi dan raut wajahnya menantang, tidak seperti Arumi yang pemalu.
Bayangan Tere berganti. Sosok lain dalam fisik Arumi sekarang muncul, tetapi air mukanya tenang dan penyayang seperti seorang ibu. Janet telah muncul.
"Arumi, kamu kenapa?" tanya Janet. Suaranya yang lirih terdengar mengibakan.
Arumi menatap ke dalam cermin. Ada satu wujud di sana, tetapi dengan tiga ekspresi dan gerak-gerik yang berbeda. Sosok pertama adalah Arumi yang minder dan jelek - dirinya sendiri. Sosok kedua adalah Tere yang tidak kenal takut. Kemudian yang terakhir, Janet yang lemah lembut.
"Kalian berdua mengambil alih hidup aku dan coba-coba dengan Andro!" kata Arumi. "Kenapa kalian tega berbuat begitu? Aku pikir kalian berdua sahabat-sahabat aku!"
"Kan gue udah bilang!" Nada suara Tere mulai meninggi. "Kita cuma mau bantuin elo, Ar! Kita nggak mau lo tersakiti seperti pria-pria lain sebelum Andro!"
"Kalian bisa bilang ke aku, kan?" tanya Arumi. "Kenapa harus melakukannya diam-diam?"
"Karena kamu rapuh, Arumi," jawab Janet melalui cermin. Dia kedengaran seperti mau menangis. "Kalau kamu tahu rencana kami, kamu pasti akan menolaknya. Kami cuma nggak mau kamu patah hati, Arumi. Kami ada untuk melindungi kamu."
"Tapi kalian malah menghancurkan hidup aku!" Arumi berteriak sampai serak. "Tere, kamu kan yang membeli baju-baju dan kosmetik mahal pakai kartu kredit aku?"
"Gue cuma mau nunjukin kalau lo itu cewek seksi, Ar!" sahut Tere defensif. "Selama ini baju-baju pilihan lo nggak modis sama sekali. Makanya lo jarang dilirik cowok-cowok!"
"Dan yang ngacak-ngacak kulkas sama lemari aku? Itu kamu kan, Janet?"
"Sebetulnya aku berniat mendekor ulang apartemen ini, Arumi," jawab Janet. "Tempat ini menyedihkan. Rumah mencerminkan kepribadian penghuninya. Andro pasti kehilangan selera kalau mampir ke sini. Soal es krim itu, aku minta maaf. Aku cuma nggak mau kamu jadi gemuk. Kalau gemuk, kamu bakal jadi tambah jelek, lho!"
"Tiap kali lo makan es krim," Tere menimpali. "Gue yang harus kerja keras di gym!"
"Tapi tenang saja, Arumi. Andro udah jatuh hati kok sama kamu," lanjut Janet. "Makanya dia mau mampir pas aku ajak kemarin malam."
"Rencananya gue sama Janet bakal memaksa Andro untuk menginap dan tidur sama elo," kata Tere. "Dengan begitu dia bakal terikat sama lo. Ide brilian, kan?"
"Sayangnya teman-teman kamu yang dulu tiba-tiba datang," kata Janet. Baru kali ini Arumi mendengar Janet berkata dengan nada benci. "Lisa, Tammy, dan entah siapalah itu..."
"Padahal gue sama Janet udah susah payah menyingkirkan mereka satu demi satu selama bertahun-tahun," kata Tere. Dia kedengaran muak. "Mereka protes minta kembali. Enak aja! Sekarang cuma ada kita bertiga di sini. Arumi, Tere dan Janet."
Tiba-tiba lima wajah lain berkelebat dalam pantulan di cermin. Arumi mengenali wajah-wajah itu. Mereka semua adalah dirinya, tetapi bukan dirinya. Mereka adalah sahabat-sahabatnya, yang kemarin malam muncul dalam mimpinya, tetapi sekarang sudah tidak ada.
"Mereka nggak sanggup mengubah Arumi yang buruk rupa jadi cantik dan seksi," kata Janet. "Makanya aku sama Tere mengusir mereka. Lisa sangat kekanakkan. Tammy terlalu cengeng. Dian agak tomboy, nggak sesuai dengan citra Arumi..."
"Iffah memang soleha, tapi itu nggak seksi sama sekali," lanjut Tere lagi. "Sedangkan April... yah, dia lumayan juga. Setidaknya dia bisa menjahit. Tapi April nggak punya hasrat untuk mencari pacar, jadi kita nggak butuh dia..."
Tere dan Janet menatap Arumi lalu berbicara bersama-sama. "Yang kamu butuhkan hanya kita berdua, Arumi. Aku sama Janet bisa mengubah kamu menjadi gadis yang cantik, percaya diri, seksi, sekaligus penyayang. Gadis yang diidam-idamkan semua lelaki. Gadis yang sempurna..."
Arumi memukul cermin itu. "Aku tidak butuh kalian!"
"Kamu nggak bisa mengusir kami, Arumi..." kata Tere dan Janet berbarengan. Suara mereka terdengar seperti paduan suara yang janggal. "Kami hidup dalam dirimu. Kami adalah kamu. Tanpa kami, kamu hanyalah gadis jelek yang tak bisa apa-apa, seperti yang dikatakan ayahmu bertahun-tahun lalu..."
Arumi mengkertakan gigi dan menguatkan tekad. Sebuah pemahaman yang kuat baru saja meresapinya, seperti air terjun yang menyejukkan. Untuk pertama kalinya selama bertahun-tahun, Arumi sadar siapa dirinya; inti jiwanya yang sesungguhnya. Dia tidak butuh Tere, Janet, ataupun teman-teman dalam kepalanya itu. Mereka muncul dari retakan-retakan jiwanya yang paling gelap, yang hancur akibat hinaan terus-menerus dari orangtuanya. Namun hari ini Arumi bersumpah dia tidak akan mengindahkan suara-suara sumbang itu. Dia sudah jengah. Tekadnya kini bulat. Dia tidak akan lagi membagi kehidupannya lagi dengan mereka.
Hidup ini adalah miliknya. Hanya dia seorang. Hanya Arumi saja.
Arumi pergi ke ruang tengah. Tere dan Janet berteriak-teriak memanggilnya, tapi Arumi mengacuhkannya. Dia mengambil sesuatu dari atas meja dan membawanya ke kamar.
Tere dan Janet melihat benda yang dipegang Arumi itu. Mereka memekik dan menjerit bersama-sama. "Apa yang akan kamu lakukan, Arumi?"
"Aku akan mengusir kalian!" kata Arumi mantap. "Aku nggak jelek. Aku nggak harus menjadi gadis yang cantik, seksi, atau percaya diri seperti yang kalian ingini hanya untuk dicintai. Aku memang nggak sempurna, ya... Tapi adakah manusia yang sempurna? Nggak ada!"
"Kalau kamu mengusir kami," acam Tere dan Janet. "Nggak ada lagi laki-laki yang akan mencintai dirimu!"
"Tidak masalah kalau nggak ada laki-laki yang mencintai aku!" Arumi mengangkat palu itu. "Aku mencintai diriku sendiri dengan segala kekurangannya. Dan itu sudah cukup!"
Dengan sekuat tenaga, Arumi melemparkan palu itu ke arah cermin. Teriakan Tere dan Janet yang melengking keras memenuhi kepala Arumi, beradu dengan derak cermin yang hancur, kepingan-kepingannya terserak buyar seperti pasir yang ditiup angin.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top