Bagian 5 - Arumi
Kalian pasti sudah tahu dongeng tentang Putri Salju alias Snow White.
Dalam dongeng tersebut dikisahkan bahwa ibu tiri Putri Salju, sang Ratu yang kejam punya sebuah cermin ajaib. Setiap hari sang Ratu bertanya kepada cermin itu, siapa wanita paling cantik di dunia. Frasa Bahasa Inggris-nya mungkin sering kalian dengar; "Mirror mirror on the wall, who's the fairest of all?" Dan setiap hari pula cermin itu menjawab bahwa sang Ratulah wanita tercantik. Sampai suatu hari cermin itu berkata bahwa Putri Saljulah wanita tercantik di dunia, bukan lagi sang Ratu. Jawaban itu membangkitkan kemurkaan sang Ratu dan mengawali dongeng yang terkenal itu.
Arumi punya sebuah cermin di kamarnya. Cermin itu hanyalah cermin rias biasa, tidak ajaib seperti dalam dongeng Putri Salju. Setiap hari Arumi selalu menatap bayangan dirinya sendiri di cermin itu. Tidak ada yang memberitahunya bahwa dia adalah wanita tercantik sedunia. Dan itu juga memang tidak mungkin. Jelas bahwa Arumi bukan gadis tercantik sedunia.
Ada bulatan-bulatan hitam bekas jerawat di pipi dan dagu Arumi. Alisnya terlalu tebal untuk ukuran perempuan, dan tetap tumbuh seperti semak ilalang tak peduli sesering apa Arumi merapikannya. Hidungnya lancip, tetapi terlalu lancip sehingga ujungnya mirip pensil. Rambutnya hitam, tetapi kelewatan hitam seperti digosok arang.
Arumi benci penampilannya. Tidak seperti Putri Salju, Arumi yakin tidak akan ada pangeran tampan yang akan mendatanginya dan mengajaknya menikah. Dia terlalu biasa-biasa saja.
Sebenarnya sebutan 'biasa-biasa saja' ini sudah sedikit melebih-lebihkan, karena aslinya ayahnya menyebutnya jelek. Ya, jelek. Pria itu tidak repot-repot pura-pura memuji putrinya cantik, dia memilih mengungkapkannya dengan terus terang.
Jelek.
'Kau jelek, tidak seperti ibumu.'
Ayah Arumi memegang jabatan tinggi di sebuah perusahaan nasional. Sementara ibunya adalah wanita simpanan. Ayah Arumi jatuh hati pada ibunya adalah karena wanita itu cantik, sangat cantik, bahkan melebihi kecantikan istri aslinya. Ayahnya sering bilang dia menyesal tidak mengenal ibu Arumi lebih dulu dibanding istrinya. Ujung-ujungnya ayahnya menceraikan istri sahnya dan memilih wanita selingkuhannya. Ibu Arumi tahu dia cantik, dan dia memanfaatkan kecantikannya itu semaksimal mungkin. Ayah Arumi tergila-gila pada ibunya – bucin, menurut istilah sekarang, dan akibatnya hidup ibunya selalu bergelimang harta.
Ibunya mirip seperti sang Ratu dalam dongeng Putri Salju, yang yakin dirinya adalah wanita tercantik sedunia. Ayahnya adalah si cermin ajaib, yang setiap hari memuji kecantikan sang Ratu.
Kemudian ibu Arumi mengandung.
Ayahnya selalu bilang bahwa anak-anak dari istri sahnya jelek dan tidak menarik. Dia tidak memuja anak-anak itu dan merawatnya sebatas kewajiban semata, bukan karena cinta. Tapi anak dari istri simpanannya adalah hal lain; wanita itu cantik, maka keturunannya pun akan serupawan itu. Apalagi ketika tahu bahwa mereka akan mendapatkan seorang putri. Ayahnya menyiapkan sebuah nama yang indah untuk bakal putrinya itu; Arumi, yang berarti indah dan wangi. Dia berharap putrinya itu akan lahir dengan paras bak seorang dewi, seperti sang istri.
Namun betapa kecewanya ayahnya ketika Arumi lahir.
Arumi tidak ingat kata-kata pertama ayahnya saat melihatnya karena dia masih bayi, tetapi dia yakin ayahnya mengatainya jelek. Kelak cercaan itu terus-menerus digelontorkannya seumur hidup Arumi. 'Kau sama saja seperti anak-anakku yang lain. Jelek. Kau tak cantik seperti ibumu. Tidak ada yang akan menikahimu dengan tampang seperti itu...'
Waktu umurnya sebelas tahun, Arumi mulai sering memandangi dirinya sendiri di cermin. Dia mempelajari wajahnya dan membandingkannya dengan foto ibunya. Kecuali matanya, tidak ada hal lain dalam diri Arumi yang mirip ibunya. Sebagian besar dia mirip ayahnya. Ya, dia mirip ayahnya.
Suatu kali saat sedang berbelanja, Arumi menunjuk sebuah gaun warna jingga yang indah sekali. Dia bertanya apa dia boleh dibelikan gaun itu.
"Gaun itu terlalu cantik untukmu," komentar ayahnya pedas. "Kau jelek, Arumi."
"Aku bukan jelek," kata Arumi, teringat analisisnya di depan cermin. "Aku mirip ayah!"
Mendengar itu, ayahnya terbahak-bahak. "Kau anak perempuan. Kau seharusnya mirip ibumu!"
Mendengar itu, hati Arumi tertusuk-tusuk. Tapi dia mengabaikannya. Dia masih ingin memiliki gaun itu. "Jadi apa aku boleh dibelikan gaun ini?"
Ibunya melepas gaun itu dari gantungan dan menaruhnya di troli belanja. "Ambil saja."
"Terserah," kata ayahnya masa bodo.
Ibu Arumi tidak pernah terang-terangan mengatainya jelek, tapi tak pernah juga memujinya cantik. Ketika ayahnya mencacinya, yang dilakukan ibunya hanyalah mengganti topik. Sepertinya mengakui bahwa putrinya punya setitik saja kecantikan terasa seperti menelan racun bagi ibunya, jadi wanita itu tidak pernah mengatakan apa-apa. Setiap kali Arumi dihina, ibunya hanya menatapnya iba – mengasihani rupa putrinya yang tak sekaliber dirinya. Mungkin ibu memang seperti sang Ratu jahat dalam dongeng Putri Salju, Arumi pernah berpikir seperti itu. Tidak mau kecantikannya tertandingi wanita lain, apalagi anaknya.
Meski begitu bukan berarti Arumi berhenti berusaha untuk tampil lebih menarik. Suatu kali, saat usianya lima belas tahun, dia pernah mencoba menggunakan beberapa produk make-up. Dari apa yang dilihatnya di televisi, internet, dan majalah, Arumi yakin dia bisa jadi cantik. Bahwa dia tidak sejelek seperti yang dikatakan kedua orang tuanya. Namun ketika Arumi muncul dengan menggunakan riasan, ibunya malah menghardiknya.
"Kau mirip pelacur!" bentak ibunya. "Gadis baik-baik tidak seharusnya memakai rias wajah tebal dan norak seperti itu!"
"Tapi aku hanya ingin memperbaiki penampilanku," jawab Arumi. Aneh juga ibu mengataiku mirip wanita jalang, padahal dia sendiri merebut ayah dari istri sahnya. "Aku tidak jelek seperti yang ayah dan ibu sering katakan!"
Mendengar itu ibunya hanya tertawa. "Mengapa kau tidak bisa menerima saja fakta bahwa penampilanmu memang biasa dan tidak sedap di mata?"
"Karena ayah dan ibu selalu menyebutku jelek," balas Arumi. "Aku tidak jelek!"
"Kau memang jelek!" tukas ibunya. "Berhenti berusaha menjadi cantik! Terima saja nasibmu!"
Sejak saat itu, Arumi berhenti mencoba memperbaiki penampilannya. Bukan karena dia sudah putus asa, tetapi karena dia tahu, tidak peduli seberapa keras dia mencoba atau seberapa gigih dia meyakinkan dirinya sendiri, orang tuanya pasti akan selalu mencercanya.
Hinaan berkepanjangan itu membawa pengaruh buruk dalam hidup Arumi. Dia tumbuh menjadi gadis yang pemurung dan kepercayaan dirinya sangat rapuh. Arumi merasa bahwa semua orang yang melihatnya ikut-ikutan menghinanya. Entah betul mereka melakukannya, atau semua itu hanya terjadi di kepalanya saja, Arumi yakin orang-orang lain pun tidak menginginkannya. Satu-satunya yang tidak pernah menghakiminya adalah cermin yang tergantung di kamar tidurnya itu. Itulah sebabnya mengapa Arumi masih mempertahankan cermin itu, meski setiap kali memandang ke dalamnya dia merasa jijik pada bayangan yang terpantul di sana.
...
Sebetulnya, keadaan mulai menjurus ke arah perubahan saat Arumi berusia tujuh tahun.
Waktu itu ibunya mengandung lagi. Anak kedua. Tidak seperti Arumi yang hasil 'kecelakaan', anak yang satu ini betul-betul diinginkan. Agaknya ayahnya belum akan berhenti berusaha sampai mendapatkan anak-anak yang rupawan.
Adik Arumi itu seorang anak laki-laki. Parasnya elok, berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Arumi dan saudara-saudara tirinya. Rahangnya tegas, hidungnya mancung dan pelipisnya tinggi seperti orang-orang Barat. Adik Arumi itu mewarisi wajah ibunya dan hanya mengambil bagian-bagian terbaik dari ayahnya. Orangtuanya menamainya Kai, artinya laut dalam bahasa Hawaii. Nama itu cocok untuk Kai, karena dia gagah tetapi juga lembut, persis seperti laut.
Ketampanan Kai kian jelas saat anak itu tumbuh dewasa. Ibu sering mengikutkan Kai pada kontes-kontes model cilik, dan anak itu selalu menang. Sebagai kakak, Arumi menyayangi Kai dan dia bangga pada prestasi-prestasi adiknya itu.
Awalnya Arumi mengira kehadiran Kai akan membuat membuat hidupnya lebih baik. Dia berharap orangtuanya akan berhenti menghinanya, tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Kai seolah menjadi bukti hidup yang mengukuhkan pendapat orangtua Arumi tentangnya; dia jelek. Kalimat-kalimat ayahnya kini tambah menyakitkan. "Kau jelek. Tidak seperti ibumu atau adikmu. Hanya kau seorang yang jelek."
Meski begitu, Kai tidak membenci Arumi. Anak itu malah bingung mengapa Arumi terus-terusan dihina. Suatu hari dia pernah berkata, "Kak, aku nggak merasa kakak jelek, kok."
Arumi tersentak mendengar itu. "Benarkah?"
"Iya. Aku juga nggak ngerti kenapa Mama sama Papa menganggap kakak jelek. Aku pernah bertanya sama ayah..."
Arumi tertegun. Ya, mengapa aku tidak pernah memikirkan itu? Pasti ada alasan mengapa orangtuanya begitu membenci keburukrupaan. "Apa jawaban ayah, Kai?"
"Ayah bilang, sewaktu muda dia pernah suka pada seorang gadis," kata Kai. "Namun gadis itu menolaknya. Ayah mengira alasan penolakan gadis itu adalah karena ayah miskin, jadi dia berusaha keras untuk mengumpulkan uang. Ayah merintis perusahaannya yang sekarang dan jadi pengusaha sukses. Setelah punya cukup harta, ayah kembali menanyai gadis itu. Namun gadis itu tetap menolaknya. Dia bilang bahwa uang ayah tidak sanggup mengubah tampangnya yang jelek..."
Jadi begitu, pikir Arumi. Ayahnya punya luka batin karena penampilannya. Pantas saja dia terobsesi pada kesempurnaan fisik. Pastilah dia memacari ibu dan istri sahnya karena ingin membuktikan bahwa dirinya tidak sejelek tuduhan gadis itu...
"Sedangkan soal ibu...." kata Kai lambat-lambat. "Yah, aku rasa kakak sudah tahu."
Arumi mengangguk. Ibunya berasal dari keluarga yang sangat miskin. Dia tidak punya uang untuk mengenyam pendidikan tinggi. Jadi untuk berhasil di dunia yang kejam ini, ibunya mengandalkan satu-satunya aset yang dia punya, kecantikannya dan mulutnya yang semanis madu. Dengan menggabungkan kedua talenta itu, ibu Arumi berhasil menggaet beberapa pria kaya dan yang paling terakhir tentu saja ayah Arumi – seorang kongolmerat sukses, "tangkapan" terbesar ibunya. Arumi tahu ibunya licik, tetapi setidaknya wanita itu tidak pernah menutup-nutupinya.
Dan begitulah, Arumi menjalani tahun-tahun masa mudanya dalam kecaman orangtua yang terobsesi pada kesempurnaan dan adik laki-laki yang rupawan. Namun rupanya Tuhan tidak tidur dengan segala ketidakadilan yang menimpa Arumi.
Sesuatu terjadi pada ibunya saat Arumi tamat kuliah dan Kai lulus SMP. Tanda-tanda bencana itu datang secara diam-diam seperti pencuri, namun Arumi menyadarinya. Awalnya ayahnya bilang dia harus menghadiri pertemuan penting dan tidak bisa pulang semalam. Lalu semalam berubah menjadi tiga malam dan akhirnya seminggu. Seminggu pulang ke rumah dan seminggu menghilang entah ke mana. Ibu Arumi yang naif masih saja mempercayai kata-kata suaminya. Lama kelamaan ayahnya lebih sering menghabiskan waktu di luar, entah dengan siapa.
Karma memang selalu punya cara yang tepat untuk unjuk gigi.
Tidak perlu waktu lama sampai ibu Arumi tahu bahwa suaminya sudah punya wanita lain. Ketika ditanya mengapa ayah Arumi tega berbuat demikian, jawabannya santai saja. Aku sudah menemukan wanita yang lebih cantik.
Apa yang dirasakan ibu Arumi sama seperti yang dirasakan ibu tiri Putri Salju saat si cermin ajaib memberitahunya bahwa ada wanita lain yang lebih cantik dari dirinya.
Ibu Arumi pun hancur. Perbuatan suaminya meluluhlantakkan apa yang selama ini diyakininya, bahwa dia wanita cantik dan lelaki manapun yang jatuh ke pelukannya pasti tak akan berpaling. Dia salah. Suaminya, tangkapan terbesarnya, si pria kaya yang dulu selalu memujanya, kini mencampakkannya. Ayahnya mengusir ibunya, Arumi dan Kai dari rumah. Mereka harus pindah dari sebuah rumah megah dengan dua belas kamar dan kolam renang air panas ke rumah kontrakan kecil yang menyedihkan. Segala perubahan mendadak ini melemahkan saraf ibu Arumi. Wanita itu mengalami gangguan jiwa dan harus dirawat di rumah sakit.
Meski akhirnya keluarganya hancur, tetapi Arumi melihat sisi baik dari semua kejadian ini. Sekarang, tanpa ayah dan ibunya, tidak ada lagi yang mengatainya buruk rupa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top