Bagian 6 - Nino dan Ratih



Dunia bersiap untuk hidup kembali.

Dua hari yang lalu, pemerintah mengumumkan bahwa vaksin untuk virus mematikan itu sudah ada. Vaksin itu ditemukan oleh gabungan tim peneliti dari Amerika Serikat, Inggris, Jepang, dan Tiongkok. Para pahlawan ini dianugerahi hadiah Nobel untuk penemuan mereka.

Meski masih perlu waktu untuk menyalurkan vaksin itu ke negara-negara yang terjangkiti, orang-orang sudah larut dalam euforia. Ini artinya mimpi buruk berkepanjangan itu sudah berakhir. Selama setahun virus itu merajalela, ia mewabah di dua ratus sepuluh negara, menyerang tiga juta orang di seluruh dunia, dan merenggut nyawa lima ratus ribu manusia.

Siaran-siaran berita sibuk menyiarkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Bumi pasca pandemi, begitu mereka menyebutnya. Orang-orang sudah tak sabar ingin beraktivitas seperti biasa. Tuntutan untuk segera mencabut larangan keluar rumah yang sudah kami jalani selama berbulan-bulan lantang diserukan.

Aku juga sudah tak sabar kembali menjalani hidup normal. Karena sudah terbiasa belajar jarak-jauh secara online, aku hampir lupa bahwa aku sedang berkuliah. Seperti apa rupa teman-temanku sekarang, ya? Selama ini kami hanya bertukar kabar lewat media sosial.

Sambil rebahan di tempat tidur, aku menggulir linimasa Instagram milikku. Isinya sebagian besar adalah foto-foto temanku. Mereka juga terjebak di rumah dan bosan, hal itu terlihat jelas dari latar belakang foto-foto mereka yang cenderung itu-itu saja. Rentang setahun itu juga tampak dari rupa teman-temanku. Ada yang menjadi lebih gemuk, ada yang berhasil menurunkan berat badan, ada juga yang memendekkan atau memanjangkan rambut.

Tapi ada seseorang yang tidak berubah.

Setiap kali membuka media sosial, foto dialah yang pertama kali kucari. Kami berteman, tapi tidak terlalu akrab. Sejujurnya aku ingin lebih akrab dengannya. Aku pertama kali mengenalnya saat di semester dua. Waktu itu kami ada kelas bersama, dan sampai semester empat ini, kami lebih sering sekelas. Aku beranggapan mungkin kami ditakdirkan untuk jadi tambah dekat.

Namanya Mika.

Kakakku selalu bilang aku tampan, tetapi aku tidak tertarik pada fisik, melainkan isi otak. Itu benar. Alasannya mungkin karena ibuku sering mengikutkanku pada lomba model sejak kecil - aku sudah jengah dikelilingi orang-orang rupawan. Hal paling pertama yang membuatku kepincut pada Mika adalah pemikiran-pemikirannya. Dia jenis mahasiswa yang berani bertanya dan mendebat dosen. Kalau sang dosen tidak memberi jawaban yang memuaskan, dia akan mengusut sampai tuntas. Komentar-komentarnya kritis, bukan asal ceplas-ceplos. Dan yang paling kusuka, Mika selalu melihat semuanya dari berbagai sisi. Karena sering sekelas dengannya dan melihatnya beraksi, lama-lama aku terpukau.

Tidak seperti muda-mudi seumuran kami, Mika jarang mem-posting foto atau story. Dalam setahun ini, dia hanya menambahkan tujuh foto baru pada profilnya. Foto-fotonya juga bukan jenis yang diedit berlebihan agar Instagramable, tetapi standar-standar saja, bahkan sedikit menjemukan. Mika saat gunting rambut. Mika saat bermain dengan kucing peliharaannya. Mika saat berbelanja ke pasar bersama ibunya, wajah keduanya tertutup masker.

Muncul notifikasi ada pesan WhatsApp baru. Pesan itu berasal dari grup kelas kami.


'Jalan-jalan, yuk 😜 😜 😜'Bagas, si ketua kelas.

'Ih, masih dilarang kali! Kena virus lho! 😷,' – Karen.

'Baca berita, cantik @Karen. Vaksinnya udah ketemu.' – Rudi.

'Makanya kita jalannya diem2 aja @Bagas @Karen @Rudi. Mati gaya gue di rumah terus. Emang kalian nggak bosen?' – Gigi.

'Sama sih. Gue sampai lupa wajah kalian kayak apa 😬' – Stefan.

'Alah, si @Gigi pasti udah pengen nyalon tuh...' – Ahmad.


Obroan itu masih berlanjut. Ada-ada saja. Aku mengabaikan kumpulan chat itu, tetapi tiba-tiba sebuah pesan baru muncul dan langsung mencuri perhatianku.


'Kuy, lah! Ga usah mampir, muter-muter Bogor aja...' – Mika.


Aku langsung duduk tegak. Mika akan ikut?

Wah, kalau dia ikut, aku juga mau! Maksudku, sudah setahun aku tidak bertemu dengannya. Bukankah ini saat yang tepat?

Aku jadi galau. Mendadak ketakutan diserang virus terkalahkan niatku untuk bertemu Mika. Tanpa sadar jari-jariku sudah bergerak, mengetikkan sebaris pesan balasan.

'Gue ikut dong...'

...

Hanya beberapa teman sekelasku yang setuju dengan acara jalan-jalan dadakan itu. Bagas dan Karen akan membawa mobil untuk mengangkut enam orang yang mau ikut. Mika akan ikut mobil Bagas, dan mereka akan datang menjemputku di depan rumah.

Tentu saja aku tidak memberitahu kakakku. Dia bisa histeris kalau tahu aku mau pergi jalan-jalan. Aku tidak terlalu memusingkan acara jalan-jalannya, tetapi lebih ingin bertemu Mika. Bukan hanya sekedar melihat-lihat profil Instagram nya saja, tetapi betul-betul bertemu dengannya. Meskipun hanya sekilas...

Menjelang pukul dua siang, aku mengendap-endap menuju halaman depan. Kebetulan Arumi sedang sibuk berkebun di halaman belakang.

Aku melihat Brio biru milik Bagas berhenti di seberang jalan. Kaca jendela diturunkan, dan seseorang menyapaku.

"Kai!"

Sekujur tubuhku gemetaran. Mika tersenyum lebar, seperti senang sekali melihatku. Aku membalas lambaiannya, saraf-sarafku mendadak mogok bekerja.

Aku menyeberang jalan untuk menghampiri mereka. Kegembiraan yang manis membungkusku penuh-penuh, langkah-langkahku terasa amat ringan seperti sedang terbang...

"KAI! AWAS!"

Ada yang berteriak dari belakangku. Itu suara Ruth. Aku menoleh dan melihat sebuah truk sedang melaju kencang ke arahku. Lalu segala sesuatunya terjadi dengan sangat cepat, seakan-akan ada yang menekan tombol 'Fast Forward.' Ada tangan-tangan yang mendorongku ke seberang jalan, suara benturan yang keras, dan aku terjatuh.

Kesakitan yang hebat menyerangku dan sekonyong-konyong laju dunia yang super cepat itu berhenti, digantikan oleh kegelapan yang pekat.

...

Ada sebuah suara yang memanggil-manggil.

Suara itu kecil dan lemah. Aku mencoba memutar tubuhku dan menghadap ke arah sumber suara itu, tetapi aku tak bisa bergerak. Ada yang menjeratku dengan ketat. Tidak, bukan. Tubuhku yang tidak mau bergerak. Namun suara yang memanggil-manggil itu kian terdengar memaksa, dan aku tidak bisa membiarkannya lagi.

Aku mencoba lagi dengan lebih gigih. Kukerahkan seluruh tenagaku untuk bergerak. Sungguh sulit, rasanya seperti ingin mencabut jangkar gunung. Tapi aku tidak menyerah.

'Kai!'

Suara itu menjadi lebih jelas, memanggil namaku. Aku mengerang dalam upaya membebaskan diri dan tahu-tahunya aku terlepas. Tubuhku terasa seringan bulu, terombang-ambing di udara dengan bebas. Aku bergegas mendekati suara itu – bukan dengan menapak, bukan juga dengan melayang. Entahlah, sensasi ini aneh. Aku baru pertama kali merasakannya.

Pada titik di mana suara itu bermula, aku melihat seseorang. Sosok yang kukenal. Ia amat rapuh karena usianya yang sudah nyaris seabad, tapi juga kuat. Aku bisa merasakan tarikannya yang mantap pada lengan-lenganku yang ringan seperti tanpa bobot...

Ruth.

Ia berpendar seperti mutiara di tengah kegelapan ini. Aku mengerjap-ngerjap supaya bisa melihatnya dengan lebih jelas. Dia adalah Ruth, tetangga sekaligus sahabatku. Namun ada sesuatu yang berubah dalam dirinya, sesuatu yang menjadi lebih baik. Aku belum bisa menemukan apa perubahan itu...

"Apa kamu mau jalan-jalan, Kai?"

"Kita ada di mana, Ruth?"

"Aku juga nggak tahu," jawab Ruth. Suaranya terdengar lebih lapang, seakan-akan beban kehidupannya yang panjang itu sudah diangkat darinya. "Bagaimana kalau kita mencari tahu?"

Aku mengangguk. Ruth membimbingku melewati tempat yang gelap itu. Tempatku berpijak terasa lembut seperti awan, tetapi lama-kelamaan memadat. Pancaran cahaya dari tubuh Ruth juga membesar, dan perlahan-lahan mengusir kegelapan yang menyesakkan itu. Aku bisa melihat koridor berdinding putih dengan lantai dari keramik yang lusuh. Banyak orang-orang lalu-lalang, mereka berseragam putih. Sebagian memakai topi kecil dari kertas di kepala, yang lain punya sebuah alat yang tergantung dari lehernya. Aku tahu siapa orang-orang ini, tetapi kegelapan yang tadi sudah menghisap habis pengetahuanku tentang dunia. Aku berpikir keras, merasa seperti bayi yang baru pertama kali belajar mengindra.

Alat itu namanya stetoskop.

"Ini... di rumah sakit?"

Ruth tersenyum samar. "Sepertinya begitu."

Kami melintas di belakang para dokter dan perawat yang sibuk itu. Aneh sekali, mereka tidak menyadari kehadiran kami. Mereka sedang mendorong dua tempat tidur, dua sosok terbaring di atasnya. Karena ramai, aku tidak bisa melihat wajah-wajah di atas tempat tidur itu.

Ruth meninggalkan ruangan itu. Langkah-langkahnya mantap dan cepat. Tidak ada sendi-sendi yang kaku atau tangan-tangan yang gemetar.

Aku berlari-lari kecil untuk menyusul Ruth. "Kita mau ke mana?"

Ruth berhenti. Kami tiba di sebuah ruang tunggu rumah sakit. Ada pos perawat, sebuah televisi layar datar di dinding, dan bangku-bangku panjang tempat orang menunggu. Bangku-bangku itu nyaris kosong. Suasana di sini begitu sunyi, berbeda sekali dengan ruangan sebelumnya yang kacau balau. Hanya terdengar suara-suara dari televisi yang sedang menayangkan acara kuis. Rupanya orang-orang masih menghindari rumah sakit karena takut terkontaminasi virus.

Namun ada seorang pemuda yang duduk di salah satu bangku. Dia sedang membungkuk rendah, punggungnya yang kurus melengkung seperti bulan sabit sehingga aku tidak bisa melihat wajahnya.

Pemuda itu sedang menangis.

Ruth berdiri di samping pemuda itu, tetapi ia tidak menyadari kehadiran sahabatku itu.

Ada suara langkah yang mendekat. Aku mendongak dan melihat seorang wanita masuk ke ruang tunggu. Usianya sekitar awal empat puluhan. Kemejanya agak kusut, dan ada noda-noda merah gelap di celana panjangnya. Sepertinya itu noda darah, tapi wanita itu tampak baik-baik saja.

"Nino..."

Aku pernah mendengar nama itu sebelumnya. Aku mengingat-ingat, berusaha mencocokkan nama itu dengan wajah-wajah dalam ingatanku, tetapi rasanya sulit sekali.

Pemuda itu bernama Nino itu menengadah. "Bu Ratih..."

Ratih. Nama itu... Aku masih tidak ingat apa-apa.

"Mereka sedang ditangani," kata Ratih pada Nino. "Transfusi darah sudah dilakukan. Sekarang tidak ada yang bisa kita lakukan selain menunggu."

Hidung Nino merah dan sisa-sisa air mata masih menggenang di sudut-sudut matanya. "Tapi... bagaimana kalau seandainya Eyang..."

Ratih mengusap-usap punggung Nino. "Mereka akan baik-baik saja."

Nino menelan ludah dan terisak dengan pedih. Ruth masih mengamati mereka dari belakang. Aku heran bagaimana Nino dan Ratih tidak bisa menyadari kehadiran kami. Apakah kami kasat mata bagi mereka?

"Apa kamu sudah menelepon orangtua kamu?" tanya Ratih.

"Mereka sedang kemari." Nino mengangguk dalam-dalam. "Seharusnya sebentar lagi sampai."

Ratih tersenyum. Dia masih mengusap-usap punggung Nino, tetapi pemuda itu kelihatan sangat terpukul. Apa yang sebenarnya telah terjadi? Mengapa Nino dan Ratih ada di sini?

"Aku tahu Eyang udah tua," kata Nino dengan suara tersendat-sendat. "Umurnya sembilan puluh tahun. Tapi aku nggak nyangka Eyang akan pergi dengan... dengan cara seperti ini."

"Eyang kamu tidak akan meninggal, Nino," kata Ratih sabar.

"Aku sengaja datang untuk ke rumah Eyang untuk mengurusnya. Baru sehari di situ, tiba-tiba peristiwa ini terjadi dan... dan..."

Kata-kata Nino lenyap digantikan air mata. Dia meninju bangku itu dengan geram.

Ratih mengalungkan tangannya di pundak pemuda itu dan merangkulnya. "Tidak ada yang tahu kapan ajal datang menjemput, Nino..."

Suara Ratih menjadi lebih dalam. Apa dia akan menangis juga? Raut wajah Ratih yang tegang dan letih perlahan-lahan menjadi lebih rileks. Sambil merangkul Nino, dia menerawang ke arah koridor yang lengang, seperti ingin mengenang masa lalu.

"Kita hanya bisa berusaha hidup sebaik-baiknya," kata Ratih. "Sebagai manusia, kita lemah dan bisa terserang penyakit. Kalau berobat kita pasti sembuh, tetapi ada juga beberapa penyakit yang misterius. Saya juga pernah berada di posisi kamu, Nino. Lima tahun yang lalu, putri semata wayang saya terserang penyakit aneh..."

Aku terhenyak. Entah mengapa aku merasa pernah mendengar tentang cerita ini.

Perhatian Nino terfokus sepenuhnya pada Ratih. "Apa yang terjadi pada anak Bu Ratih?"

Ratih tertunduk lalu geleng-geleng kepala. "Kalau saya cerita, kamu pasti mengira saya gila..."

Nino jadi sedikit ragu-ragu. Tapi kemudian dia mengangguk yakin. "Tolong ceritakan, Bu Ratih... Saya ingin mendengarnya."

Ratih menatap lututnya. "Putri saya menghilang."

"Maksud Bu Ratih... diculik?"

"Bukan diculik," kata Ratih. "Tapi hilang. Para dokter yang memeriksa putri saya bingung karena mereka tidak pernah menangani penyakit seperti itu. Mereka menyebutnya Penyakit 'Kasat Mata'..."

Nino tidak mengatakan apa-apa, tetapi ekspresi wajahnya menunjukkan bahwa dia sedang menyimak dengan serius. Ratih melanjutkan.

"Putri saya tidak hilang sekejap, tetapi perlahan-lahan. Yang pertama hilang adalah kedua jari kakinya. Lenyap begitu saja sepulang sekolah. Lalu anggota-anggota tubuhnya yang lain mulai lenyap satu demi satu; jari-jari tangannya, lututnya, daun telinganya, gigi-giginya... Putri saya berubah dari remaja putri enam belas tahun yang jelita menjadi monster dengan tubuh bolong-bolong mengerikan..." Ratih berhenti sejenak untuk mengambil napas. "Saya tidak bisa melakukan apa-apa untuk menyelamatkannya. Kami mendatangi dua lusin dokter, bertanya pada semua orang, tapi tidak ada yang tahu penyakitnya dan cara menyembuhkannya..."

Punggung Nino yang tadi membungkuk lesu perlahan-lahan menjadi lurus. Dia menatap Ratih dengan pandangan tak percaya, matanya melebar penuh arti.

"Bahkan dengan kondisi tubuh yang sakit parah seperti itu, putri saya masih memaksakan diri ke sekolah," lanjut Ratih. "Waktu itu saya tidak tahu kalau dia sedang jatuh cinta pada seorang pemuda di sekolahnya. Saat tubuh putri saya lenyap seutuhnya, barulah dua teman karibnya memberitahu saya apa yang sebenarnya dia lakukan di hari terakhirnya hidup di dunia ini. Putri saya nekat kabur dari rumah sakit untuk menyatakan perasaannya pada pemuda yang disukainya itu. Nama putri saya..."

Nino yang menyambungnya. "Kencana..."

Sekonyong-konyong aku merasa tubuhku ditarik oleh sesuatu yang berpilin seperti pusaran air. Pemandangan ruang tunggu rumah sakit itu berubah. Sosok Nino, Ratih dan Ruth menghilang.

Ada apa ini?

Saat pusaran itu terhenti, ruang tunggu rumah sakit sudah tidak ada. Aku sedang berada di bawah pohon besar yang rindang, di sudut sebuah lapangan basket. Hari sudah menjelang sore, tetapi matahari masih bersinar dengan perkasa di langit.

Ada yang bergerak mendekatiku. Aku menyipitkan mata untuk melihat lebih jelas. Seorang gadis di kursi roda sedang bergeser perlahan-lahan ke arahku. Gadis itu memakai pakaian rumah sakit warna biru pucat. Setelah dia semakin dekat, aku baru menyadari penampilannya yang mengerikan. Selimut di pahanya dipakai untuk menutupi tungkai kakinya yang tidak ada. Jari-jari tangan kanannya sudah lenyap semua. Sebuah perban menutupi satu sisi matanya.

Gadis ini... Kencana?

Saat sudah dekat, kursi roda Kencana macet. Dia mencoba menggesernya untuk maju, tetapi roda-roda kursi roda itu terjebak oleh akar-akar pohon yang tebal. Aku menjulurkan tangan untuk menarik kursinya, tetapi yang kugenggam hanyalah udara kosong. Aku tidak bisa menyentuhnya. Kencana terisak karena frustasi, dia mencoba lagi lebih keras, tatapannya terpaku pada seseorang di belakangku.

Kencana memanggil sosok itu. 'Senja...'

Namun tiba-tiba kursi rodanya terguling. Kencana memekik, dia membuka mulutnya untuk meneriakkan sesuatu, tetapi mulutnya hanya bergerak-gerak tanpa suara. Dan mendadak tubuhnya yang sudah rusak itu menghilang sepenuhnya tepat sebelum dia jatuh membentur tanah.

'Aku suka padamu...'

Aku berbalik dan melihat seseorang di belakangku. Seorang pemuda sedang tidur di sebuah bangku, tetapi dia terbangun karena mendengar suara derak kursi roda yang terbalik itu. Dia bangkit dan melihat kursi roda yang terguling tanpa tuan itu. Ekspresi di wajahnya merupakan campuran antara rasa bahagia, takut dan kecewa.

Pemuda itu adalah Nino.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top