Bagian 6: Radi & Arumi
Sekonyong-konyong lapangan basket itu berubah kembali menjadi ruang tunggu rumah sakit.
Nino menangis lagi. Namun kali ini aku tahu bahwa itu bukanlah air mata kesedihan.
"Saya adalah pemuda itu," kata Nino. "Pemuda yang ditaksir Kencana. Dan saya juga suka padanya. Setelah hari itu, saya tidak melihatnya lagi di sekolah. Guru-guru hanya bilang Kencana pindah sekolah. Selama bertahun-tahun saya bertanya-tanya apa yang terjadi pada Kencana..."
Dan tiba-tiba aku ingat kisah tentang Kencana.
Ratih terperangah. Kata-kata itu adalah sesuatu yang sudah lama dinanti-nantinya. Satu pertanyaan terakhir yang terus Ratih cari jawabannya. Pengakuan Nino akhirnya memberitahunya bahwa hari itu, lima tahun yang lalu, putrinya tidak nekat kabur dari rumah sakit untuk sesuatu yang sia-sia. Bahwa Kencana kabur untuk mengungkapkan rasa sukanya pada Senja sebelum dia lenyap dari dunia. Dan ternyata pemuda itu juga menyimpan perasaan yang sama.
Nino dan Ratih saling pandang, keduanya tidak bisa mempercayai apa yang baru saja mereka dengar. Untuk pertama kalinya setelah tahun-tahun yang kelam dan menyesakkan, suatu kelegaan yang menghangatkan membanjiri diri mereka.
Beban yang sangat berat itu telah terangkat
"Kai..." Ruth memanggilku. "Ayo kita pergi."
Kami meninggalkan Nino dan Ratih dan pergi ke teras luar rumah sakit. Di sini juga sepi. Tidak tampak perawat atau keluarga pasien yang mondar-mandir. Hanya ada seorang satpam yang berjaga sambil terkantuk-kantuk di posnya.
Kami pergi ke taman. Hari sudah menjelang malam, langit yang biru kini perlahan menjadi jingga ungu. Ada sebuah gazebo kayu kecil di tengah taman. Kami mendekati gazebo itu.
Aku melihat kakakku sedang berdiri menatap pagar bonsai di tepi gazebo. Dia hanya memakai kaos oblong dan celana panjang yang biasa dipakainya kalau sedang di rumah. Di celananya juga ada noda-noda darah. Rambutnya hanya diikat dengan karet, dan matanya agak sembab.
Di belakang kakakku, ada Radi. Tetangga kami yang pecinta kucing itu malah berpenampilan rapi, dengan kemeja dan celana chino warna kopi.
"Arumi," Radi berbicara pada kakakku. "Apa kamu mau melihat mereka sekarang?"
Kakakku menggigit bibirnya. Dia mengeluarkan napas dengan panjang lewat mulut, tulang-tulang pada lehernya yang kurus berbayang di kulitnya.
"Arumi?"
"Aku percaya Kai dan Ruth akan baik-baik saja," sahut Arumi menyahut tanpa menatap Radi. "Mereka berdua kuat. Lagipula ada Nino dan Ratih di dalam."
Radi mengangguk kecil. "Kecelakaan itu betul-betul peristiwa yang di luar dugaan..."
"Tidak ada yang namanya kebetulan," jawab Arumi sambil bersedekap. Dari gerak-geriknya, aku tahu kakakku sedang memikirkan sesuatu. "Semuanya sudah diatur oleh takdir."
Radi memikirkan jawaban itu sejenak lalu bergumam setuju. Dia bangkit dan berdiri di samping Arumi, sama-sama mengamati rumpun bonsai. "Apa kamu mau melakukan sesuatu yang lain? Jalan-jalan, mungkin? Berdiam diri di sini membuatku tambah kalut."
Arumi menoleh pada Radi dan tatapan keduanya berserobok. "Aku lebih suka begini. Memangnya apa yang biasanya kamu lakukan kalau sedang banyak pikiran?"
Radi memasukkan kedua tangannya ke saku belakang celana dan menarik napas dalam-dalam. Dadanya yang tegap menggembung sebelum kempis lagi.
"Biasanya aku mendengarkan musik, atau berolahraga," kata Radi. "Kalau masalahnya pelik, aku akan menelepon Ratih, kakakku. Dulu waktu ibuku masih ada, aku juga sering bertanya padanya."
"Apa yang terjadi pada ibumu?"
Kakakku memang suka bertanya tanpa tedeng aling-aling. Beberapa orang akan menganggapnya tidak sopan, tapi tampaknya Radi tidak terganggu. Aneh juga, padahal kakakku baru sekali bertemu dengan pria itu.
"Ibuku meninggal dua tahun yang lalu," jawab Radi. "Bagaimana dengan ibumu?"
"Ibuku dirawat di rumah sakit jiwa."
"Ah. Maaf, bukan maksudku–"
"Nggak apa-apa," kata Arumi enteng. "Ibuku terobsesi pada kecantikan. Suatu hari ayahku meninggalkannya karena bertemu wanita yang lebih cantik. Jiwa ibuku terganggu dan kami harus berpisah dengannya. Aku tidak dekat dengan orangtuaku karena mereka menganaktirikanku, tapi mereka sayang pada Kai."
"Jadi, gara-gara itu kamu sama Kai tinggal bersama?"
Arumi membuang muka. Aku menunggu apa yang akan dikatakan kakakku. Tidak semestinya dia cepat akrab dengan orang asing seperti ini, apalagi sampai menceritakan masalah keluarga kami. Bahkan dengan Ruth yang sudah kami anggap keluarga, kakakku masih suka tertutup.
"Karena aku hampir berakhir sama dengan ibuku..."
Radi terhenyak. Sesaat, pria itu tampak menimbang-nimbang apakah dia akan bertanya lebih jauh atau memutuskan untuk menerima jawaban itu begitu saja.
"Apa yang terjadi?"
Radi menanyakannya. Bagaimana reaksi kakakku?
Arumi membetulkan kerah kaosnya yang sudah melorot sedikit dan bersandar di salah satu tiang gazebo. Dia menatap Radi untuk menilai pria itu. Penilaian kakakku pada seseorang jarang keliru. Kalau dia menganggap seseorang bisa dipercaya, orang itu pastilah betul-betul bisa jaga rahasia.
"Pernah ada tujuh Arumi lain yang hidup dalam diriku," kata Arumi.
Radi terbelalak. Sudah kuduga reaksinya akan seperti itu. Orang-orang yang melihat kakakku pasti sulit percaya bahwa wanita muda yang cantik seperti dia punya masalah mental.
"Apa yang terjadi pada ketujuh Arumi yang lain itu?"
Pertanyaan itu di luar dugaan. Semula kukira Radi akan bertanya mengapa itu bisa terjadi.
"Aku mengusir mereka," jawab Arumi mantap. "Pribadi-pribadi itu muncul karena aku selalu dijelek-jelekkan oleh orangtuaku dari kecil. Mereka tidak menganggapku cantik. Maka terciptalah Lisa, Tammy, Dian, Iffah, April.... dan yang terakhir, Tere dan Janet. Mereka semua sebetulnya hanya ingin melindungiku dari dunia, membuatku menjadi lebih cantik, seksi, memesona. Menjadikanku wanita dambaan setiap laki-laki. Namun setahun yang lalu, aku memutuskan untuk menerima keadaanku dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Aku tidak butuh kehadiran para Arumi itu. Aku memaksa mereka pergi..."
Aku ingin berlari memeluk kakakku dan menyelamati keberaniannya karena telah menceritakan semuanya itu. Selama ini aku mendapat kesan kakakku sedang menutup-nutupi apa yang terjadi padanya. Dia sampai keluar dari pekerjaannya dan tinggal denganku karena khawatir kondisinya akan diketahui orang-orang.
Namun ternyata aku salah. Kakakku sudah menerima masa lalunya itu. Dia tidak lagi takut pada dirinya sendiri atau memusingkan yang sudah-sudah. Sekarang aku tahu Ruth benar. Arumi akan menemukan seorang lelaki yang mencintainya apa adanya, karena dia sudah mencintai dirinya sendiri.
"Nah, aku sudah menceritakan rahasiaku yang paling kelam," kata Arumi. Dia menyenggol Radi dan berkata riang. "Sekarang giliran kamu. Apa rahasia kamu?"
Radi tertawa. Udara terasa lebih ringan di sekitaran gazebo ini. Aku ingin memberitahu kakakku bahwa Radi adalah paman Kencana, tapi pasti dia tak bisa mendengarku. Lagipula menjadi paman Kencana sepertinya bukan sesuatu yang patut dirahasiakan. Aku yakin sebentar lagi kakakku sadar bahwa Ratih kakak perempuan Radi adalah ibu Kencana, yang kisah cintanya sudah kutulis ulang.
"Aku dulunya seekor kucing."
Giliran Arumi yang tertawa. "Kucing?"
Radi mengangguk. Wajahnya berubah merah padam, tetapi dia tidak menunduk. "Ya, kucing."
"Apa kamu mau bilang kalau Bula kucing peliharaan kamu itu sebetulnya sepupu kamu?"
Aku menatap Ruth. Aku tahu tentang anak laki-laki yang berubah menjadi kucing, tetapi namanya bukan Radi. Ruth menyentuh pundakku, menandakan bahwa dia paham kebingunganku dan menunjuk Radi yang mulai bercerita lagi.
"Bula bukan sepupuku, tapi aku mengenal Cipo, ayahnya..." kata Radi. "Awalnya Cipo benci sekali padaku. Tetapi sejak rumah kami kebakaran, dia jadi lebih akrab. Aku berteman baik dengan Mimi, ibunya..."
"Oh, apakah gara-gara kebakaran itu kamu pindah?" tanya Arumi.
"Bukan," jawab Radi. "Kebakaran itu terjadi dulu sekali, saat aku masih SMA. Kakakku baru akan lulus kuliah sebentar lagi. Waktu itu aku masih muda dan bodoh. Keluarga kami biasa-biasa saja, dan aku marah pada ibuku karena terus-terusan menggerecokiku. Saking kesalnya, aku berdoa pada Tuhan supaya tidak jadi anak ibuku lagi..."
"Seringkali doa-doa memang lebih mujarab dari dugaan kita," kata Arumi sambil terkekeh pelan. Aku tahu kakakku juga pernah mengalami kejadian serupa. Dia sering berdoa supaya tidak ada lagi yang menghina fisiknya dan tiba-tiba saja ayahku berganti wanita dan ibuku jadi sakit jiwa. "Jadi karena itu kamu berubah menjadi kucing?"
Radi geleng-geleng sebentar. "Aku tahu cerita ini kedengarannya nggak masuk akal..."
"Aku percaya kok," kata Arumi serius.
Radi terperangah. Dia sampai mencondongkan tubuh pada kakakku. "Selama ini orang-orang mengira aku mengarang-ngarang cerita itu..."
"Aku percaya," ulang kakakku. "Awalnya aku juga tidak percaya jiwa manusia bisa terpecah menjadi tujuh sampai itu terjadi padaku. Kalau saja hal seajaib itu bisa terjadi, kenapa tidak manusia bisa berubah jadi kucing? Tuhan itu Maha Kuasa..."
Radi terpana. Selama beberapa detik tidak ada yang bicara. Dua manusia itu hanya saling pandang saja. Akhirnya sebuah senyum tipis terulas di wajah Radi. Senyum lega yang sama seperti yang tadi kulihat muncul di wajah Nino dan Ratih.
"Cinta ibuku mematahkan kutukan itu," kata Radi. Dia tak lagi kedengaran risih. "Pada malam kebakaran itu terjadi, ibu dan kakakku terkurung di dalam rumah. Aku dan Mimi mencoba menolong mereka, tapi sebagai kucing kami tidak mampu berbuat banyak. Ibu dan Ratih akhirnya terbangun, tetapi api sudah hampir melahap habis seluruh rumah. Para tetangga berhasil menyelamatkan Ratih. Namun ibuku terjebak di halaman belakang karena puing-puing rumah sudah memblokir jalannya. Sebagai kucing, aku mengeong pada ibuku supaya dia menyelamatkan diri dengan melompati tembok pembatas menuju rumah tetangga sebelah. Hanya itu satu-satunya cara. Ketika mencoba memanjat tembok, ibuku terjatuh dan kakinya patah. Api berkobar semakin hebat dan saat itu rasa-rasanya kami berdua akan mati terbakar. Tetapi ibuku malah menyelamatkanku. Dia mengangkat tubuh kucingku ke atas tembok dan memintaku untuk pergi. Lalu semuanya jadi gelap dan tahu-tahunya saat terbangun, aku sudah menjadi manusia lagi."
Aku tercengang mendengar akhir kisah itu. Ruth tidak pernah menceritakan padaku apa yang terjadi selanjutnya setelah kebakaran itu.
"Lalu bagaimana dengan ibu dan kakak kamu?" tanya Arumi.
"Mereka selamat. Para tetangga muncul tepat waktu dan menarik ibuku melewati tembok. Rumahku terbakar habis, tapi itu tak jadi soal. Yang penting kami bertiga masih bersama-sama..."
Bersama-sama...
Kata-kata penutup dari kisah Radi itu seperti bergema di udara. Aku menyaksikan kakakku dan Radi yang berdiri berhadap-hadapan. Seharusnya keduanya kaget atau takut setelah mendengar kisah masing-masing, tapi itu tidak terjadi. Keduanya hanya saling memandang satu sama lain. Sesuatu sedang terjadi di antara mereka berdua; semacam hubungan yang baru dan ajaib antara sang wanita yang pernah menyimpan tujuh kepribadian dalam dirinya dan si laki-laki yang pernah hidup sebagai kucing di suatu masa. Hubungan ini tak hanya terasa magis, tetapi juga manis.
Seorang perawat mendatangi gazebo itu. Dia menghadap pada Radi. "Apa bapak Dokter Radidalu Kuncoro?" tanyanya.
"Ya, saya Dokter Radi."
"Dokter Irfan ingin bertemu dengan Anda..."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top