Bagian 6 - Ruth



Aku menatap ke dalam cermin itu.

Permukaannya sedikit berdebu, seperti belum dibersihkan. Aku jarang memandangi bayanganku di cermin dengan serius seperti ini. Maksudku, biasanya aku hanya bercermin alakadarnya kalau sedang mengatur rambut atau mengecek penampilan. Diriku yang lain terpantul di dalam cermin itu dan balas menatapku. Aku tersenyum, dan bayanganku juga tersenyum. Aku mendekat, dan sosok di dalam cermin itu juga mendekat.

"Cermin yang bagus, ya?"

Ruth datang menghampiri sambil memegang nampan berisi teh dan kue basah. Aku mengambil nampan itu dari Ruth dan meletakkannya di atas meja di dekat cermin.

"Iya, cerminnya cantik sekali," kataku.

Itu adalah cermin besar bergaya antik dengan bingkai kayu kokoh yang penuh ukir-ukiran indah. Ukurannya besar sekali, sebesar pintu. Jenis cermin seperti ini sudah tak dibuat lagi sekarang.

Ruth duduk dan mengambil cangkir teh. "Apa Arumi masih risih kalau melihat cermin?"

"Tidak," kataku. Aku teringat kejadian setahun lalu, saat mampir ke apartemen kakakku. Cermin besar yang terpasang di kamar tidurnya pecah berantakan. Kakakku mengaku dialah yang menghancurkan cermin itu dengan palu. Waktu kutanyai alasannya, dia hanya bilang cermin itu menganggunya. Namun setelah beberapa waktu, akhirnya kakakku mengaku soal "teman-teman" yang hidup dalam kepalanya. Aku memeriksakan kakakku ke dokter dan dia diberi obat. Setelah kejadian itu, kakakku pindah dari apartemennya dan kami tinggal bersama-sama.

"Kakakku sudah berdamai dengan cermin."

Ruth mengangguk-angguk. "Arumi itu wanita muda yang cantik. Dia juga baik seperti kamu, Kai." Aku memang sudah bercerita pada Ruth soal kakakku. "Aku senang kalau Arumi sudah berhasil mengenyahkan suara-suara di dalam kepalanya yang terus-terusan menyebutnya jelek itu. Dia tidak jelek. Seharusnya dia sadar soal itu."

Aku setuju dengan Ruth. Sejak kami kecil, ayah dan ibu kami selalu menghina kakakku jelek. Aku sendiri tak pernah menganggap kakakku jelek. Arumi adalah kakak terbaik yang kupunya.

"Suatu hari, dia pasti akan bertemu dengan pria yang bisa mencintainya dengan tulus," kata Ruth.

Aku mengamini ucapan Ruth. Aku juga ingin yang terbaik untuk kakakku. Kakakku adalah korban pelecehan verbal selama puluhan tahun dari orangtua kami. Itulah yang memecah jiwanya dan memunculkan teman-teman dalam kepalanya. Namun sudah setahun belakangan ini kakakku tak pernah lagi berbicara dengan cermin. Sekarang dia lebih tenang dan bahagia. Aku berharap semoga dia bisa terus seperti itu.

Ruth menyorongkan secangkir teh untukku. "Kai, nanti tehnya dingin lho..."

Aku mengambil cangkirku. Di luar, gerimis mulai turun. Sudah seminggu belakangan ini hujan turun setiap hari. Semoga saja hujan hari ini cepat selesai, karena cucianku jadi susah kering.

Aku menyesap teh itu perlahan-lahan. Kehangatannya terasa nikmat saat mengalir di tenggorokanku. Aku senang mampir ke sini, karena mengobrol dengan Ruth itu menyenangkan. Persahabatan kami termasuk unik. Ada tujuh puluh tahun perbedaan usiaku dengan Ruth. Awalnya aku bersikeras memanggil Ruth "Oma", karena dia jauh lebih senior. Namun Ruth menolaknya.  "Panggil Ruth saja," katanya.

"Aku membaca resep dadar gulung ini dari sebuah buku lama," kata Ruth sambil mengambil satu kue dadar gulung dari atas piring. "Ternyata rasanya lumayan juga."

Aku ikut mengambil satu. Dadar gulung itu beraroma pandan dan ada selai cokelat kacang di dalamnya. Ruth benar, rasanya memang enak. "Ini lezat sekali, Ruth. Tapi kamu nggak boleh sering-sering ke dapur, lho. Berbahaya. Kalau ada apa-apa, kamu seharusnya menyuruh Bik Darmi, atau minta tolong sama aku dan Arumi..."

Ruth pernah bilang padaku bahwa dia sudah sangat tua sampai-sampai dia tidak ingat umur pastinya. Tulisan di KTP nya sudah memudar dimakan usia, tapi aku menebak umur Ruth sekitar sembilan puluh tahun. Makanya aku dan kakakku sering khawatir memikirkannya, apalagi karena Ruth tinggal seorang diri. Hanya ada Bik Darmi yang menemaninya, tetapi asisten rumah tangga itu cuma mampir dari pagi sampai pukul tiga sore.

"Aku nggak ingin sering-sering merepotkan kalian," kata Ruth ramah. "Lagipula, sewaktu muda aku memang senang membuat kue. Nggak perlu cemas, Kai. Aku nggak bakal membahayakan diriku lagi seperti waktu itu."

"Kamu nggak kepikiran untuk melakukan 'itu' lagi kan, Ruth?"

"Tidak. Sekarang aku hanya akan menunggu."

Lebih baik begitu, pikirku. Kematian adalah hak eksklusif Tuhan atas manusia.

Aku menanyakan itu karena teringat pertemuan pertamaku dengan Ruth. Waktu itu kami baru pindah ke kompleks ini. Aku belum bisa tidur dengan nyenyak di kamar baruku, jadi kuputuskan membunuh waktu dengan menulis. Saat memandang ke luar jendela, aku melihat Ruth di rumah sebelah. Dia sedang memanjat jendela di lantai dua, ingin keluar ke atap. Awalnya aku mengira sedang menghayal karena kantuk, tetapi saat Ruth berdiri di pinggiran atap dan siap meloncat ke bawah, aku tahu itu nyata. Ruth ingin bunuh diri. Aku langsung berteriak padanya. Ruth kaget karena aku memergoki perbuatannya. Dia nyaris tergelincir, tetapi aku dan Arumi lari ke sebelah dan menyelamatkannya.

Aku ingin lapor polisi, tetapi Ruth mencegahku. Usul Arumi untuk berkonsultasi dengan psikiater juga ditolaknya. Saat ditanya, Ruth hanya bilang dia lelah dengan hidup dan ingin mengakhirinya. Menurutku Ruth kesepian dan butuh teman. Suaminya sudah meninggal dua belas tahun yang lalu dan anak-anaknya tinggal di daerah lain. Kakakku yang paling paham perasaan Ruth, karena dia juga pernah kesepian karena dikucilkan oleh orangtua kami.

Maka sejak saat itu, aku dan Ruth berteman.

Setiap malam saat menulis, aku selalu menegok ke luar jendela. Sekedar memastikan Ruth tidak memanjat jendelanya lagi. Aku dan Arumi juga rutin berkunjung setiap hari. Syukurlah, peristiwa mengerikan seperti itu tidak pernah terulang. Seperti yang Ruth bilang barusan, rupanya sekarang dia memutuskan untuk menunggu ajal daripada "mencarinya".

"Bagaimana dengan novel kamu, Kai?" tanya Ruth. "Apa sudah selesai?"

"Sedikit lagi," jawabku. "Aku masih bingung memikirkan akhirnya. Apa kamu masih punya cerita lain lagi, Ruth?"

Ruth meremas-remas tangannya. Dia memandang ke sekeliling ruang tengahnya yang penuh barang-barang antik itu, seperti mencari ide. Lalu dia menatapku lagi, matanya yang kelabu bersinar penuh semangat.

"Bagaimana kalau kamu tutup novel itu dengan kisah kamu, Kai?"

Aku tertawa. "Aku belum punya kisah yang menarik untuk ditulis. Lagipula, orang-orang pasti lebih memilih membaca kisah tentang anak laki-laki yang berubah jadi kucing, persahabatan dua gadis muda yang ingin keliling dunia, atau pemuda patah hati yang bertemu bocah dari langit..."

Ruth mengangguk-angguk. "Dalu. Ya, aku suka cara kamu menceritakan bagian dia..."

Aku merasa tersanjung. Kisah Dalu si pemuda yang berubah jadi kucing diceritakan Ruth dua minggu setelah kami berkenalan. Ruth punya banyak cerita – di hidupnya yang panjang ini dia sudah melihat macam-macam peristiwa. Aku tidak tahu dari mana Ruth mendengar cerita-cerita itu, entah dia betulan menyaksikannya atau hanya mengarangnya saja. Kisah-kisah itu menarik meski tak masuk akal. Aku pernah bertanya apakah kisah-kisah itu nyata, tapi Ruth hanya tersenyum misterius tanpa memberi jawaban. Aku minta izin padanya untuk menuliskan cerita-cerita itu ke dalam sebuah novel supaya tidak lekang dimakan waktu. Ruth mengiyakan dengan senang hati.

"Omong-omong, tetangga di sebelah rumahku memelihara kucing, lho." Aku teringat kunjunganku dengan Arumi beberapa hari lalu. "Namanya Bula. Dia bilang kucing itu anak dari Cipo, yang merupakan..."

"Kucing jantan anak Mimi," sahut Ruth. Dia tersenyum. "Kucing yang menjadi teman Dalu..."

"Dan nama pria itu Radi," sambungku. "Dia punya kakak perempuan bernama Ratih."

"Namanya sama dengan om dan ibu Kencana," kata Ruth, sepertinya paham akan arah pikiranku. Ruth juga sudah membaca bagian kisah tentang Kencana, si gadis kasat mata. Kisah Kencana memang tidak berasal dari Ruth, tetapi dari blog pribadi ibunya. "Wah, bukankah itu kebetulan yang menarik? Kapan-kapan, apa kamu mau menemani aku mampir ke rumah tetangga baru kita itu?"

"Tentu," sahutku. "Kita tunggu sampai hari cerah..."

Ruth manggut-manggut senang. Dia menoleh dan menatap deretan bingkai foto yang dipajang di depan cermin antik itu. Foto-foto itu adalah sanak keluarga Ruth. Beberapa foto umurnya sudah tua sekali dan kertasnya sudah menguning. Ruth sayang pada foto-foto itu. Dia sering bercerita tentang mereka. Beberapa orang dalam foto itu sudah lama meninggal.

"Kamu sedang memikirkan apa, Ruth?" tanyaku ingin tahu. "Apa kamu kangen seseorang?"

Ruth bangkit berdiri. Dia agak kewalahan, tangannya yang kurus dan keriput gemetar saat bertumpu pada lengan kursi, jadi aku membantunya. Ruth mengambil sebuah foto dengan bingkai kayu polos warna hitam. Foto itu yang paling tua di antara semuanya, dan lebih cocok dipajang di museum. Di foto itu ada dua orang gadis muda yang sedang tersenyum pada kamera. Rambut mereka digelung ketat seperti wanita-wanita dalam lukisan sejarah, dan mereka memakai gaun-gaun lebar berlapis-lapis ala zaman dulu. Di bagian bawah foto ada sebuah kalimat berbahasa Belanda, ditulis dengan tinta hitam yang sudah memudar. Bunyinya:

'Batavia, 1885. Vrienden voor altijd.'

Ruth mengusap foto itu. Ia sudah pernah menjelaskan padaku tentang foto itu. Gadis yang di sebelah kanan adalah Ruth, neneknya. Ruth sahabatku yang ini memang dinamakan seperti neneknya itu. Sedangkan gadis di sebelah kiri adalah Ella, sobat karib neneknya. Kalimat berbahasa Belanda itu berarti: 'Sahabat selamanya.'

"Apa kamu kangen nenekmu, Ruth?"

Mata Ruth berkaca-kaca. Dia mendongak menatap langit seperti berdoa, lalu mengusap matanya. "Seharusnya Ella tidak berakhir seperti itu..."

Salah satu hal yang sangat disesali Ruth adalah perbuatan neneknya pada Ella. Karena cemburu buta, nenek Ruth tega meninggalkan sahabatnya sendiri saat kesulitan sampai-sampai Ella harus meregang nyawa. Ruth memang sangat dekat dengan neneknya. Sewaktu kecil, dia diasuh oleh neneknya. Saat pertama kali menuturkan kisah neneknya dan Ella padaku, Ruth sering sekali berhenti untuk menghapus air matanya karena haru. Seolah-olah penyesalan Ruth zaman dulu itu turut diwariskan pada Ruth masa kini.

Kuhibur dia. "Tetapi itu sudah terjadi lama sekali, Ruth. Lebih dari seabad yang lalu. Aku yakin nenekmu dan Ella sudah berdamai di surga."

Ruth mengangguk kecil dan meremas tanganku. "Kamu sudah menceritakan bagian tentang Ruth dan Ella itu dengan sangat baik, Kai..."

"Terima kasih, Ruth."

Ruth meletakkan foto neneknya dan duduk kembali. Dia memejamkan mata sebentar, mungkin untuk beristirahat. Aku jadi merasa bersalah. Seharusnya aku mengajak Ruth membicarakan topik yang lebih ceria, alih-alih membahas soal peristiwa sedih yang sudah lampau.

Tiba-tiba terdengar suara bel dari depan.

"Biar aku saja," kataku sambil bergegas bangkit. Ruth mengucapkan terima kasih dan membiarkan aku pergi membuka pintu.

Kubuka pintu depan. Tampak seorang pemuda berdiri di teras, usianya mungkin hanya satu dua tahun lebih tua dariku. Bagian bawah celana jinsnya basah karena terciprat air hujan. Pemuda itu terkejut melihatku. Kurasa dia berharap Ruthlah yang membukakan pintu.

Aku menanyainya. "Ya?"

Dia tersenyum gugup. "Apa Eyang ada di rumah?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top