Bagian 4 - Nino


Namanya Nino.

Nino pernah bertanya pada orangtuanya mengapa dia dinamai seperti itu. Orangtuanya memberi jawaban yang tidak memuaskan; karena mereka suka dengan nama itu. Nino pernah mencoba Googling arti namanya. Dalam bahasa Spanyol, Nino berarti 'anak muda'. Dalam bahasa Italia, Nino berarti 'kebaikan Tuhan'. Jadi, Nino menyimpulkan namanya bisa berarti 'anak muda yang berasal dari kebaikan Tuhan.'

Kalau dilihat seperti itu, mudah saja berasumsi bahwa hidup Nino selalu penuh berkat. Memang, selama ini dia belum pernah ditimpa kemalangan yang berarti. Keluarganya berasal dari golongan menengah yang biasa-biasa saja. Ibunya bekerja sebagai seorang perawat, sementara ayahnya punya usaha bengkel. Semua kebutuhan hidup Nino tercukupi, apalagi dia anak tunggal.

Satu-satunya hal menyesakkan dalam hidup Nino terjadi waktu dia SMA. Sekarang Nino sudah berkuliah semester empat. Meski sudah empat tahun berselang, setiap kali mengingat kejadian itu Nino masih merasa pedih.

Tidak banyak hal yang bisa menyakiti hati remaja SMA, tetapi kalau ada satu yang punya efek paling dahsyat, itu adalah patah hati.

Nino menyukai seorang gadis, tetapi gadis itu tidak membalas cintanya.

Saat Nino pertama kali melihat gadis itu, dia langsung tersihir dengan parasnya. Apalagi ketika gadis itu membalas ucapan Nino. Suaranya yang lembut bikin Nino gemas. Dia ingin mendekati gadis itu, tetapi tidak tahu bagaimana caranya. Wajar saja, Nino belum pernah berpacaran. Sewaktu SMP, dia pernah tertarik pada gadis-gadis lain tentu, tetapi hanya sekedar mengagumi saja. Dia tidak pernah menyatakan perasaannya pada salah satu gadis-gadis itu. Tetapi gadis yang ditemui Nino sewaktu SMA itu berbeda. Nino betul-betul penasaran padanya.

Namun tiba-tiba gadis itu pindah sekolah, dan Nino tak pernah bertemu lagi dengannya. Setidaknya, begitulah yang dikatakan pihak sekolah tentang gadis itu. Nino ingat betul jawaban beberapa guru yang ditanyainya soal keberadaan gadis itu. Dia pindah ke sekolah lain yang lebih bisa memahami keadaannya...

Sebetulnya bisa saja Nino melacak keberadaan gadis itu, tetapi alasan pindah sekolah bagi anak SMA terasa seperti vonis kematian. Pindah sekolah berarti hilang, lenyap selamanya. Gadis itu akan bertemu teman-teman baru, di sekolah baru yang entah di mana letaknya. Kejadian-kejadian di sekolah lamanya akan menjadi kenangan saja, tidak lebih. Nino tidak tahu apakah gadis itu mengingatnya. Padahal Nino masih ingin mengobrol dengan gadis itu dan mengenalnya lebih jauh. Dia merasa Tuhan tidak adil karena mempertemukannya dengan gadis itu sebentar saja, tanpa memberi kesempatan untuk berbuat lebih.

Demikianlah, Nino merasakan cinta sekaligus patah hati pertamanya sewaktu SMA.

Pengalamannya dengan gadis itu membawa perubahan drastis pada hidup Nino. Gadis itu mengajarkan Nino bahwa setiap pertemuan pasti ada perpisahan, bahwa sukacita karena pertemuan dengan seseorang bisa saja berakhir dengan gundah gulana buah perpisahan selamanya. Terdengar kejam memang, tetapi sudah terjadi.

Dan rupanya bukan hanya Nino saja yang mengalami hal seperti itu. Para sahabatnya juga pernah mengalami hal serupa. Sakti, salah satu sahabat karib Nino, putus dengan pacarnya Inez yang dipacarinya sejak kelas sepuluh saat kuliah semester satu. Yang paling parah adalah Bertha, teman cewek Nino, yang satu kelas terus dengannya sejak semester satu. Bertha pernah patah hati dengan sembilan cowok.

Omong-omong soal galau, dari hasil pengamatan Nino pada teman-temannya, cowok dan cewek merespon patah hati dengan berbeda. Bertha uring-uringan seminggu setelah putus. Nafsu makannya menurun, penampilannya kacau, dan selera hidupnya seperti lenyap. Dia jadi benci pada hal-hal yang berhubungan dengan couple, mulai dari film-film romantis sampai sumpit mi ayam yang selalu berpasangan. Semua kenangan tentang pacarnya dibakar, dibuang, dihapus, atau diremas-remas. Selama seminggu itu Bertha berubah menjadi bom yang sewaktu-waktu bisa meledak. Ledakannya pun punya berbagai wujud, mulai dari tangis meraung-raung yang dramatis ala sinetron, hingga angkara murka persis ibu-ibu yang memergoki lakban toples kue Lebaran dibuka sebelum waktunya.

Namun setelah satu minggu yang menguras emosi itu, Bertha move-on. Dia mulai mengurusi penampilannya lagi dan tak lagi benci pada sumpit mi ayam. Nino menyimpulkan patah hati pada cewek menyebabkan ledakan emosi yang hebat, gawat, tetapi cepat tamat.

Sedangkan cowok berbeda. Di awal-awal dia tahu Inez selingkuh, Sakti juga uring-uringan. Tapi tidak sedramatis Bertha. Sakti marah, meninju tembok kamar kosnya, dan curhat semalaman pada Nino. Keesokannya, Sakti tampak kembali normal. Namun menjelang seminggu, Nino menyadari bahwa Sakti tidak betul-betul kembali seperti semula. Dalam setiap obrolan, pasti ada selipan komentar tentang Inez. Inez yang pembohong. Inez yang tukang selingkuh. Inez yang nggak menghargai kesetiaan Sakti. Selipan-selipan komentar ini terdengar remeh, tapi Sakti terus-terusan mengungkitnya nyaris dalam setiap topik pembicaraan selama sekitar tiga bulan. Setelah mendekati ujian akhir semester, barulah Sakti benar-benar berhenti membahas Inez.

Maka Nino menyimpulkan bahwa reaksi cowok tentang patah hati tidak sedramatis cewek, tetapi berlangsung lebih lama. Tampaknya cowok butuh waktu lebih untuk move-on; mereka mengeluarkan uneg-unegnya sedikit demi sedikit dalam selang waktu yang panjang sampai akhirnya semua perasaannya itu keluar semua.

Sedangkan patah hati versi Nino... Secara sukarela dia menggolongkan dirinya di tengah-tengah, di antara Sakti dan Bertha. Dia menangis sewaktu tahu gadis itu pindah sekolah (seorang diri di kamar, tanpa ada yang tahu), dan butuh lama sekali sampai dia berhasil melupakan gadis itu.

Siang itu, Nino pergi menghampiri motornya di lapangan parkir selesai kuliah. Kelasnya hari ini membosankan sekali, tentang Etika dan Hukum Pemasaran. Nino mengambil jurusan Ilmu Komunikasi. Bukan karena dia suka mengobrol atau punya bakat bercuap-cuap di depan umum, tetapi karena dia sedang memaksa dirinya menjadi orang yang lebih terbuka. Nino mengakui bahwa dia seorang introvert, dan menjalin komunikasi dengan orang lain merupakan tantangan tersendiri untuknya. Dia ingin lebih berani membangun hubungan dengan orang lain.

Yah, kalaupun aku tidak berhasil... pikir Nino sambil memasukkan kunci motor. Setidaknya aku tahu teorinya.

Nino termasuk jenis mahasiswa KKK – Kampus, Kosan, Kantin. Dia hanya mengikuti satu unit kegiatan mahasiswa. Hari ini tidak ada kegiatan UKM, jadi tujuan Nino sudah jelas: kamar kosnya.

Sakti dan Bertha sering bertanya apa Nino tidak bosan menghabiskan sebagian besar waktunya di kamar kos yang berukuran tiga kali empat meter itu. Tapi nyatanya memang Nino jarang bosan. Bagi seorang introvert sepertinya, kamar kosnya adalah sebuah benteng, tempat teraman untuk beristirahat, berlindung, sekaligus berkreasi. Nino senang membaca, dia punya satu rak penuh buku-buku novel di kamar kosnya. Dia juga suka menggambar dan punya koleksi skesta-skesta yang menakjubkan. Kadang-kadang dia belajar memainkan gitar lewat YouTube. Atau bermain catur melawan komputer. Satu jam setiap hari, dia berlatih berbahasa Jepang menggunakan aplikasi Duolingo di ponselnya.

Nino punya seribu alasan untuk tetap di kamar kosnya. Dia jenis manusia yang bisa menyibukkan diri sendiri tanpa orang lain.

Atau setidaknya begitulah yang dia pikirkan.

Nino menggiring motornya keluar dari lapangan parkir. Mendung. Aku harus bergegas.

Padahal sekarang musim kemarau. Makanya Nino meninggalkan jas hujannya di kamar kos. Sewaktu musim hujan berakhir, dia mencuci jas hujannya itu dan lupa memasukkannya lagi ke bawah jok motor.

Saat Nino berhenti di lampu merah, petir menyambar dengan keras di langit. Gelegarnya seakan menggaungkan kemarahan seorang dewa. Nino menatap lampu lalu lintas yang masih merah itu dan berdoa supaya lampunya segera berubah hijau. Dia tidak mau sepatunya basah karena hujan.

Sebutir air hujan jatuh di ujung hidungnya.

Lampu merah berubah hijau. Baru lewat beberapa meter, air hujan yang tadinya hanya setetes itu berubah menjadi hujan deras. Seakan-akan langit sedang menangis karena patah hati ditinggal kekasih, butiran air besar-besar jatuh menghujam bumi, membasahi siapapun yang tak berteduh. Pengemudi-pengemudi yang lain cepat-cepat menepi di trotoar untuk memakai jas hujan, tapi Nino jalan terus. Hanya dalam hitungan detik, tubuhnya langsung basah kuyup.

Kubangan-kubangan air terbentuk di jalan. Jakarta ini memang terkenal tidak bersahabat dengan hujan. Nino menambah laju motornya. Dia sudah terlanjur basah, tapi bukan berarti dia akan membiarkan dirinya lebih basah lagi.

Akhirnya Nino sampai di tempat kosnya. Tempat kos itu bentuknya rumah dua tingkat, tetapi bagian dalamnya telah dimodifikasi. Kamar-kamar tambahan dibangun di ruang keluarga dan teras belakang.

Nino melepas sepatunya yang basah dan naik ke lantai dua menuju kamarnya. Dia penghuni paling pertama di tempat kos itu dan beruntung bisa mendapat tempat yang sebelumnya adalah kamar tidur utama di rumah itu.

Nino membuka pintu teras kamarnya yang menuju balkon. Hujan semakin menggila, malah kini ditambah deru angin yang keras. Nino mengurungkan niatnya untuk menjemur sepatunya di situ. Malah jadi tambah basah nanti...

Akhirnya dia menggantung sepatunya di dapur bawah. Setelah itu dia naik lagi ke atas dan pergi mandi. Kamar mandinya berada di dalam kamar tidurnya, bukan terpisah seperti kamar kos yang lain.

Selesai mandi, Nino menghempaskan diri ke kasur. Tak berapa lama, dia terlelap.

Nino tidak tahu sudah berapa lama dia tertidur. Dia bermimpi. Mimpi yang aneh, karena dalam mimpinya itu Sakti dan Bertha menikah. Tapi mereka tidak mengundang Nino. 'Lo kan cinta banget sama kosan lo, jadi nggak usah datang ke acara,' kata Sakti. 'Ikut kondangan kita secara online aja dari kosan,' timpal Bertha. Lalu kedua sahabatnya itu terkikik geli dan meninggalkan Nino.

Nino terbangun dan langsung duduk. Dia mengusap-ngusah dahinya, sadar kalau itu mimpi. Tapi sepertinya seru juga kalau Sakti dan Bertha jadian...

Sambil mengusap-usap lengannya yang kedinginan, Nino turun dari tempat tidur untuk mengambil segelas air dari dispenser di sudut kamar. Tenggorokannya kering. Sambil minum, dia mengecek remote pendingin udara yang terletak di atas meja. Ini terlalu dingin.

Eh.

Pendingin udaranya tidak menyala. Ternyata sejak masuk ke kamar tadi, Nino sama sekali belum menyalakan pendingin ruangan.

Kalau begitu, kenapa bisa dingin begini?

Di luar, hujan masih turun dengan deras. Nino mengintip dari jendela kamarnya. Hujan ini berbeda. Suara dan intensitasnya terasa seperti badai, apalagi ditambah dengan kilat yang menyambar-nyambar.

Nino memutuskan untuk kembali ke tempat tidur dan bergelung nyaman di balik selimutnya. Hujan-hujan seperti ini sering bikin orang galau...

Tiba-tiba Nino mendengar suara ketukan di pintu. Tok, tok, tok...

Mungkin itu Mbak Ina, penjaga kos. Nino membuka pintu. Tak ada siapa-siapa.

Kalau begitu siapa yang mengetuk?

Nino celingukan, mengecek keadaan di depan kamar. Bisa saja itu perbuatan Bambang dan Calvin, teman-teman satu kosnya yang jahil. Tapi pintu kamar Bambang dan Calvin tertutup rapat, sepertinya mereka belum pulang kampus.

Tok, tok, tok...

Suara ketukan itu terdengar lagi. Nino menajamkan telinganya. Dari asal suaranya, sepertinya bukan dari pintu depan di bawah. Tapi dari...

Nino masuk kembali ke dalam kamar dan menatap pintu teras yang terhubung dengan balkon.

Tok, tok, tok...

Balkon?

Nino membuka pintu teras depan itu pelan-pelan. Di balkon yang basah terguyur hujan, ada sesosok anak kecil yang memakai piyama berwarna jingga. Usianya mungkin sekitar lima tahun. Dia meringkuk membelakangi pintu ketika Nino membukanya.

Dia sedang menangis.

Mendadak anak kecil itu berdiri dan berbalik. Dia menatap Nino beberapa saat, lalu matanya yang masih merah dan berair akibat tangisan itu melebar dan berbinar-binar seperti melihat sebongkah cokelat. Dia menghambur memeluk Nino sambil berseru senang.

"PAPA!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top